Anda di halaman 1dari 9

biografi ummu imarah

" Nusaibah Binti Kaab, Ra ( Ummu Imarah )

Nusaibah binti Kaab, ra, Perempuan Perkasa "Sang Perisai Rasulullah" Belia dikenal dengan
julukan Ummu Imarah atau Ummu Imarah. Beliau adalah anak Kaab bin Amr dan Rabbab
binti Abdullah bin Habib. Ia memiliki dua orang saudara yaitu Abdullah bin Kaab dan Abu
Laila Abdurrahman bin Kaab. Nusaibah menikah dengan Zaid bin Asim. Dari pernikahannya,
ia memiliki dua orang anak yaitu Abdullah dan Habib. Pada suatu hari, Zaid pulang dengan
gembira. Zaid bercerita, bahwa ia baru saja mendengar kabar dari Mush'ab bin Umair,
seorang penduduk Mekkah utusan Muhammad bin Abdullah, tentang bangkitnya seorang
Rasul di kalangan kaum quraiys. Ia bercerita tentang Muhammad saw, sang Rasul yang tetap
tegar berda'wah walaupun dimusuhi kaumnya. Muhammad juga tidak tergiur dengan harta
dan kedudukan yang ditawarkan kepadanya. Cerita itu sangat menyentuh hati Zaid.Kemudian
Zaid berkata,"Demi Allah, saya tidak hanya heran mendengar cerita itu, tetapi saya beriman
dan bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Andaikata
kedua telingamu mendengarkan cerita Mush'ab tentang Muhammad dan da'wahnya, niscaya
engkau tidak akan mengingkarinya". Mendengar perkataan suaminya, hati Nusaibah tergerak.
Kemudian dengan penuh keharuan ia berkata : "Saya beriman kepada Allah sebagai ilah dan
Muhammad sebagai nabi." Kemudian keduanya berjanji untuk melakukan bai'at pada musim
haji yang akan tiba beberapa saat kemudian. Saat musim haji tiba, rombongan dari Madinah
datang ke Mekkah. Mereka kemudian dipertemukan oleh Mush'ab dengan Rasulullah dan
melakukan bai'at. Nusaibah dan suaminya termasuk orang yang ikut berbai'at kepada Nabi
dalam keheningan malam di Aqabah. Setelah peristiwa itu, Nusaibah dan suaminya beserta
rombongan dari Madinah kembali pulang. Beberapa saat kemudian, Rasulullah berhijrah ke
Madinah dan menjadikan Madinah sebagai pusat da'wah dan pemerintahan. Nusaibah, suami
dan kedua putranya adalah orang-orang yang senantiasa istiqomah dengan keimanan mereka
dan membantu da'wah Rasulullah. Saat Perang Badar, Abdullah putranya ikut berjuang
dengan gagah berani menegakkan panji-panji Islam sampai umat Islam mendapat
kemenangan. Tak lama setelah kembalinya pasukan dari Perang badar, Zaid meninggal dunia.
Nusaibah kemudian dilamar oleh Ghaziyah bin Amr. Dari pernikahannya dengan Ghaziyah,
Nusaibah mempunyai dua orang anak yaitu Tamim dan Khawlah. Kesibukan Nusaibah
mengurus rumah tangga, suami dan anak-anaknya tidak membuatnya mengurangi perannya
dalam da'wah dan perjuangan umat Islam. Nusaibah bersama suami dan putra-putranya pun
ikut dalam berbagai peristiwa penting, seperti Perang Uhud, Peristiwa Hudaybiah, Perang
Khaibar, Perang Hunain dan Perang Yamamah. Dalam berbagai pertempuran itu, Nusaibah
tidak hanya membantu mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka. Lebih dari
itu, ia juga terjun ke medan perang dan mengangkat senjata untuk melindungi Rasulullah saw
hingga Nusaibah terkenal dengan julukan 'Sang Perisai Rasulullah SAW'. Waktu perang
Uhud, Nusaibah keluar memberi minum kepada pasukan Muslimin yang kehausan dan
merawat mereka yang mendapat luka. Dan ketika tentera Islam terlalaikan oleh ghanimah
yang ditinggalkan musuh lalu terdesak dan lari dari medan perang hingga cuma ada seratus
orang saja yang bertahan,Nusaibah pun menjadi salah seorang yang menghunuskan pedang
serta memakai perisai untuk melindungi Rasulullah dari sasaran musuh. Nusaibah saat itu
berperang dengan gagah berani di sisi Rasulullah dan melindungi beliau. Nusaibah tetap
siaga, lincah bergerak ke sana ke mari bersama puteranya. Bahkan dikatakan sampai para
sahabat Rasul SAW malu menyadari bahwa mereka kalah tegar, kalah gagah dan kalah
perkasa pada waktu itu bila dibandingkan beliau yang perempuan! Masya Allah! Pada perang
ini Nusaibah menderita dua belas luka pada tubuhnya dengan luka paling parah di bagian
lehernya. Kesungguhan Nusaibah melindungi Rasulullah begitu hebat, hingga Rasulullah
berkata, “Aku tidak menoleh ke kiri dan ke kanan kecuali melihat Ummu Imarah (Nusaibah)
berperang dihadapanku.” Ketika itu, anaknya Abdullah luka parah ditikam musuh. Dia
mengikat luka anaknya lalu berkata, “Bangun wahai anakku.” Anaknya itu terus bangun dan
melawan tentera musuh. Rasulullah yang melihat peristiwa itu merasa terharu. “Wahai
Ummu Imarah, siapakah yang mampu berbuat seperti mana yang engkau lakukan?” kata
Rasulullah kepadanya. Ketika tentera musuh yang menikam anaknya itu menghampiri,
Rasulullah berkata kepadanya, “Ini dia orang yang telah melukakan anakmu.” Nusaibah
menghampiri orang itu dan menikam betisnya dengan pedang. “Ya, Ummu Imarah! Engkau
berjaya membalasnya,” kata Rasulullah sambil tersenyum melihat kesungguhan Nusaibah.
Kemudian, Nusaibah dengan bantuan beberapa tentera Muslimin berjaya membunuh orang
itu. Melihat keadaan ini, Rasulullah berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah
menenangkanmu dan menggembirakan hatimu daripada musuhmu serta memperlihatkan
balas dendammu dihadapanmu.” Ketika Perang Uhud ini, Nusaibah mengalami luka yang
banyak, terutamanya di bahagian bahu. Rasulullah memeriksa lukanya lalu meminta
Abdullah, anaknya untuk mengikat luka tersebut sambil berkata, “Semoga Allah sentiasa
memberkati dan merahmati kamu semua.” Nusaibah mendengar kata-kata Rasulullah itu. “Ya
Rasulullah! Mohonlah kepada Allah agar kami boleh menemanimu di syurga nanti,” kata
Nusaibah. Maka Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah! Jadikanlah mereka semua ini penemanku
di syurga kelak.” “Aku tidak akan mengeluh setiap musibah yang menimpa diriku di dunia
ini,” kata Nusaibah sebagai membalas. Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, sebagian
kaum muslimin kembali murtad dan enggan berzakat. Abu Bakar a Ash shiddiq yang menjadi
khalifah pada waktu itu segera membentuk pasukan untuk memerangi mereka. Abu Bakar
mengirim surat kepada Musailamah dan menunjuk Habib sebagai utusannya. Maka
bersegeralah Ummu Imarah mendatangi Abu Bakar dan meminta ijin kepada beliau utk
begabung bersama pasukan yg akan memerangi orang-orang yg mutad dari Islam. Abu Bakar
ash-Shidiq bekata kepadanya “Sungguh aku telah mengakui peranmu di dalam perang Islam
maka berangkatlah dengan nama Allah.” Maka beliau berangkat bersama putranya yg
bernama Hubaib bin Zaid bin Ashim. Di dalam perang ini Ummu Imarah mendapatkan ujian
yg berat. Pada perang tesebut putranya tertawan oleh Musailamah al-Kadzab dan ia disiksa
dengan bebagai macam siksaan agar mau mengakui kenabian Musailamah al-Kadzab. Akan
tetapi bagi putra Ummu imarah yg telah terbiasa dididik untuk bersabar tatkala berperang dan
telah dididik agar cinta kepada kematian syahid, ia tidak kenal kompomi sekalipun diancam
kematian. Bahkan ketika Musailamah memerintahkan Habib untuk menyatakan bahwa ia
adalah utusan Allah, Habib menolaknya dengan berpura-pura tuli. Inilah dialog antara dia
dgn Musailamah. Kata Musailamah : "Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah
Rasulullah?". Hubaib berkata : "Ya Musailamah, Engkau bersaksi bahwa aku adalah
Rasulullah? Aku tidak mendengar apa yg kamu katakan itu!". Musailamah pun marah dan
akhirnya menyiksa Habib dengan memotong anggota tubuhnya satu persatu sampai syahid.
Meninggalnya Habib tentu saja meninggalkan luka yang dalam di hati Nusaibah. Ummu
Imarahpun ikut serta dalam perang Yamamah besama putranya yg lain yaitu Abdullah.
Beliau bertekad utk dapat membunuh Musailamah dgn tangannya sebagai balasan bagi
Musailamah yg telah membunuh Hubaib. Akan tetapi takdir Allah menghendaki lain yaitu
bahwa yg mampu membunuh adl putra beliau yg satunya yaitu Abdullah. Ia membalas
Musailamah yg telah membunuh saudara kandungnya. Tatkala membunuh Musailamah
Abdullah bekeja sama dgn Wahsyi bin Harb. Tatkala ummu imarah mengetahui kematian si
Thaghut al-Kadzdzab maka beliau pun bersujud syukur kepada Allah. Ummu Imarah pulang
dari peperangan dgn membawa dua belas luka pada tubuhnya setelah kehilangan satu
tangannya dan kehilangan anaknya yg terakhir yaitu Abdullah. Sungguh kaum muslimin pada
masanya mengetahui kedudukan beliau. Beliau wafat beberapa tahun kemudian setelah
peristiwa Perang Yamamah ini.[][] -------- Sungguh banyak pelajaran yang bisa dipetik dari
sosok Nusaibah. Beliau bukanlah sosok perempuan biasa. Kecintaan beliau pada surga
menghantarkannya menjadi wanita Anshar pertama yang beriman pada Rasulullah, istiqamah
berjuang demi Islam dengan segenap jiwa dan raganya. Sebagai istri, beliau berhasil
mendukung perjuangan suami-suaminya dan menghantarkan mereka pada kesyahidan.
Sebagai ibu, beliau tampil sebagai teladan dan berhasil mencetak generasi terbaik yang
berkontribusi besar pada perjuangan Islam. Kecerdasan dan ketangguhan beliau nampak
dalam setiap aktivitas yang senantiasa bertarget, dan disiapkan dengan cermat demi mengarah
pada tujuan yang jelas, yakni ditujukan demi keridhaan Allah dan meraih kemenangan Islam.
Beliau tak pernah melewatkan sedikitpun peluang atau kesempatan yang sudah diberikan
Allah untuk mendapatkan pahala, kemuliaan dan syurga firdaus, karena kesadaran bahwa
kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Beliaupun senantiasa ada di barisan
terdepan perjuangan dan seakan tak rela jika termasuk orang yang tertinggal. Beliau pun
seolah tak rela jika posisi/kesempatan berharga tersebut digantikan oleh orang lain, sehingga
nampak beliau tak pernah memilih atau mengambil bagian yang terringan dari perjuangan.
Beliau juga bukan perempuan cengeng yang mudah lemah menghadapi situasi sesulit apapun.
Hal ini nampak ketika di Perang Uhud beliau terluka dengan 13 tusukan. Yang saya
bayangkan, saat satu demi satu tubuhnya terkena tusukan senjata musuh itu, tentu beliau
merasakan sakit yang amat sangat. Akan tetapi itu tak menjadikan beliau mundur dari
gelanggang peperangan. Dikatakan bahwa salah satu lukanya sangat parah, yakni luka di
bahu/dekat leher dan memerlukan penyembuhan hingga 1 tahun. Namun pengalamannya ini
tak membuatnya mundur atau kapok untuk berjuang, bahkan sebelum lukanya benar-benar
sembuh, beliau ikut dalam perjuangan-prjuangan lainnya, hingga di perang Yamamah beliau
mendapatkan 11 luka dan lengannya terputus. Subhanallah. Alangkah besar kecintaannya
pada surga, hingga apapun bisa dikalahkannya.

BIOGRAFI ASMA BINTI ABU BAKAR

Asma' binti Abu Bakar adalah Puteri dari amirul muminin Abu Bakar ash-Shiddiq, Ia salah
seorang wanita mulia yang turut serta dalam hijrah ke Madinah. Dia dikenal sebagai wanita
terhormat yang menonjol dalam kecerdasannya, kemuliaan diri, dan kemauannya yang kuat.
Asma' binti Abu Bakar mendapat gelar atau julukan "dzaatun nithaaqain" (perempuan
pemilik dua selendang) oleh Rasulullah SAW.

‘Asma bertutur “Aku membuat makanan untuk Rasulullah dan ayahku ketika mereka hendak
bertolak ke Madinah untuk berhijrah. Aku berkata kepada ayah, ‘aku tidak membawa sesuatu
untuk mengikat makanan kecuali selendang pinggangku ini.’ Ayahku berkata, ‘Belahlah
selendangmu menjadi dua,’ Aku mengikuti perkataannya, maka aku dijuluki dzaatun
nithaaqain” (HR Bukhari).

Asma' binti Abu Bakar lahir pada 27 tahun sebelum Hijrah. Asma' lebih tua sepuluh tahun
dari Aisyah Ummul Mukminin, saudara perempuannya. Dia juga saudara kandung Abdullah
bin Abu Bakar. Asma’ telah masuk Islam sejak di Makkah setelah 17 orang lainnya masuk
Islam sebelum dirinya. Dia juga ikut membai’at (mengucapkan janji setia) Nabi SAW dan
beriman dengan apa yang diajarkan padanya. Imannya kokoh pengamalan Islamnya baik.

Di antara tanda keislamannya yang baik yakni, suatu ketika Qatilah binti Abdul Uzza
mengirimkan pada anak perempuannya, Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq—Abu Bakar
telah menceraikan Qatilah pada masa jahiliyah—beberapa hadiah, kismis (anggur kering),
mentega dan anting-anting. Namun dia menolak menerima hadiah yang diberikan dan tidak
mengizinkan ibunya masuk ke dalam rumah.

Asma’ menikah dengan Zubair bin Awwam, seorang yang tidak mempunyai harta benda,
tidak pula kekuasaan, atau sesuatu lainnya kecuali kudanya. Maka Asma' mengurus kuda itu,
menyediakan makanan dan memberinya minumannya.
‘Asma mendampingi Az Zubair selama 28 tahun. Ia memiliki putra dan putri Abdullah,
Urwah, Al Mundzir, Ashim, Al Muhajir, Khadijah Al Kubra, Ummul Hasan, dan Aisyah
dalam pernikahannya bersama Lelaki Surga itu.
Suatu ketika Zubair bersikap keras terhadapnya, maka Asma' datang kepada ayahnya dan
mengeluhkan hal itu. Abu Bakar berkata, "Wahai anakku, bila seorang perempuan
mempunyai seorang suami yang saleh kemudian meninggal, dan si perempuan tidak lagi
menikah setelahnya, keduanya akan dikumpulkan oleh Allah di surga."
Setelah perceraian dengan Az Zubair, sejarah ‘Asma binti Abu Bakar adalah sejarah
perjuangannya bersama putra-putranya. Ia tidak pernah menikah lagi. Keputusan ini karena
perkataan ayahnya di atas.

Peran dalam perjuangan Islam


Asma' turut serta dalam Perang Yarmuk bersama suaminya, Zubair bin Awwam, dan
menunjukkan keberaniannya. Dia membawa sebilah belati dalam pasukan Said bin Ash di
masa fitnah, lalu meletakkannya di balik lengan bajunya.
Asma’ meriwayatkan sekitar 58 hadits dari Rasulullah SAW, riwayat lain mengatakan 56
hadits. Bukhari dan Muslim sepakat terhadap 14 hadits. Sedangkan 4 hadits lainnya
diriwayatkan oleh Bukhari sendirian, sedangkan Muslim juga meriwayatkan sejumlah yang
diriwayatkan Bukhari. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa hadits-hadist Asma yang
sudah ditakhrij mencapai 22 hadits. Di antara yang telah disepakati Bukhari dan Muslim
sebanyak 13 hadits. Selain itu, Bukhari meriwayatkan 5 hadits dan Muslim meriwayatkan 4
hadits.
Asma' mempunyai jiwa yang dermawan dan mulia tidak pernah menunda sesuatu hingga
esok hari. Pernah suatu ketika dia jatuh sakit, kemudian dia segera membebaskan
(memberikan) seluruh harta yang dipunyainya. Dulu dia pernah berkata pada anak-anak dan
keluarganya, "Berinfaklah kalian, dan bersedekahlah, dan jangan kau menunda keutamaan.
Jika kalian menunda keutamaan, kalian tidak akan pernah mendapatkan keutamaan. Dan
jika kalian memberi sedekah, kalian tidak akan kehilangan."
Wafatnya Asma' binti Abu Bakar
Asma' binti Abu Bakar meninggal dunia pada tahun ke 73 Hijriyah. Adz Dzahabi berkata,
“Asma adalah orang terakhir yang meninggal di antara golongan kaum Muhajjirin.”

Allah menakdirkannya berusia 100 tahun. Ia tidak pikun, giginya tidak satupun yang tanggal,
pikirannya pun tetap kuat dan prima. Begitu pun keimanannya masih tetap teguh dalam
ketakwaan.
BIOGRAFI UMMU SULAIM

Ummu Sulaim yang bernama lengkap Ruimasha' Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin
Zaid bin Hiram bin Jundab bin 'Amir bin Ghanam bin 'Adie bin an-Najaar al-Anshariyah al-
Khazrajiyah, ialah salah seorang wanita yang masuk Islam dari kalangan Anshar. Dengan
penuh keyakinan, Ummu Sulaim tanpa ragu meninggalkan kebiasaan orang Jahiliyah dari
menyembah berhala, meski suaminya, Maalik tidak setuju dengan keislamannya. Dari
pernikahannya dengn Maalik Ibnu Nadhar lahirlah seorang anak bernama Anas.

Masuk Islam dan Ditentang sang suami


Sejak hari pertama keIslamannya, Ummu Sulaim telah memperlihatkan keteguhan peribadi
yang mengagumkan dan layak untuk diteladani. Ini menunjukkan barokah dan ketajaman
akalnya, disamping iman, keikhlasan dan kebenarannya. Beliau telah memeluk Islam dan ikut
berbaiat di saat suaminya ketika itu (Malik bin An-Nadhar, ayah dari Anas bin Malik) berada
di luar Madinah. Iman meresap ke dasar hatinya dan kekal terpateri di sana. Beliau mencintai
Islam dengan kecintaan yang sangat mendalam, karana itu beliau tetap teguh di hadapan
suaminya yang masih musyrik.

Tak mudah bagi Ummu Sulaim untuk memeluk Islam, agama yang paling benar dan diridhai
Allah SWT. Suaminya adalah orang yang pertama menghadang laju keimanannya. Maalik
sangat marah begitu isterinya telah masuk Islam. "Apakah engkau telah musyrik?" Ummu
Sulaim menjawab dengan penuh keyakinan dan keteguhan, "Aku tidak musyrik tetapi aku
telah beriman".

Ummu Sulaim membimbing anaknya, Anas untuk mengucapkan dua kalimat syahadat,
"Katakanlah Laa Ilaaha Illallah, dan katakanlah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah."
Lalu Anas melakukannya. Melihat keadaan itu, Maalik berkata kepada Ummu Sulaim:
"Janganlah merusak anakku".

Ummu Sulaim berkata, "Sesungguhnya aku tidak merusaknya akan tetapi aku mengajari dan
membimbingnya."

Kematian sang suami


Suatu ketika, Maalik pergi menuju Syam. Di dalam perjalanannya ia bertemu dengan
musuhnya. dan mati terbunuh. Mendengar kematian suaminya, Ummu Sulaim berkata, "Aku
tidak akan memberi Anas makanan sampai ia meninggalkan musim susuku (ASI)."

Ummu Sulaim kemudian berkata lagi, "Aku tidak akan menikah sampai Anas dewasa.''
Kebaikan Ummu Sulaim diungkapkan Anas bin Maalik pada sebuah majelis, "Semoga Allah
membalas jasa baik ibuku yang telah berbuat baik padaku dan telah menjagaku dengan baik."
Ummu Sulain menyerahkan si jantung hatinya, Anas, sebagai pelayan di sisi seorang
pengajar manusia dengan segala kebaikan, yakni Rasulullah SAW.
Menikah lagi dengan mahar "Islam"
Kemuliaan dan kebaikan Ummu Sulaim terdengar di telinga Abu Thalhah, seorang hartawan
di zaman itu.

Abu Thalhah berusaha untuk meminang Ummu Sulaim. Abu Thalhah pun melamar Ummu
Sulaim dengan mahar yang mahal sekali. Namun, lamaran itu ditolak Ummu Sulaim. "Tidak
sepantasnya aku menikah dengan seorang musyrik. Tidakkah engkau mengetahui wahai Abu
Thalhah, bahwa sesembahan kalian itu diukir oleh seorang hamba dari keluarga si Fulan.
Sesungguhnya bila kalian menyalakan api padanya pastilah api itu akan membakarnya."

Di kemudian hari Thalhah kembali datang dengan mahar yang paling istimewa. Dengan
harapan Ummu Sulaim bisa luluh dan mau menerimanya. Namun Ummu Sulaim kembali
menolaknya. Lalu ia berkata dengan santun, "Tidak pantas orang yang sepertimu akan
ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi engkau seorang kafir sedang aku seorang Muslimah
yang tidak pantas bagiku untuk menikah denganmu."

Lalu Abu Thalhah berkata, "Itu bukan kebiasaanmu." Ummu Sulaim berkata, "Apa
kebiasaanku?" Ia berkata, "Emas dan perak." Ummu Sulaim menjawab,"Sesungguhnya aku
tidak menginginkan emas dan perak, akan tetapi aku hanya inginkan darimu adalah 'Islam'."

Abu Thalhah lalu berkata, "Siapakah orang yang akan membimbingku untuk hal itu?" Ummu
Sulaim berkata, "Yang akan mengenalkan hal itu adalah Rasulullah SAW." Pergilah Abu
Thalhah menemui Nabi SAW. Ketika itu Rasulullah SAW sedang duduk bersama para
sahabatnya.

Saat melihat Abu Thalhah, Nabi SAW bersabda, "Telah datang kepada kalian Abu Thalhah
yang nampak dari kedua bola matanya semangat keislaman." Lalu Abu Thalhah datang dan
mengabarkan apa yang telah dikatakan oleh Ummu Sulaim terhadapnya. Abu Thalhah pun
ahkhirnya menikahi Ummu Sulaim dengan mahar yang telah dipersyaratkannya, yakni Islam.
Tsabit seorang perawi hadits berkata, dari Anas RA, "Tidaklah aku mendengar ada seorang
wanita yang lebih mulia maharnya dari pada Ummu Sulaim yang mana maharnya adalah al-
Islam."

Bersabar saat ditinggal mati anaknya


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa putera Abu Tholhah sakit. Ketika
itu Abu Tholhah keluar, lalu puteranya tersebut meninggal dunia. Ketika Abu Tholhah
kembali, ia berkata, “Apa yang dilakukan oleh puteraku?” Istrinya (Ummu Sulaim) malah
menjawab, “Ia sedang dalam keadaan tenang.” Ketika itu, Ummu Sulaim pun mengeluarkan
makan malam untuk suaminya, ia pun menyantapnya. Kemudian setelah itu Abu Tholhah
melakukan 'hubungan suami istri' dengan Ummu Sulaim. Ketika telah selesai memenuhi
hajatnya, istrinya mengatakan kabar meninggalnya puteranya. Tatkala tiba pagi hari, Abu
Tholhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang hal
itu. Rasulullah pun bertanya, “Apakah malam kalian tersebut seperti berada di malam
pertama?” Abu Tholhah menjawab, “Iya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
mendo’akan, “Allahumma baarik lahumaa, Ya Allah berkahilah mereka berdua.”

Dari hubungan mereka tersebut lahirlah seorang anak laki-laki. Anas berkata bahwa Abu
Tholhah berkata padanya, “Jagalah dia sampai engkau mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengannya.” Anas pun membawa anak tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ummu Sulaim juga menitipkan membawa beberapa butir kurma bersama bayi
tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengambil anak tersebut lantas berkata,
“Apakah ada sesuatu yang dibawa dengan bayi ini?” Mereka berkata, “Iya, ada beberapa
butir kurma.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan mengunyahnya.
Kemudian beliau ambil hasil kunyahan tersebut dari mulutnya, lalu meletakkannya di mulut
bayi tersebut. Beliau melakukan tahnik dengan meletakkan kunyahan itu di langit-langit
mulut bayi. Beliau pun menamakan anak tersebut dengan ‘Abdullah. (HR. Bukhari no. 5470
dan Muslim no. 2144).

Dalam riwayat Muslim disebutkan, Dari Anas, ia berkata mengenai putera dari Abu
Tholhah dari istrinya Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berkata pada keluarganya, “Jangan
beritahu Abu Tholhah tentang anaknya sampai aku yang memberitahukan padanya.”
Diceritakan bahwa ketika Abu Tholhah pulang, istrinya Ummu Sulaim kemudian
menawarkan padanya makan malam. Suaminya pun menyantap dan meminumnya. Kemudian
Ummu Sulaim berdandan cantik yang belum pernah ia berdandan secantik itu. Suaminya pun
melakukan 'hubungan suami istri' dengan Ummu Sulaim. Ketika Ummu Sulaim melihat
suaminya telah puas dan telah 'melakukan hubungan suami istri' dengan dirinya, ia pun
berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah
satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk
diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih
pahala karena kematian puteramu.” Abu Tholhah lalu marah kemudian berkata, “Engkau
biarkan aku tidak mengetahui hal itu hinggga aku berlumuran janabah, lalu engkau kabari
tentang kematian anakku?” Abu Tholhah pun bergegas ke tempat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengabarkan apa yang terjadi pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendo’akan, “Semoga Allah memberkahi kalian
berdua dalam malam kalian itu.” Akhirnya, Ummu Sulaim pun hamil lagi. (HR. Muslim no.
2144).
Kisah di atas menunjukkan keutamaan sahabat Ummu Sulaim. Dari kisah di atas kita bisa
melihat bagaimana kuatnya kesabaran Ummu Sulaim atau Rumaysho, sungguh ia begitu
penyabar. Sampai-sampai ketika puteranya meninggal dunia pun, ia bisa bersabar seperti itu.
Ketika dapat musibah kala itu, ia tetap melayani suaminya seperti biasa, bahkan ia pun
berdandan begitu istimewa demi memuaskan suaminya di ranjang. Tatkala suaminya puas,
baru ia kabarkan tentang kematian puteranya.

Wafatnya Ummu Sulaim


Menurut adz-Dzahabi, Ummu Sulaim meriwayatkan empat belas hadits dari Rasulullah
Sholallahu 'alaihi wasalam. Satu di antaranya muttafaq 'alaih, satu hadits khusus diriwayatkan
oleh al-Bukhari, dan dua hadits oleh Muslim.
Ummu Sulaim wafat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan Rodhiallahu 'anhu. Semoga
Allah meridhainya dan menempatkannya dalam Firdaus yang tertinggi, beserta para Nabi,
Shiddiqin, Syuhadaa', dan Shalihin.

BIOGRAFI UMMU AIMAN

Ummu Aiman adalah isteri Zaid bin Haritsah, anak angkat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dari Zaid, ia mendapatkan seorang anak yang menjadi mujahid yang sangat hebat,
yang sangat disayangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Usamah bin Zaid.
Dari suaminya yang pertama, ia memiliki seorang anak yang gugur sebagai syuhada (yaitu
Aiman bin Ubaid Al-Khazraji).

Merawat Muhammad yang masih kecil

Ummu Aiman mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak beliau kecil sampai diutus
menjadi seorang nabi. Dia menemani Aminah binti Wahab, ibunda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, berangkat ke Madinah bersama putra kesayangannya untuk mengunjungi Bani
Najjar yang merupakan keluarga Abdul Muthalib. Di dalam perjalanan pulang kembali ke
Mekkah, Aminah menderita sakit di perjalanan. Akhirnya beliau wafat di Abwa (tempat
antara Mekkah dan Madinah). Karena itulah, Ummu Aiman menjadi satu-satunya
pendamping Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang saat itu masih anak-anak
– menuju kota Mekkah.

Sang kakek, Abdul Muthalib, menjadi pengasuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
mencintai sang cucu sepenuh hati. Adapun Ummu Aiman, ia tetap berada di sisi Rasulullah,
mengurusnya dengan penuh cinta kasih, menjaganya dengan seluruh kemampuan diri, seakan
ia menjadi penganti sang ibu yang telah pergi, sebagaimana Abdul Muthalib hadir sebagai
kakek sekaligus “bapaknya”. Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kecil pun tumbuh di
antara orang-orang yang selalu mencurahkan kehangatan cinta dan kelembutan kasih sayang.

Wujud rasa sayang Abdul Muthalib kepada sang cucu membuatnya sangat banyak berwasiat
kepada Ummu Aiman. Di salah satu wasiatnya ia berkata, “Wahai Barakah, janganlah engkau
melalaikan anakku. Aku mendapatkannya bersama anak-anak kecil dekat dengan pohon
bidara. Ketahuilah bahwa orang-orang dari Ahlul Kitab menyangka bahwa anakku ini akan
menjadi nabi umat ini.”

Ketika Abdul Muthalib meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan
kesedihan yang sangat. Ummu Aiman menceritakan kejadian itu; ia berkata, “Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hari itu menangis di belakang tempat tidur Abdul
Muthalib.” (Ath-Thabaqatul Kubra, 8:224)

Dua pernikahan

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tumbuh dewasa, beliau sangat menghargai dan
menghormati Ummu Aiman; Ummu Aiman yang mengurus perkara dan urusan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjaganya dengan sebaik-baik penjagaan.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Khadijah radhiyallahu


‘anha, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Ummu Aiman. Kemudian beliau
menikahkannya dengan Ubaid bin Zaid Al-Khazraji. Dari pernikahan tersebut, lahirlah
seorang putra yang diberi nama “Aiman”. Aiman radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat
yang berhijrah dan berjihad, serta mati syahid pada perang Hunain.

Khadijah Ummul Mukminin memiliki seorang budak bernama Zaid bin Haritsah. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada Khadijah agar Zaid dihadiahkan baginya.
Khadijah memenuhi permintaan sang suami tercinta.

Zaid menjadi anak angkat Rasulullah dan orang yang sangat dicintainya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dan menikahkannya dengan Ummu Aiman,
setelah suaminya yang pertama meninggal dunia. Seorang anak lelaki terlahir dari pernikahan
itu. Namanya adalah Usamah. Zaid kemudian berkun-yah dengan nama “Abu Usamah”.

Turut berjihad di barisan kaum muslimin

Ketika usia Ummu Aiman semakin bertambah, beliau sangat senang untuk turut serta
berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada perang Uhud, Ummu Aiman
berangkat bersama para wanita. Peran yang ia utamakan adalah mengobati orang-orang yang
terluka dan memperhatikan mereka, serta memberi minum para mujahidin yang kehausan.

Pada perang Khaibar, Ummu Aiman bersama dua puluh orang wanita berangkat menuju
medan perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kaum
muslimin. Adapun anaknya, Aiman, tidak ikut dalam perang ini karena kudanya sakit. Meski
memiliki alasan, ibunya menyifatinya sebagai pengecut.

Pada perang Mu’tah, suaminya (Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu) wafat sebagai
syuhada. Ummu Aiman menerima berita tersebut dengan sabar dan mengharap pahala dari
Allah. Pada perang Hunain, anaknya (Aiman) juga mati sebagai syuhada. Kembali beliau
bersabar dan mengharap pahala dari Allah dengan kematian anaknya. Beliau hanya
mengharapkan keridhaan Allah dan keridhaan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tutup usia

Hari pun berlalu dengan cepat; wafatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berita
kematian pun tersebar, kota Madinah terasa gelap gulita dari barat maupun timur. Hati
manusia diliputi duka. Ummu Aiman menangis sedih atas perpisahannya dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Akhirnya seorang shahabiyah, yang mengasuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


semenjak kecil dan bersama dengan beliau menyaksikan masa nubuwwah, kembali ke sisi
Rabb-Nya. Setelah mencurahkan kebaikan bagi Nabi-Nya dan bagi agamanya, Ummu Aiman
radhiyallahu ‘anha wafat lima bulan – atau dalam riwayat lain: enam bulan – setelah
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 2454)

BIOGRAFI USAMAH BIN ZAID

Anda mungkin juga menyukai