BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Farmasi adalah profesi dibidang kesehatan yang meliputi kegiatan-
kegiatan dibidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan,
peracikan, dan distribusi obat. Dalam ilmu farmasi ada empat bidang yang
dipelajari, yaitu farmasi klinik, farmasi industri, farmasi sains, dan farmasi
obat tradisional. Selain mempelajari cara meracik disertai cara kerja obat,
farmasi juga harus dapat menganalisis kestabilan dari obat dimana
stabilitas obat ini dipelajari dalam farmasi fisika.
Farmasi fisika adalah ilmu fisika yang diterapkan pada sediaan
farmasi. Stabilitas obat mencakup masalah kadar obat yang berkhasiat.
Bila suatu obat stabil artinya dalam waktu relatif lama obat akan berada
dalam keadaan semula, tidak mengalami perubahan atau jika berubah
masih dalam batas yang sesuai persyaratan.
Penyebab ketidakstabilan sediaan obat, pertama kali adalah
slabilitas dari bahan obat dan bahan pembantu sendiri. Dihasilkan dari
bahan kimia dan kimia fisika, untuk lainnya adalah faktor luar seperti
suhu, kelembapan, udara, dan cahaya, menginduksi atau mempercepat
reaksi yang yang berkurang nilainya. Faktor-faktor yang telah disebutkan
menjadi efektif dalam skala tinggi adalah bergantung dari jenis galenik
dari sediaan dalam obat padat, seperti serbuk, bubuk, dan tablet.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya kita
mengetahui pada keadaan yang bagaimana suatu obat tersebut aman dan
dapat bertahan lama, sehingga obat tersebut dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama tanpa menurunkan khasiat obat tersebut.
Semua sediaan obat memiliki jangka waktu simpan yang dapat
mengalami penguraian karena proses oksidasi reduksi. Hal ini
menyebabkan obat tersebut tidak berkhasiat bahkan memiliki sifat yang
toksik. pengetahuan mengenai kestabilan suatu sediaan obat dapat
diketahui. Kestabilan fisika-kimia obat sangat penting dilakukan oleh
2
seorang farmasi agar dapat menentukan dengan tepat, kapan suatu obat
dapat digunakan dan kapan sudah rusak. mulai dari pengusaha obat sampai
ke pasien. Pengusaha obat harus dengan jelas menunjukkan bahwa bentuk
obat harus dengan sediaan yang dihasilkan cukup stabil dalam
penyimpanan yang cukup lama dimana tidak berubah menjadi zat tidak
berkhasiat atau racun, ahli farmasi harus mengetahui ketidakstabilan
potensial dari obat yang dibuatnya. Dokter dan penderita harus diyakinkan
bahwa obat yang ditulis atau digunakannya akan sampai pada tempat
pengobatan dalam konsentrasi yang cukup untuk mencapai efek
pengobatan yang diinginkan.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami pengaruh berbagai suhu terhadap
kestabilan suatu obat
I.2.2 Tujuan Percobaan
1. Mengamati pengaruh suhu terhadap stabilitas Paracetamol dengan
menggunakan metode spektofotometri.
2. Menggunakan data kinetika kimia untuk memperkirakan kestabilan
suatu zat.
I.3 Prinsip Percobaan
Penentuan stabilitas Paracetamol murni pada suhu yang berbeda
yaitu 60oC dan 70oC dengan cara melarutkan, memanaskan dan
menentukan absorbansi dengan menggunakan spektofotometer UV-Vis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
Stabilitas obat adalah kemampuan obat atau produk untuk
mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimiliki
pada saat dibuat atau diproduksi. Identitas kekuatan, kualitas, dan
kemurnian dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan
dan penggunaan (Anonim, 2012).
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana
reaksi penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan
asam (H+) atau basa (OH-) dengan menggunakan katalisator yang dapat
mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari
reaksi. (Ansel, 1989).
Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama
adalah labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur
kimia masing-masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing
bahan. Yang kedua adalah faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya,
kelembaban, dan udara, yang mampu menginduksi atau mempercepat reaksi
degradasi bahan. Skala kualitas yang penting untuk menilai kestabilan suatu
bahan obat adalah kandungan bahan aktif, keadaan galenik, termasuk sifat
yang terlihat secara sensorik, secara miktobiologis, toksikologis, dan
aktivitas terapetis bahan itu sendiri. Skala perubahan yang diijinkan
ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope. Kandungan bahan
aktif yang bersangkutan secara internasional ditolerir suatu penurunan
sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight, R., 1994).
Stabilitas sediaan farmasi tergantung pada profil sifat fisika dan
kimia pada sediaan yang dibuat (termasuk eksipien dan sistem kemasan
yang digunakan untuk formulasi sediaan) dan fraksi lingkungan seperti
suhu, kelembapan, dan cahaya (Joshita, 2008).
4
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
1. Kuvet
2. Labu ukur 25 mL dan 10 mL
3. Neraca analitik
4. Oven
5. Pipet mikro
6. Pipet tetes
7. Sendok tanduk
8. Spektrometer uv - vis
9. Vortex
III.1.2 Bahan
1. Aluminium foil
2. Etanol
3. Kertas perkamen
4. Paracetamol
5. Tissue
6. Vial
III.2 Cara Kerja
III.2.1 Pembuatan kurva baku
a. 1000 ppm
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Ditimbang 25 gram paracetamol murni
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml
4. Ditambahkan dalam 25 ml etanol
5. Divorteks sampai homogen
6. Diberi label sebagai larutan stok (1000 ppm)
8
b. 100 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 100 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 1000 ppm
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 100 PPM
c. 1 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 1 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 100 ppm
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya hingga 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 1 ppm
d. 2 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 2 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 100 ppm
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya hingga 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 2 ppm
e. 3 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 3 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 100 ppm
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya hingga 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 3 ppm
f. 4 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 4 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 100 ppm
9
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 Larutan Baku
IV.1.2 Kurva tehadap absorban konsentrasi
C A Log A
1 ppm 0,278 -0,5559
2 ppm 0,382 -0,4179
3 ppm 0,502 -0,2992
4 ppm 0,752 -0,1237
r = 0,9968
a = -0,703
b = 0,1415
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1 ppm 2 ppm 3 ppm 4 ppm
10 0,392
15 0,438
20 0,432
IV.2.1 Konsentrasi
t10
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + ( - 0,703)
0,392 = 0,1415 . x -0,703
0,392-0,703
x=
0,1415
-0,311
x=
0,1415
x = -2,1978
t15
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,438 = 0,1415 . x - 0,703
0,438-0,703
x=
0,1415
0,262
x=
0,1415
x = -1,8727
t20
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,432 = 0,1415 . x -0,703
0,432-0,703
x=
0,1415
12
0,271
x=
0,1415
x = -1,9151
IV.2.2 Persamaan regresi
T C Log C
10 -2,1978 -0,3419
15 -1,8727 -0,2724
20 -1,9151 -0,2871
r = 0,7942
a = -0,3885
b = 0,0058
y =b.x+a
y = 0,0058 . x -0,3885 → persamaan 2
y = bx + a
−k
b =
2,303
-k = b . 2,303
-k = 0,0058 . 2,303
-k = 0,0133
0,693
t1/2 =
0,0133
= 52,10 menit
13
10 0,404
15 0,447
20 0,408
IV.3.1 Konsentrasi
t10
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,404 = 0,1415 . x -0,703
0,404-0,703
x=
0,1415
0,299
x=
0,1415
x = -2,113
t15
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,447 = 0,1415 . x -0,703
0,447-0,703
x=
0,1415
-0,256
x=
0,1415
x = -1,8091
t20
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,408 = 0,1415 . x -0,703
0,408-0,703
x=
0,1415
14
-0,295
x=
0,1415
x = -2,0848
10 -2,113 -0,3248
15 -1,8091 -0,2574
20 -2,0848 -0,3190
r = 0,0776
a = 0,3091
b = 0,00058
y =b.x+a
y = 0,00058 . x – 0,3091 → persamaan 2
IV.3.3 Waktu Paruh
0,693
t1/2 =
K
-kt
log A = + log A0
2,303
-k = b . 2,303
-k = 0,00058 . 2,303
-k = 0,00133
0,693
t1/2 =
k
0,693
=
0,00133
= 521,05 menit
= 8,68 jam
BAB V
PEMBAHASAN
15
Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi
kimia diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan
(Connors, 1986).
Kestabilan suatu obat menjadi faktor penting dalam formulasi sediaan
farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam
jumlah yang besar dan memerlukan waktu yang lama dapat mengalami
penguraian dan mengakibatkan dosis yang diterima pasien berkurang. Kestabilan
suatu sediaan farmasi dapat dievaluasi dengan test stabilitas dipercepat dengan
mengamati perubahan kosentrasi pada suhu yang tinggi (Lachman, 1994).
Laju reaksi atau kecepatan reaksi menyatakan banyaknya reaksi
yang berlangsung per satuan waktu. Laju reaksi menyatakan konsentrasi zat
terlarutdalam reaksi yang dihasilkan tiap detik reaksi. Berdasarkan eksperimen,
laju reaksi meningkat tajam dengan naiknya suhu (Martin, 1990).
Pada praktikum stabilitas obat, disiapkan kurva baku dengan menimbang
paracetamol murni. Penentuan stabilitas obat paracetamol menggunakan metode
grafik berdasarkan nilai konstanta kecepatan reaksi, waktu paruh (t1/2)
menggunakan instrumen spektrofotometer pada suhu yaitu suhu 60 0C dan 70 0C.
Dimana panjang gelombang untuk paracetamol adalah 244 nm. Adapun tujuan
dilakukan pada berbagai suhu 60 0C dan 70 0C dimaksudkan untuk membedakan
atau mengetahui pada suhu berapa obat akan terurai dengan cepat. jika
menggunakan suhu kamar dalam pengujian maka butuh waktu yang lama untuk
dapat terurai atau terdegradasi.
Langkah pertama yaitu dengan menimbang paracetamol sebanyak 0,25
gram, kemudian di larutkan dalam 25 ml etanol sebagai larutan stok untuk
konsentrasi 1000 ppm lalu divortex dan dimasukkan dalam vial, adapun tujuan
penambahan etanol adalah untuk melarutkan parasetamol, karena jika di lihat dari
kelarutan paracetamol yakni larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P, dalam 13 bagian asetat P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9
bagian propilenglikol P, larut dalam larutan alkali hidroksida (Dirjen POM,
1979).
16
Karena 1000 ppm terlalu kental, maka diencerkan terlebih dahulu hingga
konsentrasi 100 ppm dengan langkah dipipet 1000µL kemudian dimasukkan
kedalam tabung dan dicukupkan 10 mL etanol lalu divortex dan dimasukkan
kedalam vial.
Selanjutnya dilakukan pengenceran untuk konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3
ppm dan 4 ppm masing-masing 100µL, 200µL, 300µL dan 400µL.
Setelah semua telah diencerkan maka dibaca absorbansinya menggunakan
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 244 nm. Alasan digunakannya
Spektrofotometri UV-Vis karena Spektrofotometri UV-Vis mempunyai kelebihan
diantaranya menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV
dan sumber cahaya Visible (Anonim, 2012).
Absorbansi yang diperoleh untuk konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, dan 4
ppm masing-masing yaitu 0,2788, 0,382, 0,502, dan 0,752.
Setelah dibaca absorbansinya, dihitung kadar obat yang terdegradasi
dengan persamaan kurva baku y = bx+a, dengan memasukkan hasil absorbansi
parasetamol sebagai y, sedangkan x adalah kadar atau konsentrasi parasetamol
yang dicari.
Untuk mencari nilai x maka langkah yang dilakukan selanjutnya yaitu
pembuatan larutan sampel. Untuk pembuatan larutan sampel kami mengambil
konsentrasi 3 ppm karena konsentrasi tersebut berada pada nilai antara absorbansi
yang baik dimana absorbansi pada konsentrasi 3 ppm nilainya tidak terlalu tinggi
dan tidak terlalu rendah. Pada pembuatan larutan sampel kami menggunakan 2
suhu yaitu suhu 600C dan 700C masing-masing menggunakan 3 vial. Alasan
menggunakan 3 vial untuk mengetahui perbandingan suhu pada menit ke 10, 15,
dan 20. Adapun alasan digunakan suhu tinggi karena uji kestabilan obat dapat
dipercepat dengan menggunakan perubahan suhu atau menggunakan suhu yang
tinggi. Semakin tinggi suhunya maka akan semakin cepat bahan obat tersebut
untuk terurai. Metode ini dikenal sebagai studi stabilitas yang dipercepat
(Anonim, 2012).
Setelah dilakukan pemanasan pada suhu 600C dan 700C maka pada menit
ke10 dikeluarkan 1 vial, begitu seterusnya untuk menit ke 15 dan 20. Kemudian
17
BAB VI
PENUTUP
18
VI.1 Kesimpulan
1. Dari hasil percobaan dapat diperoleh bahwa waktu paruh pada suhu 60
0
C yaitu 52,10 menit sedangkan waktu paruh pada suhu 700C yaitu
8,68 jam atau 521,05 menit sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu
paruh yang paling baik berada pada suhu 700C karena semakin besar
waktu paruh maka semakin baik obat untuk mencapai konsentrasi
setengahnya.
2. Berdasarkan percobaan yang dilakukan maka diperoleh hasil
absorbansi pada menit ke 10, 15 dan 20 untuk suhu 600C masing-
masing 0,392, 0,348, dan 0,432, dengan konsentrasi masing-masing -
2,1978, -1,8727, dan -1,9151. Untuk suhu 700C masing-masing 0,404,
0,447, dan 0,408 dengan konsentrasi masing-masing -2,113, -1,8091,
dan -2,0848. Waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi
setengahnya pada suhu 600C yaitu 52,10 menit dan pada suhu 700C
yaitu 521,05 menit atau 8,68 jam.
VI.2 Saran
Diharapkan agar penyediaan alat dan bahan dilaboratorium lebih
diperhatikan agar pelaksanaan praktikum dapat berjalan lebih baik dan
lancar serta asisten lebih memperhatikan lagi praktikan agar hal hal yang
tidak diinginkan tidak terjadi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi ketiga. Departemen Kesehatan RI:
Jakarta
Jenkins G.L., 1957. Senyawa Obat. Gadjah Mada. Yogyakarta : University Press