Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Farmasi adalah profesi dibidang kesehatan yang meliputi kegiatan-
kegiatan dibidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan,
peracikan, dan distribusi obat. Dalam ilmu farmasi ada empat bidang yang
dipelajari, yaitu farmasi klinik, farmasi industri, farmasi sains, dan farmasi
obat tradisional. Selain mempelajari cara meracik disertai cara kerja obat,
farmasi juga harus dapat menganalisis kestabilan dari obat dimana
stabilitas obat ini dipelajari dalam farmasi fisika.
Farmasi fisika adalah ilmu fisika yang diterapkan pada sediaan
farmasi. Stabilitas obat mencakup masalah kadar obat yang berkhasiat.
Bila suatu obat stabil artinya dalam waktu relatif lama obat akan berada
dalam keadaan semula, tidak mengalami perubahan atau jika berubah
masih dalam batas yang sesuai persyaratan.
Penyebab ketidakstabilan sediaan obat, pertama kali adalah
slabilitas dari bahan obat dan bahan pembantu sendiri. Dihasilkan dari
bahan kimia dan kimia fisika, untuk lainnya adalah faktor luar seperti
suhu, kelembapan, udara, dan cahaya, menginduksi atau mempercepat
reaksi yang yang berkurang nilainya. Faktor-faktor yang telah disebutkan
menjadi efektif dalam skala tinggi adalah bergantung dari jenis galenik
dari sediaan dalam obat padat, seperti serbuk, bubuk, dan tablet.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya kita
mengetahui pada keadaan yang bagaimana suatu obat tersebut aman dan
dapat bertahan lama, sehingga obat tersebut dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama tanpa menurunkan khasiat obat tersebut.
Semua sediaan obat memiliki jangka waktu simpan yang dapat
mengalami penguraian karena proses oksidasi reduksi. Hal ini
menyebabkan obat tersebut tidak berkhasiat bahkan memiliki sifat yang
toksik. pengetahuan mengenai kestabilan suatu sediaan obat dapat
diketahui. Kestabilan fisika-kimia obat sangat penting dilakukan oleh
2

seorang farmasi agar dapat menentukan dengan tepat, kapan suatu obat
dapat digunakan dan kapan sudah rusak. mulai dari pengusaha obat sampai
ke pasien. Pengusaha obat harus dengan jelas menunjukkan bahwa bentuk
obat harus dengan sediaan yang dihasilkan cukup stabil dalam
penyimpanan yang cukup lama dimana tidak berubah menjadi zat tidak
berkhasiat atau racun, ahli farmasi harus mengetahui ketidakstabilan
potensial dari obat yang dibuatnya. Dokter dan penderita harus diyakinkan
bahwa obat yang ditulis atau digunakannya akan sampai pada tempat
pengobatan dalam konsentrasi yang cukup untuk mencapai efek
pengobatan yang diinginkan.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami pengaruh berbagai suhu terhadap
kestabilan suatu obat
I.2.2 Tujuan Percobaan
1. Mengamati pengaruh suhu terhadap stabilitas Paracetamol dengan
menggunakan metode spektofotometri.
2. Menggunakan data kinetika kimia untuk memperkirakan kestabilan
suatu zat.
I.3 Prinsip Percobaan
Penentuan stabilitas Paracetamol murni pada suhu yang berbeda
yaitu 60oC dan 70oC dengan cara melarutkan, memanaskan dan
menentukan absorbansi dengan menggunakan spektofotometer UV-Vis.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
Stabilitas obat adalah kemampuan obat atau produk untuk
mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimiliki
pada saat dibuat atau diproduksi. Identitas kekuatan, kualitas, dan
kemurnian dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan
dan penggunaan (Anonim, 2012).
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana
reaksi penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan
asam (H+) atau basa (OH-) dengan menggunakan katalisator yang dapat
mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari
reaksi. (Ansel, 1989).
Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama
adalah labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur
kimia masing-masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing
bahan. Yang kedua adalah faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya,
kelembaban, dan udara, yang mampu menginduksi atau mempercepat reaksi
degradasi bahan. Skala kualitas yang penting untuk menilai kestabilan suatu
bahan obat adalah kandungan bahan aktif, keadaan galenik, termasuk sifat
yang terlihat secara sensorik, secara miktobiologis, toksikologis, dan
aktivitas terapetis bahan itu sendiri. Skala perubahan yang diijinkan
ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope. Kandungan bahan
aktif yang bersangkutan secara internasional ditolerir suatu penurunan
sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight, R., 1994).
Stabilitas sediaan farmasi tergantung pada profil sifat fisika dan
kimia pada sediaan yang dibuat (termasuk eksipien dan sistem kemasan
yang digunakan untuk formulasi sediaan) dan fraksi lingkungan seperti
suhu, kelembapan, dan cahaya (Joshita, 2008).
4

Beberapa jenis perubahan stabilitas obat atau produk farmasi dibagi


menjadi 3, yaitu (Jenkins, 1957) :
1. Stabilitas fisika meliputi penampilan, konsistensi, warna, aroma, rasa,
kekerasan, kerapuhan, kelarutan, pengendapan, perubahan berat, adanya
uap, bentuk, dan ukuran partikel.
2. Stabilitas kimia meliputi degradasi formulasi obat, kehilangan potensi
(bahan aktif), kehilangan bahan-bahan tambahan (pengawet,
antioksidan, dan lainnya).
3. Stabilitas mikrobiologi meliputi perkembangbiakan mikroorganisme
pada sediaan non steril, sterilisasi, dan perubahan fektivitas pengawet.
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan
dalam membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain suhu, kelembapan, udara dan
cahaya (Moechtar, 1989).
Penetapan suatu kadar dilakukan dengan beberapa metode antara lain
Spektrofotometri UV-Vis. Spektrofotometer adalah alat yang terdiri atas
spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari
spektrum dengan sinar panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah
alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi
sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 1990).
Metode spektrofotometri ultraviolet dipilih karena metode ini
memiliki banyak keuntungan antara lain dapat digunakan untuk analisis
suatu zat dalam jumlah kecil, pengerjaannya mudah, sederhana, cukup
sensitif dan selektif, biaya relatif murah dan mempunyai kepekaan analisis
yang cukup tinggi (Munson, 1991).
5

II.2 Uraian Bahan


1. Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Aethanolum
Nama lain : Etanol, alkohol, ethyl alkohol
Berat molekul : 46,07
Rumus molekul : C2H6O
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap, dan


mudah bergerak, bau khas, rasa panas, mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang
tidak berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform I
dan dalam eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, ditempat sejuk, jauh dari nyala api.
Kegunaan : Untuk pelarut sampel
2. Parasetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Acetaminophenum
Nama lain : Asetaminofen, Parasetamol
RM / BM : C8H9NO2 / 151,16
Rumus struktur :
6

Pemerian : hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau rasa


pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%)P, dalam 13 bagian asetat P, dalam 40
bagian gliserol P dan dalam 9 bagian
propilenglikol P, larut dalam larutan alkali
hidroksida.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasiat : Analgetikum dan antipiretikum
Kegunaan : Sebagai sampel
7

BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
1. Kuvet
2. Labu ukur 25 mL dan 10 mL
3. Neraca analitik
4. Oven
5. Pipet mikro
6. Pipet tetes
7. Sendok tanduk
8. Spektrometer uv - vis
9. Vortex
III.1.2 Bahan
1. Aluminium foil
2. Etanol
3. Kertas perkamen
4. Paracetamol
5. Tissue
6. Vial
III.2 Cara Kerja
III.2.1 Pembuatan kurva baku
a. 1000 ppm
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Ditimbang 25 gram paracetamol murni
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml
4. Ditambahkan dalam 25 ml etanol
5. Divorteks sampai homogen
6. Diberi label sebagai larutan stok (1000 ppm)
8

b. 100 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 100 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 1000 ppm
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 100 PPM
c. 1 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 1 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 100 ppm
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya hingga 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 1 ppm
d. 2 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 2 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 100 ppm
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya hingga 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 2 ppm
e. 3 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 3 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 100 ppm
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya hingga 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 3 ppm
f. 4 ppm
1. Dilakukan pengenceran untuk 4 ppm
2. Dipipet 1 ml dari larutan 100 ppm
9

3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml


4. Dicukupkan volumenya hingga 10 ml
5. Divorteks hingga homogen
6. Diberi label sebagai larutan 4 ppm
III.2.2 Pengujian stabilitas paracetamol
1. Dibuat larutan 3 PPM dari larutan 100 PPM
2. Dipipet 0,3 ml dari larutan 100 PPM
3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml
4. Dicukupkan volumenya hingga 10 ml
5. Divorteks sampai homogen
6. Dimasukan larutan 3 PPM paracetamol ke dalam 6 vial selanjutnya
vial-vial tersebut disimpan dalam oven pada suhu 60oC dan 70 oC
(masing-masing 3 vial)
7. Di 10 menit pertama dikeluarkan 1 vial dari oven dan didinginkan
8. Dilakukan hal yang sama pada menit ke 15 dan 20
9. Diuji dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis
10. Dicatat nilai absorbansinya
10

BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 Larutan Baku
IV.1.2 Kurva tehadap absorban konsentrasi
C A Log A
1 ppm 0,278 -0,5559
2 ppm 0,382 -0,4179
3 ppm 0,502 -0,2992
4 ppm 0,752 -0,1237

r = 0,9968
a = -0,703
b = 0,1415

0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1 ppm 2 ppm 3 ppm 4 ppm

IV.1.3 Persamaan regresi


Rumus regresi y = b.x + a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
y = 0,1415. x – 0,703 → persamaan 1
11

IV.2 Larutan Sampel


Suhu 60o
T A

10 0,392

15 0,438

20 0,432

IV.2.1 Konsentrasi
t10
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + ( - 0,703)
0,392 = 0,1415 . x -0,703
0,392-0,703
x=
0,1415
-0,311
x=
0,1415

x = -2,1978
t15
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,438 = 0,1415 . x - 0,703
0,438-0,703
x=
0,1415
0,262
x=
0,1415

x = -1,8727
t20
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,432 = 0,1415 . x -0,703
0,432-0,703
x=
0,1415
12

0,271
x=
0,1415

x = -1,9151
IV.2.2 Persamaan regresi
T C Log C
10 -2,1978 -0,3419
15 -1,8727 -0,2724
20 -1,9151 -0,2871

r = 0,7942
a = -0,3885
b = 0,0058

y =b.x+a
y = 0,0058 . x -0,3885 → persamaan 2

IV.2.3 Waktu Paruh


0,693
t1/2 =
K
-Kt
log A = + log A0
2,303

y = bx + a
−k
b =
2,303

-k = b . 2,303
-k = 0,0058 . 2,303
-k = 0,0133
0,693
t1/2 =
0,0133

= 52,10 menit
13

IV.3 Larutan Sampel


Suhu 70o
T A

10 0,404

15 0,447

20 0,408

IV.3.1 Konsentrasi
t10
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,404 = 0,1415 . x -0,703
0,404-0,703
x=
0,1415
0,299
x=
0,1415

x = -2,113
t15
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,447 = 0,1415 . x -0,703
0,447-0,703
x=
0,1415
-0,256
x=
0,1415

x = -1,8091
t20
y =b.x+a
y = 0,1415 . x + (-0,703)
0,408 = 0,1415 . x -0,703
0,408-0,703
x=
0,1415
14

-0,295
x=
0,1415

x = -2,0848

IV.3.2 Persamaan regresi


T C Log C

10 -2,113 -0,3248

15 -1,8091 -0,2574

20 -2,0848 -0,3190

r = 0,0776
a = 0,3091
b = 0,00058
y =b.x+a
y = 0,00058 . x – 0,3091 → persamaan 2
IV.3.3 Waktu Paruh
0,693
t1/2 =
K
-kt
log A = + log A0
2,303

-k = b . 2,303
-k = 0,00058 . 2,303
-k = 0,00133
0,693
t1/2 =
k
0,693
=
0,00133

= 521,05 menit
= 8,68 jam

BAB V
PEMBAHASAN
15

Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi
kimia diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan
(Connors, 1986).
Kestabilan suatu obat menjadi faktor penting dalam formulasi sediaan
farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam
jumlah yang besar dan memerlukan waktu yang lama dapat mengalami
penguraian dan mengakibatkan dosis yang diterima pasien berkurang. Kestabilan
suatu sediaan farmasi dapat dievaluasi dengan test stabilitas dipercepat dengan
mengamati perubahan kosentrasi pada suhu yang tinggi (Lachman, 1994).
Laju reaksi atau kecepatan reaksi menyatakan banyaknya reaksi
yang berlangsung per satuan waktu. Laju reaksi menyatakan konsentrasi zat
terlarutdalam reaksi yang dihasilkan tiap detik reaksi. Berdasarkan eksperimen,
laju reaksi meningkat tajam dengan naiknya suhu (Martin, 1990).
Pada praktikum stabilitas obat, disiapkan kurva baku dengan menimbang
paracetamol murni. Penentuan stabilitas obat paracetamol menggunakan metode
grafik berdasarkan nilai konstanta kecepatan reaksi, waktu paruh (t1/2)
menggunakan instrumen spektrofotometer pada suhu yaitu suhu 60 0C dan 70 0C.
Dimana panjang gelombang untuk paracetamol adalah 244 nm. Adapun tujuan
dilakukan pada berbagai suhu 60 0C dan 70 0C dimaksudkan untuk membedakan
atau mengetahui pada suhu berapa obat akan terurai dengan cepat. jika
menggunakan suhu kamar dalam pengujian maka butuh waktu yang lama untuk
dapat terurai atau terdegradasi.
Langkah pertama yaitu dengan menimbang paracetamol sebanyak 0,25
gram, kemudian di larutkan dalam 25 ml etanol sebagai larutan stok untuk
konsentrasi 1000 ppm lalu divortex dan dimasukkan dalam vial, adapun tujuan
penambahan etanol adalah untuk melarutkan parasetamol, karena jika di lihat dari
kelarutan paracetamol yakni larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P, dalam 13 bagian asetat P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9
bagian propilenglikol P, larut dalam larutan alkali hidroksida (Dirjen POM,
1979).
16

Karena 1000 ppm terlalu kental, maka diencerkan terlebih dahulu hingga
konsentrasi 100 ppm dengan langkah dipipet 1000µL kemudian dimasukkan
kedalam tabung dan dicukupkan 10 mL etanol lalu divortex dan dimasukkan
kedalam vial.
Selanjutnya dilakukan pengenceran untuk konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3
ppm dan 4 ppm masing-masing 100µL, 200µL, 300µL dan 400µL.
Setelah semua telah diencerkan maka dibaca absorbansinya menggunakan
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 244 nm. Alasan digunakannya
Spektrofotometri UV-Vis karena Spektrofotometri UV-Vis mempunyai kelebihan
diantaranya menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV
dan sumber cahaya Visible (Anonim, 2012).
Absorbansi yang diperoleh untuk konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, dan 4
ppm masing-masing yaitu 0,2788, 0,382, 0,502, dan 0,752.
Setelah dibaca absorbansinya, dihitung kadar obat yang terdegradasi
dengan persamaan kurva baku y = bx+a, dengan memasukkan hasil absorbansi
parasetamol sebagai y, sedangkan x adalah kadar atau konsentrasi parasetamol
yang dicari.
Untuk mencari nilai x maka langkah yang dilakukan selanjutnya yaitu
pembuatan larutan sampel. Untuk pembuatan larutan sampel kami mengambil
konsentrasi 3 ppm karena konsentrasi tersebut berada pada nilai antara absorbansi
yang baik dimana absorbansi pada konsentrasi 3 ppm nilainya tidak terlalu tinggi
dan tidak terlalu rendah. Pada pembuatan larutan sampel kami menggunakan 2
suhu yaitu suhu 600C dan 700C masing-masing menggunakan 3 vial. Alasan
menggunakan 3 vial untuk mengetahui perbandingan suhu pada menit ke 10, 15,
dan 20. Adapun alasan digunakan suhu tinggi karena uji kestabilan obat dapat
dipercepat dengan menggunakan perubahan suhu atau menggunakan suhu yang
tinggi. Semakin tinggi suhunya maka akan semakin cepat bahan obat tersebut
untuk terurai. Metode ini dikenal sebagai studi stabilitas yang dipercepat
(Anonim, 2012).
Setelah dilakukan pemanasan pada suhu 600C dan 700C maka pada menit
ke10 dikeluarkan 1 vial, begitu seterusnya untuk menit ke 15 dan 20. Kemudian
17

dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang


gelombang 244 nm.
Hasil yang diperoleh pada menit ke 10, 15 dan 20 untuk suhu 600C
masing-masing 0,392, 0,348, dan 0,432, dengan konsentrasi masing-masing -
2,1978, -1,8727, dan -1,9151. Untuk suhu 700C masing-masing 0,404, 0,447, dan
0,408 dengan konsentrasi masing-masing -2,113, -1,8091, dan -2,0849.
Dari hasil percobaan dilakukan perhitungan waktu paruh dari suhu 60oC
dan 70oC yang masing-masing menghasilkan 52,10 menit dan pada suhu 700C
yaitu 521,05 menit atau 8,68 jam, sehingga dapat disimpulkan bahwan waktu
paruh yang paling baik pada suhu 70oC karena semakin besar waktu paruh obat
maka semakin baik waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi
setengahnya. Namun paracetamol stabil pada suhu dibawah 40OC, lebih baik 15-
35OC sehingga relatif tidak tahan pemanasan (Nafrialdi, 2007).

BAB VI
PENUTUP
18

VI.1 Kesimpulan
1. Dari hasil percobaan dapat diperoleh bahwa waktu paruh pada suhu 60
0
C yaitu 52,10 menit sedangkan waktu paruh pada suhu 700C yaitu
8,68 jam atau 521,05 menit sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu
paruh yang paling baik berada pada suhu 700C karena semakin besar
waktu paruh maka semakin baik obat untuk mencapai konsentrasi
setengahnya.
2. Berdasarkan percobaan yang dilakukan maka diperoleh hasil
absorbansi pada menit ke 10, 15 dan 20 untuk suhu 600C masing-
masing 0,392, 0,348, dan 0,432, dengan konsentrasi masing-masing -
2,1978, -1,8727, dan -1,9151. Untuk suhu 700C masing-masing 0,404,
0,447, dan 0,408 dengan konsentrasi masing-masing -2,113, -1,8091,
dan -2,0848. Waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi
setengahnya pada suhu 600C yaitu 52,10 menit dan pada suhu 700C
yaitu 521,05 menit atau 8,68 jam.
VI.2 Saran
Diharapkan agar penyediaan alat dan bahan dilaboratorium lebih
diperhatikan agar pelaksanaan praktikum dapat berjalan lebih baik dan
lancar serta asisten lebih memperhatikan lagi praktikan agar hal hal yang
tidak diinginkan tidak terjadi.
19

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas Indonesia


Press: Jakarta

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi ketiga. Departemen Kesehatan RI:
Jakarta

Jenkins G.L., 1957. Senyawa Obat. Gadjah Mada. Yogyakarta : University Press

Joshita. 2008. Obat-Obat untuk Paramedis. Jakarta : UI Press

Khopkar S. 2007. Konsep Dasar kimia Analitik. Jakarta : UI Press

Kumala. 2011. Laporan PK 1 (http://www.scribd.com/doc/49392174/laporan-PK


1) diakses pada tanggal 22 November 2014, pukul 19.00 WITA

Moechtar. 1990.Farmasi Fisika. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta

Munson, J. W., 1991. Analisis Farmasi Metode Modern. Surabaya : Airlangga


University Press.

Nafrialdi, S. A., 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Departemen Farmakologi


dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI : Jakarta

Syamsuni, H. A., 2006. Ilmu Resep. Buku kedokteran EGC: Jakarta

Voigt, R, 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi V. UGM-Press:


Yogyakarta

Vadas, E.B. 2010. Stability of Pharmaceutical Products dalam Remington: The


Science and Practice of Pharmacy. Volume 1. Editor: Alfonso
Gennaro. London: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai