Anda di halaman 1dari 18

DEGRADASI LAHAN

(persepsi dan keperdulian terhadapnya)

Oleh:
Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si(1)

Seminar Berkala
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HKBP
NOMMENSEN
Medan, Kamis, 25 Oktober 2007

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 1
I. PENDAHULUAN
Sebagian besar permukaan bumi kita sudah mengalami degradasi ,
sebagian sedang mengalami proses degradasi, dan selebihnya berada
dalam resiko akan terdegradasi.
Lautan, air tawar, atmosfir (bahkan sampai ke ketinggian 40.000 km) dan
sebagian besar lingkungan terestrial sudah terdegradasi dan terus
mengalami degradasi.
Tulisan ini memfokuskan bahasan dalam hal degradasi terestrial, yaitu
meliputi kerusakan lahan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan lahan
adalah lapisan muka bumi yang berbatasan langsung dengan udara. Lahan
terbuka terhadap berbagai pengaruh kompleks seperti atmosfer, proses
geologi, cahaya matahari, terhadap keadaan yang paling kering, bahkan
terhadap keadaan yang paling dingin dan berbagai bentuk ketidak
ramahan lingkungan dan aktivitas organisma (Brrow, 1991)
Pendekatan yang dibicarakan dalam tulisan ini adalah meliputi semua
kejadian yang dalam prosesnya baik perusakan , penurunan daya dukung
lahan dan bahkan bagaimana mengontrol keadaan lahan dalam skala
global baik berupa konsep lingkungan maupun ekosistem yang pada
hakekatnya akhir-akhir ini sengat dipengaruhi oleh tingkahlaku dan
campur tangan manusia.
Secara umum kebanyakan orang hanya menggolongkan lahan kedalam
tiga kategori:
1. Lahan yang sedang digunakan,
2. Lahan yang mempunyai potensi penggunaan,
3. Lahan yang kelihatannya tidak mungkin untuk digunakan untuk
masa yang akan datang paling tidak untuk masa yang mungkin
dapat kita ramalkan.
Nilai guna dalam konteks ini lebih ditekankan kepada kemampuan sesuatu
untuk memberikan hal yang berguan bagi memenuhi kebutuhan ataupun
keinginan manusia. Hal ini telah dijelaskan dalam pengertian ekonokik
yang lebih formal bahwa sikap manusia terhadap kegunaan sesuatu
sangat tergantung kepada nilai barang dan pelayanan yang dapat
diperoleh dari barang tersebut (Lowe & Lewis, 1980).

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 2
Dalam prakteknya keduanya, baik barang ekonomis (barang yang dapat
diukur dalam satuan moneter) dan barang non ekonomis (barang yang
tidak dapat diukur/ditaksir dalam satuan moneter) seperti kualitas
keindahan atau penghargaan moral terhadap perlindungan atau
konservasi suatu species tertentu, namun demikian meski hal kedua cukup
dapat dipahami keberadaannya, namun hal nilai ekonomis suatu barang
tersebut sangat lebih diutamakan penerapannya.
II. BATASAN DEGRADASI LAHAN
Degradasi lahan dapat dodefenisiakan sebagai berkurangnya tatau
menurunnya bahkan hilangnya daya guna, ataupun potensi guna,
pergantian keanekaragaman atau hilangnya organisme yang tidak dapat
digantikan. Satu defenisi yang tepat untuk semua hal tidaklah mungkin,
karena pada kenyataannya dalam hal ini banyak faktor yang terkait
didalamnya.
Secara umum, bahwa degradasi lahan juga dapat berupa penurunan
macam alternatif penggunaan suatu lahan atau status penggunaannya.
Sebagai contoh, degradasi melalui hilangnya lapisan tanah, pergantian
komposisi flora/fauna kepada yang lebih sederhana atau dalam bentuk
pergantian suatu organik ke organik lainnya yang lebih sederhana/rendah.
Blaikie & Brookfield (1987) mencoba mengajukan suatu batasan bahwa
suatu lahan dinyatakan mengalami degradasi bila lahan tersebut
mengalami penurunan/kemunduran dalam kemampuan dan macam
penggunaannya. Sehingga atas kenyataan ini bahwa jalan terbaik dalam
pendefenisian degradasi lahan tersebut tidak hanya atas suatu
arah/tujuan saja tetapi akan lebih baik jika dilihat merupakan salah satu
hasil tekanan sebagai akibat tindakan manusia terhadap sumberdaya alam
dalam upaya untuk mendapatkan suatu tempat untuk suatu kegiatan
tertentu.
Chartres dalam (Chisolm & Dumsday, 1987) menyatakan bahwa degradasi
lahan akan mungkin deakibatkan suatu faktor atau akibat kombinasi dari
berbagai faktor yang mengakibatkan penurunan/pemunduran sifat fisik,
sifat kimia ataupun sifat biologi suatu lahan yang mengakibatkan
perubahan mendasar pada status penggunaan lahan tersebut hingga
penghambatan terhadap penggunaan lahan untuk suatu usaha.

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 3
Bukan tidak sering terjadi bahwa, karena degradasi lahan merupakan
suatu hasil akhir dari serangkaian prosen pemanfaatan lahan, dan sering
menjadi suatu konsekwensi yang tidak dapat diantisipasi dan dapat
berakibat kepada terjadinya tingkat kerusakan lahan yang cukup besar
bahkan merugikan manusia itu sendiri atau alam secara luas.
Permulaan dari permasalahan akibat kejadian di atas akan sulit untuk
dipastikan atau diramalkan. Beberapa masalah kerusakan lahan terjadi
sebagai akibat dari proses alamiah misalnya akitat dari proses biogeofisik,
beberapa diantaranya bisa juga karena akibat tindakan manusia atau
kombinasi dari hal-hal tersebut.
Sekali lahan terdegradasi mungkin saja akan dapat dilakukan tindakan
rehabilitasi untuk memperbaiki kondisi lahan sampai pada tingkat
penggunaan tertentu yang mungkin bisa dicapai. Memang tidak mungkin
mencapai kondisi lahan awal sebelum terdegradasi tetapi kondisinya akan
lebih baik daripada kondisi lahan tersebut saat terdegradasi. Sebab
dengan usaha perbaikian yang dilakukan akan dapat meningkatkan daya
guna laha terdegradasi tersebut, dengan asumsi bahwa perlakuan, dana,
teknologi dan organisasi untuk menangani degradasi lahan tersebut
tersedia. Dengan demikian bagaimanapun kondisi degradasi lahan yang
bersangkutan dan apapun penyebabnya akan menjadi mungkin dapat
dikurangi dampak buruknya.
Restorasi lahan mengandung arti sebagai rehabilitasi lahan agar dapat
dikembalikan kepada kondisi awalnya sebelum mengalami degradasi.
Bentuk degradasi lahan juga bisa berakibat fatal dan tidak mungkin
diperbaiki, dan salahsatu contoh degradasi yang bersifat permanen adalah
punahnya suatu species tertentu. Pada prakteknya dalam kondisi tertentu
bilamana kondisi lahan yang mengalami degradasi terlalu berat sehingga
perkiraan biaya yang harus dikeluarkan untuk perbaikan dengan tingkat
pengembalian yang akan diperoleh tidak memadai seringkali dilakukan
rehabilitasi hanya sampai tingkat tujuan perbaikan tertentu saja. Bahkan
tidak jarang sebagian lahan terdegradasi sering hanya ditinggalkan atau
diterlantarkan begitu saja untuk jangka waktu yang cukup lama. Kemudian
setelah jangka waktu tertentu lahan yang ditinggalkan tadi direhabilitasi
agar dapat digunakan untuk pemanfaatan yang cukup sederhana, namun
tidak sampai kepada kondisi lahan semula jika teknik, dana dan motivasi
yang cukup mendukung tidak tersedia, hal demikian dikenal dengan istilah
reklamasi lahan.
Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian
terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 4
III. PERSEPSI TENTANG DEGRADASI LAHAN

Kemauan manusia, organisasi, pemerintah dan sebagainya untuk


memanfaatkan, bahkan untuk melindungi, suatu lingkungan atau
sumberdaya sangat tergantung terutama terhadap perspsi mereka
terhadap kegunaannya dan sangat dipengaruhi oleh kedua hal berikut,
yaitu baik sikap maupun keadaan genting yang sedang mereka hadapi.
Nilai dari suatu lahan atau sumberdaya dapat diukur dengan uang atau
dari apa yang diperoleh dari lahan atau sumberdaya tersebut dengan
pemakaian lahan terdahulu dengan pemanfaatannya (Cottrell, 1987),
Seluas lahan bisa mendapat berbagai persepsi tentang nilai lahan tersebut
Sebagai contoh hutan dapat menjadi:
- Sumber kayu,
- Areal konservasi,
- Pendukung rekreasi,
- Melindungi daerah aliran sungai dari banjir dan erosi,
- Bahkan sampai pada makna religius.
Persepsi ini tidak bersifat tetap, bisa akan sangat bervariasi dalam setiap
waktu, bahkan bisa mempunyai persepsi yang berbeda walaupun dalam
waktu yang bersamaan, sebab kelompok yang berbeda akan mempunyai
kebutuhan yang berbeda terhadap suatu lahan tertentu pada waktu yang
sama. Perlu diingat bahwa kebutuhan lahan juga sangat bervariasi dari
satu tempat /daerah ke daerah lainnya (Imler,1986). Tidak semua
kelompok masyarakat yang turut menikmati hasil penggunaan lahan yang
sama sehingga tingkat penggunaan tertentu, malah kebanyakan orang
hanya menanggung akibatnya saja.
Daya guna lahan sangat dipengaruhi berbagai faktor kompleks seperti:
- Iklim.
- Hukum dan peraturan,
- Komunikasi,
- Moral dan kebudayaan serta berbagai pertimbangan lainnya (seperti
misalnya suatu daerah atau sumber daya tertentu hanya digunakan
sebagai nilai kepercayaan atau nilai sejaarahnya saja, Doxiadis, 1977).
Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian
terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 5
Daya guna suatu sumberdaya lahan sering juga menggambarkan jumlah
tenaga kerja yang terlibat didalam usaha mengeksploitasi lahan atau
sumberdaya lainnya yang berhubungan. Ahli ekonomi Adam Smith dan
David Ricardo telah menyatakan bahwa nilai ekonomi dari sumberdaya
atau ekosistem sangat ditentukan oleh biaya produksi dari suatu
pemanfaatan sumberdaya tersebut yang biasanya hal ini sangat
didominasi oleh biaya masukan untuk tenaga kerja. Degradasi lahan akan
berpengaruh merugikan terhadap hasil produksi karena bertambahnya
tenaga kerja yang dibutuhkan dalam penanganan lahan terdegradasi
tersebut. Dapat dimengerti bahwa tenaga kerja penanganan luasan lahan
yang sama untuk lahan yang baik akan lebih kecil dibandingkan terhadap
tenaga kerja yang diperlukan pada lahan yang sudah terdegradasi (Blaikie
& Brookfield, 1987).
Mungkin juga terjadi bahwa kapasitas produksi/kegunaan suatu lahan
atau sumberdaya tidak saja hanya ditentukan oleh masyarakat sekitar
atau tempat dimana lahan atau sumberdaya tersebut berada, paling tidak
dalam situasi tertentu. Misalnya bahwa mungkin saja hal tersebut sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan orang-orang yang berada pada tempat yang
sangat jauh dari lokasi sumberdaya atau lahan tersebut. Sebagai contoh
nilai lahan perkebunan pisang di Carribean untuk produksi pisang, sangat
bergantung kepada kebutuhan pisang masyarakat Eropa, jadi akan sangat
dipengaruhi juga oleh kemampuan pengelola lahan mengangkut hasil ini
ke pasar masyarakat Eropa. Dalam membicarakan lahan, tenaga kerja dan
modal dalam prakteknya tidak bisa secara terpisah karena pada
kenyataannya secara umum lahan mempunyai daya guna adalah karena
tersedianya masukan, tenaga kerja dan modal.
Biaya infestasi yang diperlukan dalam memerbaiki daya guna lahan
disebut dengan modal landesque (landesque capitas) yang diutarakan oleh
Simon (1981). Perubahan masukan tenaga kerja atau pembaharuan
teknologi, perubahan kondisi alam, perubahan sikap tentang lahan atau
yang akan dihasilkan darinya bisa mengakibatkan kepada perbaikan
ataupun pengrusakan lahan. Ada beberapa pola penggunaan lahan yang
mungkin hanya mengakibatkan kerusakan lahan yang hanya kecil saja
pengaruhnya terhadap nilai-nilai lahan itu sendiri. Sebagai contohnya
adalah penggunaan suatu areal lahan untuk objek wisata dengan
pengelolaan yang ekstra hati-hati, atau produksi air tanah dengan
manajemen yang baik ataupun pembangunan tenaga geothermal. Dari

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 6
beberapa pola penggunaan lahan yang dapat mengakibatkan degradasi
lahan yang sangat parah salah satu diantaranya adalah sebagai daerah
percobaan pengujian senjata nuklir.
Untuk menentukan apakah suatu lahan sudah terdegradasi, atau belum
terdegradasi atau sedang terdegradasi, akankah atau tida akan mengalami
degradasi lahan memerlukan informasi keadaan lahan sebelumnya, pola
penggunaan lahan saat ini serta pola penggunaan lahan yang akan
dilakukan (yang diharapkan dari lahan tersebut) pada masa yang akan
datatng harus ditetapkan terlebih dahulu dengan jelas. Untuk saat ini data
penggunaan lahan sangat jarang diadakan dokumentasi yang baik, dan
kalaupun ada ditemukan sering tidak dapat digunakan sebagai acuan
dasar yang akurat. Informasi tentang keadaan masa lalu lahan dan
pendugaan/peramalan pemanfaatan di masa yang akan datang sering
tidak ditemui ataupun tidak akurat. Bentang alam yang ada saat ini bisa
jadi hanya merupakan suatu hasil dari peninggalan sisa aktivitas manusia
sebelumnya yang sudah dilupakan dalam jangka waktu yang sangat lama,
misalnya pengurangan tipe bioma di daerah Mediterranian, sehingga
lahan tersebut tidak mampu merepresentasikan kondisi lahan / potensi
lahan yang sebenarnya yang pernah dimilikinya.
Sebagai kondisi Sebaliknya dijumpai juga bahwa lahan-lahan perladangan
yang banyak di jumpai di Belanda saat ini justru saat dulu sudah pernah
sebagai lahan yang didak produktiv, misalnya sebelumnya hanya berupa
daerah bergaram atau lautan sempit yang sudah diperbaiki tingkat
kegunaannya oleh perlakuan manusia.
Studi degradasi lahan sering terganggu karena keengganan peneliti dalam
menerima informasi dan kurangnya akurasi dan objektivitas data yang
diperoleh. Sebagai contoh, bukan tidak seing masyarakat Himalaya atau
Andes merasa dituduh sebagai penyebab degradasi lahan yang sangat
berat hanya karena terjadinya pendangkalan dan banjir pada dataran
rendah. Sebagai bukti, ternyata bahwa keadaan di Himalaya dan Andes
tersebut dengan sangat nyata memang telah terrusak oleh aktivitas
manusia, dan bukti yang berkaitan terhadap penyebab pendangkalan dan
banjir di dataran tinggi sangat nyata dan terperinci dan sering sangat
berbahaya (Ives & Pitt, 1988).
Untuk memperoleh data acuan yang sangat dapat diandalkan, para
perencana dan pengelola jangan sampai tidak memperhatikan jasa

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 7
informasi yang dapat diperoleh dari para ahli ekologi bukan hanya untuk
memperoleh informasi tentang masa lalu lahan, tetapi juga untuk
memahami apakah ada indikasi bahwa ditenpat tersebut telah pernah
terjadi berbagai masalah lahan atau kehancuran lahan yang mungkin
telah diperbaiki masyarakat, dan jika itu sudah pernah terjadi tentu akan
juga diketahui tentang strategi yang dikembangkan masyarakat
sebelumnya yang mungkin tidak diterapkan atau tidak dihiraukan lagi oleh
para pengguna lahan modern, yang mungkin dapat dijadikan suatu bukti
yang sangat bermanfaat.
Studi singkat dengan mencoba memberi penjelasan tentang perubahan
ekosistem sangat tidak efektiv, khususnya jika hal itu menyangkut
organisme seperti pohon-pohonan yang mampu hidup dan hanya mampu
berregenerasi dalam waktu beberapa ratus tahun. Sepuluh tahun terakhir,
berkembangnya pengetahuan tentang struktur dan fungsi ekosistem,
penginderaan jarak jauh dari satelit dan pesawat terbang dan kemajuan
dalam penyimpanan data dan mudahnya untuk mengamati data informasi
tersebut kembali, hal ini sangat membantu dalam mendapatkan data
acuan untuk dapat digunakan sebagai dasar penelusuran apakan disana
sudah terjadi degradasi lahan.
Namun penelusuran/pengawasan degradasi lahan bukanlah merupakan
suatu ilmu pengetahuan yang sudah baku, dan kesulitan yang dihadapipun
dalam melakukannya tidaklah mudah dikenali atau diramalkan bahkan
sekalipun dilakukan dengan suatu pola studi terbaik.
Suatu alasan kenapa pengenalan degradasi lahan dapat tertunda, adalah
merupakan konsekwensi atas sikap sebagian orang yang hanya
mendasarkan pola pandangannya atas dasar jasa ekonomis saja terhadap
pembangunan, dan hanya bila penurunan kwalitas
lingkungan/sumberdaya dijabarkan de dalam kesulitan ekonomis yang
diakibatkannya barulah mereka memperdulikannya. Masyarakat
cenderung lebih memperhatikan pola kerusakan/degradasi lahan secara
fisik yang dapat dilihatnya. Seperti terjadinya badai debu, parit-parit
dalam, longsor dan sebagainya, padahal banyak degradasi lahan tersebut
kejadiannya tersembunyi (tidak dapat diamati) tetapi sangat berbahaya.
Kehilangan lapisan atas tanah secara berangsur-angsur adalah salahsatu
contoh utama yang paling umum dijumpai, namun kejadian ini tidak
begitu langsung dapat teramati, paling tidak bukan pada tahap dini.

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 8
Bahkan hingga saat degradasi lahan sudah sangat jelas sekalipun,
masyarakat masih sering untuk tidak memperdulikannya. Mengakui
bahwa lahan mereka sedang mengalami erosi yang sangat buruk di lahan
perladangannya dirasa akan sama saja mengakui bahwa terjadinya
peggaraman pada jaringan irigasi dan lahan beririgasi atau pendangkalan
atau pengotoran poada jaringan-jaringannya sebagai akibat ulah mereka,
malah masyarakat tersebut akan bisa jadi menyalahkan pemerintah atau
badan-badan lainnya.
Sebagian masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan yang tidak
memiliki kuasa, sering memberi reaksi terhadap masalah degradasi lahan
ini dengan cara yang berakibat sangat fatal. Mungkin mereka memang
benar-benar perduli akan degradasi lahan yang terjadi dan paham akan
pegaruh buruk yang disebabkannya untuk jangka waktu yang lama, tetapi
mereka tidak mampu atau tidak berkeinginan untuk melakukan lebih dari
pada tindakan untuk sekedar dapat memenuhi kebutuhan hidup saja.
Hal lain yang juga sering terjadi adalah bahwa para penguasa juga sering
memindahkan sejumlah besar tanah dari sebidang lahan dengan tanpa
menghiraukan degradasi lahan yang ditimbulkannya sebagai suatu
masalah bahkan tidak ada usaha yang layak untuk mencoba menghentikan
perlakuan buruk tersebut.
Bahkan pemerintah atau badan-badan yang sangat ramah sekalipun akan
merasa terbebani jika harus mengeluarkan dana, tenaga kerja atau
keuntungan jangka pendek mereka untuk memperoleh keuntungan jangka
panjang dari usaha mengatasi degradasi lahan tersebut (Chisholm &
Dumsday,1987). Hal ini juga bisa menjadi dilema bagi para investor yang
hendak melakukan investasi dalam upaya pengendalian degradasi lahan.
Sebab usaha dan dana yang akan mereka tanamkan dalam usaha tersebut
akan jauh lebih menguntungkan jika dimanfaatkan untuk beberapa usaha
lain. Kenyataan ini membuat para ekonom tidak berminat melakukannya
dan membiarkan lahan tersebut terlantar.
Kesepakatan bahwa suatu lahan sudah terdegradasi dan membutuhkan
perhatian terkadang sangat sulit ditemui, setidaknya kasus ini ada karena
persepsi tentang daya guna lahan tersebut sangat beraneka ragam, suatu
peningkatan daya guna lahan untuk suatu kelompok tertentu akan
menyebabkan berkurangnya daya guna lahan tertentu untuk satu atau
lebih kelompok lainnya. Sebagai contoh, pengkonversian suatu lahan

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 9
hutan menjadi lahan padang rumput akan disambut baik oleh peternak
ataupoun petani, karena kebutuhan hidup mereka akan dapat dipenuhi
dari daerah tersebut. Sebagai akibatnya kaum konservasi atau masyarakat
penghuni hutan atau penduduk asli daerah tersebut akan merasa tidak
dapast berterima.
Keinginan khusus dari kelompok-kelompok tertentu bahkan bisa saja
pemerintah, bisa jadi suatu sebab ketidak yakinan terhadap kejadian atau
tindakan penanganan degradasi lahan, sering terjadi bahwa pemerintah
menetapkan suatu lahan untuk penggunaan yang kurang sesuai dengan
kondisi lahan tersebut dan kemudian terus mempertahankan kegiatan
tersebut tanpa pernah mau mempertimbangkan atau bertanggungjawab
terhadap kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya (Blaikie & Brookfield,
1987).
Di Amerika Serikat, padaf tahun 1930-an, penulis seperti Steinback,
penyanyi lagu-lagu etnik seperti Woody Guthrie, dan sejumlah aktivis
lingkungan kontemporer, berusaha keras untuk mempublikasikan kejadian
Dust Bowl dan menenkankan betapa pentingnya untuk sesegera mungkin
untuk mengatasi gejala tersebut di daerah Barat Tengah.
Aktivitas mereka pada saat itu sangat tenar dengan julukan sebagai un-
American and Subversive. Pemahaman terhadap pemecahan masalah
degradasi lahan sepertinya tidak begittu dihargai, sebagai contoh di dunia
Barat digunakan pupuk kimia buatan pada tanah tererosi atau yang
kesuburannya menurun, meski demikian hal ini hanya mampu melihat
pengaruh perlakuan dari simtom yang ada dan bukan memecahkan
masalah sebenarnya (penurunan kesuburan tanah itu sendiri), mungkin
bisa saja dengan pemupukan tersebut penurunan produksi dapat
diperlambat tetapi solusi nyata sangatlah sulit untuk ditemukan.
IV. PEMBANGUNAN DAN KEPERDULIAN TERHADAP DEGRADASI LAHAN
Degradasi lahan sering dipandang sebagai konsekwensi atau efek
sampingan dari pembangunan. Secara singkat, untuk mendefenisikan
pembangunan yang bisa diterima secara umum agak sulit, dan ini
memerlukan suatu pemikiran yang bijaksana yang melebihi dari sekedar
mengamati kenyataan yang terlibat didalamnya.
IUNC et. al. (1980) mencoba mengajukan defenisi tentang pembangunan
sebagai usaha modifikasi terhadap biosfer dan sumberdaya takhidup
Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian
terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 10
untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia dan untuk tujuan
meningkatnya kwalitas hidup manusia tersebut.
Resolusi PBB 2626 (xxv) pada 24 Oktober 1970, menyatakan bahwa tujuan
tertinggi dari suatu pembangunan adalah perbaikan hidup yang
bermanfaat bagi semua orang (Ghosh, 1984).
Kenyataannya untuk mendukung pembangunan dibutuhkan dukungan
kemampuan lahan maupun lingkungan secara keseluruhan yang pada
dasarnya hampir selalu diikuti oleh degradasi terhadap lingkungan atau
lahan tersebut.
Masalah degradasi lahan bukanlah masalah baru, begitu juga keperdulian
yang makin meningkat terhadapnya (Roberts, 1989; Bunny, 1990).
Misalnya para penulis Greek dan Roma sudah lama berkomentar atas:
erosi tanah, penggundulan hutan, dan berbagai masalah lingkngan
lainnya, bahkan keperdulian terhadap lingkungan sudah melembaga dan
membentuk perkumpulan seperti oleh para Confucian di China. Hal yang
serupa juga ditemukan di Eropa, St.Francis dari Asisi menekankan akan
pentingnya meningkatkan keperdulian terhadap lingkungan dan pada
pertengahan abad ke 17 Francis Bacon menekankan bahwa kita tidak
dapat memerintah alam, kita harus tunduk kepadanya. Benyamin Franclin
mencatat bahwa dalam keterlibatan kita dalam mengendalikan dunia ini
harus bertindak sehati-hati mungkin dan berusaha untuk sekecil mungkin
melakukan perusakan dibandingkan terhadap manfaat yang diperoleh
(Silverman,1986).
Sedikit dari para penentu keoputusan atau masyarakat sendiri sudah mulai
menunjukkan keperdulian terhadap lingkungan sejak 1960-an. Bermula
dari reformasi Inggris (Sekitar awal abad ke 18), bersamaan dengan
kebangkitan etika protestan di Eropa. Ilmu pengetahuan, teknologi dan
juga modal berkembang dan hal ini menjadi ibarat cetakan yang
membentuk masyarakat Barat dengan ramalan terhadap pentingnya
fungsi lahan dan alam. Bahkan ada yang mengindikasikan bahwa hal ini
mendesak pihak masyarakat Barat untuk bekerja keras dalam
mengekploitasi dan menjinakkan alam dengan cara-cara yang baik,
dengan mencela ketidak teraturan meskipun pada akhirnya sikap ini tidak
selalu berhasil dalam usaha melindungi alam (Tawney,1954; Weber,
1958; Caldwell, 1977; Dowson & Doornkamp, 1973).

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 11
Setelah abad ke 18, Eropa berkembang menjadi negara industri, laju
kelahiran meningkat. Hal ini suatu dorongan yang mengakibatkan
terjadinya perpindahan penduduk dunia misalnya ke Amerika atau bagian
negara lainnya dan hal ini terus meningkat, yang kemudian perpindahan
ini mengararah ke Eropa Barat hususnya United Kingdom. Sehingga pada
akhir abad ke 18 hingga awal abad 19 mulai ada gejala yang mengarah
kepada tindakan penutupan perbatasan (sekitar 1798-1803).
Meski Thomas Malthus sudah mencoba mengutarakan, keterkaitan
populasi dengan ketersediaan sumberdaya, namun essay dari Malthus ini
ditentang oleh para utopian dan para panguasa dengan menyatakan
bahwa manusia tidak merubah alam dan berbagai sumber daya lainnya,
hanya sedikit saja yang dapat dilakukan usaha untuk mengatasi
kemiskinan (yang berujung pada muncullnya masalah degradasi lahan).
Para penyair pada paruh ke dua abad ke 19 mulai menunjukkan
keperdulian terhadap lingkungan seperti Wordsworth, William Blake dan
Emerson, mereka menyatakan bahwa para industriawan adalah para
pemusnah alam. Chadwick dan para intelektual lainnya membentuk suatu
forum yang dikenal nadengan anti kemapan karena mereka mulai melihat
penurunan kesehatan dan moral masyarakat sebagai konsekwensi dari
industrialisaasi dan urbanisasi dan mencoba mengajarkan penggunaan
alam menurut pandangan para pencinta lingkungan.
Pada masa itu aktivitas para ilmuan dibidang lingkungan sangat dapat
bermanfaat dan mulailah ada upaya mencoba memperkenalkan usaha
konservasi di USA oleh George Parkins Mars (1864), dan sebagian mulai
melakukan lobby aktivitas konservasi, di Afrika Selatan misalnya seperti
dilakukan di Provinsi Cave (Anderson & Grove, 1987; Grove, 1990). Banyak
orang berpendapat bahwa buku Marsh yang berjudul Manusia dan Alam
(1864) merupakan awal dimana peradaban modern mulai membicarakan
tentang masalah lingkungan.
Tinjauan pustaka mulai 1960-an hingga sekarang telah mulai mencoba
mengkategorikan beberapa penyebab dari terjadinya degradasi lahan
seperti diutarakan berikut ini:
Neo-Malthusian mengutarakan bahwa degradasi lahan terjadi sebagai
akibat dari tekanan dari peningkatan jumlah penduduk yang
menyebabkan penggunaan lahan secara berlebihan, pola pemanfaatan

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 12
lahan yang keliru hususnya pada lahan-lahan marginal. Hal yang serupa
juga diutarakan para pengikut paham Gandhi atau yang sering disebut
sebagai paham Batas Pertumbuhan.
Perspectiv ekonomis mengutarakan penyebab degradasi lahan adalah
penggunaan lahan/sumberdaya yang tidak rasional, hal ini ditelusuri
melalui analisis ekonomis produksi penggunaan lahan tersebut hususnya
timbulnya hubungan kepemilikan yang tidak sempurna dan kesulitan
dalam menata sumberdaya umum.
Argumen kedua untuk paham perspektiv ekonomis ini menyatakan
bnahwa pertambashan penduduk mengakibatkan pengrusakan sumber
daya umum sebagai akibat dari usaha individu dalam upaya
memaksimalkan pendapatan mereka tanpa mempertimbangkan
dampaknya terhadap kerusakan yang ditimbulkannya untuk masyarakat
luas. Perlu diutarakan juga disini bahwa seperti di Afrika, meski
pemerintah mencoba berperan lebih bnyak terhadap penguasaan dan
pengelolaan lahan maupun sumberdaya lainnya, tidak terlihat adanya
cara ini akan lebih efektif dalam mengatasi pengrusakan lahan. Karena
masyarakat berupaya berlomba mengambil manfaat dari lahan umum
sebelum anggota masyarakat lainnya melakukannya.
Pandangan perspektiv ketergantungan mengutarakan bahwa kerusakan
lahan lebih diakibatkan oleh faktor eksternal seperti transfer teknologi
yang tidak tepat, promosi strategi pola pertanian yang kurang tepat,
hubungan dagang dan bantuan yang ada.
Pemikiran para ahli ekonomi, ketidak-sempurnaan pemikiran para
ahliekonomi akan mempengaruhi keptusan yang akan diambil, yang mana
mereka ini memandang Bumi sebagai sumber daya tak terbatas sehingga
tak jarang mereka hanya memikirkan pengolahan sumberdaya untuk
manfaat sesaat tanpa pernah mempertimbangkan apa akibat jangka
panjang yang belum diketahui dan dengan biaya yang belum dapat
diramalkan.
Pandangan para Neo-Marxist, mereka menyatakan bahwa kemewahan
pola hidup para masyarakat negara maju diperoleh dari mentransfer
sumberdaya dari masyarakat miskin dunia. Sebagai akibatnya negara-
negara miskin kondisi sumberdayanya makin diperburuk dan hal ini
menjadikan degradasi lahan.

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 13
Sikap para pangamat etika (peradaban), manusia memandang dirinya
lebih tinggi dari alam dan berada terpisah dari alam itu sendiri (hususnya
di Dunia Barata), untuk menguasainya tanpa merasa ada
tanggungjawab/kewajiban untuk mengelolanya (untuk berperan sebagai
pelayan bagi alam). Sehingga dalam prakteknya seluruh individu pengguna
lahan yang tanpa memperhatikan etika dalam pemanfaatan lahan akan
terjerumus kepada bias/kekeliruan akan pengambilan keputusan hanya
sebatas keuntungan atau manfaat jangka pendek saja.
Dari 1950-an (Thomas, et al. 1956) dan hususnya dari awal 1970-an
kekhawatiran terhadap krisis lingkungan sebagai sesuatu yang tidak
tercegah sudah banyak disuarakan. Pada tahun 1971, UNESCO
memunculkan program manusia dan biosfer dengan maksud untuk
membantu mengembangkan keperdulian manusia terhadap struktur dan
fungsi lingkungan dimana manusia berinteraksi dengan alam. The
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN) menerbitkan The World Conservation Strategy (IUCN, 1980), lebih
dari itu United Nations Environment Program (UNEP) juga sudah mulai
dibentuk, namun efektivnya gerakan untuk keperdulian lingkungan, baru
antara tahun 1975-1978. Pada Tabel 1 berikut mencoba menggambarkan
pola penggunaan lahan Global (situasi 1977).
Tabel 1. Pola Penggunaan Lahan Global (situasi 1977)

Pola Penggunaan Lahan L u a s


( juta hektar)
Lahan usaha 1.462
Padang rumput 3.058
Hutan 4.077
Penggunaan lain 4.476
Tertutup es 1.400
TOTAL 14.473
Sumber: Wolman & Fourier

V. BAGAIMANA PENTINGNYA MASALAH DEGRADASI LAHAN


Untuk menentukan pentingnya suatu masalah degradasi lahan diperlukan
suatu pengujian seberapa luas kondisi tersebut, seberapa parah kerusakan

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 14
yang terjadi, adakah atau tidak kerusakan yang dapat ditangani atau
bersifat dapat pulih.
Mengukurunya adalah sangat sulit. Adanya suatu komplikasi dalam
penentuan kondisi tersebut,sehingga akan mungkin terjadi bahwa
degradasi lahan yang terjadi pada dua daerah dengtan tingkat yang
serupa tetapi terjadi pada dua kondisi tanah yang berbeda pada kedua
daerah tersebut oleh perbedaan flora dan faunanya dan lain sebagainya
sehingga efek dari degradasi tersebut akan sangat berbeda.
Sebagai contoh, erosi yang terjadi mungkin akan segera mempengaruhi
terhadap produktivitas lahan dengan tanah dangkal , disa saja tidak akan
berbahaya/berpengaruh hingga sampai ratusan tahun jika hal itu terjadi
pada tanah yang dalam, baik terhadap vegetasi yang menutupinya,
maupun terhadap kesuburan tanah tersebut (Harlin & Berardi, 1987).
Degradasi lahan tidak mudah untuk mengukurunya, sebelum tahun 1970-
an sangat sedikit data yang ada tentang kerusakan ekosistem dunia
seperti yang tercantum pada Tabel 1, yang mencoba memberikan
gambaran tentang penggunaan lahan. Para ahli ekonomi pada era 1970-an
cenderung bersikap bahwa faktor lingkungan merupakan suatu faktor
yang tak dapat tersentuh, sehingga hanya sedikit dilakukan pengujian
sebelum terlanjur masalah tersebut sudah menjadi parah (Eyre, 1978 dan
Immler, 1986).
Seseorang tidak dapat berasumsi bahwa kondisi lahan hari ini, sosial
ekonomi, budaya dan kondisi lingkungan lainnya adalah sama seperti
kondisinya pada masa lalu, bahkan mereka juga tidak akan menetap
kondisinya dimasa mendatang, jadi perlu ada kesadaran tentang betapa
sulitnya untuk memprediksi kerusakan/degradasi lahan tersebut. Suatu
areal hutan yang dibabat habis mungkin akan mengalami erosi yang
sangat gawat, hingga saat tanaman yang di atasnya mulai kembali
tumbuh atau adanya pertumbuhan kembali tanaman hutan di atasnya
yang kemudian akan menekan eriosi hingga mencapai tingkat laju erosi
sebelumnya sampai suatu saat ada perubahan penggunaan lahan tersebut
di masa yang akan datang.
Degradasi lahan sangat menyebar di seluruh dunia mulai dari USA, Eropa,
USSR, dan di daerah dunia kitiga; seluruh negara, kaya atau miskin, daerah
kering (arid) atau daerah basah (humid), dingin atau tropis semua

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 15
mengalami hal tersebut. Masalah ini tidak hanya terjadi pada daerah
dengan kepadatan populasi tinggi saja, sperti di daerash Australia atau di
Amazon, dimana penduduk sangat jarang dan pendudukan yang menetap
hanya relatip masih merupakan fenomena baru, tetapi disanapun terjadi
degradasi lahan.
Pengaruh dari degradasi lahan bisa terjadi pada daerah/lokasi dimana
degradasi lahan berlangsung atau dan berbagai daerah lainnya yang
disekitarnya. Sebagai contoh, deforestasi akan memacu naiknya harga
kayu bakar di suatu daerah yang sangat jauh dari daerah kejadian
penebangan hutan tersebut, namun erosi yang merusak lahan di daerah
pertanian di daerah dataran tinggi juga akan menimbulkan akibat
pengotoran yang sangat parah pada lahan beririgasi bahkan mungking
akan mengakibatkan banjir pada daerah yang sangat jauh di daerah
dataran rendah.
Penyebab degradasi lahan beraneka ragam dan kompleks, dan ada
beberapa kecenderungan yang jelas. Satu diantaranya adalah tanah
kehilangan kemampuannya untuk dipakai dalam pemanfaatan yang
produktiv dalam laju yang menakutkan. Sejak manusia mulai bergantung
pada pertanian menetap, diduga bahwa 430 juta hektar lahan olah dan
padang rumput telah mengalami degradasi yang sangat parah. Ada juga
kekhawatiran bersamaan dengan itu terjadi kepunahan flora dan fauna
dalam tingkat yang sangat menakutkan (WCED, 1987).
Walaupun jumlah lahan yang dapat digunakan/potensil dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pangan umat manusia untuk masa depan
jangka pendek, namun pola strategi pertanian sekarang menggambarkan
distribusi yang tidak berimbang dalam hubungannya dengan populasi
(Ghos, 1984). Perlu disadari bahwa ada beberapa bagian tanah di Bumi
kita ini lebih rentan terhadap kerusakan dibandingkan yang lainnya.
Pada akhirnya yang kita juga harus akui adalah bahwa lahan yang dapat
digunakan adalah terbatas, dan kebutuhan lahan ini semakin meningkat
oleh adanya peningkatan populasi, meningkatnya tuntutan kebutuhan,
sedangkan lahan berkurang karena degradasi.
Di tahun 2110, populasi manusia diperkirakan mencapai 10,5 milliar dan
diantaranya 9,1 milliar berada di negara yang lebih miskin, dengan lahan
yang kemungkinan lebih terdegradasi dari negara-negara yang sedang
berkembang (Wolman & Fournier, 1987). Perkembangan yang

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 16
mengagumkan dalam peningkatan produksi hasil pertanian sejak perang
dunia ke dua akan sangat sulit dipertahankan jika degradasi lahan yang
terjadi sekarang ini tidak dikendalikan dengan benar, meskipun ada kasus-
kasus tertentu yang memperlihatkan peningkatan produksi, ini mungkin
hanya bersifat sementara, hasil dari modernisasi yang menciptakan hasil
tinggi itu sendiri, paling tidak sebagian merupakan penyebab dari
degradasi lahan tersebut. Sering terjadi bahwa harapan untuk
memperoleh hasil dalam jangka pendek dalam produksi pertanian atau
dalam pertumbuhan gross produksi nasional merupakan pemicu ilusi
perkembangan, sementara degradasi lahan yang terjadi terus bertambah
tanpa mendapat perhatian yang layak hingga tingkat yang sangat parah.
DAFTAR PUSTAKA
Brrow, C.J. 1991. Land Degradation. Cambridge University Press.
Cambridge New York, Port Chester, Melbourne, Sydney.
Blaikie, P. 1989. Explanation and Policy in Land Degradation and
Rehabilitation for Developing Countries. Methuem. London.
-----------. Land Degradation and Society. Methum. London.
Brown, L. R. 1987. The Worldwide Loss of Croopland. Worldwatch
Institute.
Bunney, S. 1990. Prehistoric Farming Caused devastating Soil Erosion. New
Scientist.
Cadwell, J.C. 1977. Demographic Aspects of Drought, an Examination of
the Africa Drough. LAI. London.
Chisolm, A. And Doomsday, R. 1987. Land Degradation, Problems and
Policies. CUP. London.
Dowson, J.A and Dornkamp, J.C. 1973. Evaluating the Human
Environment, Essay in Applied Geography. EA. London
De Vos, A. 1975. Africa, the Devastated Environment, Man’s impact on
the Ecology of Africa.
Ghosh, P.K. 1984. Population, Environment and Resource, and Third World
Development. Greenwood Press. Westport.

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 17
IUCN, UNEP & WWF. 1980. World Conservation Strategy, Living Resource
Conservation for Sustainable Development.
Regnold, J. 1989. Farming’s Organic Future. New Scientist.
Simon, J,L. 1981. The Ultimate Resource. Martin Robertson. Oxford.
Wolman, M.G. and Fournier. 1987. Land Transformation in Agriculture.
JWS. Chichester.

Parlindungan Lumbanraja, Ir., M.Si., Degradasi Lahan, persepsi dan keperdulian


terhadapnya; Seminar Berkala Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen; Medan
25 Oktober 2007. Dimuat pada Prosiding Seminar. Page 18

Anda mungkin juga menyukai