Anda di halaman 1dari 22

BAHAN KULIAH

ANALISA KEGAGALAN

TEKNIK MESIN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU ( UMRI )

PEKANBARU

2014
BAB I
PENYEBAB UTAMA KEGAGALAN
Failures ?
Kerusakan ??
Kegagalan ???
Suatu komponen atau peralatan dikatakan failed, jika
a) Sama sekali tidak dapat dioperasikan
b) Dapat dioperasikan, tetapi tidak berfungsi dengan baik
c) Ada kerusakan, sehingga tidak aman bila dioperasikan.
Failure = kerusakan ??
= kegagalan ???
Kegagalan dapat diartikan kerusakan yang tidak wajar : rusak sebelum waktunya.
Failure = kegagalan
Failure analysis = analisa kegagalan : analisa untuk menemukan penyebab
kegagalan.

Penyebab utama kegagalan :


1. Kesalahan dalam design
2. Kesalahan dalam pemilihan material
3. Cacat material
4. Kesalahan dalam proses pengerjaan
5. Kesalahan dalam pemasangan / perakitan
6. Kesalahan operasi

Contoh kegagalan:
I. Kesalahan dalam design:
- Design kriteria yang meleset dari kondisi operasi yang sebenarnya : beban,
lingkungan, suhu operasi, dst.
- Adanya takikan (notches)

2. Kesalahan dalam pemilihan material:


- Data material yang tidak mencukupi; misalnya hanya data uji tarik padahal
bebannya dinamik/ fatigue, dst.
- Kriteria pemilihan material : kaitan antara beban/ tegangan dan suhu
operasi dengan mekanisme kegagalan serta kriteria pemilihan material.

Tabel.1. Kriteria pemilihan material : Kaitan dengan mekanisme kegagalan,


beban/ Tegangan dan suhu operasi.
3. Cacat material :
- Cacat di permukaan dan di dalam material akan menurunkan kekuatannya.
- Cacat pengecoran : inklusi, cold shuts, porositas, rongga retak penyusutan,
dst.
- Cacat pengerolan / tempa: segregasi, laminasi, laps / seams: terjebaknya
oksida di dekat permukaan, dst

4. Kesalahan dalam proses pengerjaan


- Proses forming dapat menimbulkan tegangan sisa, retak mikro, dst
- Machining & grinding juga menimbulkan tegangan sisa & pemusatan
tegangan akibat kekasaran permukaan
- Grinding yang berlebihan (sampai overheating) dapat menyebabkan retak
rambut pada permukaan
- Penandaan (marking) dapat menimbulkan pemusatan tegangan
- Heat treatment dapat menyebabkan dekarburisasi (permukaan baja menjadi
lunak)) distorsi dan bahkan retak akibat proses celup cepat (quenching).
BAB II
LANGKAH UTAMA DALAM ANALISA KEGAGALAN
Tujuan analisa kegagalan : menemukan / mengungkap penyebab utama
kegagalan, sehingga tindakan perbaikan dapat dilakukan untuk mencegah
terulangnya kegagalan.
Kegiatan analisa kegagalan seringkali harus dilakukan oleh berbagai ahli dari
berbagai disiplin ilmu.
Tahapan / langkah utama dalam melakukan analisa kegagalan seringkali adalah
dalam urutan berikut ini: (1)

1. Pengumpulan data lapangan dan pemilihan sample.


2. Pemeriksaan awal terhadap komponen yang gagal:
Pemeriksaan visual dan penyusunan catatannya.
3. Nondestructive testing.
4. Pengujian mekanik.
5. Pemilihan" pencatatan (identification)" "pengawetan" dan / pembersihan
sample.

6. Pemeriksaan makroskopis: permukaan patahan" retakan sekunder dan cacat


cacat permukaan lainnya.
7. Pemeriksaan mikroskopis: micro-fractography.
8. Pemilihandan penyiapan sample metalografi.
9. Pemeri ksaan metalografi .
10. Penentuan mekanisme kegagalan.
11. Analisa kimia: material, permukaan, deposit, dst.
12. Analisa dengan mekanfka retakan (fracture mechanics)
13. Pengujian pada kondisi simulasi.
14. Penyusunan laporan: analisa terhadap seluruh fakta kesimpulan serta saran.

Pemula seringkali ingin segera memotong dan membuat sample: dari komponen
rusak yang diterimanya. Hal ini adalah salah dan harus dihindarkan.
Latar belakang terjadinya kegagalan harus dipelajari atau diteliti ataupun
direnungkan dengan saksama.

1. Pengumpulan data dan pemilihan sample :


- Data operasi termasuk data / gejala menjelang terjadinya kegagalan.
- Data peralatan / komponen: gambar spesifikasi : Material dan proses
pengerjaannya.
- Data seringkali tidak lengkap atau sukar diperoleh analis harus mampu
"merekonstruksi” kejadian atas dasar deduksi yang tepat.
- Pengamatan harus dilakukan secara visual (dengan mata) dan dibantu
dengan pemotretan.
- Pemilihan sample yang tepat bila perlu mengambil sample komponen
yang belum rusak untuk bahan perbandingan.
- Pengamatan terhadap kondisi tidak normal.
- Pengamatan terhadap "puing" peralatan yang gagal: Pencatatan &
pemotretan.

- pemotretan.

2. Pemeriksaan awal terhadap komponen yang gagal :


- Pemeriksaan visual: mata memiliki ketajaman pandang dan mampu
menangkap perbedaan warna ataupun tekstur meskipun sedikit.
- Hal tersebut di atas harus dibantu dengan pemotretan, khususnya untuk
merekam kaitan satu komponen dengan komponen lainnya.
3. Nondestructive Testing :
- Metoda NDT digunakan untuk mendeteksi retak permukaan dan di dalam
komponen: dye penetrant, magnetic particle, ultrasonic, dst.

4. Pengujian mekanik:
- Uji keras sangat praktis untuk secara cepat me peroleh angka kekerasan
sample:
v Kebenaran proses heat treatment ?
v Perkiraan kekuatan tarik (tensile strength):
v Adanya pengerasan / pelunakan ?
- Uji tarik & uji impact (bila perlu)

5. Pemilihan, pengawetan & pembersihan sample:


- Permukaan patahan harus "sesega r" mungkin; tidak rusak terdeformasi
ataupun terkorosi.
- Pembersihan hanya bila perlu sekali, misalnya akibat terkena air laut yang
korosif: cuci dengan air tawar, kemudian bilas dan keringkan.
- Bila dilakukan pemoto ngan samplej sebelumnya harus d icatat / di sketsa /
dipotret agar lokasi / posisi sample terekam dengan cermat.

6. Pemeriksaan makroskopis:
- Permukaan patahan diperiksa secara. Visual.
- Alat bantu: kaca pembesar.
- Pengkajian permukaan patahan: ciri-ciri patahan.
- Kamera & lensa makro: teknik pencahayaa n yang tepat ag ar nampak ciri -
ciri patahannya.
- Mikroskop stereo pada pembesaran yang rendah akan menonjolkan relief
permukaan patahan.

7. Pemeriksaan mikroskopis:
- Replika plastik yang dilunakkan dengan aseton dapat memberikan gambar
permukaan patahan plastik replika diperiksa pada mikroskop optik ataupun
TEM (Transmission Electron Microscope).
- Permukaan patahan langsung diamati pada SEM ( Scanning E lectron
Microscope).

8. Pemilihan dan penyiapan sample metalografi:


- Pemotongan sample tidak boleh merusak / men gubah struktur mikronya.
- Penentuan lokasi sample metalografi: dari dekat patahan dan dari yang
jauh sebagai perbandingan.

9. Pemeriksaan metalografi:
- Metalografi ser ingkali dih arapkan dapat mengungkap a danya "keaneh ”
dalam struktur mikro.
- Hal ini adalah karena sifat mekanik sangat dipenga ruhi oleh struktur mikro
material.
- Penyimpangan dari spesifikasi material dan proses p engerjaan sering
diketemukan lewat teknik metalografi.

10. Penentuan mekanisme kegagalan:


- Tahap ini me merlukan pem ahaman yang mendalam men genai ciri -ciri
patahan / kegagalan.
- Klasifikasi patahan:
1. Patah ulet (ductile fracture).
2. Patah getas (brittle fracture):
- Patah getas transganular
- Patah getas intergranular.
3. Patah lelah (fatigue fracture).
4. Retak korosi tegangan (stress corrosion cracking).
5. Penggetasan (embrittlekent).
6. Mulur (creep) & stress-rupture.
7. Retak dengan modus gabungan.
11. Analisa kimia:
- Analisa komposisi kimia dapat menunjang kegiatan
- Analisa kegagalan.
- Analisa kimia dipakai untuk memeriksa kesesuaian spesifikasi material.
- Pemeriksaan komposisi kimia material:
 Analisa kimia basah
 Spectroscopy / Spectrophotometry
 X-ray fluorescence spectroscopy
- Analisa kimia terhadap lapisan permukaan / deposit :
 EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) pada SEM.
 EPMA (Electron Probe Micro Analyser).
 Auger electron spectroscopy.

12. Analisa dengan mekanika retakan (fracture mechanics):


- Mekanika retakan dapat diterapkan pada perhitungan k ekuatan dan umur
komponen yang cacat.

13. Pengujian pada kondisi simulasi:


- Pengujian ini sulit dan mahal.
- Bila dilakukan dengan ba ik dapat menghasilkan saran tindakan perbaikan
yang tepat.

14. Penyusunan laporan: analisa fakta, kesimpulan & saran :


- Laporan harus ringkas, jelas, lengkap dan logis.
- Laporan harus memuat:
 Perincian komponen yang gagal.
 Kondisi operasi menjelang/pada saat gagal.
 Kondisi operasi.
 Proses pengerjaan/pembuatan komponen.
 Penelitian kegagalan secara mekanis dan meta lurgis.
 Evaluasi metalurgis.
 Mekanisme penyebab kegagalan.
 Saran tindak lanjut.
BAB III
IDENTIFIKASI JENIS KEGAGALAN
Retakan biasanya dikelompokkan atas ciri-ciri makroskopis yaitu :
1. Patah ulet (ductile fracture)
2. Patah getas (brittle fracture) ;
- Patah getas transgranular
- Patah getas intergranular
3. Patah lelah (fatigue fracture)
4. Retak korosi tegangan (stress corrosion cracking)
5. Penggetasan (embrittlement)
6. Mulur (creep) & stress rupture
7. Retak dengan modus gabungan.

Pemeriksaan secara makroskopis seringkali telah mampu menentukan jenis


retakan.

1. Patah ulet (ductile fracture):


Patah ulet ini terjadi dengan disertai oleh adanya deformasi plastis di
sekitar patahan. Permukaan patahan nampak berserabut (fibrous), sehingga
kelihatan berwarna kelabu. Permukaan patah spesimen tarik yang ulet ditunjukkan
pada gambar. 1.

Gb.l. permukaan patah spesimen tarik silindris yang ulet. (2).

2. Patah getas (brittle fracture):


Patah getas menjalar dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada
patah ulet. Patah getas hampir tidak disertai dengan deformasi plastis. permukaan
patah getas kelihatan mengkilap, granular dan relatif rata.
Pola chevron seringkali nampak pada patah getas; ujung-ujung chevron
“menunjuk" ke arah awal retakan. (gb .2)

Gb.2. Permukaan patah getas (3).


Patah getas dapat mengikuti batas butir atau pun memotong butir. Bila
bidang patahannya mengikuti batas butir, maka disebut patah getas intergranular.
Bila patahannya memotong butir, maka dinamai patah getas transgranular.
Patah getas transgranular dapat terjadi pada baja karbon rendah (pada suhu
operasi yang sangat rendah), serta pada logam-logam BCC lainnya : W, Mo dan
CR, dan juga logam-logam HCP : Mg, BE, TI.
Patah getas intergranular seringkali dikaitkan dengan adanya fasa yang getas
dibatas butir, misalnya fasa sigma pada paduan besi khrom, penggetasan temper,
dst.
3. Patahan Lelah (Fatigue Fracture) :
Beban yang berubah-ubah atau berulang -ulang dapat me ngakibatkan patah
lelah meskipun harga tegangan nomi nalnya masih dibawa h kekuatan luluh
material.
Patah lelah berawal dari lokasi yang mengalami pemusatan tegangan
(stress concentration), misalnya akibat adanya cacat takikan. Tegangan setempat
akan tinggi bahkan melampaui Batas luluh material. Akibatnya di tempat itu akan
terjadi deformasi plastis dalam skala mikroskopis. Tegangan yang berfluktuasi
akan menyebabkan terjadinya slip antara bidang-bidang atomnya; terjadilah
"tonjolan" (extrusion) atau pun "lekukan” (intrusion) juga dalam skala
mikroskopis.

Dari lokasi tersebut akan berawal retak lelah (crack initiation) yang
selanjutnya merambat. Perambatan retakan (crack propagation) terjadi sejalan
dengan pembebanan yang berfluktuasi. Bila retak lelah ini telah "jauh" merambat
sehingga luas penampang yang "tersisa" tidak lagi mampu mendukung beban,
maka komponen akan patah. Peristiwa patah tahap akhir ini disebut patah akhir
(final fracture). Modus patahan pada tahap tersebut adalah patah static, yaitu
karena tegangan yang bekerja pada penampang yang tersisa sudah melampaui
kekuatan tarik material. Permukaan patah lelah ditunjukkan pada gb.3.

Gb.3 Permukaan patah lelah. (1).

Front penjalaran retak lelah seringkali nampak sebagai garis-garis pantai


(beach marks). Garis pantai ini kelihatan bila ada variasi amplitudo tegangan :
Amplitudo tegangan yang besar (yang berarti juga stress intensity range yang
besar) akan mempertinggi laju perambatan retakan sehingga permukaannya relatif
akan kasar. Secara mikroskopis penjalaran retakan tersebut terjadi. Pada setiap
siklus pembebanan. Majunya front retakan untuk tiap siklus pembebanan dapat
diamati pada TEM (dengan teknik replika) dan SEM. Garis-garis halus front
perambatan retakan ini disebut Striation (gb. 4).

Gb. 4. Striation Akibat Siklus Pembebanan yang berubah. (2)


4. Retak korosi tegangan (Stress Corrosion Cracking) :
Peristiwa retak korosi tegangan adalah gabungan antara tegangan tarik
dengan pengaruh lingkungan. Kebanayakan retakannya mengikuti batas butir
sehingga berupa retakan intergranular. Hal ini seringkali terjadi pada paduan Al –
Zn - Mg (AA 7xxx); paduan Al ini tinggi kekuatannya namun peka terhadap
korosi tegangan khususnya pada arah short - transverse.

Korosi tegangan dapat juga terjadi pada austenitic stainless steel pada
lingkungan yang mengandung ion Cl meskipun sedikit.
Baja konstruksi pun juga dapat mengalami retak korosi tegangan bila
bekerja pada lingkungan yang mengandung nitrat pekat yang panas atau larutan
NaoH. Baja berkekuatan tinggi juga peka terhadap korosi tegangan. Demikian
juga kuningan pada lingkungan yang tercemar dengan amoniak.

5. Penggetasan (embrittlement):
Baja kekuatan tinggi adalah peka terhadap penggetasan hidrogen. Atom-
atom hidrogen yang tadinya larut interstisi dapat bertemu dan berkumpul
membentuk molekul gas hidrogen akibat tidak tersedianya ruang yang cukup gas
tersebut akan bertekanan tinggi sekali dan mendesak baja hingga patah getas.
Masuknya hidrogen ke dalam baja ini dapat terjadi pada proses pengerjaan
misalnya pengelasan dan electroplating, atau pun pada operasi di lingkungan yang
banyak hidrogennya.

6. Mulur (creep) & stress-rupture:


Peristiwa mulur ini terjadi bila komponen bekerja pada suhu tinggi, yaitu
di atas 0,4 atau 0,5 titik cairnya dalam suhu kelvin. Mulur ini adalah deformasi
yang berjalan dengan waktu. Oleh karena itu mulur ditandai dengan adanya
deformasi plastis yang cukup besar.
Stress-rupture selain disertai oleh deformasi plastis juga ditandai oleh
adanya retak intergranular yang banyak ditemui di sekitar patahan.

7. Retak dengan modus gabungan:


Patahan dapat juga terjadi oleh gabungan dari dua modus. Sebagai satu
contoh adalah peristiwa patah lelah yang berawal dari lokasi yang terkorosi.
Tempat yang terserang korosi akan mengalami pemusatan tegangan; Retak lelah
akan berawal dari situ dan kemudian menjalar. Peristiwa ini tidak dapat dinamai
korosi lelah. Proses korosi mengawali terjadinya retakan, sedangkan penjalaran
retakannya adalah semata-mata karena beban siklis saja.
BAB IV
ASPEK METALURGI PADA KELELAHAN LOGAM
1. Pendahuluan
Patah yang terjadi pada komponen konstruksi akibat pembebanan yang
berulang-ulang disebut patah lelah atau fatigue. Pembebanan yang berulang ini
disebut pula beban dinamis. Beban tersebut dapat berupa tegangan ataupun
regangan.
Kesadaran mengenai fenomena kelelahan material telah mulai timbul pada
pertengahan abad 19, yaitu dengan seringnya terjadinya patahan pada komponen
kereta api dimasa itu. Berbagai laboratoriurn mulai mempelajari dan meneliti
fenomena, kelelahan logam sejak tahun 1860. Pelopor dalam penelitian ini adalah
Wohler (Jerman) (Gb. 1) dan Fairbairn (Inggris).
Pengamatan yang lebih mendetail terhadap proses terjadinya kelelahan
telah dilakukan sejak awal abad 20 ini, tepatnya pada tahun 1903 oleh Ewing dan
Humphrey. Penelitian tersebut mulai membuka jalan yang mengarah pada
lahirnya teori mekanisme patah lelah. Teori-teori tersebut muncul melalui
serangkaian pengamatan mikroskopis; tentu saja dimulai dengan bantuan
mikroskop optis dan selanjutnya dikembangkan pula melalui pengamatan pada
mikroskop elektron, baik dengan SEM maupun TEM.

Hingga saat ini mekanisme patah lelah yang diterima secara luas adalah
terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap awal terjadinya retakan (crack initiation) dan
tahap penjalaran retakan (crack propagation). Setelah retak lelah menjalar cukup
jauh, maka beban yang bekerja hanya akan didukung oleh penampang "tersisa"
yang belum retak dan akhirnya komponen akan segera patah.

Tahap akhir ini disebut bagian patah statis. Kedua mekanisme retak lelah
ini akan dibahas secara terinci. Pembicaraan selanjutnya akan difokuskan pada
pengaruh beban atau tegangan terhadap umur lelah. Demikian pula akan dibahas
pengaruh variabel material serta pengaruh proses pengerjaan dan lingkungan.

Retak fatigue yang menjalar pada akhirnya akan membuat runtuhnya


komponen. Bila retak lelah ini terdeteksi, maka tindakan pengamanan dapat
segera dilakukan, misalnya dengan menggantikannya dengan komponen yang
baru. Oleh karena itu selanjutnya akan diuraikan pula berbagai metoda NDI (non
destructive inspection) yang sering dipakai untuk mendeteksi retak lelah.

2. Perkiraan umur lelah (fatigue life)


Memperkirakan umur lelah suatu komponen adalah suatu hal yang sangat
sulit. Kesukaran ini ole h banyaknya fakto r yang mempengaruhi umur faktor-
faktor tersebut adalah :
1. Beban :
a. Jenis beban : uniaksial, lentur, puntir
b. Frekuensi siklus beban
c. Pola beban : periodik, random
d. Besar tegangan
2. Kondisi material
3. Proses pengerjaan
4. Bentuk dan ukuran komponen
5. Temperatur operasi
6. Kondisi lingkungan

Perubahan kecil pada faktor tersebut diatas akan menyebabkan perubahan


pada umur lelahnya. Oleh karena itu seringkali perlu dilakukan uji lelah pada
suatu struktur yang lengkap ataupun pada suatu komponen dengan kondisi beban
dan lingkungan yang mirip dengan situasi yang sebenarnya.
Meskipun demikian, uji lelah terhadap spesimen kecil (coupon test) tetap
bermanfaat, karena datanya dapat digunakan untuk :
a) Sumber kriteria patah lelah
b) Mengisolasi berbagai variabel material
c) Membandingkan karakteristik material
d) Membandingkan besarnya pengaruh proses pengerjaan, kehalusan permukaan,
proses perlakuan panas, metoda penyambungan, dst terhadap fatigue.
Umur lelah biasanya dinyatakan sebagai jumlah siklus tegangan yang
dicapai sampai spesimen atau komponen patah. Dengan demikian umur total
tersebut telah mencakup pula tahap awal retakan dan penjalaran retakan yang bila
telah cukup jauh penjalarannya akan menyebabkan patah menjadi dua. Data
kelelahan lain yang penting adalah laju penjalaran retakan (crack-growth rate).
Laju penjalaran retakan inilah yang datanya dapat dipakai untuk memperkirakan
umur lelah.
3. Jenis Tegangan Uji Le lah
Uji lelah yang “sederhana" dilakukan dengan memberikan pembebanan
atau tegangan yang rela tif sederhana, yaitu beban uniaksial atau lenturan. Dengan
beban tersebut akan diperoleh tegangan tarik dan tegangan tekan yang
berfluktuasi.

Notasi tegangan yang biasa dipakai ditunjukkan pada Gb. 2 (2). Dari
kondisi beban yang berulang tersebut dapat dikenai berbagai parameter tegangan
Yaitu :
 min
Ratio tegangan (stress ratio) : R 
 max
dimana : σmin = tegangan yang paling rendah
σmax = tegangan yang paling tinggi
a
Ratio amplitudo (amplitude ratio) : A 
m
σ max  σ min
dimana : σa = tegangan variabel =
2
σ max  σ min
σa = tegangan rata-rata =
2

Uji lelah lentur putar (Gb. 3) yang dikembangkan oleh R.R. Moore memberi
fluktuasi tegangan dengan R = -1. Data umur lelah material dipresentasikan
dalam bentuk diagram Wohler atau kurva S-N (Gb.4). Dalam Gb. 4 terlihat
adanya dua macam bentuk kurva S-N. Baja memiliki batas kelelahan (fatigue
limit) atau batas ketahanan (endurance limit) yang jelas, sedangkan paduan
aluminium tidak mempunyai batas kelelahan yang jelas. Batas kelelahan (σf)
adalah batas tegangan yang akan memberikan umur lelah yang tidak berhingga.
Untuk baja, harga batas kelelahan ini diambil setelah jumlah siklus tegangan
mencapai 106 atau 107.

Pada daerah diatas jumlah siklus ini kurva S-N untuk material baja akan
mendatar. Bagian kurva S-N yang “miring” rnenunjukkan kekuatan lelah (fatigue
strength) di daerah ini umur lelah akan terbatas.
Berbagai literatur menyebutkan secara "salah kaprah" bahwa batas
kelelahan logam non fero adalah sarna dengan kekuatan lelahnya pada 108 atau 5
x 108 siklus.
Titanium menunjukkan karakteristik kelelahan yang mirip dengan baja
(Gb. 5). Pada titanium terlihat pula adanya batas kelelahan yang jelas.
4. pengaruh Pemusatan Tegangan
Adanya bagian komponen yang tidak kontinu, misalnya akibat adanya
takikan atau lubang ataupun goresan yang dalam, akan menyebabkan pemusatan
tegangan. Besarnya tegangan lokal yang bekerja disekitar takikan tersebut
dinyatakan dengan perkalian antara tegangan yang dihitung seandainya tidak ada
takikan dengan faktor pemusatan tegangan (stress concentration factor) Kt. Harga
Kt ini dapat diperoleh dari perhitungan ataupun dengan eksperimen.
Pengaruh adanya takikan terhadap karakteristik kelelahan dinyatakan
dengan faktor takikan terhadap kelelahan (fatigue notch factor). Kf :
kekuatan lelah pada spesimen t anpa takikan
Kf 
kekuatan lelah pada spesimen dengan tak ikan

Harga kekuatan lelah pada kedua jenis spesirnen tersebut diatas diambil
pada jurnlah siklus yang sarna. Cara lain untuk rnenyatakan pengaruh takikan
adalah dengan sensitivitas takikan terhadap kelelahan (fatigue notch sensitivity) q:

Kf  1
q 
Kt 1

Harga q dapat berkisar dari 0 (bila Kf = 1) sarnpai 1 (bila Kf = Kt) seperti yang
terlihat pada Gb. 6 (4).

Pada tingkat tegangan yang rendah serta jurnlah siklus yang tinggi, banyak
logam yang rnenunjukkan kepekaannya terhadap takikan. Di lain pihak, pada
tegangan yang tinggi dan jumlah siklus yang rendah, justru logarn yang ulet tidak
peka sekali terhadap takikan. Tegangan lokal yang tinggi akan rnenyebabkan
terjadinya deforrnasi plastis setempat, sehingga tegangan yang bekerja rnenjadi
lebih rendah daripada kalau hanya di daerah elastis (seperti halnya pada
perhitungan harga Kt).

5. Ciri patah lelah


Permukaan patah lelah mempunyai ciri-ciri khusus yang pada dasarnya
dapat dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah retak l elah dan daerah patah .
Daerah retak lelah meliputi awal retakan ( crack initia tion) dan penjalaran retak
(crack propagation). Pada saat penjalaran retak telah berjalan demikian jauh maka
tegangan yang be kerja pada penampang yang “tersisa” akan m encapai kekuatah
tarik material, sehingga ko mponen akan patah me njadi dua. Tahapan inila h yang
disebut patah statik.

Pemeriksaan patah lelah dimulai dengan cara visual ataupun dengan


bantuan kaca pembesar. Banyak kasus patah lelah dapat segera dikenali dengan
adanya ciri- ciri tersebut diatas. Daerah retak lelah dapat di identifikasi bila ada
tanda-tanda penjalaran retakan seperti halnya garis pantai (beach marks). Garis
pantai merupakan front penjalaran retakan. Dengan demikian garis-garis pantai
ini berkembang dari sumber retakan.

Garis pantai dapat terjadi akibat perbedaan lamanya proses oksidasi pada
permukaan retakan. Garis pantai juga dapat terjadi akibat perubahan pada kondisi
pembebanan : frekuensi beban dan besarnya beban atau pun operasi peralatan
yang kadang-kadang terhenti.

Suatu contoh garis pantai ditunjukkan pada Gb. 7 (3). Patah lelah tersebut
terjadi pada roda gigi cacing yang terbuat dari baja paduan. Ciri perambatan
retakan yang berupa garis pantai tersebut adalah ciri yang paling baik dan jelas
untuk menetapkan terjadinya patah lelah. Akan tetapi ciri garis pantai sering pula
tidak muncul. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kondisi pembebanan ataupun
kondisi operasi yang menyebabkan narnpaknya garis pantai. Beban dengan
tegangan variabel yang konstan atau pun frekuensi yang tetap tidak akan
menampakkan garis pantai pada permukaan patahannya (Gb. 8).
Daerah patah statik atau daerah patah akhir (final-fracture zone) biasanya
memiliki ciri-ciri bidang patahan yang mirip patahan pada uji impact ataupun
pada uji fracture-toughness pada material yang sama. Bidang patahannya nampak
lebih kasar atau "berserabut" (fibrous).

Luas daerah patah akhir ditentukan oleh besarnya beban. Bentuk bidang
patah akhir tergantung pada jenis material (getas atau ulet) dan ukuran tebal
material serta arah pembebanannya. Pada material yang ulet dan cukup tebal,
daerah patah akhir ditandai oleh : (Gb. 9)
a. Patah tarikan (tensile fracture) dengan modus regangan bidang {plain
strain) sebagai kelanjutan retak lelah dan letaknya satu bidang dengan
patah lelah.
b. Patah geseran (shear fracture) dengan modus tegangan bidang (plane
stress) yang mernbentuk sudut 45 0 terhadap patah tarikan.

Pada Gb. 9 tersebut dapat ditentukan lokasi awal retakan, yaitu pada permukaan
dan ditunjukkan oleh alur-alur "chevron".

Material ulet yang tipis menunjukkan ciri yang berbeda dengan patahan
pada pelat yang teba1. Gb. 10 memperlihatkan patah lelah pada pelat yang relatif
ti- pis. Daerah patah akhir membentuk sudut 450 terhadap permukaan. Bidang
patah akhir ini dapat berupa bidang geser tunggal (single shear plane) ataupun
bidang geser ganda (double shear plane). Pengaruh besarnya tegangan nominal
dan pengaruh pemusatan tegangan serta garis pembebanan terhadap bentuk bidang
patah lelah dikemukakan secara skematis pada Gb. 11 (2).

6. Mekanisme Awal Retakan


Secara mikroskopis awal retakan dimulai dengan terjadinya deformasi
plastis setempat. Deformasi pla stis setempat yang skalanya mikroskopis ini
terjadi karena besarnya pemusatan cacat pada material, antara lain:

1. Goresan pada permukaan


2. Retakan pada permukaan ataupun didekat permukaan
3. Inklusi

Tegangan yang terpusat tadi akan menyebahkan terjadi deformasi plastis


setem pat. Hal ini terbukti dengan teramatinya garis-garis slip pada permukaan
spesimen yang diuji lelah. (4). Slip setempat ini akan menimbulkan pula cacat
permukaan yang berupa ekstraksi dan intrusi (Gb. 11). Terbentuknya garis-garis
slip ini biasanya berlangsung dalam beberapa ribu siklus tegangan yang pertama.
Siklus pembebanan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya lebih banyak lagi
garis - garis slip, khususnya disekitar daerah ekstrusi dan intrusi tadi. Dari daerah
inilah retakan akan berawal.
7. Mekanisme Penjalaran Retakan
Awal retakan mula -mula akan menjalar pada bidang slip didalam beberapa
butir. Peristiwa ini disebut tahap I penjalaran retakan. Kecepatan perambatan
retakan pada tahap I ini sangat lambat, yaitu dengan order beberapa angstrom per
siklus. Pengamatan secara makro tidak akan menampakkan penjalaran tahap I ini.
Selanjutnya penjalaran tahap II terjadi dengan ciri adanya striasi (striation)
yang teramati melalui mikroskop elektron (Gb. 13). striasi adalah garis-garis halus
yang rnenyatakan majunya retakan untuk setiap siklus beban. Garis striasi tersebut
terjadi akibat pembukaan retakan yang disusul dengan penumpulan ujung retakan
secara plastis, kemudian dilanjutkan dengan penutupan retakan akibat turunnya
tegangan. Hal ini secara skematis dikemukakan pada Gb. 14 (4). Laju perambatan
pada tahap II berkisar beberapa mikrometer per siklus.
Tahap II ini boleh dikatakan rnendorninasi penjalaran retakan lelah. Oleh
karena itu banyak penelitian telah difokuskan kepada rnasalah perambatan retak
tahap II ini dengan tujuan agar berbagai hubungan rnengenai penjalaran retakan
dapat disusun. Dari sini dapat dilakukan perkiraan umur lelah yang aman atau
beban dinamik yang aman ataupun panjang retakan yang masih aman untuk suatu
konstruksi.
Perambatan retakan tersebut dapat juga dinyatakan sebagai regangan total
yang didekati dengan persamaan eksponensial yang berlaku di daerah elastis dan
plastis :
da
 CI  c I
m

dN
Satu cara yang sangat jelas menunjukkan laju perambatan retakan adalah dengan
rnemplotnya terhadap faktor intensitas tegangan. Faktor AK didefinisikan sebagai:

ΔK  K max  K min
ΔK  σ max πa  σ min πa  σ r πa

Hubungan antara da/dN dengan 6K ditunjukkan secara skernatis pada Gb. 15 (4).
Daerah I dibatasi oleh ? Kth. Bila ? K < ? Kth, perambatan retak lelah tidak
teramati. Dengan kata lain, bila ? K < ? Kth , rnaka retakan tidak akan rnenjalar.
Di daerah II hubungan antara Log. da/dN dengan ? K dapat dikatakan linier seperti
yang dinyatakan sebagai Hukum Paris sbb :

da
 A( K)P
dN
dimana : p = kerniringan kurva (P 3 untuk baja ; P = 3  4 untuk AI)
A = harga da/dN pada saat ? K = 1
Di daerah III terjadi percepatan pada laju perambatan retak. Di sini harga
Kmax mendekati harga fracture toughness material Kc .
Pengaruh rasio tegangan R terhadap persamaan Paris adalah :

da A ( K ) P

dN (1  R) K c  ΔK

dimana :
Kc = fracture toughness
R = rasio tegangan = σmin/σmax = Kmin/Kmax

8. Pengaruh Pembebanan
Parameter pembebanan yang berpengaruh terhadap kelelahan adalah :
1. tegangan rata-rata σm
2. tegangan variabel σ a
3. frekuensi beban

8. 1. Pengaruh tegangan rata-rata ;


Tegangan rata-rata σm berpengaruh pula terhadap variabel σa yang
diijinkan untuk mencapai suatu umur lelah tertentu. Bila σm = 0 (atau R = -1),
maka σa yang diijinkan adalah batas kelelahannya σf. Apabila σm makin besar,
maka σa harus diturunkan. Bahkan bila σm = σu material, maka σm = o.

Pengaruh tegangan rata-rata σm seperti tersebut diatas dinyatakan dalam


Gb. 16 (2). Garis lurus yang menghubungkan σa = σf dengan σm = σf adalah garis
Goodman yang dimodifikasi. Garis Goodman yang asli sekarang sudah tidak
dipakai lagi, yaitu dengan anggapan bahwa σf = ? σu. Modifikasi garis Goodman
yang penting adalah bahwa harga σz ditentukan dengan eksperimen.
Gerber mendapatkan hubungan σa vs σm berupa lengkungan yang disebut
parabola Gerber. Hubungan antara σa dengan σm yang "lebih aman" σa adalah bila
tegangan rata-rata σm dibatasi sama dengan batas luluh material σy. Hubungan ini
dikemukakan oleh Soderbergh.
Ketiga persamaan yang menghubungkan σa dengan σm diatas adalah :
Hukum Goodman yang dimodifikasi : σa = σf (l – (σm / σu))
Hukum gerber : σa = σf (l – (σm / σu)2)
Hukum Soderbergh : σa = σf (l – (σm / σy))

8.2. Pengaruh tegangan variabel


Amplitudo tegangan juga berpengaruh terhadap umur kelelahan. Perkiraan
kelelahan pada pembebanan yang kompleks seringkali didasarkan pada hukum
kerusakan linier Hipotesa ini dikenal dengan hukum miner (Miners Law). Asurnsi
yang dipergunakannya adalah bahwa sejumlah siklus ni pada amplitudo tegangan
σi yang menghasilkan umur lelah sampai Ni siklus, akan menyebabkan kerusakan
lelah yang diukur untuk setiap perbandingan siklus kurnulatif ni / Ni, dan patah
lelah akan terjadi bila ? (ni/Ni) = 1.

K
n1 n n nj
 2  .......  K  1 atau  1
N1 N 2 NK j i Nj

Hukum Miner ini tidak selalu sesuai dengan kenyataan oleh karena itu kemudian
muncul berbagai alternative yang lain. Yang lebih jelas adalah bahwa pengaruh
amplituda tegangan dapat diamati dengan eksperimen. Hal ini dilakukan dengan
uji lelah yang memakai blok atau internal tegangan. Suatu spesimen dibebani
dengan suatu amplituda tegangan selama beberapa siklus. Kemudian harga
amplituda tegangan ini diubah-ubah. Data percobaan ini dapat dipakai pada teori
kerusakan linier yang telah diuraikan diatas.

8.3. Pengaruh frekuensi pembebanan.


Frekuensi beban yang dipakai pada uji lelah biasanya berkisaran antara
500 sampai 10.000 siklus per menit. Pada interval ini pengaruh frekuensi terhadap
batas kelelahan adalah kecil sekali dan boleh dikatakan tidak ada pengaruhnya.
Sebagai contoh, baja yang diuji lelah pada frekuensi antara 200 sampai 5000
siklus per menit tidak menunjukkan pengaruh frekuensi terhadap batas kelelahan.
Akan tetapi bila frekuensi yang dipakai sangat tinggi, misalnya 100.000 siklus
permenit, maka kekuatan lelahnya akan meningkat. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa pada frekuensi tinggi deformasi plastis yang terjadi tidak sebesar apabila
frekuensinya rendah. Pengaruh seperti ini dialami pula oleh logam non fero.

9. Pengaruh Parameter Mater i


Pada bagian depan telah diuraikan bahwa awal retak lelah dan
penjabarannya terjadi akibat defor masi plastis setempat yang ska lanya
mikroskopis. Dengan demikian maka struktur mikro yang dapat mempengaruhi
terjadinya deformasi p lastis akan berpengaruh terhadap kekuatan lelah ataupun
batas lelahnya. Parameter material yang berpengaruh ada lah. :
1. ukuran butir
2. kekuatan logam
3. penguatan dengan larut padat
4. fasa kedua
5. penguatan regangan
6. struktur mikro

9.1. Pengaruh ukuran butir


Hasi1 eksperimen {2) menunjukkan bahwa pada low cycle fatigue (high
cycle strain), yaitu dengan siklus regangan yang besar, ukuran butir tidak
berpengaruh terhadap umur lelah. Dilain pihak, pada high-cycle fatigue (low
cyclic strain), yaitu pada siklus regangan yang kecil, besar butir justru
berpengaruh terhadap umur lelahnya. Butir yang halus akan menaikkan umur
lelahnya.
Namun begitu pengaruh yang demikian belum tentu selalu terjadi. Butir
yang halus yang disatu pihak akan meningkatkan umur lelahnya, di lain pihak
justru akan menyebabkan logam menjadi lebih peka terhdap takikan (notch).
Dengan demikian, maka spesimen yang halus permukaannya memang akan naik
umur lelahnya apabila halus butirnya. Spesimen yang diberi takikan akan
berurnur lebih pendek lagi bila butirnya halus.

Contoh lain adalah komponen yang harus tahan lelah dan tahan mulur
(creep). Ketahanan mulur Justru memerlukan ukuran butir yang agak kasar, yaitu
untuk menghindari migrasi batas butir. Karena itu material yang akan menghadapi
kondisi operasi yang semacam ini perlu memiliki ukuran butir yang optimal.

9.2. pengaruh kekuatan logam :


Pada beban statik, kekuatan logam adalah identik .atau berbanding lurus dengan
kekerasannya. Selanjutnya pada kondisi fatigue, hubungan antara kekuatan logam
dengan batas kelelahan tidaklah demikian sederhana (Gb.l7) Sebagai patokan
kasar, baja memiliki batas lelah σf.= ½ σu Logam-logam non fero seperti nikel,
tembaga dan magnesium mempunyai batas lelah σf = 0,35 σu. Perbandingan antara
σf dengan σu disebut rasio kelelahan (fatigue ratio). Angka-

angka tersebut diperoleh pada permukaan spesimen yang halus (dipoles).


Untuk spesimen dengan takikan, maka rasio kelelahan untuk baja turun menjadi
0,20 - 0,30. Kekuatan luluh dan kekuatan tarik material dinaikkan dengan
berbagai metoda, yaitu antara penguatan dengan larut padat, penguatan dengan
kedua, penguatan dengan presipitasi dan penguatan regangan. Namun demikian
pengaruhnya terhadap kenaikan batas lelahnya tidaklah berbanding lurus begitu
saja terhadap peningkatan kekuatan luluhnya.

9.3. Pengaruh penguatan larut padat


Atom asing yang larut padat akan menaikkan kekuatan paduan. Hal ini
juga akan menaikkan batas lelahnya seperti yang telah diamati pada besi dan
aluminium yang diberi unsur paduan yang larut padat (4). Kenaikan batas
lelahnya hampir sebanding dengan peningkatan.
Atom asing yang larut padat interstisi ternyata~ menyebabkan adanya
batas lelah yang jelas. pengaruh ini secara skematis ditunjukkan pada Gb. 18
Logam murni akan berumur lebih panjang bila tegangan yang bekerja lebih
rendah (Kurva A).

Adanya atom asing yang larut padat akan menaikan kekuatan luluhnya.
Akibatnya adalah bahwa deformasi plastis setempat akan lebih sukar terjadi. Hal
ini dinyatakan oleh naiknya kurva S - N (Kurva B). Bila atom asing tersebut larut
padat secara interstisi sehingga menimbulkan strain aging, maka terjadilah lagi
peningkatan kekuatan. Efek pengerasan strain aging yang setempat ini akan
berirnbang dengan turunnya kekuatan akibat kerusakan lelah. Penimbangan ini
terjadi pada suatu harga tegangan (Kurva C).

Bila strain aging terjadi lebih hebat maka terjadilah peningkatan batas
lelah (Kurva D).
9.4. Pengaruh Fasa Kedua
Contoh-contoh berikut dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh
fasa kedua terhadap kekuatan statik dan kekuatan lelah. Baja karbon eutektoid
(dengan 0,8 % C) dapat dibuat dengan perlit yang kasar ataupun dengan struktur
ferit dan sementit sferoidal. Kekuatan statik baja dengan dua struktur mikro
tersebut adalah sama, akan tetapi batas lelahnya berbeda sekali. Baja dengan perlit
yang kasar akan memiliki batas lelah yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh
lebih pekanya sementit lamelar terhadap efek takikan. (Gb.19).
Contoh lain adalah pada paduan aluminium berkekuatan tinggi. Proses
presipitasi yang dilakukan pada paduan ini akan menaikkan kekerasan (yang
berarti pula menaikkan kekuatannya). Akan tetapi batas lelahnya masih
tergantung pada sejauh mana proses presipitasi ini berlangsung. Ukuran presipitat
akan berpengaruh pada batas lelahnya. Demikian pula sifat koheren atau non
koheren antara presipitat dengan matriksnya akan mempengaruhi batas lelahnya.

9.5. Pengaruh pengerasan regangan


Logam yang diperkuat dengan pengerasan regangan ternyata memiliki
batas lelah yang lebih tinggi dari pada yang dalam keadaan lunak. Hal ini dapat
dimengerti karena penjalaran retakan akan lebih lambat pada logam yang
dikeraskan dengan deformasi plastis ini. (2).

9.6. Pengaruh struktur mikro


Proses perlakuan panas sering kali dipakal untuk mengubah sifat mekanik.
Hal ini secara mikro dapat dipandang sebagai proses yang mengubah struktur
mikro logam. Contoh berikut menggambarkan pengaruh proses perlakuan panas
pada baja.

Kekerasan yang tinggi dapat dicapai bila baja mempunyai fasa martensit
hasil proses celup cepat dari fasa austenit. Kekuatan tariknya pun akan tinggi
pula. Namun demikian fasa martensit ini bersifat getas. Uji lelah menghasilkan
batas lelah yang justru rendah. Untuk memperbaikinya dilakukan proses
tempering. Proses celup cepat yang disusul dengan tempering ini akan menaikkan
batas lelahnya. Lebih lanjut, proses austempering yang menghasilkan struktur
bainit bahkan menghasilkan batas lelah yang lebih tinggi dari pada yang diquench
dan ditemper (4).

Spesimen baja yang diquench ditemper menunjukkan batas lelah yang


sangat jelas. Penyebabnya diduga oleh adanya peristiwa strain aging yang terjadi
pada ujung retakan. Pengaruh kekerasan baja hasil proses perlakuan panas
terhadap batas lelah ditunjukkan pada Gb. 20 (4) Sampai kekerasan tertentu harga
batas lelah akan naik, kemudian batas lelah akan justru turun.

Ditinjau dari struktur mikronya, efek takikan dapat terjadi pada perlit yang
kasar, ferit yang bebas, sisa austenit dan partikel karbida yang kasar.

10. Rengaruh Proses Pengerja~n


Proses pengerjaan dimulai dengan tahap pengecoran atau pembuatan
paduan, dilanjutkan dengan pros es pembentukan, pengelasan, pemesinan dan
proses perlakuan panas. Proses -proses pengerjaan tersebut akan mengubah bentuk
dan sifat benda kerja. U raian ini lebih difokuskan kepada faktor -faktor yang
langsung berpengaruh terhadap ketahanan lelah materi al, yaitu antara lain:
1. Pengaruh proses pengecoran
2. Pengaruh proses pembentukan
3. Pengaruh proses pengelasan
4. Pengaruh proses pemesinan
5. Pengaruh proses perlakuan panas

Pada dasarnya setiap diskontinuitas pada materi langsung pada penjalaran


retak lelah. Diskontinuitas dapat berupa retakan ataupun akibat proses
pengerjaan, dapat pula berupa segregasi unsur-unsur paduan sehingga komposisi
kimia unsur-unsurnya tidak merata diseluruh bagian.
10.1. Pengaruh Proses Pengecoran
Segregasi terutama yang berskala makro akan langsung berpengaruh pada
ketahanan lelah material. Pada proses pembekuan, bagian yang terlebih dahulu
membeku akan lebih rniskin unsur paduan. Sebaliknya didaerah tengah yang
membeku belakangan akan lebih kaya unsur paduan. Hal ini akan menghasilkan
benda kerja yang permukaannya lebih lunak yang berarti pula akan lebih rendah
kekuatan lelahnya.
Satu usaha untuk meratakan distribusi unsur paduan adalah proses
homogenisasi. Proses hornogenisasi di lakukan pada suhu tinggi dan waktu yang
relatif panjang agar proses difusi dapat berlangsung dengan cukup baik. Cacat
pengecoran seperti rongga, porositas dan retak panas jelas akan menurunkan
kekuatan lelah. Demikian pula adanya terak (slag) dan inklusi yang terikut
didalarn benda corakan mengakibatkan efek takikan.

10.2. Pengaruh proses pembentukan


Proses pembentukan (forming) selain dipakai untuk mengubah bentuk
juga digunakan untuk memperbaiki struktur mikro. Cacat coran yang berupa
segregasi atau pun rongga akan dikurangi oleh proses pembentukan.

Dengan demikian jelaslah bahwa material hasil proses pembentukan akan


mempunyai batas lelah yang lebih tinggi daripada benda cor. Namun demikian
perlu dicatat bahwa proses pembentukan pun dapat menimbulkan cacat pada
benda kerja. Cacat proses pembentukan yang sangat berpengaruh adalah "laps"
atau "seams" pada permukaan. Cacat ini berupa lipatan pada permukaan benda
tempa atau profil yang dirol. Oksida permukaan akan terjebak pada lipatan ini.
Tempat inilah akan menjadi awal retakan lelah.
Proses pembentukan juga berpengaruh dalam hal tegangan sisa. Sebagai
i1ustrasi, contoh berikut akan menunjukkan pengaruh yang negatif dan pengaruh
yang positif terhadap ketahanan lelah material. Menanyakan material akan
mengalami retak lelah yang Oleh karena itu tegangan sisa tarik pada permukaan
akan menurunkan batas lelahnya.
Suatu usaha untuk memperbaikinya adalah dengan membuat tegangan sisa
bertanda negatif atau tegangan tekan. Kondisi ini justru akan memperbaiki
ketahanan lelahnya. Tegangan sisa tekan pada permukaan ini dapat diperoleh
dengan proses pengerolan yang reduksinya sangat kecil atau yang dikenal dengan
skin pass rolling. (Gb. .21 ) (4). Cara lain adalah dengan melakukan proses
penarikan kawat yang tahap akhirnya memakai reduksi kecil (Gb. 22). (5).

Tegangan sisa tekan pad a perrnukaan pelat dapat pula diperoleh dengan
shot peening. Proses shot peening ini sudah rnerupakan prosedur standard dalam
pernbuatan pegas daun (6).

10.3. Rengaruh proses pehgelasan


Pengelasan rnelibatkan proses pembekuan. Jelaslah bahwa didaerah
logam las segala rnacarn cacat pengecoran dapat terjadi disitu. Didaerah HAZ
atau daerah yang dipengaruhi oleh panas terjadi proses pernanasan dan
pendinginan. Perubahan struktur mikro atau transformasi fasa dapat berlangsung
di HAZ. Fasa yang getas serta butir yang kasar dapat terjadi di HAZ.

Oleh karena itu tidaklah heran bahwa lelah sarnbungan las adalah lebih
rendah daripada logam induknya. (Gb. 23). (7). Tegangan sisa pada HAZ juga
akan rnenurunkan kekuatan lelah. Karena itu proses post weld heat treatment akan
menaikkan kekuatan lelah benda kerja yang dilas.

10.4. Pengaruh proses pemesinan


Kondisi permukaan sangat berpengaruh pada lelah benda kerja.
Permukaan yang kasar merupakan tempat-tempat yang tegangan lukalnya tinggi,
sehingga akan menjadi tempat awal retakan. Pengaruh takikan terhadap umur
lelah ditunjukkan pada Gb. 24.
Proses pemesinan dapat dipandang sebagai pemotongan yang terjadi
secara geseran (shear). Proses pembentukan geram ini terjadi dengan didahului
oleh deformasi plastis setempat. Dengan demikian pada permukaan hasil proses
pemesinan tidak akan luput dari tegangan sisa. Tegangan sisa tarik yang besar
dapat terjadi pada proses gerinda (grinding). Bahkan kadang-kadang demikian
besar sampai-sampai permukaan hasil penggerindaan dapat retak. Oleh karena itu
benda kerja hasil proses gerinda harus diwaspadai dalam hal ketahanan lelahnya.
Proses pelepasan tegangan sisa (stress -relieving) akan memperbaiki kekuatan
lelahnya.

10.5. Pengaruh proses perlakuan panas


Di depan telah diuraikan pengaruh perubahan strutur mikro terhadap umur
lelah. Dalam bagian ini fokus pembahasan diarahkan kepada kondisi proses yang
dapat menurunkan umur lelahnya.

Suhu yang terlampau tinggi (overheating) menyebabkan butir yang sangat


kasar. Pengaruhnya yang langsung adalah menurunnya kekuatan lelah.
Overheating dapat pula menyebabkan cairnya fasa yang bertitik cair rendah
(eutectic melting). Hal ini dapat terjadi pada paduan Aluminium. Jelaslah cairnya
jaringan eutektik di batas butir akan sangat menurunkan kekuatan lelahnya.

Retak akibat proses celup cepat (quenching) jelas merupakan tempat


awalnya perambatan ratak lelah. Retak ini dapat disebabkan oleh tegangan termal
dan atau oleh tegangan akibat transformasi fasa. Retak ini harus dihindari dengan
jalan pemilihan laju pendinginan yang tidak terlampau cepat. Bentuk benda kerja
yang tidak seragarn {ada bagian yang tebal dan ada pula yang tipis) memudahkan
terjadinya retak pada proses celup cepat. Dekarburisasi pada permukaan baja
akan melunakkan permukaan tersebut. Akibat selanjutnya adalah bahwa retakan
lelah akan berawal dari daerah yang mengalami dekarburisasi ini. Usaha untuk
mengatasinya ialah dengan melakukan perlakuan panas pada atrnosfer tungku
yang terkontrol, misalnya dengan l.ingkungan gas endotherm dan gas endomix.
11. Pengaruh Lingkungan
Faktor lingkunga n yang perlu dibahas adalah tem peratur operasi serta
kondisi lingkungan yang dapat m enyebabkan korosi.

11.1. Pengaruh temperatur


Pada suhu tinggi, kekuatan logam akan berkurang Jelaslah bahwa
deformasi plastis mudah terjadi pada suhu tinggi ini. Oleh karena itu maka
kekuatan lelah juga akan turun pada temperatur yang tinggi. Gb. 25 menunjukkan
pengaruh suhu uji lelah lelah terhadap kekuatan lelah Inconel 700, yaitu suatu
paduan Ni- Co-Cr yang sering dipakai sebagai material sudu turbin gas. (1)

11.2. Pengaruh lingkungan yang korosif


Lingkungan yang korosif biasanya disimulasi di laboratorium dengan
melakukan pada kabut air garam dengan berbagai macam konsentrasi dan pH.
Kondisi lingkungan semacam ini memang jauh lebih panas dari pada lingkungan
yang sebenarnya akan dialami, kecuali untuk peralatan proses kimia. Akan tetapi
lingkungan uji lelah yang sangat korosif ini memang berguna untuk membuat
"material rating" seperti pada Gb.26.

Gabungan korosi-lelah ini akan menurunkan umur lelah dan ketahanan


lelah material. Gb. 27 menunjukkan kurva S-N baja AISI 1036 yang diuji pada
kabut air garam (3 % NaCl). Proses korosi lelah pada baja ini juga ditandai oleh
tidak adanya batas lelah. Udara lembab ataupun udara laut adalah lingkungan
yang lebih "realistis " yang sering dialami oleh konstruksi. Cuaca yang lernbab
dilaporkan dapat rnenurunkan kekuatan lelah 10%.

12. Metode Pemeriksaan Retak Lelah


Retak lela h adalah retakan yang rnenjalar sejalan dengan waktu
pembebanan. Oleh karena itu deteksi retak lelah pada komponen pada saat yang
tepat akan dapat rnenghindarkan terjadinya kecelakaan akibat patah lelah. Bila
suatu retak lelah diternukan pada suatu kom ponen, maka perlu diambil langkah
dari berbagai alternatif berikut ini :
a) menggantikannya dengan kornponen yang baru
b) memperbaiki dan mernperkuat kornponen yang retak
c) dalam jangka yang lebih panjang, memperbaiki design komponen
tersebut.

Mengingat pentingnya deteksi retak lelah ini, maka interval pemeriksaan


komponen harus ditentukan secara tepat. Jadwal pemeriksaan yang terlalu sering
akan menaikkan beaya inspeksi (termasuk "kerugian" akibat terhentinya peralatan
selama pemeriksaan). Pemeriksaan yang terlampau jarang intervalnya akan
berbahaya, karena retak lelah dapat menjalar telah sedemikian jauh sehingga patah
lelah telah terjadi sebelum inspeksi berikutnya.

Oleh karena itu penentuan jadwal inspeksi perlu didasarkan oleh perkiraan
kecepatan perambatan retak lelah yang mungkin terjadi pada komponen sesuai
dengan kondisi pembebanan yang dialaminya. Perhitungan perambatan retakan ini
cukup sulit dan sering perlu didukung oleh data eksperimen lelah untuk
komponen yang bersangkutan. Pemeriksaan retak lelah cukup sulit dilakukan bila
hanya secara visual saja. Hal ini disebabkan oleh karena retak lelah adalah retak
yang tidak "menganga"; kedua sisi material tetap kelihatan utuh. Oleh karena itu
pendeteksiannya memerlukan bantuan berbagai metoda NDT atau NDI. Metoda
NDI yang sering dipakai adalah :

1. Eddy current, khususnya bila retak lelah masih kecil ukurannya.


2. Ultrasonic method, khususnya hila ukuran retakan telah cukup besar.
3. X-ray radiography: rnemberikan ukuran retak yang lebih tepat.
4. Dye penetrant test
5. Magnetic particle test

Metoda NDI tersebut diatas biasanya dipakai secara kornplementer, dalam arti
satu metoda akan rnendukung cara yang lainnya.
Literatur:
1) McClintock, F.A., & Argon.. A.S., "Mechanical Behavior of Materials",
Addison Wesley, 1966.
2) ASM, "Metals Hadbook Vol. 10, Failure Analysis vention", American
Society for Metals, 1975.
3). Sumitro, H., "Analisa kerusakan pada Roda Gigi Cacing Mesin Pengerolan
Pipa, Tugas Akhir, Jurusan Mesin ITB,1988.
4). Dieter, G.E., "Mechanical Metallurgy, McGraw Hill, 1986.
5). Verein Deutscher Eisenhuttenleute, "Herstellung von draht", Verlag
Stahleisen, 1969.
6). Siswosuwarno, M., et al., “Influence of Shot-Peening in The Surface
Microstructure of Leaf Spring", Third national Conf. on Automotive Eng.,
1985.
7). Wiryosumarto, H.; Okumura, T., "Teknik Pengelasan 1979.
BAB V
TRANSISI ULET KE GETAS
Material yang tadinya bersifat ulet dapat berubah menjadi getas. Faktor
utama yang mempengaruhinya adalah keadaan tegangan temperatur dan laju
regangan. perubahan sifat ulet ke sifat getas ini disebut transmisi ulet ke getas.
Patah getas adalah modus kegagalan yang sangat ditakuti. Hal ini adalah karena
tingginya kecepatan perambatan retaknya.

Metoda uji yang seringkali dipakai untuk menentukan temperatur transisi


adalah uji impact charpy,khususnya dengan spesimen bertakik V atau CVN (Charpy
V Notch Specimen).
Cara menentukan temperatur transisi dari data uji impact adalah sebagai berikut:
1. Transisi energy : suhu transisi yang menyebabkan penyerapan energi sebesar 15
atau 30 FT - LB.
2. Transisi retakan: luas patah ulet dibandingkan dengan luas total dibawah takikan;
angka yang sering dipakai 50%.
3. Transisi keuletan : kontraksi di dasar takikan diukur; suhu transisi adalah yang
memberikan kontraksi sebesar 1%. Kontraksi lateral yang menunjukkan sifat ulet.

Data uji impact dari suatu jenis baja karbon rendah diolah seperti dalam gambar
berikut ini :

Gbr.1. Karakteristik daerah suhu transisi baja karbon rendah (1)

Pengaruh suhu uji impact terhadap bentuk patahan ditunjukkan pada gbr.2.

Gambar.2. Pengaruh suhu terhadap perbandingan patah ulet (1)


menjelang PD II - Berbagai jembatan baja konstruksi las patah : beban relatif
kecil cuaca musim dingin; patah tiba-tiba; retak berawal dari lasan ;
kemudian didapatkan bahwa baja yang dipakai bertransisi ke sifat getas
pada suhu musim dingin.
PD II - Sekitar 5000 kapal angkut dibangun selama PD II; sampai th 1946 lebih
dari 1000 kapal mengalami retak getas.
1942 - 1952 - lebih dari 200 kapal retak getas; tujuh kapal liberty dan sembilan
kapal tanker patah menjadi dua bagian akibat patah getas; retakan berawal
dari sudut / pojok lubang persegi.
1951-1953 - dua kapal tanker yang relatif baru patah getas menjadi dua bagian.
1954 - tanker pecah di musim dingin
1960-1965 - sepuluh kapal patah getas.
1972 - kapal tongkang yang.panjangnya 584 ft patah menjadi dua pada saat sandar
di pelabuhan (gb.3).

Mengenai uji impact ternyata spesimen bertakik V menghasilkan data suhu


transisi yang berdekatan dengan kenyataan (service failures). Temperatur transisi
yang diperoleh dari spesimen bertakik lubang kunci adalah lebih rendah dari yang
bertakik V. Dengan demikian suhu transisi yang didapatkan dari spesimen
bertakik V akan lebih realistis dan lebih konservatif.

Kejadian patah getas meskipun tidak sesering patah lelah adalah tetap
dikhawatirkan. Ringkasan kejadian berikut dapat memberikan gambaran tentang
bencana patah getas.

1886 - Pecahnya konstruksi pipa setinggi 250 ft di long island sewaktu.dilakukan


uji hidrostatik untuk acceptance.
1919 - Tangki tetes (molasses) berisi 213 juta gallon tetes pecah di boston.

gb.3. tongkang patah getas menjadi dua.(3).

Anda mungkin juga menyukai