PENDAHULUAN
Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih
sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun. Berdasarkan hasil survei, diketahui
sebanyak 10% dari individu pernah menderita appendicitis selama hidupnya, paling sering
dekade kedua dan ketiga dalam kehidupannya. Nnamun menurut penelitian dengan alasan
yang tidak jelas insiden keseluruhan tampak menurun sementara proporsi pasien menderita
appendicitis pada usia lanjut meningkat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
2.2 FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks
tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis.
2
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
2.3 APPENDICITIS
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dri pada di negara berkembang.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahu
jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20 – 30 tahun, setelah itu
menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 kali lebih banyak dari pada
wanita.
3
A. Appendicitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri
samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya
nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.
Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
4
5. Appendicitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari caecum, retrocaecal, sucaecal, dan
pelvic.
6. Appendicitis perforasi
Adalah pecahnya appendix yang sudah gangren yang menyebabkan
pus masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendix tampak daerah perforasi dikelilingi oleh
jaringan nekrotik.
B. Appendicitis kronis
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya
sel inflamasi kronik. Apendisitis kronik dapat menjadi akut kembali dan
disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah
adanya pembentukan jaringan ikat.
5
2.3.6 Manifestasi Klinis Appendicitis
Gejala klasik appendicitis adalah nyeri samar dan tumpul yang merupakan
nyeri visceral dan nantinya akan terlokalisir pada abdomen kuadran bawah dan
biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada
appendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah
pada titik Mc Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior
anterior. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan somatik setempat. Nyeri tekan lepas juga mungkin akan dijumpai. Derajat
nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung
pada beratnya infeksi dan lokasi appendix. Bila appendix melingkar dibelakang
sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis,
tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal.
Appendix yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Nyeri pada
defekasi menunjukkan ujung appendix berada dekat rektum. Jika appendix tadi
menempel ke kandung kemih atau ureter, dapat terjadi peningkatan frekuensi miksi,
karena rangsangan appendix terhadap dinding kandung kemih dan nyeri pada saat
berkemih. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi.
Apabila appendix telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen dapat
terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien akan memburuk.
Bila letak appendix retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung
sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul
pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Gejala appendicitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya appendicitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi.
1. Anamnesis
Nyeri/sakit perut
Nyeri terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan
terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada
seluruh perut (tidak pin-point). Mula-mula nyeri dirasakan pada daerah
epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apabila telah terjadi inflamasi
(> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik.
Perasaan nyeri pada appendicitis biasanya datang secara perlahan dan
makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena
adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena
tarikan dinding appendix yang mengalami peradangan Pada mulanya terjadi
nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang
6
dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal
tersebut timbul oleh karena appendix dan illeum mempunyai persarafan yang
sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium
(selama 4-6 jam) dan periumbilikal. Seterusnya akan menetap di kuadran
kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang
berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri
terlokalisir.
Muntah (rangsangan viseral), akibat aktivasi N. Vagus.
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir
75% penderita disertai dengan vomitus, kebanyakan vomitus hanya sekali atau
dua kali. Gejala disuria timbul apabila peradangan appendix dekat dengan
vesika urinaria.
Obstipasi, karena penderita takut mengejan.
Penderita appendicitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum
datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut
timbul biasanya pada letak appendix pelvikal yang merangsang daerah rectum.
Panas (infeksi akut), bila timbul komplikasi.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara
37,5° – 38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Penderita berjalan dengan posisi bungkuk dan memegang perut.
Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
appendikuler. Pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :
1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
7
2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
3. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
4. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
5. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
6. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium.
c. Perkusi
Perkusi abdomen pada appendicitis akan didapatkan bunyi timpani.
Pada peritonitis umum terdapat nyeri di seluruh abdomen, pekak hati
menghilang. Pada appendicitis retrocaecum atau retroileum terdapat nyeri
pada pinggang kanan atau angulus kostovertebralis punggung
d. Auskultasi
Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif normal.
Peristaltik dapat tidak ada karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
- Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
Darah lengkap didapatkan leukositosis ringan umumnya pada appendicitis
akut tanpa komplikasi dan sering dijumpai sel neutrofil >75%. Jumlah
leukosit lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada appendisitis perforasi.
Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan appendicitis. Hitung jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri. Pada CRP ditemukan jumlah serum
yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang
akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat
melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
- Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan
eritrosit lebih dari normal bila appendix yang meradang menempel pada
ureter atau vesika.
8
Pemeriksaan Radiologi
o Foto Abdomen Polos
- Gambaran perselubungan “ileal atau caecal ileus” (gambaran garis
permukaan cairan – udara di sekum atau ileum)
- Patognomonik bila terlihat gambaran fekalith
- Foto polos pada appendicitis perforasi:
Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak berbatas di
kuadran kanan bawah
Penebalan dinding usus di sekitar lemak appendiks, seperti
caecum dan ileum
Garis lemak pre-peritoneal menghilang
Skoliosis ke kanan
Tanda – tanda obstruksi usus seperti garis – garis permukaan
cairan – cairan akibat paralisis usus – usus lokal di daerah
proses infeksi
o Apendikogram
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat
akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan
diagnosis appendisitis kronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan
dinding mukosa appendix, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan
usus oleh fekalit.
- Bisa AP, lateral, oblique
- Tetapi untuk appendicitis akut pemeriksaan barium enema merupakan
kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture appendix.
- Gambaran:
9
• Akut: Non filling (Tetapi bisa juga karena peristaltic sehingga
kontras tidak terlihat dan berwarna hitam)
• Kronik: Filling (terisi penuh), filling irregular (dinding tidak rata
akibat peradangan), filling parsial, filling mouse tail
Interpretasi:
- Skor 7 – 10 = apendisitis akut
- Skor 5 – 6 = curiga apendisitis akut
- Skor l – 4 = bukan apendisitis akut
Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
- 1–4 : observasi
- 5–6 : antibiotic
- 7 – 10 : operasi dini
10
Diagnosis Banding
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu -
satunya pilihan yang paling baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendektomi bisa dilakukan
secara terbuka atau laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling
banyak digunakan. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dulu. Pemeriksaan laboratorium dan USG dapat dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan.
11
Teknik appendektomi :
a. Insisi menurut Mc Burney (Grid Incision or Muscle Splitting Incision)
Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus dengan garis yang
menghubungkan spina iliaca anterior superior (SIAS) dan umbilicus pada titik Mc
Burney (sepertiga lateral). Sayat kulit sepanjang kurang lebih 10 cm, subcutis dan
fascia. Lalu otot-otot dinding perut (M.oblikus abdominis eksternus, M.abdominis
internus) dibelah secara tumpul mengikuti arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritoneum parietal yang disayat secukupnya untuk meluksasi caecum.
Basis appendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia coli. Teknik ini yang paling
sering dikerjakan karena tidak terjadi benjolan, tidak terjadi herniasi, trauma
operasi minimum dan penyembuhan lebih cepat sehingga masa istirahat pasca
operasi singkat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas,
waktu operasi lebih lama.
b. Incisi menurut Roux (Muscle Cutting Incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatan langsung
menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut otot sampai
terlihat peritoneum parietal. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas,
mudah diperluas, sederhana dan mudah. Kerugiannya adalah diagnosis harus tepat
sehingga lokasi dapat dipastikan, perdarahan lebih banyak (lebih banyak
memotong saraf dan pembuluh darah), adanya benjolan, rasa nyeri dan hematom
pasca operasi sehingga masa istirahat pasca bedah lebih lama.
c. Incisi pararectal
Sayatan pada garis batas lateral M. rectus abdominis dextra secara vertikal dari
kranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungannya adalah dapat dipakai pada
kasus appendiks yang belum pasti dan sayatan dapat diperpanjang dengan mudah.
Kerugiannya adalah sayatan tidak secara langsung mengarah ke appendiks atau
caecum, lebih besar kemungkinannya memotong saraf dan pembuluh darah dan
memerlukan jahitan penunjang untuk menutup luka operasi.
12
2.3.9 Komplikasi Appendicitis
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon
dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam
sejak sakit, panas lebih dari 38,50 C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan prabedah, serta
stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak berkomplikasi
membawa mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang mencerminkan perawatan
prabedah, bedah dan pascabedah yang tersedia saat ini. Angka kematian pada
apendisitis berkomplikasi telah berkurang dramatis menjadi 2 sampai 5 persen, tetapi
tetap tinggi dan tak dapat diterima (10-15%) pada anak kecil dan orang tua.
Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini
13
DAFTAR PUSTAKA
Agus Purwadianto, Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik. Edisi Revisi. Jakarta :
Penerbit Bina Rupa Aksara. p.122-6.
Arif Mansjoer,Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan.
2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p.307-313.
Dorland W.A. Newman. 2000. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 29th ed.
Terjemahan : Huriawati Hartanto. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.142.
Grace Pierce A, Borley Neil R. 2006. Surgery at a Glance. 3th ed. Terjemahan Vidhia
Umami. Jakarta : Penerbit Erlangga. p.106-7.
Jaffe Bernard M., Berger David H. 2005. The Appendix In : Brunicardi F. Charles, Andersen
Dana K., Billiar Timothy R, Dunn David L, Hunter John G, Pollock Raphael E.
Schwartz’s Principles Of Surgery. 8th ed. New York : The Mc Graw-Hill Companies.
p.1119-1137.
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. p. 642-5.
Snell Richard S. 2000. Clinical Anatomy For Medical Student. 6th ed. Terjemahan Liliana
Sugiharto. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 230-1.
Way Lawrence W. 2006. Appendix In : Doherty Gerard M., Way Lawrence W. Current
Surgical Diagnosis & Treatment. 12th ed. New York : The Mc Graw-Hill Companies.
p.648-652.
14