Anda di halaman 1dari 13

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK

PITYRIASIS VERSIKOLOR

Disusun oleh:
Josephine Grace Suryadi
01073180124

Pembimbing:
dr. Vincentia T, M. Sc, SpKK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 26 AGUSTUS 2019 – 27 SEPTEMBER 2019
JAKARTA
DAFTAR PUSTAKA

BAB I .............................................................................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 2
1.1. Definisi ............................................................................................................................. 2
1.2. Epidemiologi ................................................................................................................... 2
1.3. Etiologi............................................................................................................................. 2
1.4. Patogenesis ...................................................................................................................... 2
1.5. Gejala Klinis ................................................................................................................... 4
1.6. Diagnosis ......................................................................................................................... 5
1.7. Diagnosis Banding .......................................................................................................... 6
1.8. Tata Laksana .................................................................................................................. 9
1.9. Prognosis ....................................................................................................................... 10
BAB II .......................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 11

1
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Penyakit infeksi oportunistik kulit epidermomikosis, disebabkan oleh jamur Malassezia sp.
(Pitryrosporum orbiculare/P.ovale) yang ditandai dengan makula hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi dan kadang eritematosa.

1.2. Epidemiologi
Pityriasis versikolor dapat ditemukan pada semua usia, terutama pada usia 20-40 tahun,
lesi terutama pada daerah seboroik; tidak menular, serta ada kecenderungan genetik.14 Pityriasis
versikolor lebih sering terjadi di daerah tropis dan mempunyai kelembaban tinggi. Walaupun
kelainan kulit lebih terlihat pada orang berkulit gelap, namun angka kejadian pityriasis versikolor
sama di semua ras. Beberapa penelitian mengemukakan angka kejadian pada pria dan wanita
dalam jumlah yang seimbang.2

1.3. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Malasezia furfur. Malassezia furfur (dahulu dikenal
sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale) merupakan jamur lipofilik yang normalnya
hidup di keratin kulit dan folikel rambut manusia saat masa pubertas dan di luar masa itu. Sebagai
organisme yang lipofilik, Malassezia furfur memerlukan lemak (lipid) untuk pertumbuhan in vitro
dan in vivo. Secara in vitro, asam amino asparagin menstimulasi pertumbuhan organisme,
sedangkan asam amino lainnya, glisin, menginduksi (menyebabkan) pembentukan hifa. Pada dua
riset yang terpisah, tampak bahwa secara in vivo, kadar asam amino meningkat pada kulit pasien
yang tidak terkena panu. Jamur ini juga ditemukan di kulit yang sehat, namun baru akan
memberikan gejala bila tumbuh berlebihan. Beberapa faktor dapat meningkatkan angka terjadinya
pityriasis versikolor, diantaranya adalah turunnya kekebalan tubuh, faktor temperatur, kelembaban
udara, hormonal dan keringat. 3

1.4. Patogenesis
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya pityriasis versicolor
yaitu Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau Pityrosporum ovale yang berbentuk oval.
Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Malassezia berubah dari bentuk

2
blastospore ke bentuk mycelial. Hal ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi. Malassezia memiliki
enzim oksidasi yang dapat merubah asam lemak pada lipid yang terdapat pada permukaan kulit
menjadi asam dikarboksilat. Asam dikarboksilik ini menghambat tyrosinase pada melanosit
epidermis dan dapat mengakibatkan hipomelanosit. Tirosinase adalah enzim yang memiliki
peranan penting dalam pembentukan melanin. Malassezia Furfur dapat menginfeksi pada individu
yang sehat sebagaimana ia dapat menginfeksi individu dengan immunocompromised, misalnya
pada pasien kanker atau AIDS. 3

Malassezia furfur dapat dikultur dari kulit yang terinfeksi maupun yang normal dan
dianggap bagian dari flora normal, terutama di daerah tubuh manusia yang kaya dengan sebum.
Hasil peningkatan kelembaban, suhu dan ketegangan CO2 tampaknya menjadi faktor penting yang
berkontribusi terhadap infeksi. Malassezia furfur adalah dimorfik, organisme lipofilik yang
tumbuh secara in vitro hanya dengan tambahan asam lemak C12-C14 seperti minyak zaitun dan
lanolin. Dalam kondisi yang tepat, ia berubah dari jamur saprofit menjadi bentuk miselium yang
didominasi parasit, yang menyebabkan penyakit klinis. Faktor predisposisi transisi miselium
termasuk, lingkungan yang lembab, hiperhidrosis, kontrasepsi oral, penggunaan kortikosteroid
sistemik, penyakit Cushing, imunosupresi, serta keadaan malnutrisi.4

Organisme yang menginfeksi biasanya hadir di lapisan atas stratum korneum, dan dengan
penggunaan mikroskop elektron bisa dilihat bahwa jamur ini menyerang tidak hanya antara tetapi
dalam sel-sel berkeratin.Jumlah korneosit jelas menunjukkan pergantian sel meningkat pada kulit
yang terinfeksi. Ada beberapa mekanisme yang dipostulasikan untuk perubahan dalam pigmentasi,
termasuk produksi asam dikarboksilat yang dihasilkan oleh spesies Malassezia (asam azelaic
misalnya) yang menyebabkan penghambatan kompetitif tirosinase dan mungkin efek sitotoksik
langsung pada melanosit hiperaktif. 4

Bercak hiperpigmentasi kulit terjadi karena peningkatan berlebihan dalam ukuran


melanosom dan perubahan dalam distribusi mereka di epidermis, memberikan kawasan yang
terkena warna kulit yang lebih gelap dari normal. Lesi hipopigmentasi pula dapat diakibatkan dari
penghambatan enzim dopa-tyrosinase oleh fraksilipid, karena jamur menghasilkan asam azelaic di
lokasi cedera yang terinfeksi, yang menghambat tirosinase, mengganggu melanogenesis. 4

3
1.5. Gejala Klinis
Lesi pada Pityriasis versicolor memiliki durasi bulanan sampai tahunan. Pada kulit
biasanya asimptomatik, kadang menimbulkan rasa gatal yang ringan, dan umumnya datang karena
masalah dari dispigmentasi.1

Lesi Pityriasis versicolor berupa makula, berbatas tegas, berbentuk bulat atau oval, dengan
ukuran bermacam-macam. Lesi pada orang dengan kulit untanned berwarna coklat muda, pada
orang dengan kulit tanned nampak hipopigmentasi, sedangkan pada orang dengan kulit coklat atau
hitam tampak makula coklat tua. Akan tetapi, beberapa lesi bisa berwarna merah muda. Lesi
Pityriasis versicolor bisa melebar seiring berjalannya waktu membentuk area geografik ekstensif.
Biasa distribusi ke tubuh bagian atas, lengan atas, leher, abdomen, axilla, inguinal, paha, dan
genitalia. 1

Gambar 1. Lesi Pityriasis versicolor pada orang kulit hitam.

4
1.6. Diagnosis
1. Anamnesis.

Pada anamnesis ditemukan bercak di kulit, yang kadang menimbulkan rasa gatal terutama bila
berkeringat. Rasa gatal umumnya ringan atau tidak ada sama sekali. Warna dari bercak bervariasi
dari putih, merah muda hingga coklat kemerahan.6
2. Pemeriksaan Fisik.

Predileksi lesi terutama di daerah seboroik, yaitu tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan
atas; berupa bercak hipopigmentasi, eritema hingga kecoklatan, konfluen dengan skuama halus.6
3. Pemeriksaan KOH 20%

Pemeriksaan ini memperlihatkan kelompok sel ragi bulat berdinding tebal dengan miselium
kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek), yang akan lebih mudah dilihat dengan penambahan
zat warna tinta parker blue-black atau biru laktofenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering
dilukiskan sebagai “meat ball and spaghetti”. 6

Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang mengalami lesi.
Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas alcohol 70%, lalu dikerok dengan skapel steril dan
jatuhnya ditampung dalam lempeng-lempeng steril. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa
langsung dengan KOH 20% yang di beri tinta parker biru hitam, dipanaskan sebentar, ditutup
dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur, maka
akan terlihat garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarakjarak tertentu dipisahkan
oleh sekat-sekat atau seperti butir-butir yang bersambung seperti kalung. Pada Pityriasis versicolor
hifa tampak pendek-pendek, bercabang, terpotong-potong, lurus atau bengkok dengan spora yang
berkelompok.6

5
Gambar 2. Gambaran ragi dan miselium sering disebut “spaghetti and meatballs”

4. Pemeriksaan lampu Wood.

Pada pemeriksaan lampu Wood terlihat fluoresensi berwana kuning keemasan. 6

Gambar 3. Pemeriksaan lampu Wood pada Pityriasis versikolor.

1.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding meliputi ruam-ruam putih pada kulit seperti vitiligo dan pityriasis alba.

1. Vitiligo.

6
Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali familial
ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas dan asimtomatis. Makula
hipomelanosis pada vitiligo yang khas berupa bercak putih seprti kapur, bergaris tengah beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas
dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vitiligo mempunyai
distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum
manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium (mulut, hidung, mata, rektum),
pada bagian ekstensor permukanaa tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku). Pada pemeriksaan
histopatologi tidak ditemukan sel melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negatif.

Pada pemeriksaan dengan lampu Wood makula amelanotik pada vitiligo tampak putih
berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo dengan makula hipomelanotik pada kelainan
hipopigmentasi lainnya.

Penatalaksanaan vitiligo dapat diberikan: 17

a. Tabir surya  untuk melindungi kulit yang terlihat agar tidak mengalami reaksi terbakar
surya dan tidak terjadi tanning pada kulit yang normal. Yang dianjurkan adalah tabir surya
dengan SPF lebih dari 30.
b. Kosmetik penutup  untuk menyembunyikan lesi vitiligo sehingga tidak tampak. Merek
yang tersedia misalnya Covermark (Lydia O’Leary), Dermablend, Vitadye dan Dy-o-
Derm. Biasanya warna disesuaikan dengan warna kulit dan tidak mudah hilang.
c. Kortikosteroid topical  pemakaian kortikosteroid berlandaskan pada teori autoimun. Jika
tidak ada respon selam 2 bulan maka terapi dianggap tidak akan berhasil. Evaluasi perlu
dilakukan setiap bulan untuk mencegah timbulnya atropi kulit dan telangiectasia.
d. Pemakaian psoralen dengan UVA  Psoralen secara topikal ataupun sistemik yang diikuti
oleh pajanan terhadap sinar UVA (PUVA) menyebabkan proliferasi sel-sel pigmen di
dalam umbi rambut dan perpindahan sel-sel pigmen tersebut kedaerah kulit yang putih
(hipopigmentasi)
e. Minigrafting  dapat digunakan pada vitiligo segmental yang stabil dan tidak dapat diobati
dengan teknik yang lain.
f. Bleaching  terapi ini digunakan untuk vitiligo yang luas, gagal dengan terapi PUVA,
atau menolak PUVA. Yang digunakan adalah Monobenzylether of hydroquinon 20%

7
cream, dioleskan 2 kali sehari. Biasanya dibutuhkan waktu 9- 12 bulan agar terjadi
depigmentasi.17

Gambar 4. Vitiligo pada regio fasial (kiri) dan regio ekstremitas inferior (kanan)

2. Pityriasis Alba.

Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30- 40%). Wanita dan pria
sama banyak. Lesi berbentuk bulat oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau sesuai
warna kulit dengan skuama halus diatasnya. Setelah eritema menghilang lesi yang dijumpai hanya
hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat terutama pda
orang dengan kulit berwarna.

Bercak biasanya multiple 4 sampai 20. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-
60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas
12
dan badan. Lesi umumnya asimtomatik tetapi dapat juga terasa gatal dan panas. Pada
pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum basal dan terdapat hiperkeratosis
dan parakeratosis. Kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan adanya batas yang tidak tegas
dan lesi yang tidak amelanotik serta pemeriksaan menggunakan lampu wood. Kelainan
hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca inflamasi dan efek
penghambatan sinar ultra violet oleh epidermis yang mengalami hipereratosis dan parakeratosis.
Terapi pitiriasis alba kadang tidak memuaskan namun penyakit ini dapat menyembuh sendiri
seiring dengan meningkatnya usia, namun pernah dilaporkan lesi yang menetap hingga dewasa.
Terapi yang dapat digunakan berupa kortikosteroid topikal. Untuk lesi pititriasis alba yang luas
dapat digunakan PUVA.12

8
Gambar 5. Pitiriasis alba pada regio fasial tampak batas yang kurang jelas.

1.8. Tata Laksana


Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topical maupun sistemik. Angka
kekambuhannya cukup tinggi, oleh sebab itu diperlukan terapi profilaksis untuk mencegah
rekurensi:
1. Topikal
 Sampo ketokonazol 2% dioleskan pada daerah yang terinfeksi/seluruh badan, 5 menit
sebelum mandi, sekali/hari selama 3 hari berturut-turut.5-7
 Sampo selenium sulfida 2,5% sekali/hari 15-20 menit selama 3 hari dan diulangi seminggu
kemudian. Terapi rumatan sekali setiap 3 bulan.5-7
 Sampo zinc pyrithione 1% dioleskan di seluruh daerah yang terinfeksi/seluruh badan, 7-10
menit sebelum mandi, sekali/hari atau 3-4 kali seminggu. 7
 Khusus untuk daerah wajah dan genital digunakan vehikulum solutio atau golongan azol
topikal (krim mikonazol 2 kali/hari). 7
 Krim terbinafin 1% dioleskan pada daerah yang terinfeksi, 2 kali/hari selama 7 hari. 5
2. Sistemik

9
Untuk lesi luas atau jika sulit disembuhkan dapat digunakan terapi sistemik ketokonazol 200
mg/hari selama 10 hari.8
Alternatif:
 Itrakonazol 200 mg/hari selama 7 hari atau 100 mg/hari selama 2 minggu9
 Flukonazol 400 mg dosis tunggal atau 300 mg/minggu selama 2-3 minggu.10
Obat dihentikan bila pemeriksaan klinis, lampu Wood, dan pemeriksaan mikologis langsung
berturut-turut selang seminggu telah negatif. Pada kasus kronik berulang terapi pemeliharaan
dengan topikal tiap 1-2 minggu atau sistemik ketokonazol 2x200 mg/hari sekali sebulan.11
3. Terapi hipopigmentasi:12
a. Liquor carbonas detergent 5%, salep pagi/malam
b. Krim kortikosteroid menengah pagi dan malam
c. Jemur matahari kurang lebih 10 menit antara jam 10.00 – 15.00
4. Edukasi
a. Memberitahu pasien bahwa repigmentasi memerlukan waktu yang lama bahkan
sampai setelah sembuh.13
b. Menjaga agar kulit tetap kering. 14
c. Mengurangi aktivitas yang membuat keringat berlebihan. 14
d. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bersama dengan orang lain. 15
e. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat. 15
1.9. Prognosis
Perjalanan penyakit berlangsung kronik, namun umumnya memiliki prognosis baik. Lesi
dapat meluas jika tidak diobati dengan benar dan faktor predisposisi tidak dieliminasi. Masalah
lain adalah menetapnya hipopigmentasi, diperlukan waktu yang cukup lama untuk repigmentasi
kembali seperti kulit normal. Hal itu bukan kegagalan terapi, sehingga penting untuk memberikan
edukasi pada pasien bahwa bercak putih tersebut akan menetap beberapa bulan setelah terapi dan
akan menghilang secara perlahan.16

10
BAB II

DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill; 2012:h2307
2. Budimulja, Unandar. 2006. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :Balai Penerbit FKUI
3. Johnson. R.A, Suurmond. D . 2007. Color Atlas And Synopsis of Clinical Dermatology.
Dalam: Fitzpatrick TB, Wolff K, Johnson RA, Suurmond 16 D, penyunting. Dermatology
in general medicine. Edisi ke-5. New York: McGraw-Hill. h. 729
4. Kundu, R.V. and A. Garg. 2012. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea (Pityriasis)
Versicolor, and Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis, in Fitzpatrick's Dermatology In
General Medicine, M. Lowell A. Goldsmith, MPH, et al., Editors. McGraw-Hill. p. 3280-
3285.
5. Hu SW, Bigby M. Pityriasis versicolor: a systematic review of interventions. Arch
Dermatol.2010;146:1132–1140.
6. Lange DS, et all/ Ketokonazol 2 % shampoo in the treatment of tinea versicolor: A
multicenter randomized, double blind, placebo controlled trial. JAAD,1998;39(6):944-950.
7. Hald M, Arendrup MC, Svejgaard EL, Lindskov R, Foged EK, Saunte DM. Evidence-
based Danish guidelines for the treatment of Malassezia-related skin diseases. Acta
dermatovenereologica. 2015 Jan 15;95(1):12-9.
8. Dias MF, Quaresma-Santos MV, Bernardes-Filho F, Amorim AG, Schechtman RC,
Azulay DR. Update on therapy for superficial mycoses: review article part I. Anais
brasileiros de dermatologia. 2013 Oct;88(5):764-74.
9. Kose O, Tastan HB, Gur AR, Kurumlu Z. Comparison of a single 400 mg dose versus a 7-
day 200 mg daily dose of itraconazole in the treatment of tinea versicolor. Journal of
DermatologicalTreatment. 2002;13:77-9.
10. Yazdanpannah MJ, Azizi H, Behnaz S. Comparison between fluconazole and ketoconazole
effectivity in the treatment of pityriasis versicolor. Mycoses. 2007;50:311-3.
11. Fredriksson T, Faergermann J. Double-blind comparison of a zinc pyrithione shampoo and
its shampoo base in the treatment of tinea versicolor. Cutis. 1983;31(4):436-7.

11
12. Murtiastutik D, Ervianti E. 2009. Atlas Penyakit Kulit & Kelamin. Dep/SMF Kesehatan
Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Ed, 2. h.80-81
13. Schwartz RA. Superficial fungal infections. Lancet. 2004 Sep 25-Oct 1;364(9440):1173-8
14. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianty E, editor. Dalam
Dermatomikosis Superfisialis edisi ke 2. Jakarta: BP FKUI; 2013:h.24-34
15. Farschian M, Yaghoobi R, Samadi K. Fluconazole versus ketoconazole in the treatment of
tinea versicolor. Journal of Dermatology Treatment. 2002;13:73-6.
16. Tan Sukmawati, Reginata G. 2015. Uji Provokasi Skuama pada Pitiriasis Versikolor.
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara. CDK-229/ vol. 42 no. 6. Jakarta, Indonesia
17. Ortonne JP, Bahadoran P. 2003. /hypomelanosis and Hypermelanosis. Dalam: Freedberg
IM, Eisen AZ, Wolf K,. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Sixth Edition. Mc
Graw-Hill. New York 836-862

12

Anda mungkin juga menyukai