Anda di halaman 1dari 3

Sanering dan Redenominasi

Posted By Dino on August 4, 2010

Adalah konsekwensi logis dari mata uang yang terus mengalami inflasi akan
bertambah terus nol-nya dari waktu ke waktu. Untuk Rupiah, tiga angka nol yang
pernah dibuang dengan susah payah tahun 1965/1966 melalui apa yang dikenal
dengan Sanering Rupiah , tiga angka nol tersebut 32 tahun kemudian kembali
memenuhi angka uang kita bahkan kembalinya cenderung tidak cukup tiga angka nol,
melainkan malah menjadi empat atau bahkan lima angka nol. Mau bukti ?, lihat di
dompet Anda – kemungkinan besar hanya uang dengan empat atau lima angka nol
yang ada di dompet – karena yang nolnya hanya tiga kemungkinan sudah untuk bayar
parkir, masuk kencleng infaq atau diberikan ke Pak Ogah..

Akibat dari bertambahnya angka nol terus menerus tersebut, secara berkala memang
dibutuhkan otoritas yang berani mengambil keputusan untuk me-reset kembali agar
angka-angka nol tersebut kembali ke jumlah semula. Proses me-reset ini bisa melalui
Sanering bila ekonomi lagi gonjang-ganjing, atau melalui proses Redenominasi bila
ekonomi lagi stabil. Yang pertama (Sanering) disertai penurunan daya beli
masyarakat melalui pemotongan nilai, yang kedua (Redenominasi) hanya pencatatan
beberapa angka nol-nya yang dihilangkan sedangkan daya beli masyarakat seharusnya
tidak berubah.

Proses keduanya membuat panik, menyakitkan, membingungkan dan segala macam


konsekwensinya – tetapi saya sendiri berpandangan justru harus dilakukan dengan
berani dan cepat. Bila berlama-lama, justru akan membuat kebingungan dan ketidak
pastian yang lama. Bila kita menutup mata, justru angka-angka nol yang bisa terus
bertambah tersebut akan berlama-lama merepotkan dan menghantui kita semua.

Bila dilakukan dengan berani dan cepat; rasa sakit tersebut akan berlangsung cepat –
namun setelah itu kita akan bersyukur telah melalui masa yang menyakitkan tersebut.
Bayangkan bila tahun 1965 (diimplementasikan sampai 1966) pemerintah negeri ini
tidak berani mengambil keputusan Sanering – Indonesia mungkin tidak akan pernah
bisa membangun – dan bisa Anda bayangkan berapa angka nol uang kita sekarang ?.

Demikian pula bila otoritas sekarang tidak berani mengambil keputusan untuk meng-
implementasikan proses Redenominasi ini; berapa angka nol uang kita pada saat Anak
Anda yang baru lahir sekarang masuk perguruan tinggi delapan belas tahun yang akan
datang ?. Jadi Redenominasi tetap harus dilakukan, tinggal masalahnya kapan dan
siapa yang berani mengambil keputusan tidak popular tetapi perlu ini. Saya mengenal
cukup baik (Pjs) Gubernur BI yang sekarang dan sungguh saya berharap beliau berani
melakukannya, karena bila tidak maka yang terjadi adalah membiarkan hantu
Redenominasi ini berlarut-larut ke pejabat berikutnya, kemudian pejabat berikutnya
lagi dst.

Bila Redenominasi tidak dilakukan, ironi yang terjadi seperti yang kita alami sekarang
akan terus berlanjut. Ironi karena rata-rata penduduk Indonesia secara harfiah dapat
disebut ‘Jutawan’ (Millionaire) karena PDB Per kapita kita mencapai lebih dari Rp
24,000,000/ tahun, tetapi rata-rata ‘Jutawan’ tersebut adalah orang miskin menurut
standar Islam – karena nilai Rp 24,000,000,- ini hanya setara sekitar 16.50 Dinar atau
tidak mencapai nisab zakat yang 20 Dinar.

Bila keputusan Redenominasi benar-benar dilaksanakan, yang perlu dipersiapkan


oleh masyarakat adalah proses Reorientasi nilai. Mengapa proses ini perlu ?, berikut
saya berikan ilustrasinya.

Saya pernah mendengar keluhan pelayan hotel di daerah wisata negeri ini yang
dikunjungi banyak turis asing. Ketika mereka mengantarkan pesanan room service,
sering diberi tips hanya Rp 1,000,- atau bahkan koin Rp 500,-. Hal yang sama yang
terjadi pada sopir taksi, para wisatawan asing tersebut tidak jarang yang menagih
kembalian meskipun kembalian tersebut hanya Rp 1,000,- atau bahkan Rp 500,-.

Mengapa kesan pelitnya beberapa turis asing tersebut terjadi ?; inilah masalah
Reorientasi nilai itu. Meskipun sebelum datang ke Indonesia mereka sudah pelajari
angka-angka di uang kita ini dan konversinya ke nilai uang mereka; Orientasi nilai
dibenak mereka masih tetap menyatakan bahwa angka 1,000 atau 500 adalah angka
yang besar. Karena ketika membayar tips dan menagih kembalian, otak mereka tidak
selalu sempat mengkonversi nilai ke angka nilai yang benar – maka itulah yang
terjadi, nilai tips hanya Rp 1,000 dan uang kembalian taksi secara recehan –pun
diminta.

Ini pula yang akan terjadi pada proses Redenominasi, orientasi di otak kita telah
terbiasa dengan angka-angka besar. Ketika angka-angka tersebut berubah menjadi
kecil, kita harus melatih otak kita untuk terbiasa dengan angka-angka yang menjadi
kecil ini. Nampaknya mudah, tetapi karena ini harus terjadi secara massal bagi seluruh
pengguna Rupiah – maka diperlukan sosialisasi yang efektif.

Apa dampaknya bila Reorientasi nilai tidak berjalan efektif ?, harga-harga bisa kacau.
Misalnya si embok tukang bayem biasa menjual satu ikat bayemnya Rp 2,500,-.
Dalam mata uang Rupiah baru angka tersebut seharusnya menjadi Rp 2.5,- tetapi
dibenak si embok menyatakan bahwa angka Rp 2.5 ini terlalu kecil, maka dinaikanlah
harga bayem dinaikkan menjadi Rp 3,-. Tanpa sadar Anda sebagai pembeli-pun
meresponse angka Rp 3 tersebut dapat diterima karena lebih mudah membayarnya –
dan terasa kecil oleh Anda. Maka apa yang terjadi sesungguhnya adalah inflasi 20%
terhadap harga bayem.

Jadi baik produsen, pedagang mapun konsumen harus membiasakan kembali response
otomatisnya yang akurat terhadap harga atau nilai barang-barang yang wajar – inilah
Reorientasi yang saya maksud.

Disinilah sebenarnya keunggulan dan kebenaran Islam itu dapat terbukti dengan jelas.
Kita tidak perlu kehilangan orientasi dalam hal apapun dan kapanpun – karena
tuntunannya, arahannya, nilai-nilainya berlaku baku sepanjang zaman. Seperti sholat
yang kita tidak perlu lagi bertanya menghadap kemana, tinggal kita tahu dimana kita
berada dan dimana Ka’bah berada – maka seluruh umat sepakat kesitulah kita
menghadap.

Demikian pula dalam hal nilai, kita bisa dengan mudah dan jelas dengan timbangan
yang tidak pernah berubah untuk menimbang siapa yang kaya dan siapa yang miskin
dengan nishab zakat yang 20 Dinar. Yang kaya wajib membayar zakat, yang miskin
berhak menerima zakat – betapa kacaunya hak dan kewajiban ini seandainya nilai
nishab tersebut perlu Sanering ataupun Redenominasi dari waktu kewaktu.

Maka saya-pun berandai-andai, Seandainya saja otoritas yang ada sekarang berani
menggunakan satuan Dinar setidaknya sebagai unit of account atau timbangan yang
adil – maka generasi-generasi yang akan datang dan gubernur-gubernur bank sentral
yang akan datang sampai hari kiamat akan bersyukur – betapa mudahnya tugas
mereka karena tidak harus lagi dari waktu ke waktu mengambil keputusan yang amat
sangat sulit seperti Redenominasi Rupiah ini.

Sekali Dinar digunakan, nilai/daya belinya stabil – 1 Dinar satu kambing tetap sampai
akhir zaman, maka tidak akan lagi pernah diperlukan Redenominasi atau bahkan
Sanering. Bila ini terjadi maka Reorientasi juga tidak akan perlu dilakukan lagi.
WaAllahu A’lam. (Muhaimin Iqbal)

Anda mungkin juga menyukai