Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Industri merupakan sector sekunder dalam pembangunan ekonomi berbagai
negara. Industri pangan yang sedang mengalami perkembangan cukup pesat yaitu
industry Perunggasan. Industri Perunggasan di Indonesia merupakan industri
pangan asal hewan yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat di Indonesia.
Namun, Industri perunggasan di Indonesia sering mengalami pasang surut. Pada
awal tahun 1998, saat krisis ekonomi dan moneter banyak bisnis perunggasan yang
bangkrut. Wabah flu burung (Avian Influenza) yang menurunkan gairah peternakan
unggas di Indonesia. Industri perunggasan yang sedang mengalami peningkatan di
Indonesia saat ini adalah industri Ayam Kampung. ayam kampung saat ini
popularitas-nya semakin meningkat dibandingkan daging unggas lainnya. Hal ini
ditunjukkan dengan laju pertumbuhan produksi paling tinggi 5,49% (Aedah, 2016).
Perkembangan industri perunggasan menghadapi berbagai tantangan salah satu
tantangan berat yang dihadapi peternak unggas yaitu Penyakit pada unggas yang
disebabkan oleh berbagai agen penyakit seperti bakteri, virus, parasite dan factor-
faktor lainnya. Permasalahan penyakit pada unggas yang dihadapi oleh peternak
dapat mencapai 76,7% (Adetayo,2013).
Permasalahan penyakit infeksius pada unggas selain yang disebabkan oleh
bakteri penyakit yang disebabkan oleh virus menjadi salah satu permasalahan yang
besar dihadapi peternak unggas. Penyakit yang disebabkan oleh virus yang sering
menyerang unggas yaitu Egg drop syndrome, Inclusion Body Hepatitis, Avian
Encephalomyelitis, Chicken Anemia Virus, Fowl Pox, Infectious Bursal Disease,
Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis, Infectious
Laryngotracheitis, dan Marek Disease (Butcher, 2015).
Penyakit yang disebabkan oleh virus yang terjadi pada peternakan unggas
menyebabkan kerugian ekonomi pada industry perunggasan seperti menurunya
permintaan akan produk asal peternakan unggas, menurunnya ekspor produk
unggas menuju berbagai negara akan mengalami kesulitan akibat adanya outbreak

1
penyakit unggas serta mengganggu kesehatan pada manusia karena penyakit virus
pada unggas dapat menular menuju ke manusia yang dapat menyebabkan sakit
bahkan kematian pada manusia seperti Avian Influenza (Jordan, 2018).
Pemeriksaan terhadap penyakit unggas yang disebabkan oleh virus dapat
dilakukan dengan mengamati gejala klinis yang nampak pada unggas, perubahan
patologis pada organ, pemeriksaan rapid test yang dilakukan untuk mengetahui
adaanya antigen ataupun antibodi terhadap suatu virus, Inokulasi virus pada Telur
Ayam berembrio, steam cell, PCR, uji ELISA, hewan coba, dan dengan
menggunakan teknologi baru yaitu biosensor (untuk deteksi virus Avian Influenza)
(Astill, 2018).
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan pemeriksaan ayam kampung yang
mengalami sakit pada saluran respirasi yang diduga disebabkan oleh virus melalui
pemeriksaan dan penentuan diagnosa penyakit didasarkan atas diagnosa dentatif
dan diagnose defenitif sehingga dapat menentukan dan menyimpulkan penyakit
yang menyerang saluran respirasi ayam kampung.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana peneguhan diagnosa pada sampel unggas yang diduga mengalami
gangguan pernafsan?
2. Virus apa yang ditemukan pada sampel unggas yang diduga penyebab penyakit
pada saluran pernafasan pada unggas secara mikrobiologis?
3. Bagaimana status titer antigen virus terhadap ayam kampung yang di uji
melalui Hemaglutination assay (Uji HA)?
4. Bagaimana status titer antibodi ayam terhadap antigen virus yang di uji melalui
Haemaglutination Inhibition Test (Uji HI)?
1.3 Tujuan
Tujuan dilaksanakan rotasi laboratorium mikrobiologi dan imunologi veteriner
ini yaitu :
1. Mengetahui dan memahami cara peneguhan diagnosa pada sampel unggas
yang diduga mengalami gangguan pernafasan

2
2. Mengetahui virus yang ditemukan pada saluran pernafasan unggas yang
diduga penyebab penyakit secara mikrobiologis
3. Mengetahui dan memahami status antigen virus melalui uji
Hemaglutination assay dan status antibodi ayam kampung terhadap virus
yang diuji melalui Haemaglutination Inhibition Test (Uji HI).
1.4 Manfaat
Manfaat dari pelaksanaan kegiatan Koasistensi PPDH rotasi laboratorium di
Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi Veteriner FKH UB ini adalah untuk
memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memberikan kesempatan bagi
mahasiswa untuk mengetahui dan memahami cara peneguhan diagnosa terhadap
penyakit pada saluran pernafasan unggas melalui pemeriksaan secara
mikrobiologis dan mengetahui status titer antigen virus yang menyebabkan
penyakit pada saluran pernafasan unggas dan status titer antibodi yang dimiliki
ayam untuk menghambat agglutinasi virus.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Virus
Virus merupakan kelompok mikroorganisme antara yang memiliki sifat
makhluk hidup apabila mendapatkan inang penempelannya dan memiliki sifat
benda mati (dorman) apabila tidak menemukan host untuk didiami. Virus
mengandalkan materi genetiknya, yaitu DNA atau RNA untuk melakukan
aktivitas makhluk hidup, termasuk menyebabkan penyakit pada komoditas
perikanan. Organisme perairan merupakan salah satu inang yang menjadi objek
bagi beberapa kelompok virus untuk hidup. Oleh karena virus bukanlah suatu
jenis organisme independen, maka virus berusaha mencari inang penempelan
yang memiliki struktur fisiologi sama dengan materi genetik virus (Kurniawan,
2012).

Gambar 2.1 Avian Influenza Virus (Pudjiatmoko, 2014)


3.1.1 Tingkat Virulensi Virus
Virulensi virus dipengaruhi oleh kemampuan virus dalam
menimbulkan gejala klinis yang nampak pada hospes. Kemampuan virulensi
virus terbagi menjadi tiga yaitu : Velogenic, Mesogenic, dan Lentogenic.
Strain velogenic merupakan strain-strain virus yang dapat menyebabkan
penyakit yang parah pada hospes dengan tingkat kematian yang tinggi
mencapai 90%-100%. Kematian mendadak pada hospes sering terjadi
sebelum gejala klinis terlihat. Gejala klinis yang pada hospes terjadi secara
komples melibatkan berbagai sistem organ didalam tubuh. Seperti Strain
Velogenic Newcastle Disease gejala klinis yang terlihat terdapat pada

4
gangguan sistem saraf disertai gangguan pernafasan dan gangguan
pencernaan hingga produksi telur yang menurun (Rahman , 2018).
Mesogenic terdiri dari strain-strain virus yang menimbulkan gejala
klinis yang bersifat akut pada sistem organ didalam tubuh hospes. Bila agen
penyakit lain menyerang hospes menimbulkan gejala klinis yang parah.
Namun , tingkat mortalitas yang disebabkan oleh virus strain mesogenic
tidak tinggi seperti velogenic sekitar 10%-25% (Rahman, 2018).
Lentogenic terdiri dari strain-strain virus yang menimbulkan gejala
klinis yang bersifat subclinis jika adanya infeksi skunder dan terkadang
gejala klinis yang ditimbulkan tidak spesifik. Tidak menyebabkan mortalitas
pada hospes (Rahman, 2018).
3.2 Ayam Kampung
Ayam buras merupakan salah satu jenis ternak unggas yang telah
memasyarakat dan tersebar diseluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat
Indonesia ayam buras sudah bukan hal asing, istilah “Ayam Buras” semula
adalah kebalikan dari istilah “Ayam Ras” dan sebutan ini mengacu pada ayam
yang ditemukan berkeliaran bebas disekitar rumah. Untuk memudahkan
pembedaannya maka kelompok ayam domestic (komersial) disebut ayam buras
(bukan ras), dengan demikian pengertian ayam buras tidaklah sama dengan ayam
kampung. Ayam buras berasal dari hasil domestikasi, yang mempunyai empat
spesies yakni Gallus Varius (Ayam hutan hijau), Gallus-gallus (Ayam hutan
merah), Gallus Sonnerati (Ayam hutan abu-abu india), dan Gallus Lavayeti
(Ayam hutan jingga) (Suardy, 2013).
3.3 Penyakit Viral pada Unggas
Penyakit viral pada unggas dapat disebabkan oleh berbagai jenis virus.
Virus-virus yag sering menyerang pada unggas terdir dari Avian Influenza, Avian
encephalomyelitis, Avian leucosis, Egg drop syndrome, Fowl Pox, Infectious
bronchitis, Infectious bursal disease, Marek’s disease, Newcastle disease, dan
Swollen head syndrome. Penyakit virus tersebut dapat menyebabkan terjadinya

5
penyakit sistemik dan perubahan patologis yang terdapat di organ tubuh ayam
terlihat baik disistem pernafasan maupun sistem pencernaan (Sasita, 2018).
3.3.1 Newcastle disease
Newcastle disease merupakan penyakit acute yang disebabkan oleh
Avian Paramyxovirus type-1 (APMV-1) genus Avulavirus family
Paramyxoviridae yang merupakan virus Single stranded RNA dan
berpolaritas negatif. Virus ini berbentuk bulat dengan diameter 150-300
nm. Nuklokapsid bersimetri heliks dan dikelilingi oleh amplop yang
berasal dari membrane permukaan sel. Penyakit ini menyerang unggas
terutama ayam sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup
besar pada peternakan ayam. Penyebaran virus dapat melalui kepadatan
kandang yang terlalu padat, Feses ayam yang mengandung virus ND
yang memiliki titer yang tinggi, ekskresi dari ayam yang sakit, kontak
dengan hewan yang sakit, maupun pada bangkai hewan yang penderita
ND (Jahan, 2013).

Gambar 2.3.1 Gangguan Sistem Syaraf (MSD Animal Health, 2013)


Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ND adalah nafsu
makan yang berkurang, diare, lesu, sesak napas, ngorok, bersin, bantik,
paralisis parsialis atau kompleks, dan tortikolisis, produksi telur
menurun, atau terhenti. Virus ND memiliki lima bentuk yang terdiri dari
(Perdana, 2016) :
a. Bentuk Doyle yang bersifat akut, infeksi bersifat ganas dan
mematikan yang menyerang semua kelompok umur ayam dan gejala
yang ditimbulkan setelah di nekropsi akan ditemukan lesi hemoragi

6
pada saluran pencernaan. Bentuk ini disebut sebagai Velogenic
viscertropic Newcastle Disease (VVND).
b. Bentuk Beach’s yang bersifat akut dan ganas pada semua umur
ayam. Gejala yang timbul yaitu gangguan pernafasan dan syaraf..
Bentuk ini juga disebut sebagai Velogenic viscertropic Newcastle
Disease (VVND).
c. Bentuk Beaudettes’ bersifat kurang patogenik. Namun
menyebabkan kematian pada ayam berusia muda. Virus ND yang
menyebabkan penyakit pada bentuk ini merupakan kelompok
mesogenic
d. Bentuk Hitchner’s biasanya menyebabkan infeksi pernafasan ringan
atau tanpa gejala klinis. Virus yang menyebabkan penyakit pada
kasus ini merupakan kelompok lentogenic.
e. Bentuk Asimtomatik-enterik terkait infeksi usus sub-klinis oleh
strain lentogenic yang menyerang saluran pencernaan dengan tanda
yang tidak spesifik.
3.3.2 Avian Influenza Virus
Avian influenza (AI) merupakan penyakit viral akut pada unggas
yang disebabkan oleh virus influenza type A subtipe H5 dan H7. Semua
unggas dapat terserang virus influenza A, tetapi wabah AI sering
menyerang ayam dan kalkun. Penyakit ini bersifat zoonosis dan angka
kematian sangat tinggi karena dapat mencapai 100%. Virus avian
influenza (AI) terbagi atas tiga tipe, yaitu tipe A, B, dan C, berdasarkan
atas perbedaan antigen pada protein inti (nucleoprotein) dan protein
matriks (Helmi, 2016).
Virus influenza A dapat menginfeksi berbagai spesies unggas,
mamalia, dan manusia, dan merupakan patogen utama yang berperan
dalam pandemi influenza di seluruh dunia. Virus influenza A
dikelompokkan berdasarkan pada dua antigen permukaan virus, yaitu
protein hemaglutinin (HA) dan protein neuraminidase (NA), yang

7
sampai saat ini telah ditemukan 18 HA (H1-H1) dan 11 NA (N1-N11)
(Tong et all., 2013).
Berdasarkan patotipenya, virus AI dibedakan menjadi Highly
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau tipe ganas dan Low Pathogenic
Avian Influenza (LPAI) atau tipe kurang ganas. Tanda yang paling
menciri untuk HPAI adalah tingkat kematian yang tinggi yang mencapai
100%. Selama ini virus AI yang bersifat HPAI adalah H5 dan H7.
Karena mudah bermutasi maka keganasan virus AI ditentukan oleh
waktu, tempat dan inang yang terinfeksi (Pudjiatmoko, 2014).
Gejala klinis Avian Influenza pada ayam tergantung pada
patogenitas (HPAI dan LPAI). Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)
menunjukkan gejala klinis yang umumnya ringan yaitu bersin disertai
batuk, mata berair, adanya nasal discharge, lethargy, nafsu makan
menurun, dan produksi telur menurun. Tingkat mortalitas yang
disebabkan oleh LPAI rendah (Cardona, 2014).

Gambar 2.3.2 Gejala Klinis (A) Cyanosis pada Kepala dan (B)
Perdarahan pada Kaki (Pudjiatmoko, 2014)
Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) menyebabkan gejala
klinis yaitu jengger, pial, kelopak mata, telapak kaki dan perut yang
tidak ditumbuhi bulu terlihat berwarna biru keunguan. Adanya
perdarahan pada kaki berupa bintik-bintik merah (ptekhie) atau biasa
disebut kerokan kaki. Keluarnya cairan dari mata dan hidung,
pembengkakan pada muka dan kepala, diare, batuk, bersin dan ngorok.

8
Nafsu makan menurun, penurunan produksi telur, kerabang telur
lembek. Adanya gangguan syaraf, tortikolis, lumpuh dan gemetaran.
Kematian terjadi dengan cepat. Tingkat mortalitas antara 50-90% daan
terkadang onset cepat sehingga gejala klinis belum terlihat (MSD
Animal Health, 2013).
3.4 Diagnosa Penyakit Viral pada Unggas
Diagnosis penyakit virus diawali dari sejarah kasus di lapangan. Diagnosis
lapang meliputi: data epidemiologi, laporan tentang gejala klinis. Hewan yang
sakit kemudian dinekropsi untuk mengetahui organ yang mengalami perubahan
patologi anatomi. Organ-organ tersebut selanjutnya dijadikan sampel untuk
bahan uji di laboratorium (Kencana, 2017).
Selain sampel organ dari hewan sakit, bahan untuk isolasi virus dapat pula
diambil dari hewan sehat yang dicurigai dengan melakukan pengambilan sampel
dari swab kloaka, dan swab trakea. Selanjutnya dilakukan isolasi dan identifikasi
agen penyebab penyakit. Identifikasi virus dapat dilakukan secara serologi dan
molekuler (misalnya dengan uji hemaglutinasi dan uji molekuler dengan
Polymerase Chain Reaction=PCR), penanaman pada telur ayam berembrio
(TAB), pada hewan coba, dan steam cell maupun jaringan (Kencana, 2017).
2.4.1 Pemeriksaan Fisik Ayam
Pemeriksaan pada ayam diawal dengan mengumpulkan data signalment
dan anamnesa yang berasal dari pemilik ayam yang dapat digunakan sebagai
penunjang pelaksanaan pemeriksaan dan penentuan diagnose penyakit.
Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik pada ayam. Pemeriksaan fisik pada
ayam dilakukan dengan pengamatan tingkah laku ayam, cara berdiri, keadaan
bulu yang menutupi tubuh ayam serta mengamati kebersihan bulu, berat
badan, pemeriksaan mata, discharges pada nasal, membrane mukosa,
pemeriksaan mata, pemeriksaan persendian, palpasi tubuh ayam dan
dilakukan pemeriksaan feses yang jatuh (Bsrat, 2014).

9
2.4.2 Nekropsi Ayam
Tindakan nekropsi pada ayam diawali dengan melaksanakan euthanasia.
Euthanasi dilakukan agar hewan tidak merasakan rasa sakit yang berlebihan
dari tindakan nekropsi. Euthanasia pada unggas dapat dilakukan dengan
menggunakan emboli udara pada kepala, pemberian gas (gas karbondioksida),
pemberian barbiturate melalui jugular vein (Latimer, 2011).
Menurut Darmayanti (2012) prosedur nekropsi ayam yaitu Kadaver
dibasahi dengan air terlebih dahulu untuk menghindari bulu tidak
beterbangan, karena hal tersebut dapat menyebabkan pencemaran.
Melakukan pembedahan diutamakan pada organ yang biasanya mengalami
perubahan menciri. Membuat irisan melintang pada kulit daerah abdomen,
lalu kulit ditarik ke bagian anterior dan irisan tersebut diteruskan ke daerah
thorakssampai mandibula. Irisan pada kulit juga diteruskan ke bagian
posterior di daerah abdomen. Memperhatikan warna, kualitas, dan derajat
dehidrasi dari jaringan sub-kutan dan otot-otot dada.
Membuat irisan melintang pada dinding peritoneum, di daerah ujung
sternum (procesus xyphoideus) ke arah lateral. Kemudian membuat irisan
longitudinal di daerah abdomen melalui linea mediana ke arah posterior
sampai daerah kloaka, untuk membuka cavum abdominalis. Memeriksa
kantung udara di daerah abdominalis dan thorakalis dan memeriksa letak
berbagai organ di dalam cavum thorax dan abdominalis sesuai posisinya tanpa
menyentuh organ tersebut. Memperhatikan kemungkinan terhadap adanya
cairan, eksudat, transudat atau darah di dalam rongga perut dan rongga dada.
Saluran pencernaan dikeluarkan dengan memotong oesophagus pada bagian
proksimal proventrikulus. menarik seluruh saluran pencernaan ke arah
posterior dengan memotong mesenterium sampai pada daerah kloaka.
Mengeluarkan hati, kantung empedu, limpa dan melakukan
pemeriksaan. Membuat irisan secara longitudinal pada berbagai organ dan
periksa terhadap kemungkinan adanya lesi dan penyakit. Memeriksa terhadap
adanya abnormalitas pada organ tersebut. Mengamati dan mencatat semua

10
perubahan patologik yang ditemukan dan mengambil organ yang mengalami
perubahan patologis.
2.4.3 Pembuatan Suspensi Organ untuk Uji Virus
Pembuatan suspensi organ bertujuan untuk menemukan agen penyebab
penyakit pada hewan. Selain itu, isolasi virus dapat dilakukan untuk
memperbanyak virus untuk pembuatan vaksin. Langkah-langkah pembuatan
suspensi organ yaitu (Suardana (2016) :
1. Satu gram jaringan yang diambil tersebut dipotong kecil dengan gunting
atau pisau bedah. Pengerjaan inokulum harus dilakukan secara aseptic.
2. Potongan jaringan tersebut digerus sambil menambahkan PBS/NaCl
fisiologis ke dalamnya sedikit demi sedikit sampai konsentrasi suspense
mencapai 10%-20% .
3. Penggerusan dilakukan sampai jaringan menjadi halus. Suspensi jaringan
kemudian dipindahkan ke dalam tabung pemusing steril (eppendorf)
4. Disentrifugasi (pusingkan) dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 – 15
menit.
5. Pisahkan supernatant dari endapannya. Kedalam suspensi selanjutnya
diberi antibiotika penisilin dan streptomycin dengan dosis masing –
masing 1000 – 5000 IU/ml dan 1000 – 5000 ug/ml.
6. Campuran supernatant dan antibiotika tersebut selanjutnya dimasukkan
kedalam incubator pada suhu 37oC selama 30 menit dan siap
diinokulasikan pada telur ayam berembrio.
2.4.4 Penanaman Virus Pada TAB
Virus merupakan mikroorganisme yang bersifat obligat intraseluler yang
tidak mampu melakukan mutifikasi di luar sel hospes yang hidup. Sifat virus
ini mengakibatkan identifikasi, isolasi, dan numerasi susah dilakukan. Media
yang digunakan dalam menumbuhkan virus ada 2 meetode yaitu secara in
vitro yaitu menumbuhkan virus pada baktei (Bakteriofaga) dan secara in vitro
yaitu menumbuhkan virus degan kultur pada hewan model, kultur pada telur
ayam berembrio, dan kultur pada sel. Kultur pada telur ayam berembrio

11
(TAB) merupakan salah satu metode yang dipergunakan secara luas untuk
pertumbuhan dan isolasi virus dan hingga saat ini masih digunakan dalam
berbagai penelitian dan pembuatan vaksin (Muwarni, 2015).

Gambar 2.4.4 Rute Penanaman Virus pada TAB (ATCC,2016)


Pertumbuhan virus pada TAB dapat ditandai dengan kematian embrio
ayam yang disebabkan oleh hancurnya embrio ayam, anomali pertumbuhan
embrio, hemoragi pada embrio, terbentuknya plaks yang spesifik, ataupun lesi
pada membrane telur. Anatomy TAB terdiri dari cangkang telur, kantung
udara, membrane corioalantois, albumin, ruang amniotic, yolk (kuning telur),
dan embrio ayam. Keuntungan isolasi virus pada TAB yaitu virus dapat
bereplikasi secara cepat, murah dibandingkan metode lainnya, lingkungan
pertumbuhan lebih aseptic atau terjaga karena berada didalam telur yang
memiliki pertahanan terhadap mikroorganisme lainnya. Rute penanaman
virus pada TAB terdiri dari (ATCC, 2016):
a. Inokulasi pada chorioallantois
Inokulasi virus pada chorioallantois menggunakan telur ayam
berembrio berumur 9-12 hari. Inokulasi virus dilakukan sebanyak 0,1-0,,2
cc. Virus yang berkembang pada chorioallantois yaitu Fowl plague,
Newcastle disease, Infectious Bronchitis, Avian Influenza.
b. Inokulasi pada rongga amnion
Inokulasi pada rongga amnion dilakukan pada embrio berumur 7-15
hari dengan inokulasi virus sebanyak 0,1-0,2 cc. Pertumbuhan virus pada

12
rongga amnion lebih lambat dibandingkan dengan lokasi lainnya. Virus
yang di inokulasikan pada rongga amnion yaitu Avian Influenza dan
Mumps Virus
c. Inokulasi Membran chorioallantois
Inokulasi pada membrane chorioallantois dilakukan pada embrio ayam
berumur 10-12 hari. Pertumbuha virus pada membrane chorioallantois
ditandai dengan terbentuknya plaks untuk virus Fowl pox. Selain Fowl
pox juga dapat menumbuhkan virus Variola, Pseudorabies, dan
Laryngiotracheitis. Inokulasi virus dilakukan sebanyak 0,1-0,5 cc.
d. Yolk Salk
Embrio yang digunakan berumur 5-8 hari untuk dilakukan inokulasi
virus. Jumlah inokulasi virus pada Yolk Salk dilakukan sebanyak 0,2- 1cc.
Virus yang diidentifkasi pada yolk salk yaitu Mumps Virus dan isolasi
virus yang lebih dalam.
2.5 Uji HA dan Uji HI
2.5.1 Uji HA (Hemaglutination Assay)
Hemaglutinasi merupakan bentuk aglutinasi khusus dan digunakan oleh
antibodi untuk berikatan dengan sel darah merah yang bertindak sebagai
antigen partikulat. Uji Hemaglutination Assay (Uji HA) merupaka uji yang
digunakan untuk mendeteksi mikroorganisme yang memiliki glikoprotein
permukaan hemagglutinin yang dapat digunakan untuk mengukur titer antigen
virus tersebut (Costabile, 2010).
Hemaglutinasi adalah terbentuknya agregat sel eritrosit oleh partikel
hemaglutinin virus. Hal ini dapat terjadi karena ikatan antara protein luar virus
hemagglutinin dengan reseptor permukaan eritrosit. Prinsip metodenya adalah
mencampurkan satu sampai dua tetes virus dengan suspensi eritrosit.
Hemaglutinasi biasanya akan tampak dalam waktu satu menit pada uji cepat.
Proses hemaglutinasi sendiri berlangsung apabila virus dapat mengikat dua
eritrosit secara simultan sehingga terbentuk semacam jembatan silang (cross

13
bridge). Hal ini mengharuskan jumlah virus dan eritrosit yang ekuivalen
(Fitrawati, 2015).
Prosedur Uji HA yaitu sebanyak 25 µl larutan PBS diisi ke dalam plat
mikro lubang 1-12. Lalu dimasukkan antigen sebanyak 25 µl dari lubang
pertama dengan menggunakan single channel, kemudian dihomogenkan.
Campuran tersebut dipindahkan sebanyak 25 µl dari lubang pertama, ke
lubang kedua, ke lubang ketiga, dan seterusnya sampai lubang ke-11. Hal ini
tidak dilakukan pada lubang ke-12. Kemudian, ditambahkan lagi larutan PBS
sebanyak 25 µl ke dalam lubang 1-12. Setelah itu dimasukkan RBC 5%
sebanyak 25 µl ke lubang nomor 1-12. Lalu ditunggu sampai terjadi agregasi
pada lubang ke-12, kemudian dibaca hasil uji HA tersebut (Darmawi, 2015).
2.5.2 Uji HI (Hemaglutination Inhibition)
Uji hambatan hemaglutinasi (Hemagglutination inhibition/HI)
merupakan uji yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi
di dalam darah. Karena pada uji ini digunakan antigen yang homolog sehingga
akan terjadi ikatan antigenantibodi, yang kemudian virus tidak akan dapat
melekat atau berikatan dengan reseptor membran sel darah merah dan
aglutinasi tidak akan terjadi. Uji HI mempunyai fungsi antara lain sebagai
sarana untuk mengidentifikasi jenis antibodi tertentu dengan melihat reaksi
antar antigen homolog yang telah diketahui dengan antibodinya, serta untuk
mengetahui titer antibodi dengan cara mereaksikannya antara serum yang
ingin diketahui antibodinya dengan antigen standar yang telah diketahui
(Elfidasari, 2014).
Penentuan kuantifikasi antibodi dan identifikasi virus dapat dilakukan
dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Uji ini memiliki prinsip mengukur
level antibodi dengan cara dilusi yang dapat mencegah hemaglutinasi eritrosit
oleh virus. Komponen dasar uji HI adalah antigen HA, serum yang didilusi
dan konsentrasinya menurun, dan suspensi eritrosit. Hasil uji HI dipengaruhi
oleh banyak faktor, diantaranya konsentrasi antigen HA yang digunakan,
konsentrasi suspensi eritrosit, waktu antara mencampur serum, antigen,

14
penambahan eritrosit, serta suhu saat pencampuran. Faktor lain yang dapat
berpengaruh adalah kontaminasi bahan kimia, enzim bakteri, dan toksin
(Fitrawati, 2015).
Prosedur uji HI yaitu sebanyak 25 µl larutan PBS diisi kedalam lubang
plat 1-12. Kemudian dengan menggunakan single channel dimasukkan serum
ke lubang 1 sebanyak 25 µl, dicampurkan larutan pada lubang 1-11 dengan
menggunakan diluter. Pada lubang ke-12 ditambahkan PBS sebanyak 25 µl.
Setelah itu ditambahkan antigen ND ke dalam 11 tabung pada plat masing-
masing sebanyak 25 µl, dan dihomogenkan dengan shaker rotator selama 3
menit. Lalu ditambahkan RBC 1% sebanyak 25 µl ke dalam 12 lubang,
kemudian dihomogenkan dengan menggunakan shaker rotator selama 3
menit, didiamkan pada suhu kamar selama 40 menit, kemudian dibaca hasil
uji HI tersebut (Darmawi, 2015).

15
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Lokasi Kegiatan
Kegiatan Rotasi Diagnosa dilaksanakan pada tanggal 04 November - 22
November 2019 yang bertempat di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
3.2 Peserta PPDH
Peserta koasistensi diagnosa laboratorium adalah mahasiswa PPDH Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya yang berada dibawah bimbingan drh.
Dahliatul Qosimah, M.Kes. Berikut biodata peserta koasistensi diagnosa
laboratorium yang dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya :
Nama : Gian Suryanatha Hartawan, S. KH
Program Studi : Pendidikan Profesi Dokter Hewan
Fakultas : Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas : Universitas Brawijaya
Alamat : Perumahan Golden House Kav. 6, Jl. Bendungan Sigura-gura
VI, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur.

No. Hp : 081282454819

3.3 Alat dan Bahan


3.3.1 Alat
Alat yang digunakan pada pemeriksaan virologi yaitu incubator telur,
candling telur, Sprayer alcohol, micropipet, yellow tip, blue tip, pelubang telur,
tabung falcon, tabung eppendorf, mortar, sentrifuge tube, rak eppendorf,
masker, glove,tisuue, Pensil, Log book, Vortex, spuit 1 ml spuit 3
ml,microplate, gunting, pinset anatomis,pipet, tabung elenmeyer, cawan petri,
tabung venojack, timbangan, kapas dan Alumunium foil.
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada pemeriksaan virologi yaitu Telur ayam
berembrio (TAB) berumur 9-11 hari, Alkohol 70%, Antibiotik Penstrep, PBS

16
steril, NaCl fisiologis, eritrosit ayam,Antigen virus ND, Serum virus positif
ND/AI, Antigen Standar 4HA suspense organ ayam kampung, dan suspensi
organ.
3.4 Metode
3.4.1 Pembuatan Suspensi Organ

Organ

- Diambil organ ayam yang telah disimpan dalam freezer lalu


dihangatkan
- Dipotong organ ayam lalu ditimbang sebesar 0,5 gram
- Dimasukkan organ ke dalam mortar
- Ditambahkan dengan PBS steril sebanyak 4 ml lalu digerus
organ hingga halus
- Ditambahkan antibiotik penstrep sebanyak 0,5 ml lalu digerus
organ hingga halus
- Dipindahkan suspensi organ kedalam tabung falcon lalu di
sentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm
- Diambil supernatant sebanyak 1,5 ml lalu dipindahkan ke
dalam tabung eppendorf dan disimpan dalam freezer dan
didokumentasikan

Hasil
3.4.2 Inokulasi Virus Pada Telur Ayam Berembrio (TAB)

Suspensi Organ

- Disiapkan telur ayam berembrio (TAB) berumur 9-11 hari


- Diteropong telur untuk memastikan tempat injeksi dan ditandai
pembuluh darah, kantung hawa, dan letak embrio ayam dengan
pensil.

17
- Di densifeksi kerabang dengan menggunakan kapas berakohol
dan dibuat lubang pada tempat injeksi
- Diinokulasikan suspense organ sebanyak 0,1 ml-0,2 ml
kemudian ditutup lubang dengan menggunakan selotip
- Diinkubasi telur pada incubator telur
- Diamati TAB setiap hari untuk mengetahui keadaan embrio
- Dipindahkan TAB pada kulkas setelah mati
- Didokumentasikan kegiatan inokulasi virus dan kematian
Embrio

Hasil
3.4.3 Koleksi Cairan Alantois

TAB

- Diambil TAB dari kulkas


- Dibuka kerabang telur secara perlahan dengan menggunakann
gunting atau pinset
- Dikoleksi cairan allantois menggunakan spuit 1 ml
- Disimpan hasil koleksi allantois pada tabung eppendorf untuk
uji hemaglutinasi
- Didokumentasikan hasil perlakuan

Hasil

3.4.5 Koleksi Eritrosit

Ayam Kampung
- Disiapkan ayam kampung sehat
- Dihandling dan di restrain ayam kampung
- Dicabut secukupnya bulu ayam pada area vena brachialis dan
dibersihkan dengan alcohol 70%

18
- Diambil darah melalui cena vrachialis dengan spuit 3cc,
kurang lebih sebanyak 2 cc
- Disimpan darah kedalam tabung EDTA
- Dipindahkan darah kedalam tabung konikel 15 mL dan dicuci
dengan NaCl/ PBS steril dengan perbandingan 1 :3 dan
disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm
- Dibuang supernatant dan disimpan pellet eritrosit untuk uji HA
dan HI
- Dihitung Konsentrasi eritrosit yang digunakan dengan rumus
M1.V1=M2.V2

Hasil

3.4.6 Uji HA (Hemaglutination Assay)


Antigen
- Diisi sumuran mikroplet (1-12) dengan PBS steril sebanyak
25µl
- Diisi sumuran 1 dengan antigen CAS (Chorioallantois Sac)
sebanyak 25µl
- Dilakukan pengenceran berseri sebanyak 25µl dari sumuran 1
hingga sumuran 10 dan sisa 25µl antigen dibuang
- Diisi sumuran 11 dengan serum positif virus ND/AI
- Diisi sumuran 12 dengan PBS steril
- Ditambahkan 50 µl eritrosit ayam 0,5 % pada semua sumuran
lalu diinkubasi selama 30 menit
- Dibaca titer antigen dan dokumentasi hasil titer antigen yang
terlihat pada mikroplate

Hasil

19
3.4. 7 Uji HI (Hemaglutination Inhibition)

Eritrosit
- Diisi sumuran mikroplet (1-12) dengan PBS steril sebanyak
25µl
- Diisi sumuran 1 dengan serum sebanyak 25µl
- Dilakukan pengenceran berseri sebanyak 25µl dari sumuran 1
hingga sumuran 10 dan sisa 25µl antigen dibuang
- Diisi Sumuran 11 sebagai kontrol positif dengan serum positif
ND/AI sebanyak 25 µl
- Diisi sumuran 12 dengan PBS steril sebanyak 25 µl
- Ditambahkan antigen standar 4 HA pada semua sumuran
sebanyak 25 µl
- Dilakukan inkubasi selama 30 menit
- Ditambahkan 50 µl eritrosit ayam 0,5 % pada semua sumuran
lalu diinkubasi selama 30 menit
- Dibaca titer antibodi yang terbentuk dan dokumentasi hasil titer
antigen yang terlihat pada mikroplate

Hasil

20
3.4.8 Bagan Kerangka Operasional

Anamnesa
Diagnosa
Tentatif
Pemeriksaan Gejala Klinis dan
pengambilan sampel

Pemeriksaan Fisik dan Nekropsi


serta pengambilan organ

Pengambilan Darah
V. Brachialis Ayam Kampung
Pembuatan suspensi organ Sehat

Pengambilan
Serum Inokulasi virus pada TAB Pengambilan Darah

Koleksi Cairan Allantois Koleksi Eritosit Diagnosa


Definitif

Uji HA

Retitrasi Antigen 4HA


Unit

Uji HI

Hasil

Gambar 3.4.8 Kerangka Operasional

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengamatan Gejala Klinis Ayam Kampung
4.1.1 Signalement
Hewan
Nama : Ayam Hiha
Jenis Hewan : Ayam Kampung Betina
Umur : 2,5 bulan
Client (Pemilik)
Nama : Peternakan Pancamurti
Alamat : Jl. Telaga Warna Blok E No.12 Tlogo Mas Malang
4.1.2 Anamnesa :
Ayam kampung selama seminggu mengalami ngorok, sulit bernafas,
nafsu makan berkurang, kurang linca Ayam kampung telah diberikan obat
penstrep dan vitamin B kompleks namun keadaan ayam belum membaik.
4.1.3 Gejala Klinis
Ayam kampung menunjukkan gejala klinis lemas, nafsu makan sedikit,
terdengar suara ngorok saat malam, mucus keluar dari nasal dalam jumlah
yang cukup banyak.

Gambar 4.1.3 Eksudat keluar dari rongga nasal ayam kampung


(Dokumentasi Pribadi, 2019)
Gejala klinis yang terlihat pada ayam kampung terlihat mengarah
terhadap penyakit Newcastle disease yang ditimbulkan oleh virus. Menurut
Cardona (2014) menyatakan bahwa gejala klinis ditimbulkan oleh penyakit

22
ND dapat diamati pada gangguan pernafasan ayam. Gejala klinis yang
timbul adalah nafsu makan yang berkurang, diare, lesu, sesak napas, ngorok,
bersin. Pada kasus berat gangguan pernafasan disertai dengan gangguan
syaraf pada ayam.
4.1.4 Patologi Klinis
Patologi klinis yang ditemukan pada organ ayam kampung saat
dilakukan nekropsi yaitu nasal terdapat lendir mucus berwarna bening,
trachea terdapat lendir, Pulmo mengalami hemoragi, caecum mengalami
hemoragi dan air sac terlihat keruh. Perubahan patologis pada organ sistem
syaraf, sistem pernafasan dan sistem perncernaan ditunjukkan oleh (Tabel
4.1.4).
Tabel 4.1.4 Perubahan patologis organ ayam kampung
No Organ Foto Organ Keterangan
1 Otak Tidak terdapat
kelainan

2 Trachea Tidak terdapat


kelainan

23
3 Proventriculus Tidak terdapat
kelainan

4 Pulmo Terdapat
hemoragi pada
Organ

5 Hepar Tidak terdapat


Kelainan

6 Limpa Tidak terdapat


kelainan

7 Caecum Terdapat
hemoragi pada
orgn

24
Menurut Mazengia (2012) menyatakan bahwa virus Newcastle disease
menyerang berbagai organ pada sistem pernafasan, sistem pencernaan
hingga menyerang syaraf. Perubahan patologis yang tampak pada sistem
pernafasan yaitu terjadinya hemoragi disertai dengan kongesti pada organ
trachea dan pulmo. Pada air sac mengalami kekeruhan hingga terjadi air
sacullitis. Pada sistem pencernaan terjadi lesi hemoragi pada proventriculus,
intestine tenue maupun caecum.
4.2 Analisa Hasil
Diagnosa terhadap penyakit unggas yang disebabkan oleh virus Newcastle
Disease dapat dilakukkan pemeriksaan pada Telur Ayam Berembrio. Proses
pemeriksaan dilakukan dengan pembuatan suspensi virus terlebih dahulu.
Organ yang digunakan yaitu Otak, Trachea, Proventikulus, Pulmo, Hepar, dan
Caecum ayam Kampung. Pemilihan organ tersebut didasari atas adanya
perubahan patologis dan menunjukkan gejala klinis yang menuju pada penyakit
Newcastle Disease.

4.2.1 Pembuatan Suspensi Virus


Proses pembuatan suspense virus yaitu organ ayam kampung diambil dari
freezer lalu dihangatkan secara perlahan dari lemari es kemudian ke suhu
ruang. Lalu dipotong organ pada bagian yang mengalami perubahan patologis
dan ditimbang sebanyak 0,5 gram. Kemudian dimasukkan kedalam mortar
dan digerus. Lalu ditambahkan dengan PBS sebanyak 4 ml lalu digerus hingga
halus dan ditambahkan dengan antibiotik penstrep sebanyak 0,5 ml dan
digerus kembali organ hingga halus. Dipindahkan suspense organ kedalam
tabung sentrifug dan disentrifigasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 15
menit. Diambil larutan supernatant sebanyak 1,5 ml dan dipindahkan pada
tabung effendorf dan disimpan dalam freezer. Hasil Pembuatan Suspensi virus
pada berbagai organ ditunjukkan oleh (Gambar 4.2.1).

25
Gambar 4.2.1 Hasil Pembuatan suspensi organ (Dokumentasi Pribadi,
2019)
Menurut Cardona (2014) virus Newcastle disease merupakan penyakit
acute yang menyerang unggas dengan menimbulkan gejala klinis dan
perubahan patologis pada berbagai organ sistem pencernaaan, sistem
pernafasan maupun gangguan pada sistem saraf . Sehingga, identifikasi virus
Newcastle Disease dapat dilakukan melalui Organ otak, trachea, pulmo,
proventriculus duodenum,caecum, dan hepar.

Menurut Kencana (2017) menyatakan bahwa bahan untuk isolasi virus


Newcastle Disease (ND) dapat diambil pada sampel ayam yang menunjukkan
gejala klinis pada sistem respirasi, sistem pencernaan maupun gangguan pada
sistem syaraf serta pada perubahan patologis yang ditandai dengan perdarahan
ringan sampai berat yang dijumpai pada trakea, paru-paru, usus, provektrikulus,
ventrikulus, dan otak. Perdarahan bentuk ptekie (perdarahan bintik) maupun
eksimosa (perdarahan yang meluas) seringkali ditemukan pada organ-organ
tersebut.
4.2.2 Inokulasi Virus Pada Telur Ayam Berembrio
Suspensi organ yang telah diperoleh kemudian di inokulasikan pada Telur
Ayam berembrio (TAB) berumur 9-11 hari. Sebelum dilakukan inokulasi
dilakukan proses candling untuk menghindari embrio, pembuluh darah saat
dilakukan inokulasi pada virus. Inokulasi virus Newcastle Disease dilakukan
pada bagian chorioallantois. Berikut ini foto hasil inokulasi virus pada telur

26
ayam berembrio pada bagian chorioallantois yang ditunjukkan oleh (Gambar
4.2.2)

Gambar 4.2.2 Hasil Inokulasi virus pada bagian Chorioallantois


(Dokumentasi Pribadi, 2019)
Menurut ATCC (2016) menyatakan bahwa Inokulasi virus pada
chorioallantois menggunakan telur ayam berembrio berumur 9-12 hari dan
telur yang digunakan telah fertile. Pemeriksaan telur dilakukan dengan cara
candling. Telur yang fertile ditandai dengan pergerakan aktif pada embrio dan
pembuluh darahnya merah. Inokulasi virus dilakukan sebanyak 0,1-0,2 cc.
Virus yang berkembang pada chorioallantois yaitu Fowl plague, Newcastle
disease, Infectious Bronchitis, Avian Influenza dan Egg Drop Syndrome.
Berdasarkan hasil inokulasi virus didapatkan hasil yaitu embrio ayam
yang terdapat didalalam TAB mengalami kematian pada hari kedua untuk
isolasi organ yang berasal dari organ proventriculus dan caecum. Sedangkan
pada organ otak, trachea, hepar, dan pulmo untuk embrio ayam pada TAB
mengalami kematian pada hari ketiga. Berikut hasil kematian embrio pada
TAB ditunjukkan oleh (Tabel 4.2.2) dan (Gambar 4.2.2)

27
Tabel 4.2.2 Hasil Pengamatan kematian embrio pada Telur Ayam Berembrio

No Hari, Tanggal Waktu Keterangan


1 Jum’at 09:30 WIB Inokulasi Virus pada
TAB
2 Sabtu 10:00 WIB Embrio ayam pada
TAB masih hidup
3 Minggu 10:00 WIB Embrio ayam pada
TAB inokulasi organ
Proventriculus dan
Caecum Mati
4 Senin 07:30 WIB Embrio ayam pada
TAB inokulasi organ
Otak, Trachea, Pulmo
dan hepar mati

Telur ayam berembrio dilakukan pembukaaan untuk mengambil cairan


allantois dan mengamati embrio ayam. Pada pengamatan embrio ayam
didapatkan hasil tidak terdapat perubahan patologis pada tubuh embrio dari
organ otak, trachea, proventriculus, pulmo,limpa,hepar dan caecum. Pada
tubuh embrio tidak ditemukan mengalami hemoragi. Kematian embrio ayam
terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah inokulasi. Cairan allantois yang telah
dikoleksi kemudian di masukkan kedalam tabung Eppendorf kemudian
disimpan didalam kulkas. Embrio ayam yang telah mati ditunjukkan oleh
(Gambar 4.2) dibawah ini.

Menurut Mansour (2016) menyatakan bahwa identifikasi virus Newcastle


disease pada unggas dapat menggunakan telur ayam berembrio berumur 9-12
hari dengan menginokulasi virus pada Chorioallantois. Kematian embrio pada
TAB yang disebabkan oleh virus ND dapat sekitar 24 hingga 72 jam
tergantung tingkat virulensi yang dimiliki oleh virus ND. Pengambilan cairan

28
allantois pada TAB bertujuan untuk melaksanakn uji Haemaglutination assay
(HA). Sehingga, dapat mengetahui titer antigen yang dimiliki oleh virus.
Kemudian selain melalui uji HA, data uji virus Newcastle disease dapat
melalui pengamatan pada embrio. Virus ND dapat menyebabkan terjadinya
hemoragi petechiae pada tubuh embrio ayam.

Kematian embrio ayam dalam waktu 48-72 jam menunjukkan tingkat


virulensi virus mesogenic. Menurut Rahman (2018) menyatakan bahwa
Mesogenic terdiri dari strain-strain virus yang menimbulkan gejala klinis yang
bersifat akut pada sistem organ didalam tubuh hospes. Bila agen penyakit lain
menyerang hospes menimbulkan gejala klinis yang parah. Namun , tingkat
mortalitas yang disebabkan oleh virus strain mesogenic tidak tinggi seperti
velogenic sekitar 10%-25. Rentan waktu mesogenic yaitu 48-72 jam.

Diagnosa virus Newcatle disease pada telur ayam berembrio (TAB)


pengambilan data didasarkan oleh MDT (Mean Death Time). Penetapan MDT
diamati dari kemampuan sample organ yang diduga terdapat virus yang mampu
mengakibatkan kematian pada embrio ayam didasarkan oleh waktu (Brown,
2017). Kematian embrio ayam dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu umur
embrio, dosis inokulasi virus, status imuntas embrio, waktu incubasi,
lingkungan inkubasi yang diamati dari suhu dan kelembaban. Dosis inokulasi
virus yang tinggi dapat mengakibatkan kematian embrio ayam yang cukup
cepat disertai dengan adanya perubahan patologis pada tubuh embrio.
Perubahan patologis dapat hemoragi pada seluruh tubuh maupun petechiae
(Qosimah, 2018).

4.2.3 Koleksi Eritrosit

Koleksi eritrosit dilakukan pada ayam kampung sehat yang digunakan


untuk melaksanakan uji Hemaglutination assay (HA). Darah ayam diambil
sebanyak 2-3 ml pada area Vena brachialis. Setelah itu darah disimpan pada

29
tabung EDTA dan dilakukan koleksi eritrosit dengan konsentrasi 1%. Hasil
koleksi eritrosit ditunjukkan oleh (Gambar 4.2.3).

A B

Gambar 4.2.3 Koloksi Eritrosit (Dokumentasi Pribadi, 2019).


Keterangan : (A) Pengambilan darah pada vena
brachialais ayam, (B) Hasil Koleksi eritrosit dengan
konsentrasi 1%
Pengambilan darah pada ayam dapat dilakukan melalui vena brachialis,
vena jugular, dan pada jantung. Pengambilan darah melalui vena brachialis
banyak dilakukan pada ayam karena vena dapat terlihat dengan mudah pada
aera sayap dibandingkan dengan situ pengambilan darah lainnya. Jumlah
darah yang dapat diambil pada vena ini mencapai 3-5 ml. teknik pengambilan
darah melalui situs ini yaitu dilakukan pembersihan pada area vena terlebih
dahulu menggunakan alcohol 70%. Kemudian sayap ayam direntangkan
untuk mempermudah operator untuk mengambil darah lalu darah diambil
sesuai kebutuhan. Kemudian ditekan tempat pengambilan darah agar tidak
terjadi hemoragi dan dibersihkan kembali dengan kapas beralkohol 70%
(Shabbir, 2013).

Koleksi eritrosit ayam sehat bertujuan untuk mengetahui reaksi


hemaglutinasi pada uji Hemaglutination assay (HA). Pembuatan koleksi
suspensi eritrosit dapat dibuat dengan konsentrasi 1% maupun 0,5%.
Pembuatan suspensi eritorist dilakukan dengan cara darah ayam diambil
melalui vena brachialis dengan menggunakan spuit dan needle diambil

30
sebanyak 3 ml kemudian dimasukkan dalam tabung venoject yang telah diisi
d4.engan anti-koagulan EDTA. Darah tersebut disentrifuse selama 5 menit
dengan kecepatan 2500 rpm. Supernatan dibuang dan sisa endapannya dicuci
dengan menambahkan PBS, kemudian disentrifuse lagi selama 5 menit.
Setelah terjadi endapan kembali, supernatannya dibuang. Pencucian tersebut
diulang sampai tiga kali dengan cara yang sama hingga didapatkan suspensi
eritrosit 100%. Suspensi eritrosit dengan konsentrasi 0,5 % atau 1%
didapatkan dengan menambahkan PBS hingga konsentrasi eritrosit 0,5 % atau
1% (Darmawi, 2015).

4.2.4 Uji HA (Hemaglutination Assay)


Uji Hemaglutination Assay dilakukan untuk mendeteksi
mikroorganisme yang memiliki glikoprotein hemagglutinin dan dapat
digunakan untuk mengukur titer antigen mikroorganisme tersebut. Uji HA
menggunakan cairan allantois yang telah dikoleksi dari telur ayam
berembrio (TAB) sebagai antigen. Prosedur uji HA yang dilakukan yaitu
sumuran pada mikroplater berbentuk “V” diisi dengan PBS steril sebanyak
25 µl. kemudian 25 µl antigen dimasukkan kedalam sumuran A1. Kemudian
dilakukan pengenceran berseri dan sisa antigen sebanyak 25 µl dibuang.
Ditambahkan 25 µl eritrosit pada semua sumuran. Sumuran kontrol negative
diisi dengan PBS ditambah eritrosit dan untuk sumuran kontrol positif disi
dengan eritorosit ditambah antigen postif virus Newcastle disease.
Kemudian dihomogenkan isi pada microplate dan diinkubasi selama 30
menit. Setelah dilakukan inkubasi selama 30 menit didapatkan hasil yaitu
tidak terjadi aglutinasi pada antigen cairan allantois organ otak, trachea,
proventriculus, pulmo, hepar,limpa, dan caecum. Hasil Hemaglutination
assay (Uji HA) ditunjukkan oleh (Gambar 4.2.4).

31
E A

F B

G C

H D

Gambar 4.2.4 Koloksi Eritrosit (Dokumentasi Pribadi, 2019).


Keterangan : (A) Otak, (B) Trachea, (C) Pulmo, (D)
Hepar, (E) Proventriculus, (F) Limpa, (G) Caecum, (H)
Kontrol negative (Bagian atas) dan Kontrol positif
(Bagian Bawah)
Menurut Uddin (2017) prosedur uji HA dapat dilakukan dengan
menambahkan 50 µl PBS pada setiap sumuran yang terdapat pada
microplate. Kemudan ditambahkan dengan antigen virus yang berasal dari
TAB sebanyak 50 µl dan dilakukan pengenceran berseri hingga sumuran ke
6. Lalu ditambahkan dengan 50 µl RBC 1% pada semua sumuran yang ada.
Untuk kontrol negative berisi PBS dengan RBC sedangkan pada kontrol
positif diisi dengan antigen positif virus Newcastle disease dengan RBC 1%
dan PBS. Kemudian dilakukan inkubasi selama 30 menit. Pengamatan
dilakukan setiap 5 menit apabila hasil aglutinasi pada sumuran kontrol
positif telah mengalami agglutinasi.
Hasil Hemaglutination assay (Uji HA) negatif menunjukkan bahwa
organ organ otak, trachea, proventriculus, pulmo, hepar,limpa, dan caecum
pada ayam kampung tidak memiliki virus yang dapat mengakibatkan
glikoprotein hemagglutinin untuk dapat menggumpalkan darah. Menurut
Costabile (2010) menyatakan bahwa hasil negative pada uji HA
menunjukkan bahwa virus tidak memiliki antigen haemaglutinin pada
permukaannya sehingga tidak terjadi ikatan antara protein luar virus dengan

32
reseptor permukaan eritrosit. Hasil negatif pada uji HA ditandai dengan
terjadinya aliran sel darah (Tilt and Flow) ketika microplate dimiringkan.
Hasil uji HA pada antigen cairan allantois organ otak, trachea,
proventriculus, pulmo, hepar,limpa, dan caecum menunjukkan hasil
negative sehingga tidak dilanjutkan dengan uji Haemaglutination Inhibition.
4.2.5 Haemaglutination Inhibiton (Uji HI)
Haemaglutination Inhibiton (Uji HI) merupakan uji yang digunakan
untuk mendeteksi antibodi spesifik. Uji HI dilakukan tidak menggunakan
antigen hasil uji HA melainkan antigen virus Newcastle disease dan virus Avian
Influenza yang telah tersedia, Pengujian HI diawali dengan membuat 4HA unit
dari antigen virus ND dan virus AI. Uji retitrasi antigen 4HA unit dilakukan
untuk mendapatkan antigen yang setara dengan pengenceran dengan titer 22.
Prosedur retitrasi 4HA unit dilakukan dengan prosedur uji Hemaglutination
assay (Uji HA). Pada hasil uji HA antigen virus ND didapatkan titer antigen 27
dan untuk antigen virus AI didapatkan titer antigen 28. Kemudian dibuat
retitrasi antigen 4HA unit. Hasil pembuatan retitrasi antigen 4HA Unit
ditunjukkan oleh (Gambar 4.2.5) Berikut perhitungan 4HA unit :
a. Antigen virus Newcastle disease
Hasil uji HA titer antigen 27
128
Untuk mendapatkan 4HA unit = = 32
4

Sehingga perbandingan antigen dengan pelarut yaitu 1:31


Antigen yang digunakan 25 µl ditambah dengan 775 µl PBS (pelarut)
b. Antigen virus Avian Influenza
Hasil uji HA titer antigen 28
256
Untuk mendapatkan 4HA unit = = 64
4

Sehingga perbandingan antigen dengan pelarut yaitu 1: 61


Antigen yang digunakan 25 µl ditambah dengan 1525 µl PBS (pelarut)

33
A
B

Gambar 4.2.5 Hasil Pembuatan retitrasi antigen 4HA Unit (Dokumentasi


Pribadi, 2019). Keterangan : (A) Antigen Virus
Newcastle disease dengan hasil 27 dan (B) Antigen Virus
Avian Influenza dengan hasil 28
Uji retitrasi antigen 4HA unit merupakan titrasi minimum HA yang
mampu menyebabkan aglutinasi pada sel darah merah. Untuk mendapatkan
virus standar dengan konsentrasi 4HA unit maka dilakukan pengenceran
pada antigen yang digunakan dengan pelarut. Terlebih dahulu melakukan
perhitungan dengan membagi titer terakhir uji HA dengan 22. Setelah
mendapatkan hasil perhitungan antigen diambil 1 ml atau 25 µl ditambah
dengan jumlah pelarut. Setelah dihomogenkan perlu dilakukan pengujian
HA untuk memastikan hasil sesuai dengan standar 4HA Unit. Apabila belum
sesuai maka dilakukan pengenceran berulang hingga memenuhi standar
4HA unit (Uddin, 2017).
Hasil retitrasi antigen 4HA unit kemudian disimpan pada tabung
Eppendorf untuk dilakukan uji Haemaglutination Inhibiton (Uji HI).
Prosedur uji HI yang dilakukan yaitu sumuran pada mikroplater berbentuk
“V” diisi dengan PBS steril sebanyak 25 µl. kemudian 25 µl serum
dimasukkan kedalam sumuran A1. Kemudian dilakukan pengenceran
berseri dan sisa serum sebanyak 25 µl dibuang. Ditambahkan 25 µl antigen
4HA unit pada semua sumuran kemudian di inkubasi selama 30 menit.
Kemudian ditambahkan eritrosit sebanyak 25 µl. Sumuran kontrol
negative diisi dengan PBS, antigen dan eritrosit sehingga hasil aglutinasi dan

34
untuk sumuran kontrol positif disi dengan eritorosit ditambah serum postif
antibodi virus Newcastle disease dan virus Avian influenza. Setelah itu
dilakukan inkubasi selama 30 menit. Berdasarkan hasil uji HI terjadi
aglutinasi pada serum ayam sehinga hasil negatif. Hasil Haemaglutination
Inhibition (Uji HI) ditunjukkan oleh (Gambar 4.2.5).

Gambar 4.2.5 Hasil Uji Haemaglutination Inhibition (Dokumentasi


Pribadi, 2019). Keterangan : Terjadi aglutinasi pada
sumuran menunjukkan hasil negatif. (A) Virus Newcastle
disease dan (B) Virus Avian influenza
Menurut Kaufmann (2017) prosedur uji Haemaglutination Inhibiton
(Uji HI) yaitu menambahkan 25 µl sumuran 1-12 pada microplate berbentuk
“V” kemudian ditambahkan 25 µl serum pada sumuran 1 lalu dilakukan
pengenceran berseri hingga sumuran 10. Pada sumuran 11 diisi dengan anti-
serum yang mengandung antibodi spesifik terhadap virus dan pada sumuran
12 diisi dengan antigen virus. Kemudian ditambhakan antigen 4HA unit
pada sumuran 1-11. Kemudian dihomogenkan dengan cara digoyangkan dan
diinkubasi selama 30 menit. Kemudian menambahkan 50 µl eritrosit pada
semua sumuran dan diinkubasi selama 30 menit. Pembacaa hasil dapat
dilakukan .
Hasil negative pada Haemaglutination Inhibiton (Uji HI) menunjukkan
bahwa ayam tidak memiliki antibodi terhadap virus ND dan AI yang
ditunjukkan terjadinya agglutinasi pada uji. Menurut Elfidasari (2014)
menyatakan bahwa uji Haemaglutination Inhibiton (Uji HI) merupakan uji

35
yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi di dalam darah. Hasil
negative uji HI menunjukkan bahwa virus mampu melekat dan berikatan
dengan reseptor membrane sel darah merah sehingga terjadi agglutinasi.
Terjadinya agglutinasi ditandai tidak terdapat antibodi spesifik terhadap
virus tersebut untuk mencegah terjadinya aglutinasi.

36
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan yang kami lakukan pada sampel didapatkan hasil
sebagai berikut :

1. Berdasarkan anamnesa pemilik ayam kampung selama seminggu


mengalami ngorok, sulit bernafas, nafsu makan berkurang, kurang linca
Ayam kampung telah diberikan obat penstrep dan vitamin B kompleks
namun keadaan ayam belum membaik
2. Pada pemeriksaan gejala klinis ayam kampung didapatkan hasil lemas,
nafsu makan sedikit, terdengar suara ngorok saat malam, mucus keluar dari
nasal dalam jumlah yang cukup banyak.
3. Pada pemeriksaan post mortem organ ayam kampung didapatkan hasil
adanya perubahan pada berbagai organ seperti nasal terdapat lendir mucus
berwarna bening, Pulmo mengalami hemoragi, caecum terdapat hemorgai
dan air sac mengalami keruh. Sedangkan pada organ otak, trachea, hepar,
limpa, dan proventriculus tidak mengalami perubahan patologis
4. Pembuatan suspensi organ virus dilakukan pada organ otak, trachea,
proventriculus, pulmo, hepar, limpa, dan caecum.
5. Telur ayam berembrio yang digunakan berumur 9-11 hari. Virus diinokulasi
pada bagian chorioallantois. Berdasarkan hasil inokulasi virus pada TAB
mengalami kematian pada hari kedua dan ketiga setelah diinokulasi.
6. Berdasrkan hasil uji HA (Hemaglutination assay) menunjukkan bahwa
tidak terjadi agglutinasi pada eritrosit pada organ otak, , trachea,
proventriculus, pulmo, hepar, limpa, dan caecum menunjukkan bahwa virus
tidak mampu mengagglutinasi eritrosit.
7. Berdasrkan hasil uji HI (Hemaglutination Inhibition Test) menunjukkan
bahwa tidak terdapat antibodi spesifik yang terdapat pada serum ayam
untuk dapat menghambat aglutinasi yang disebabkan oleh antigen virus
Newcastle disease dan Avian influenza.

37
5.2 Saran
Telur ayam embrio (TAB) yang digunakan memiliki umur tepat 9-11 hari agar
hasil yang didapatkan pada inokulasi virus lebih maksimal serta dapat mengamati
perubahan patologis pada embrio karena beberapa embrio tidak dapat diamati
perubahan patologisnya akibat masih berumur kecil

38

Anda mungkin juga menyukai