Anda di halaman 1dari 2

IKAN TELINGA PANJANG

Dahulu kala, di sebuah desa ada seorang anak bernama Sano. Sano suka sekali bermain di
pantai sampai malam. Sepulang sekolah, dia langsung berlari ke pantai. Bermain pasir, mencari
kerang, menangkap kepiting, dan membakar ikan. Ibu sampai bosan berteriak menyuruh Sano
pulang dan ganti baju.
Suatu hari, lagi-lagi Sano bermain sampai lupa waktu.
“Sano ... pulang dulu, Nak! Ganti baju lalu kerjakan PR!” Ibu berteriak dari depan rumah.
Sano pura-pura tidak mendengar. Dia terus asik mengendap-endap mencari kepiting.
“Sano, apa perlu ibu jewer sampai telingamu panjang agar kamu mau pulang?” Kali ini,
Sano benar-benar tidak mendengar teriakan ibu. Ternyata, dia sudah tertidur di atas pasir karena
kelelahan.
Ibu datang dengan marah, lalu menjewer telinga Sano karena tidak menurut. “Ayo pulang!
Mandi, lalu kerjakan PR dari bu guru!” perintah ibu sambil menarik telinga Sano. “Aduh! Sakit,
Bu!” Sano mengaduh. Dia berjalan pulang sambil sempoyongan karena masih mengantuk.
Setelah mandi dan berganti baju, Sano, ibu, dan ayah siap menyantap masakan lezat buatan
ibu. Mereka duduk melingkari meja bundar, menghadap piring masing-masing. “Sano, lain kali,
kalau pulang sekolah kamu harus ganti baju dulu, lalu makan. Kerjakan juga PR dari bu guru.
Jangan langsung bermain,” kata ibu.
“Iya. Apa harus selalu dijewer, supaya kamu mau mendengar kata-kata ibumu?” lanjut
Ayah. Sano hanya diam sambil terus mengunyah sayur kangkung yang hampir habis.
“Sano, kamu tahu tidak, di laut sana, ada peri yang tidak suka dengan anak yang nakal?
Kalau kamu terus nakal, nanti Peri Laut akan menghukummu jadi ikan.” Ibu menghentikan makan,
kemudian membelai rambut anak laki-lakinya dengan sayang.
“Ah, Ibu bohong! Aku tidak percaya dengan Peri Laut!” teriak Sano sambil berjalan ke
kamar. Dia memegang pegangan pintu, kemudian membantingnya keras.
Braak!
Ayah dan ibu terkejut.
Hari semakin malam, lampu sudah dimatikan. Semua orang pergi ke kamar masing-masing
untuk tidur. Diam-diam, ada satu anak berbaju biru, bukannya tidur, malah berjalan pergi ke pantai.
Sano! Dia masih marah dengan orangtuanya karena dilarang bermain hingga malam.
Sesampainya di pantai, anak laki-laki itu terkejut dengan keadaan yang dilihatnya. Air laut
terlihat surut. Ada banyak ikan menggelepar di atas pasir pantai. Ajaib sekali ikan-ikan datang
sendiri ke pinggiran. Padahal biasanya nelayan harus mencari ikan hingga ke tengah laut, seperti
ayahnya.
Saat sedang mengumpulkan ikan ke dalam keranjang, dia mendengar orang-orang berteriak.
“Air datang ... air datang ...! Tsunami ...!” Hey, ada apa? Mengapa berteriak? Apa itu tsunami?
Sano tidak tahu dan tidak memedulikan teriakan itu. Dia masih asik mengisi keranjang yang hampir
penuh.
“Sano ... sedang apa di situ? Lari ke atas bukit! Cepat!” Itu teriakan ibu.
“Sano, cepat lari!” Kali ini ayah yang berteriak sambil berlari bersama ibu.
Melihat orang-orang meninggalkannya sendirian, Sano mulai takut. Dia ingin ikut berlari,
tapi terlambat. Teriakan orang-orang ternyata benar. Ombak tinggi. Air datang. Dia tergulung
ombak, bersama sekeranjang penuh ikan, masuk ke dalam air yang sangat banyak.
Blup
Oh, tidak! Apa ini? Apa Peri Laut marah pada Sano karena sudah menjadi anak yang nakal?
“Peri Laut, jangan marah! Saya minta maaf,” kata Sano memelas. Entah berapa lama Sano
terombang-ambing di laut. Karena tidak terlalu pandai berenang, tubuhnya terlempar ke sana-ke
mari. Kadang ke kanan, sering juga ke kiri.
Akhirnya air tenang. Karena kelelahan, Sano pun tertidur cukup lama di atas batu karang.
Dalam tidurnya, dia bermimpi ada perempuan cantik dengan sayap putih datang padanya. “Sano, ini
hukumannya karena kamu tidak menuruti perintah orangtua. Setiap hari hanya bermain sampai
malam.” Perempuan itu mengayunkan tongkatnya ke pundak Sano.
Cling!
Tidak berapa lama, Sano bangun. Dia merasakan ada yang aneh dengan kakinya. Kedua
kakinya saling menempel, menyatu, lalu berubah menjadi ekor ikan! Kulit legam hasil panas-
panasan setiap hari, gatal. Semakin lama menjadi kering, kehijauan, seperti sisik ikan. Tangan yang
semula digunakan untuk menggaruk juga berubah menjadi sirip ikan. Sano keheranan dengan
perubahan tubuhnya. Sekarang, dia mempunyai ekor, sisik, dan sirip, sangat mirip dengan ikan yang
sering dimakannya.
“Satu lagi, Nak. Hadiah karena tidak pernah mendengarkan kata ibumu.” Peri Laut itu
menarik kedua telinga Sano sampai panjang.
“Jangan ...!” teriaknya sambil memegangi telinga panjangnya. Aduh, gawat! Telinganya
benar-benar memanjang dan tidak bisa kembali pendek seperti semula. Sano menangis keras-keras.
Berteriak memanggil ayah-ibunya, namun tidak ada jawaban.
“Pergilah ke laut! Kamu sekarang sudah menjadi ikan bertelinga panjang,” kata Peri Laut,
lalu menghilang.
Tiba-tiba dadanya sesak. Dia kesulitan bernapas. Benar. Dia harus masuk ke laut, sebab ikan
tidak bisa bernapas di darat. Sano pun berenang jauh ke tengah laut. Sendirian. Sekarang, dia tidak
punya orangtua, teman, bahkan tidak bisa bersekolah lagi karena sudah menjadi ikan. Ikan
bertelinga panjang merasa kesepian. Jika ada anak nakal yang bermain di pantai sampai malam,
maka Peri Laut akan mengubahnya jadi ikan bertelinga panjang untuk dijadikan teman Sano.
Adik-adik, ada yang mau jadi ikan telinga panjang? Tidak, bukan? Makanya, kita harus
selalu menuruti kata orangtua. Pulang sekolah langsung ganti baju, makan, lalu mengerjakan tugas.
Jangan lupa, pergi mengaji sore hari. Boleh bermain, tapi harus segera pulang sebelum malam tiba,
atau nanti kita akan dihukum menjadi ikan telinga panjang.

*****
11012019
#Na

Anda mungkin juga menyukai