Anda di halaman 1dari 47

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Kepemimpinan Kharismatik Kyai


1. Kepemimpinan
a. Pengertian Kepemimpinan
Setiap lembaga pendidikan, termasuk pesantren dituntut untuk
memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada pelanggannya. Agar dapat
melakukan hal tersebut dengan baik, pesantren perlu dukungan manajemen
yang baik. Beberapa ciri sistem manajemen yang baik adalah adanya pola
pikir yang teratur (administrative thinking), pelaksanaan kegiatan yang teratur
(administrative behavior), dan penyikapan terhadap tugas-tugas kegiatan
secara baik (administrative attitude).
Proses pelaksanaan tugas dan kewajiban pemimpin disebut dengan
kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan sifat dari pemimpin dalam
memikul tanggung jawabnya secara moral dan legal formal atas seluruh
pelaksanaan wewenangnya yang telah didelegasikan kepada orang-orang
yang dipimpinnya.
Dalam bahasa Inggris, kepemimpinan disebut dengan leadership,
sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah khilafah, imarah,
ziamah atau imamah. Secara etimologi kepemimpinan berarti daya
memimpin atau kualitas seseorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin
itu sendiri.
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi mengenai
kepemimpinan (leadership). Menurut David dan Newstrom, kepemimpinan
atau leadership adalah suatu kemampuan untuk membujuk orang lain agar
dapat mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Dengan kata
lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasikan potensi-potensi
yang terpendam menjadi kenyataan.

17
Dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khilafah yang berarti
wakil. Pemakaian kata khilafah setelah Rasulullah SAW. wafat menyentuh
juga maksud yang terkandung di dalam perkataan amir (yang jamaknya
umara) atau penguasa. Oleh karena itu, kedua istilah ini dalam bahasa
Indonesia disebut pemimpin formal. Namun, jika merujuk kepada firman
Allah SWT. Q.S. Al-Baqarah ayat 30:

        

“dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:


"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
(Q.S. Al-Baqarah: 30) (Departemen Agama RI, 2007: 7)
Maka kedudukan nonformal dari seorang khalifah juga tidak bisa
dipisahkan lagi. Perkataan khalifah dalam ayat tersebut tidak hanya ditujukan
kepada para khalifah sesudah nabi, tetapi adalah penciptaan nabi Adam a.s.
yang disebut sebagai manusia dengan tugas untuk memakmurkan bumi yang
meliputi tugas menyeru orang lain berbuat amar ma’ruf nahi munkar.(Asep
Kurniawan, 2010: 131).
Dalam hadis disebutkan bahwa:

‫صلَّى هللاُ َعلَ ٍْ ِه َو َسلَّ َن‬


َ ِ‫ض ًَ هللاُ َع ْنهُ َوب اَ َّى َرسُىْ َل هللا‬ ِ ‫ع َْي اِب ِْي ُع َو َر َر‬
‫اا َو َه ْ ئُىْ ٌلل ع َْي‬ ‫ اَ ْ ِْل َهب ُم َر ٍع‬,‫اا َو ُ ُّلل ُ ْن َه ْ ُ وْ ٌلل ع َْي َر ِعٍَّ ِ ِه‬
‫ ُ ُّلل ُ ْن َر ٍع‬:‫ٌَ ُىْ ُل‬
ًْ ِ ‫ َو ْاا َورْ اَةُ َرا ِع ٍَتٌل‬,‫ َو َه ْ ئُىْ ٌلل ع َْي َر ِعٍَّ ِ ِه‬,‫اا ِ ًْ اَ ْ ِل ِه‬‫ َواا َّر ُ ُ َر ٍع‬,‫َر ِعٍَّ ِ ِه‬
,ِ ِ ‫بل َسٍِّي‬
ِ ‫اا ِ ًْ َه‬ ‫ َو ْاا َ ب ِا ُم َر ٍع‬,‫ َو َه ْ ئُىْ اَتٌل ع َْي َر ِعٍَّ ِ َهب‬,‫بل َزوْ ِ َهب‬
ِ ‫َه‬
‫اا ِ ًْ َهبِل اَ ِب ٍْ ِه َو َه ْ ئُىْ ٌلل ع َْي َر ِعٍَّ ِ ِه‬
‫ َواا َّر ُ ُ َر ٍع‬,‫َو َه ْ ئُىْ ٌلل ع َْي َر ِعٍَّ ِ ِه‬
)‫(روا ااب بري و ه لن‬

Artinya: “dari Ibnu Umar r.a berkata: saya telah mendengar Rasulullah
saw. bersabda: semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung Jawab
atas kepemimpinanya. Seorang imam pemimpin dan bertanggung Jawab
atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan
bertanggung Jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan
bertanggung Jawab atas penggunaan harta suaminya. Serang pelayan
(karyawan) bertanggung Jawab atas harta majikannya. Seorang anak
bertanggung Jawab atas penggunaan harta ayahnya.” (H.R. Bukhori dan
Muslim) (Muhammad Faiz Almath, 1994: hal. 167).

Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa


kepemimpinan Islam itu adalah kegiatan menuntun, membimbing, memandu
dan menunjukan jalan yang diridhai Allah SWT.
Kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku atau hubungan yang
menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau
secara bekerja sama atau sesuai dengan aturan atau sesuai dengan tujuan
bersama. (Sarlito Wirawan Sarwono, 2005 hlm 40).
Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-
sifat kepribadian, termasuk di dalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai
sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan
dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela,
penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa. (Ngalim
Purwanto, 2006: 26).
Menurut Syafrudin (2005: 195) dalam bukunya yang berjudul manajemen
lembaga pendidikan Islam menyatakan, Dalam kepemimpinan adalah proses
tindakan mempengaruhi kegiatan kelompok dan pencapaian tujuannya,
didalamnya ada tujuan dalam orientasi kegiatan seta pembagian tanggung
jawab sebagai bentuk perbedaan kewajiban anggota. Kepemimpinan juga
merupakan proses mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok dalam
usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Dengan kata lain
dalam proses kepemimpinan itu dijumpai fungsi kepemimpinan, pengikut
(anggota), dan situasi.
Menurut M. Karyadi (1989, hlm. 3) dalam bukunya yang berjudul
kepemimpinan menyatakan, Kepemimpinan adalah memproduksi dan
memancarkan pengaruh terhadap kelompok-kelompok orang-orang tertentu
sehingga mereka bersedia (willing) untuk berubah fikiran, pandangan, sikap,
kepercayaan, dan sebagainya.
Menurut DR. Hadari Nawawi di dalam bukunya yang berjudul
Kepemimpinan Menurut Islam mengatakan, Kepemimpinan adalah sebagai
perihal memimpin berisi kegiatan menuntun, membimbing, memandu,
menunjukkan jalan, mengepalai, melatih agar orang-orang yang dipimpin
dapat mengerjakan sendiri. (Hadari Nawawi, 1993, hlm. 28).
Menurut Hendiyat Soetopo dan Wasty Soemanto dalam bukunya yang
berjudul Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Kepemimpinan adalah
suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian rupa sehingga
tercapai tujuan dari kelompok itu yaitu tujuan bersama. (Hendiyat Soetopo
dan Wasti Soemanto, 1988, hlm. 1).
Menurut Wahdjosumidjo (1987, hlm. 26) dalam bukunya yang berjudul
Kepemimpinan dan Motivasi, Kepemimpinan adalah:
1) Sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat
tertentu seperti: Kepribadian (personality), Kemampuan (ability), dan
Kesanggupan (capability).
2) Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan (activity) pemimpin yang
tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau
perilaku pemimpin itu sendiri.
3) Kepemimpinan adalah sebagai proses antar hubungan antar interaksi
antara pemimpin, bawahan dan situasi.
Dari berbagai pakar tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
kepemimpinan adalah sebuah proses kegiatan mempengaruhi,
mengorganisasi, menggerakkan, mengarahkan, membimbing, mengajak orang
lain untuk melaksanakan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan bersama
yang ditetapkan mencakup:
1) Keterlibatan orang lain atau kelompok orang dalam mencapai tujuan.
2) Adanya faktor tertentu yang ada pada pemimpin sehingga orang lain
bersedia digerakkan atau dipengaruhi.
Sementara itu, menurut Hadipoerwono kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang dalam mengkoordinasikan dan menjalin hubungan antar sesama
manusia, sehingga mendorong orang lain untuk melaksanakan tugas-tugasnya
dengan hasil yang maksimal. Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan
yang dikatakan Fiedler, yaitu bahwa kepemimpinan sebenarnya adalah suatu
tindakan dalam mengarahkan dan memimpin pekerjaan suatu kelompok, yang
meliputi tindakan membentuk hubungan kerja, memuji dan mengkritik
anggota-anggota kelompok tersebut, serta menunjukkan perhatian terhadap
kesejahteraan dan perasaan anggota-anggota yang dipimpinnya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada intinya
kepemimpinan adalah suatu kegiatan atau seni untuk mempengaruhi perilaku
orang-orang yang dipimpin agar mau bekerja menuju kepada satu tujuan yang
ditetapkan atau diinginkan bersama. (Muhadi Zaenuddin, Abd. Mustaqim,
2008: 1-2).
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai sifat-sifat yang dimiliki seorang
pemimpin. Kepemimpinan adalah bentuk-bentuk konkret dari jiwa pemimpin.
Salah satu dari bentuk konkret itu adalah sifat terampil dan berwibawa serta
cerdas dalam memengaruhi orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas yang
merupakan cita-cita dan tujuan yang ingin diraih oleh pemimpin. Oleh karena
itu, sifat dasar yang biasanya dimiliki pemimpin adalah sebagai berikut:
1) Memiliki pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan anak
buahnya.
2) Memiliki ilmu pengetahuan yang lebih luas dari yang dipimpinnya.
3) Prestasi kerjanya cemerlang.
4) Kewibawaan yang dibanggakan oleh orang yang dipimpinnya.
5) Memiliki pengikut yang loyal dan komitmen pada visi dan misi yang
diembannya.
Dalam pancasila sila keempat dikatakan bahwa “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan”. Dari sila tersebut, secara filosofis, dapat diambil suatu konsep
kepemimpinan yang Indonesiawi, yaitu sebagai berikut:
1) Kepemimpinan yang dibangun oleh kecerdasan filosofis para pemimpin.
Kecerdasan filosofis adalah pandai menemukan hikmah dari setiap
penyelenggaraan suatu wewenang, terlebih lagi suatu negara.
2) Kepemimpinan yang menetapkan pengambilan keputusan dengan nilai-
nilai kebijaksanaan, artinya memberikan kemaslahatan bagi seluruh
kepentingan bangsa dan negara, kebijaksanaan ynag memaslahatkan
ummat yang dipimpinnya.
3) Kepemimpinan yang berprinsip pada nilai-nilai demokrasi, yaitu dengan
melaksanakan musyawarah dalam pengambilan keputusan dan tidak
menganut kepemimpinan otoriter. (Hikmat, 2009:249-251).
Pengertian kepemimpinan (leadership) berbeda dengan pengertian
pemimpin (leader). Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
orang-orang atau kelompok dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan atau
karena alasan lain. Pakar manajemen, yaitu Hersey dan Blanchard (1984)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut:
“ A leadership is any time one attempts to impact the behavior of and an
individual or group regardless of the reason. It may before one’s own goals
or a friend’s goals, and they may or may not be congruent with
organizational goals.”
Definisi di atas menggambarkan bahwa kepemimpinan adalah setiap upaya
seseorang, atau perilaku kelompok yang bertindak dalam suatu manajemen.
Upaya mempengaruhi ini bertujuan untuk mencapai tujuan perorangan, baik
tujuan sendiri maupun tujuan orang lain. Tujuan individual tersebut mungkin
sama, atau mungkin pula berbeda dengan tujuan organisasi.
Sependapat dengan Hersey dan Blanchard, Stogdill (1974)
mengemukakan: “leadership is the process of influencing group avtivities
toward goal setting and goal acheivment.” Maksudnya adalah,
“Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok dalam
upaya menyusun dan mencapai suatu tujuan.”
Kepemimpinan memiliki berbagai dimensi. Stogdill (1974: 68-69) bahkan
mengemukakan 10 dimensi kepemimpinan. (1) kepemimpinan adalah seni
untuk menciptakan kesesuaian paham dalam suatu kelompok. Upayanya
dilakukan melalui pemberian kerjasama dan dorongan sehingga orang lain
dapat mengikuti rangkaian tindakan dalam mencapai tujuan; (2)
kepemimpinan merupakan upaya persuasi atau himbauan, bukan paksaan; (3)
kepemimpinan adalah kepribadian yang tercermin dalam sifat dan watak yang
unggul sehingga keunggulan itu menimbulkan pengaruh terhadap pihak yang
dipimpin; (4) kepemimpinan adalah tindakan atau perilaku untuk
mengarahkan kegiatan bersama; (5) kepemimpinan merupakan fokus dari
kegiatan kelompok, sehingga kepemimpinan itu dapat melahirkan gagasan
baru, perubahan baru dan suasanan kondusif; (6) kepemimpinan merupakan
hubungan kekuasaan, dalam arti bahwa pihak yang memimpin lebih banyak
mempengaruhi terpimpin, daripada terpimpin mempengaruhi yang
memimpin; (7) kepemimpinan merupakan sarana untuk mencapai tujuan; (8)
kepemimpinan terjadi sebagai hasil dari antara seseorang dengan orang lain
atau kelompok; (9) kepemimpinan adalah peran berbeda. Maksudnya,
seorang pemimpin memiliki peran yang berbeda karena keunggulannya,
dibanding orang yang dipimpinnya; dan (10) kepemimpinan merupakan
jabatan inisiasi yang berstruktur. Artinya, kepemimpinan bukan jabatan pasif,
melainkan jabatan aktif dan berinisiatif dalam suatu struktur kegiatan
pencapaian tujuan.
Duke (1986: 10) melihat kepemimpinan sebagai fenomena gestalt, yakni
keseluruhan lebih besar daripada bagian-bagiannya. Menurut Dubin (1968:
385) kepemimpinan terkait dengan penggunaan wewenang dan pembuatan
keputusan. Sementara Fiedler (1967: 8) lebih melihat pemimpin sebagai
individu dalam kelompok yang diberi tugas untuk mengarahkan dan
mengkoordinasikan aktifitas-aktifitas kelompok yang terkait dengan tugas.
Memperkuat pandangn ini, Pondy (1978: 94) mendeskripsikan kepemimpinan
sebagai kemampuan untuk menjadikan suatu aktifitas bermakna, tidak untuk
merubah perilaku namun memberi pemahaman kepada pihak lain tentang apa
yang mereka lakukan.
Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian
Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau
bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk
membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan
kelompok.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu
bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup
mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan
penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi
situasi yang khusus.
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership tersebut sebenarnya
sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki
kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya.
Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung
memandang leadership sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara
tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan
keinginan pemimpin (Moejiono, 2002).
Kepemimpinan dipahami dalam dua pengertian yaitu sebagai kekuatan
untuk menggerakkan dan mempengaruhi orang. Kepemimpina hanyalah
sebuah alat, sarana atau proses untuk membujuk orang agar bersedia
melakukan sesuatu secara suka rela/ suka cita.
Menurut (Veithzal Rivai, 2003 : 2-3) kepemimpinan adalah proses
mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya
dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang
terkandung dalam hal ini yaitu: (1) kepemimpinan itu melibatkan orang lain
baik itu bawahan maupun pengikut, (2) kepemimpinan melibatkan
pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara
seimbang, (3) adanya kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk
kekuasaan yang berbeda-beda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya
dengan berbagai cara.
Dari sejumlah pandangan ahli nampak bahwa terdapat banyak pendekatan
untuk memahami kepemimpinan tergantung perspektif apa yang digunakan.
Hal ini tercermin dalam beberapa kata atau ungkapan kunci yang ditonjolkan,
misalnya, penggunaan wewenang (Dubin), tugas mengarahkan (Fiedler),
mempengaruhi aktifitas (Stogdill), dan membuat aktifitas bermakna (Pondy).
Dengan demikian, masing-masing mencerminkan corak pemimpin yang
berbeda dalam latar dan kebiasaan yang berbeda. Secara pasti tidak ada
pemimpin pesantren yang seragam, masing-masing memiliki style/gaya yang
berbeda.
Benar kiranya jika dinyatakan bahwa kepemimpinan di pesantren identik
dengan gejala gestalt, mengingat di balik yang tampak dari luar masih
terdapat keunikan-keunikan lain yang tidak tampak. Misalnya, pesantren
salafiyah yang telah melaksanakan madrasah, maka pemimpinnya boleh
untuk menjalankan kewenangan dan pembuatan keputusan secara formal
sebagai kepala madrasah. Di sisi lain, pesantren salafiyah yang tidak
menyelenggarakan sekolah formal, tugas pemimpin mungkin cukup memberi
pengarahan dan koordinasi (musyawarah) untuk melaksanakan program-
program semester, urusan teknis diserahkan kepada staf yang telah ditunjuk
(pengurus pondok, ustadz, atau satgas yang lain). Secara umum, karena latar
pesantren itu kompleks maka format kepemimpinan pesantren sangat
fleksibel, tergantung kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya.
Dari berbagai definisi kepemimpinan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kepemimpinan adalah suatu aktivitas dalam mempengaruhi dan
membimbing suatu kelompok dengan segala relevansinya sehingga
tercapailah tujuan kelompok itu. Tujuan tersebut merupakan tujuan yang telah
disepakati bersama.
Untuk mencapai tujuan kepemimpinan, harus ada kesepahaman visi dan
misi antara pemimpin dengan anggota yang dipimpinnya. Seseorang tidak
dapat menjadi pemimpin jika terlepas dari kelompok. Kepemimpinan
merupakan suatu sifat dari aktivitas kelompok (group). Dalam group ini,
setiap orang, sebagai anggota, berhak memberikan kontribusi dalam rangka
menyukseskan program kerja kelompoknya.
b. Teori Kelahiran Pemimpin
Menurut para ahli ada beberapa teori tentang munculnya pemimpin, antara
lain:
1) Teori Heriditas
Teori ini antara lain dipelopori oleh Galton (1879). Menurutnya
pemimpin itu muncul dari keturunan orang-orang terkemuka. Dia
berpendapat bahwa pemimpin itu muncul berdasarkan warisan atau
keturunan. Sementara itu, Wiggams (1931) berpendapat bahwa
kelangsungan hidup yang terbaik dan perkawinan campuran diantara
mereka menghasilkan kelas aristrokat yang secara biologis berbeda
dengan kelas yang lebih rendah. Dari kelas aristrokat itulah maka
biasanya seorang pemimpin akan muncul. Sedangkan menurut Carlyle
(1841), sebagai individu pemimpin memiliki bakat bahwa yang
diperoleh dari keturunan yang khas.
Pengikut aliran ini menyusun teorinya berdasarkan induktif
dengan mempelajari sifat-sifat yang menonjol dari pimpinan
berdasarkan keberhasilan mengenai tugas yang dijalankan pemimpin,
terutama kemampuan untuk memimpin. Aliran ini mengasumsikan
bahwa para pemimpin yang berhasil memainkan peranan itu karena ia
memiliki sifat-sifat unik dan kualitasnya superior.
Menurut hemat penulis, teori tersebut kurang memperhatikan
faktor lingkungan sebagai wadah atau wahana yang memungkinkan
munculnya ciri-ciri unik dari pemimpin. Seolah-olah teori ini
beranggapan bahwa munculnya seorang pemimpin merupakan
predesposisi yang memungkinkan dirinya untuk memimpin. Jadi teori
ini kurang apresiatif terhadap faktor lingkungan.
Jika dilihat dari perspektif Islam, teori asal-usul kepemimpinan
berdasarkan keturunan sangat deterministik, sehingga menganggap
lingkungan keluarga tidak ikut berpengaruh. Dalam sebuah hadits yang
shahih, Nabi saw pernah bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah, ayah dan ibunya yang akan menjadikan ia Yahudi,
Nasrani atau Majusi (HR. Al-Bukhari). Hadits tersebut memberi isyarat
bahwa faktor lingkungan sangat signifikan dalam membentuk karakter
seseorang, termasuk dalam hal memunculkan karakter seorang
pemimpin.
Oleh sebab itu, teori tersebut akan lebih lengkap jika
mengakomodir ciri-ciri unik mengenai kualitas pemimpin dengan
memperhatikan pengaruh lingkungan keluarga, sosial, budaya, dan
zaman di mana ia dibesarkan.
2) Teori Environmental
Teori ini berpendapat bahwa munculnya kepemimpinan
disebabkan oleh faktor lingkungan sosial yang merupakan tantangan
untuk diatasi atau diselesaikan. Beberapa tokoh pendukung teori ini
antara lain adalah Mumford (1909) yang mengatakan bahwa pemimpin
itu muncul disebabkan oleh kemampuan dan keterampilan yang
memungkinkan dia memecahkan masalah sosial dalam keadaan
tertekan atau perubahan dan adaptasi. Kepemimpinan menurutnya
merupakan innate dan menjadi modal dasar kecenderungan kekuatan
sosial yang dimilikinya.
Sementara itu Bogardus (1928) dan Hocking (1924) mencoba
mengembangkan dua hipotesis tentang kepemimpinan yaitu: Pertama,
kualitas seorang pemimpin akan sangat tergantung pada situasi
kelompok. Kedua, kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat
merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil mengatasi
situasi yang sama.
Sedangkan Schneider (1937) menyatakan bahwa jumlah para
pemimpin militer Inggris sebanding dengan banyaknya jumlah konflik
yang terjadi pada bangsa itu. Jadi, menurutnya situasi sosio kultural erat
kaitanya dengan prestasi kepemimpinan. Senada dengan Schneider,
Murphy mengatakan bahwa kepemimpinan sebenarnya tidak terletak
pada prestasi individu, melainkan merupakan suatu fungsi dari
peristiwa. Jadi kepemimpinan merupakan faktor instrumen pemimpin
dalam memecahkan masalah yang muncul.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut teori
inveronmental seorang pemimpin itu muncul karena faktor situasi atau
momen tertentu. Teori tersebut menurut hemat penulis kurang
memperhatikan aspek-aspek pre-disposisi yang berlaku pada seorang
pemimpin. Jadi teori ini menolak adanya faktor heriditas (keturunan /
warisan) untuk menjadi seorang pemimpin.
Jika dilihat dari perspektif Islam, maka faktor keturunan juga
punya peran yang cukup signifikan untuk melahirkan seorang
pemimpin yang berkualitas. Itulah mengapa menurut hadis Nabi saw,
seorang sebelum menikah dianjurkan untuk menacri pasangan hidupnya
dari bibit atau keturunan yang baik. Asumsinya adalah bibit yang baik
akan menghasilkan keturunan yang baik pula. Hail ini sebagaimana
dikatakan dalam hadis shahih, dimana Nabi bersabda: “Perempuan itu
biasanya dinikahi karena empat hal, yaitu: 1) karena hartanya, 2)
cantiknya, 3) nasab (keturunannya), 4) agamanya. Pilihlah yang
mempunyai agama yang baik, maka kamu akan beruntung. (HR. Al-
Bukhari). Kriteria memilih pasangan (suami-istri) karena faktor
keturunan itu sebenarnya tidak dinafikan oleh hadis tersebut, dengan
catatan ia tetap memiliki kualitas agama yang baik.
3) Teori Situasi Personal
Teori ini berpendapat bahwa adanya interaksi antara pemimpin
dan situasinya membentuk tipe-tipe pemimpin tertentu. Jadi, di situ ada
field dynamic of leadership. Setiap situasi dapat membentuk seseorang
untuk menjadi pemimpin. Proses antar individu dengan lingkungan
memiliki dinamika tersendiri yang merupakan suatu sistem interaksi
dalam membentuk pemimpin dan kepemimpinan.
4) Teori Humanistik
Teori humanistik menyatakan bahwa fungsi kepemimpinan
adalah mengatur kebebasan individu untuk dapat merealisasikan
motivasi rakyatnya agar dapat bersama-sama mencapai tujuan. Oleh
sebab itu dalam teori ini yang penting adalah organisasi yang baik yang
dapat memperhatikan faktor-faktor kebutuhan rakyatnya.
5) Teori Fitrah
Teori ini berangkat dari suatu asumsi dasar bahwa manusia itu
merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial yang hidup di
masyarakat pasti akan terjadi tarik-menarik kepentingan satu dengan
yang lainnya. Maka perlu ada sistem yang mengatur dan yang
memimpinnya. Biasanya umat akan menyerahkan kepada pemimpin
dalam mengelola dan memanage urusan-urusan sosial-kemasyarakatan
mereka agar tidak terjadi kedzaliman di antara mereka. Seandainya
tidak ada pemimpin niscaya mereka akan kacau.
Menurut teori ini, kepemimpinan diciptakan untuk menggantikan
kenabian (likhilafata an-Nubuwwah) dalam rangka menjaga agama dan
mengatur dunia. Teori model ini dikemukakan oleh al-Mawardi.
Menurutnya, fitrah manusia akan menyerahkan masalah-masalah
mereka kepada pemimpinnya. Maka menurut teori ini, kepemimpinan
merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Dan hukum menegakkannya
adalah wajib, baik ditinjau dari perspektif akal maupun syara. Maka
ketaatan kepada pemimpin juga merupakan hal yang wajib dalam teori
ini, seperti yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 59 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan
Rasul-Nya dan pemimpin kalian atau ulil amri”. (Q.S. An-Nisa: 59).
(Muhadi Zaenuddin, Abd. Mustaqim, 2008: 3-6).
c. Unsur-unsur dalam Kepemimpinan
Adapun unsur-unsur dalam kepemimpinan antara lain meliputi: 1)
Pemimpin, 2) Anggota yang dipimpin, 3) Sistem dan Mekanisme
Kepemimpinan, 4) Tujuan atau Visi dan Misi.
1) Pemimpin
Pemimpin atau leader adalah orang yang bertugas memimpin
dalam sebuah organisasi. Dialah yang memanage organisasi tersebut
agar dapat berjalan dengan baik. Dialah yang bertanggung jawab atas
berhasil atau tidaknya sebuah organisasi yang dipimpinnya.
2) Anggota yang dipimpin
Anggota yang dipimpin merupakan bawahan, sekaligus mitra
kerja yang hendak diajak dan dimotivasi oleh seorang pemimpin
dalam melaksanakan program kerja. Tugas mereka adalah mengambil
peran aktif, taat dan bertanggung jawab kepada pemimpin atas beban
yang diamanahkan kepada mereka.
3) Sistem dan Mekanisme Kepemimpinan
Secara sederhana, sistem dan mekanisme kepemimpinan adalah
cara yang dipakai oleh pemimpin dalam memimpin sebuah organisasi,
apakah dia menggunakan sistem kepemimpinan otoriter, yang tidak
mau menerima kritik atau saran dari bawahan, atau demokratis, yang
cenderung mengakomodir suara dari bawahan, atau liberal yang
cenderung membebaskan bawahanya untuk berbuat apa saja, sehingga
seolah-olah tidak ada kontrol dari atasanya.
4) Tujuan atau Visi dan Misi
Tujuan adalah target yang hendak dicapai dalam sebuah
organisasi yang dipimpin oleh seorang pemimpin. Sebagian orang
menyebutkan dengan istilah visi. Visi adalah tujuan secara umum,
yang biasanya dirumuskan dalam kalimat yang simpel, tetapi isinya
mendalam. Visi semacam ini lalu dijabarkan dalam bentuk misi. Misi
biasanya dijabarkan dalam bentuk kalimat yang rinci dan lebih
konkrit, karena memang tujuannya untuk merealisasikan misi tersebut.
Keberhasilan dalam sebuah kepemimpinan tidak semata-mata
ditentukan oleh seorang pemimpin, tetapi juga ditentukan oleh unsur-
unsur yang lain, seperti sarana dan prasarana. Yang paling pokok
adalah bagaimana membina hubungan kerjasama yang baik antara
pemimpin dengan anggota yang dipimpin. Seorang pemimpin
memang peranannya sangat menentukan, tetapi ia bukan satu-satunya
faktor penentu dalam hal keberhasilan tujuan yang hendak dicapai.
Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan komunikasi yang baik
antara atasan dan bawahan.
Pada hakikatnya unsur pokok dalam kepemimpinan adalah
adanya kemampuan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku
orang-orang yang dipimpinnya untuk diarahkan atau kemampuan
memberikan motivasi yang mendorong mereka berbuat ke arah yang
dimaksudkan. (Muhadi Zaenuddin, Abd. Mustaqim, 2008: 7-9).
d. Prinsip-prinsip Umum dalam Kepemimpinan
Agar seorang pemimpin dapat memberikan komando dan yang
dipimpinnya dapat mengambil inisiatif dalam mencapai tujuan yang
diharapkan, maka ada beberapa prinsip kepemimpinan yang harus
dipenuhi, antara lain:
1) Harus mempunyai visi dan misi serta tujuan yang jelas. Jika perlu
diterapkan pula tahapan-tahapan pencapaian tersebut. Ada semacam
prioritas, mana yang lebih dulu untuk dikerjakan dan mana yang
hendak dilakukan kemudian.
2) Perumusan tugas pokok dan fungsi setiap unit (bagian) organisasi juga
harus jelas, tidak ada tumpang tindih dalam pembagian tugas.
3) Pendelegasian dalam wewenang harus jelas.
4) Ada keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab.
Point ke empat ini sangat penting untuk diperhatikan dalam sebuah
kepemimpinan organisasi. Tanggung jawab antara pemimpin dan yang
dipimpin harus sebanding antara hak dan kewajiban yang dipikulnya.
e. Fungsi Kepemimpinan
Fungsi kepemimpinan dalam sebuah organisasi, sering berbeda antara
yang satu dengan yang lain. Hal itu bergantung pada bagaimana corak
organisasi tersebut, bagaimana situasi sosial dalam organisasi, dan jumlah
anggota kelompoknya.
Oleh sebab itu, menurut Kahn, sebagaimana dikutip oleh Harris,
seorang pemimpin dikatakan telah melakukan fungsinya dengan baik
apabila dia telah mampu:
1) Memenuhi kebutuhan langsung para anggota yang dipimpinnya.
2) Menyusun rencana yang jelas untuk mencapai tujuannya.
3) Menyingkirkan rintangan, hambatan, dan kendala yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan.
4) Mampu memodifikasi tujuan-tujuan karyawan agar dapat bermanfaat
bagi organisasi yang dipimpinnya.
5) Disamping itu, seorang pemimpin harus mampu melakukan
kaderisasi, karena hal ini menjadi tanggung jawab pemimpin. Bahkan
hal ini menjadi tugas yang sangat penting bagi seorang pemimpin,
supaya ada kontinyuitas yang baik.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi
kepemimpinan antara lain adalah untuk:
1) Melakukan koordinasi antara anggota-anggota yang dipimpinnya
dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
2) Mengorganisir dan mengendalikan anggota yang dipimpinnya.
3) Menetapkan tujuan dan menegaskan arah untuk mencapai tujuan.
4) Melengkapi sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan.
5) Melengkapi dan menegaskan tatanan mekanisme organisiasi.
6) Memberikan fasilitas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dan
menghubungkannya dengan kegiatan yang lain.
7) Memberikan fasilitas kepada kelompok dalam melaksanakan
tugasnya.
8) Melakukan kaderisasi pemimpin.
f. Bentuk-bentuk Kepemimpinan
Dilihat dari segi bentuk dan polanya, maka kepemimpinan itu dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Kepemimpinan Formal, yaitu kepemimpinan seseorang yang diangkat
dalam suatu jabatan tertentu. Dalam pola kaamimpinan ini jelas
terlihat adannya hirarki.
2) Kepemimpinan Informal, yaitu kepemimpinan yang dilakukan oleh
seorang pemimpin yang tidak berdasarkan pengangkatan secara
formal, namun diakui dan ditaati oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Model kepemimpinan non formal ini boleh jadi justru lebih efektif
untuk memobilisasi umat. Bahkan kadang model kepemimpinan non
formal ini lebih ditaati daripada yang formal. Kepemimpinan informal
biasanya cenderung bersifat kharismatik dan paternalistik. Pemimpin
dalam kepemimpinan informal biasanya punya kelebihan yang bersifat
magic-religius. Bahkan kadang-kadang dimitoskan sehingga kharismanya
semakin tinggi di hadapan umatnya.
g. Tipe-tipe Kepemimpinan
Tipe kepemimpinan seseorang berbeda-beda tergantung pada karakter
dan watak para pemimpin, tujuan dan jenis organisasi yang dipimpin,
tuntutan situasi sosial yang dipimpin dan lain sebagainya.
Adapun tipe atau gaya kepemimpinan secara umum dapat
dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
1) Otokratis
Tipe pemimpin otokratis adalah tipe pemimpin yang
memperlakukan organisasi yang dipimpinnya sebagai milik pribadi.
Sehingga hanya kemauannya sajalah yang harus berlangsung dan
kurang mau memperhatikan kritik dari bawahannya. Ia beranggapan
bahwa mereka yang dipimpin itu semata-mata bawahan. Pemimpin
semacam ini biasanya mengagungkan kekuasaan formalnya. Oleh
sebab itu, biasanya ia tertutup terhadap kritik, saran dan pendapat
orang lain. Ia beranggapan bahwa seolah-olah pikiran dan
pendapatnyalah yang paling benar, karena itu harus dilaksanakan dan
dipatuhi secara mutlak.
Bentuk kepemimpinan ini adalah yang paling banyak dikenal
karena tergolong yang paling tua. Kepemimpinan ini menempatkan
kekuasaan di tangan seseorang atau sekelompok kecil orang yang
disebut atasan sebagai penguasa. Sejumlah orang lain yang dipimpin
jumlahnya lebih banyak disebut bawahan yang kedudukannya tidak
lebih daripada pelaksana kehendak atau keputusan atasan. Pihak
atasan memandang dirinya lebih dalam segala hal dibandingkan
dengan pihak bawahan yang kualitas kemampuannya dipandang jauh
di bawah kemampuan atasannya. Pihak atasan bertindak sebagai
penguasa atau penentu yang tidak dapat dibantah dan orang lain harus
tunduk pada kekuasaannya dengan mempergunakan ancaman dan
hukuman sebagai alat dalam menjalankan kepemimpinannya. (Hadari
Nawawi,1987: 91)
Seorang pemimpin yang otoriter dalam praktek akan
menggunakan gaya kepemimpinan yang:
1) Menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya.
2) Dalam menegakkan disiplin menunjukkan kekakuan.
3) Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi.
4) Menggunakan pendekatan punitif (hukuman) dalam hal
terjadinya penyimpangan oleh bawahan. (Sondang P
Siagian, 2003: 32)

2) Militeristik
Yang dimaksud kepemimpinan militeristik itu tidak harus dalam
organisasi militer, tetapi gaya kepemimpinannya seperti militer. Orang
sipil bisa bergaya militer dalam memimpin. Dalam gaya
kepemimpinan militeristik, biasannya perintah pemimpin harus ditaati
secara mutlak.
3) Paternalistik
Yang dimaksud kepemimpinan paternalistik adalah model
kepemimpinan yang mana pemimpin menganggap yang dipimpin
tidak pernah dewasa. Karenannya ia jarang memberikan kesempatan
kepada yang dipimpinnya untuk mengembangkan daya kreasi, inisiatif
dan mengambil keputusan dalam bidang tugas yang dibebankan
kepadanya. Kepemimpinan ini lebih menonjolkan figur dan biasanya
kalau figurnya wafat, maka organisasi akan menjadi stagnan, mundur
atau runtuh.
4) Kharismatik
Pemimpin kharismatik adalah pemimpin yang mempunyai daya
pikat yang sangat besar. Biasanya dia punya banyak pengikut dan
mereka mau bekerja apa saja yang diperintahkan. Kepemimpinan
kharismatik juga menonjolkan pada figur kharismatik, sehingga jika
figur sudah tidak ada lagi, kontinuitas organisasi cenderung mundur
sebab biasanya tidak dibangun sebuah sistem yang baik dalam
organisasi.
5) Demokratis
Kepemimpinan demokratis adalah sebuah model kepemimpinan
yang mana pemimpinnya berusaha menyinkronkan antara kepentingan
dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan orang yang
dipimpinnya. Pemimpin model ini biasanya lebih mengutamakan
kerjasama. Ia lebih terbuka (inklusif), mau dikritik dan mau menerima
pendapat dari orang lain. Dalam mengambil keputusan dan
kebijaksanaan selalu mengutamakan musyawarah. Ia tidak khawatir
disaingi oleh yang dipimpinnya, bahkan berusaha membinannya agar
bersama-sama lebih maju. Model kepemimpinan semacam ini
nampaknya lebih sesuai dengan era demokratisasi di Indonesia.
(Muhadi Zaenaddin, Abd. Mustaqim, 2008: 12-13).
Bentuk kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor
utama dan terpenting. Hubungan antara pemimpin dan orang-orang
yang dipimpin diwujudkan dalam bentuk human relationship yang
didasari prinsip saling menghargai dan saling menghormati. Setiap
orang harus dimanfaatkan dengan mengikutsertakannya dalam semua
kegiatan organisasi. Keikutsertaan itu disesuaikan dengan posisi
masing-masing yang memiliki wewenang dan tanggungJawab yang
sama pentingnya bagi mencapai tujuan bersama.
Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif,
dinamis dan terarah yang berusaha memanfaatkan setiap orang untuk
kepentingan kemajuan dan perkembangan organisasi. Saran-saran,
pendapat-pendapat dan kritik-kritik setiap anggota disalurkan dengan
sebaik-baiknya dan diusahakan memanfaatkannya bagi pertumbuhan
dan kemajuan organisasi sebagai perwujudan tanggungJawab
bersama. (Hadari Nawawi,1987: hal 95).
Pemimpin yang demokratis memiliki sifat-sifat:
1) Dalam mengarahkan bawahan bertitik tolak dari pendapat
bahwa manusia itu makhluk termulia di dunia.
2) Selalu berusaha untuk menyinkronkan kepentingan dan
tujuan organisasi dengan kepentingan dari tujuan pribadi
bawahan.
3) Senang menerima saran, pendapat dan kritik dari bawahan.
4) Mengutamakan kerjasama dalam mencapai tujuan.
5) Memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan
dan membimbingnya.
6) Mengusahakan agar bawahan dapat lebih sukses daripada
dirinya.
7) Selalu mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai
pemimpin. (Ngalim Purwanto, 2002: 52).

2. Kharismatik
a. Pengertian Kharismatik
Karismatik dalam bahasa Yunani berarti ”karunia diinspirasi ilahi. Orang
orang yang karismatik memiliki daya tarik tersendiri bagi orang orang yang
ada di sekitarnya sehingga membuat orang orang yang ada di sekitarnya
secara tidak sadar mengikuti orang yang karismatik tersebut. Kepemimpinan
karismatik membuat para anggota yang di pimpinnya mengikuti inovasi
inovasi yang di ajukan oleh pemimpin ini. Pemimpin karismatik
dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu karismatik visioner dan karismatik di
masa krisis (Ivancevich, 2007:211).
Kharisma diartikan “keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan
kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk
membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya”
atau atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian
individu. Pemimpin kharismatik menampilkan ciri-ciri sebagai berikut: a)
memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran tujuan yang jelas. b)
mengkomunikasikan visi itu secara efektif. c) mendemontrasikan konsistensi
dan fokus d) mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya.
Gaya kepemimpinan karismatis dapat terlihat mirip dengan kepemimpinan
transformasional, di mana pemimpin menyuntikkan antusiasme tinggi pada
tim, dan sangat enerjik dalam mendorong untuk maju. Namun demikian,
pemimpin karismatis cenderung lebih percaya pada dirinya sendiri daripada
timnya. Ini bisa menciptakan resiko sebuah proyek atau bahkan organisasi
akan kolaps bila pemimpinnya pergi. Selain itu kepemimpinan karismatis
membawa tanggung-jawab yang besar, dan membutuhkan komitmen jangka
panjang dari pemimpin. Seorang pemimpin yang kharismatik memiliki
karakteristik yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga
mampu memperoleh pengikut yang sangat besar dan para pengikutnya tidak
selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu
dikagumi. Pengikutnya tidak mempersoalkan nilai, sikap, dan perilaku serta
gaya yang digunakan pemimpin.
Pemimpin kharismatik mempunyai kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan,
percaya diri, serta pendirian dalam keyakinan dan cita-cita mereka sendiri.
Suatu kebutuhan akan kekuasaan memotivasi pmimpin tersebut untuk
mencoba mempengaruhi para pengikut. Rasapercaya diri dan pendirian yang
kuat meningktkan rasa percaya para pengikut terhadap pertimbangan dan
pendapat pemimpin tersebut. Seorang pemimpin tanpa pola cirri yang
demikian lebih kecil kemungkinannya akan mencoba mempengaruhi orang.
Dan jika berusaha mempengaruhi maka lebih kecil kemungkinan untuk
berhasil. Kesuksesan mempengaruhi bawahan dapat diwujudkan apabila
pemimpin mempunyai akhlak dan sifat yang terpuji. Dengan cirri dan sifat
tersebut pemimpin akan dikagumi oleh para pengikutnya. Pemimpin
kharismatik menekankan tujuan-tujuan idiologis yang menghubungkan misi
kelompok kepada nilai-nilai, cita-cita, serta aspirsi-aspirasi yang berakar
dalam yang dirasakan bersama oleh para pengikut. Selain itu kepemimpinan
kharismatik juga didasarkan pada kekuataan luar biasa yang dimiliki oleh
seorang sebagai pribadi. Pengertian sangat teologis, karena untuk
mengidentifikasi daya tarik pribadi yang melekat pada diri seseorang , harus
dengan menggunakan asumsi bahwa kemantapan dan kualitas kepribadian
yang dimilikiadalah merupakan anugerah tuhan. Karena posisinya yang
demikian itulah maka ia dapat dibedakan dari orang kebanyakan, juga karena
keunggulan kepribadian itu, ia dianggap (bahkan) diyakini memiliki kekuasan
supra natural, manusia serba istimewa atau sekurang-kurangnya istimewa
dipandang masyarakat.
Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor khusus yang perlu
dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang pemimpin yang
nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu
kebijakan.Istilah dan konsep demokratis/demokrasi memang sangat lentur.
Teori kepemimpinan karismatik saat ini sangatlah dipengaruhi oleh ide-ide
ahli sosial yang bernama Max Weber. Karisma adalah kata dalam bahasa
Yunani yang berarti “berkat yang terinspirasi secara agung atau dengan
bahasa lain yakni anugerah”, atau dalam bahasa Kristen yakni rahmat
(grace), seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban atau
memprediksikan peristiwa masa depan, sehingga melahirkan suatu perubahan
yang radikal.
Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut
Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki
kekuatan luarbiasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul
bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang
yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide
yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut
yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang
bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang
bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
Melihat definisi di atas, Weber menggunakan istilah itu untuk menjelaskan
sebuah bentuk pengaruh yang bukan didasarkan pada tradisi atau otoritas
formal tetapi lebih atas persepsi pengikut bahwa pemimpin diberkati dengan
kualitas yang luar biasa. Sebab Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat
sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal
yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut
yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang
membuat visi itu terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai
bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa.
Seorang yang berkharisma merupakan orang yang menciptakan suatu
perubahan eksistensial. Namun terkadang, hal itu dianggap sebagai suatu
pembaharuan terhadap adat, atau melahirkan perpecahan dunia. Asumsi lain
tentang pemimpin kharismatik adalah orang yang dianggap dan dipersepsikan
negatif, karena mengadakan keretakan (breakthrough), yang dilatar belkangi
oleh sikapnya yang memperlihatkan suatu bentuk kemerdekaan yang baru dan
mau tidak mau akan menuntut sebuah ketaatan yang baru juga, antara seorang
pemimpin dengan pengikut.
b. Tipe Kepemimpinan Kharismatik
Tipe kharismatik merupakan salah satu dari tiga tipe yang dikemukakan
oleh Weber sebagai postulat ideal dalam memandang peranan pemimpin-
pemimpin keagamaan terhadap pola sosial di masyarakat. Apakah mereka
juga masuk dalam tipe yang dirumuskan oleh Weber dalam konsep
kharismatik, atau malah tidak. Sebenarnya Weber menjadikan tipe otoritas
atau sistem kepercayaan yang mengabsahkan hubungan -hubungan dalam
masyarakat menjadi tiga, yaitu dominasi hukum (legal-rasional), tradisional
(estabilished), dan kharismatik (pemimpin).
Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada
(estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Kekuasaan yang rasional atau
berdasarkan hukum (legal) adalah kekuasaan yang didasarkan atas
kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang
memegang kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk
mengeluarkan perintah. Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan
yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Dengan kata lain
yakni bentuk kepercayaan terhadap legalitas praktek-praktek yang telah
disucikan dan dibakukan. Sedangkan Kekuasaan kharismatik merupakan
dominasi atau otoritas yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian,
sifat kepahlawanan atau yang patut diteladani dan dari ketertiban atas
kekuasaannya.
Tipe kepemimpinan karismatik dapat diartikan sebagai kemampuan
menggunakan keistimewaan atau kelebihan sifat kepribadian dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain, sehingga dalam
suasana batin mengagumi dan mengagungkan pemimpin bersedia berbuat
sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin. Pemimpin disini dipandang
istimewa karena sifat-sifat kepribadiannya yang mengagumkan dan
berwibawa. Dalam kepribadian itu pemimpin diterima dan dipercayai sebagai
orang yang dihormati, disegani, dipatuhi dan ditaati secara rela dan ikhlas.
Kepemimpinan kharismatik menginginkan anggota organisasi sebagai
pengikutnya untuk mengadopsi pandangan pemimpin tanpa atau dengan
sedikit mungkin perubahan. Karakteristik pemimpin yang karismatik
dijelaskan oleh Purwanto sebagai berikut:
1) Mempunyai daya penarik yang sangat besar, karena itu umumnya
mempunyai pengikut yang jumlahnya juga besar.
2) Pengikutnya tidak dapat menjelaskan, mengapa mereka tertarik
mengikuti dan menaati pemimpin itu.
3) Seolah-olah mempunyai kekuatan gaib.
4) Karisma yang dimiliki tidak bergantung pada umur, kekayaan,
kesehatan, ataupun ketampanan si pemimpin.
Sementara itu, Nurkolis mengungkapkan bahwa seorang pemimpin
karismatik mempunyai tujuh karakteristik kunci, yaitu percaya diri, memiliki
visi, memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan visi, memiliki pendirian
yang kuat terhadap visinya, memiliki perilaku yang berbeda dari kebiasaan
orang, merasa sebagai agen pembaru dan sensitif terhadap lingkungan.
c. Ciri dan Perilaku Pemimpin Kharismatik
Ciri dan perilaku pemimpin merupakan penentu penting dari
kepemimpinan karismatik. Para pemimpin yang karismatik akan lebih besar
kemungkinannya untuk memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan,
keyakinan yang tinggi, dan pendirian kuat dalam keyakinan dan idealisme
mereka sendiri.
Perilaku kepemimpinan yang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin
yang karismatik mempengaruhi sikap dan perilaku dari pengikut meliputi
sebagai berikut: (1) menyampaikan sebuah visi yang menarik, (2)
menggunakan bentuk komunikasi yang kuat dan ekspresif saat
menyampaikan visi, (3) mengambil resiko pribadi dan membuat
pengorbanan diri untuk mencapai visi itu, (4) menyampaikan harapan yang
tinggi, (5) memperlihatkan keyakinan akan pengikut, (6) pembuatan model
peran dari perilaku yang konsisten dengan visi itu, (7) mengelola kesan
pengikut akan pemimpin, (8) membangun identifkasi dengan kelompok atau
organisasi, dan (9) memberikan kewenangan kepada pengikut.

3. Kyai
a. Pengertian Kyai
Kyai merupakan elemen paling essensial dari suatu pesantren. Ia seringkali
bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu
pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kyainya.
Kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan
akhlak yang sesuai dengan ilmunya. Menurut Saiful Akhyar Lubis,
menyatakan bahwa “Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren,
maju mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma
sang kyai. Karena itu, tidak jarang terjadi, apabila sang kyai di salah satu
pondok pesantren wafat, maka pamor pondok pesantren tersebut merosot
karena kyai yang menggantikannya tidak sepopuler kyai yang telah wafat
itu”( Saiful Akhyar Lubis, 2007 : 169).
Menurut Mustafa al-Maraghi, kyai adalah orang-orang yang mengetahui
kekuasaan dan keagungan Allah SWT sehingga mereka takut melakukan
perbuatan maksiat. Menurut Sayyid Quthb mengartikan bahwa kyai adalah
orang-orang yang memikirkan dan menghayati ayat-ayat Allah yang
mengagumkan sehingga mereka dapat mencapai ma`rifatullah secara hakiki.
Menurut Nurhayati Djamas mengatakan bahwa “kyai adalah sebutan untuk
tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok pesantren” (Nurhayati
Djamas, 2008 : 55). Sebutan kyai sangat populer digunakan di kalangan
komunitas santri. Kyai merupakan elemen sentral dalam kehidupan pesantren,
tidak saja karena kyai yang menjadi penyangga utama kelangsungan sistem
pendidikan di pesantren, tetapi juga karena sosok kyai merupakan cerminan
dari nilai yang hidup di lingkungan komunitas santri. Kedudukan dan
pengaruh kyai terletak pada keutamaan yang dimiliki pribadi kyai, yaitu
penguasaan dan kedalaman ilmu agama, kesalehan yang tercermin dalam
sikap dan perilakunya sehari-hari yang sekaligus mencerminkan nilai-nilai
yang hidup dan menjadi ciri dari pesantren seperti ikhlas, tawadhu`, dan
orientasi kepada kehidupan ukhrowi untuk mencapai riyadhah.
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dipakai untuk ketiga jenis gelar yang
berbeda:
1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat,
umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas
yang ada di Keraton Yogyakarta.
2) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-
kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia juga sering
disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).
Perlu ditekankan di sini bahwa ahli-ahli pengetahuan Islam di kalangan
umat Islam disebut ulama. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut kyai.
Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di
masyarakat juga mendapat gelar “kyai” walaupun mereka tidak memimpin
pesantren. Dengan kaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren, gelar
kyai dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional.
Kebanyakan para kyai beranggapan bahwa suatu pesantren dapat
diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber
mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam
kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak seorang pun santri atau orang lain
yang dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrenya) kecuali
kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan
berpikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh
kepada dirinya sendiri (self-confident), baik dalam soal-soal pengetahuan
Islam, maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren.
(Zamakhsyari Dhofier, 2011 : 93-94)
Para kyai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan agama
Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami
keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka
dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan
orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka
dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah
dan surban.
Seorang pendidik/kyai mempunyai kedudukan layaknya orang tua dalam
sikap kelemah-lembutan terhadap murid-muridnya, dan kecintaannya
terhadap mereka. Dan ia bertanggung jawab terhadap semua muridnya dalam
perihal kehadiran kyai/pendidik. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap kalian akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Mutafaq Alaih).
Sejak Islam masuk ke Indonesia, para kyai telah menikmati kedudukan
sosial yang tinggi. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, para sultan lebih
banyak menaruh perhatiannya terutama kepada aspek-aspek politik
kesultanan, dan dalam pengertiannya yang konkret membiarkan masalah-
masalah Islam ditangani oleh para kyai. Dengan demikian, secara tidak
langsung, kebijaksanaan para sultan ini telah memperkuat pemisahan antara
kekuasaan agama dan politik.
Dengan adanya pemisahan yang tidak resmi antara kekuasaan agama dan
kekuasaan politik ini, berarti sultan telah menyerahkan kompetensi dalam
bidang hukum agama ke tangan para kyai sepenuhnya.
Para kyai yang memimpin pesantren besar telah berhasil memperluas
pengaruh mereka di seluruh wilayah negara, dan sebagai hasilnya mereka
diterima menjadi bagian dari elit nasional. Sejak Indonesia merdeka banyak
diantara yang diangkat menjadi menteri, anggota parlemen, duta besar, dan
pejabat-pejabat tinggi pemerintah.
Untuk menjadi seorang kyai, seorang calon harus berusaha keras melalui
jenjang yang bertahap. Pertama-tama, ia biasannya merupakan anggota
keluarga kyai. Setelah menyelesaikan pelajarannya di berbagai pesantren,
kyai pembimbingnya yang terakhir melatihnya mendirikan pesantrenya
sendiri. Seringkali kyai pembimbing turut secara langsung dalam pendirian
proyek pesantren baru, sebab kyai muda dianggap mempunyai potensi untuk
menjadi seorang alim yang baik dan berfungsi sebagai penyaji santri senior.
Campur tangan kyai biasannya lebih banyak lagi, antara lain calon kyai
dicarikan jodoh (biasanya dicarikan mertua yang kaya), dan diberi didikan
istimewa agar menggunakan waktu terakhirnya di pesantren khusus untuk
mengembangkan bakat kepemimpinannya.
Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman
pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang ia ajarkan, ia
akan semakin dikagumi. Ia juga diharapkan dapat menunjukkan
kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya,
karena banyak orang datang meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak
hal. Ia juga diharapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa
melihat tinggi rendah kelas sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak
prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti
memberikan kepemimpinan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima
waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan,
kematian dan lain-lain.
b. Ciri-ciri Kyai
Menurut Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya An-
Nashaihud Diniyah mengemukakan sejumlah kriteria atau ciri-ciri kyai di
antaranya ialah: Dia takut kepada Allah, bersikap zuhud pada dunia, merasa
cukup (qana`ah) dengan rezeki yang sedikit dan menyedekahkan harta yang
berlebih dari kebutuhan dirinya. Kepada masyarakat dia suka memberi
nasehat, ber amar ma`ruf nahi munkar dan menyayangi mereka serta suka
membimbing ke arah kebaikan dan mengajak pada hidayah. Kepada mereka
ia juga bersikap tawadhu`, berlapang dada dan tidak tamak pada apa yang ada
pada mereka serta tidak mendahulukan orang kaya daripada yang miskin. Dia
sendiri selalu bergegas melakukan ibadah, tidak kasar sikapnya, hatinya tidak
keras dan akhlaknya baik. Di dalam Shahih Muslim di sebutkan dari Ibnu
Mas`ud ra, dia berkata. Rasulullah saw bersabda :
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan
meskipun seberat zaarah (HR. Muslim).
Menurut Munawar Fuad Noeh menyebutkan ciri-ciri kyai di antaranya
yaitu:
1) Tekun beribadah, yang wajib dan yang sunnah.
2) Zuhud, melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi duniawi.
3) Memiliki ilmu akhirat, ilmu agama dalam kadar yang cukup.
4) Mengerti kemaslahatan masyarakat, peka terhadap kepentingan
umum.
5) Dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah SWT, niat yang benar
dalam berilmu dan berama.
Menurut Imam Ghazali membagi ciri-ciri seorang Kyai di antaranya yaitu:
1) Tidak mencari kemegahan dunia dengan menjual ilmunya dan tidak
memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. Perilakunya
sejalan dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang berbuat kebaikan
sebelum ia mengamalkannya.
2) Mengajarkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa dalam
mendalami ilmu pengetahuan yang dapat mendekatkan dirinya kepada
Allah SWT, dan menjauhi segala perdebatan yang sia-sia.
3) Mengejar kehidupan akhirat dengan mengamalkan ilmunya dan
menunaikan berbagai ibadah.
4) Menjauhi godaan penguasa jahat.
5) Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah.
6) Senang kepada setiap ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Cinta kepada musyahadah (ilmu untuk menyingkap kebesaran
Allah SWT), muraqabah (ilmu untuk mencintai perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya), dan optimis terhadap rahmat-Nya, di
antaranya :
a) Berusaha sekuat-kuatnya mencapai tingkat haqqul-yaqin.
b) Senantiasa khasyyah kepada Allah, takzim atas segala kebesaran-
Nya, tawadhu`, hidup sederhana, dan berakhlak mulia terhadap
Allah maupun sesamanya.
c) Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian
hatinya.
d) Memiliki ilmu yang berpangkal di dalam hati, bukan di atas kitab.
Ia hanya taklid kepada hal-hal yang telah diajarkan Rasulullah
saw.
c. Tugas-tugas Kyai
Di samping kita mengetahui beberapa kriteria atau ciri-ciri seorang kyai
diatas, adapun tugas dan kewajiban kyai yaitu sebagai berikut:
Menurut Hamdan Rasyid bahwa kyai mempunyai tugas di antaranya
adalah:
Pertama, Melaksanakan tablikh dan dakwah untuk membimbing umat.
Kyai mempunyai kewajiban mengajar, mendidik dan membimbing umat
manusia agar menjadi orang-orang yang beriman dan melaksanakan ajaran
Islam.
Kedua, Melaksanakan amar ma`ruf nahi munkar. Seorang kyai harus
melaksanakan amar ma`ruf dan nahi munkar, baik kepada rakyat kebanyakan
(umat) maupun kepada para pejabat dan penguasa Negara (umara), terutama
kepada para pemimpin, karena sikap dan perilaku mereka banyak
berpengaruh terhadap masyarakat.
Ketiga, Memberikan contoh dan teladan yang baik kepada
masyarakat. Para kyai harus konsekwen dalam melaksanakan ajaran Islam
untuk diri mereka sendiri maupun keluarga, saudara-saudara, dan sanak
familinya. Salah satu penyebab keberhasilan dakwah Rasulullah SAW, adalah
karena beliau dapat dijadikan teladan bagi umatnya. Sebagaimana
difirmankan dalam surat Al-Ahzab ayat 21:

               

 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu”.(QS. Al-Ahzab: 21).
Keempat, Memberikan penjelasan kepada masyarakat terhadap berbagai
macam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Para kyai
harus menjelaskan hal-hal tersebut agar dapat dijadikan pedoman dan rujukan
dalam menjalani kehidupan.
Kelima, Memberikan Solusi bagi persoalan-persoalan umat. Kyai harus
bisa memberi keputusan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi
masyarakat secara adil berdasarkan al-Qur`an dan al-Sunnah.
Keenam, Membentuk orientasi kehidupan masyarakat yang bermoral dan
berbudi luhur. Dengan demikian, nilai-nilai agama Islam dapat
terinternalisasi ke dalam jiwa mereka, yang pada akhirnya mereka memiliki
watak mandiri, karakter yang kuat dan terpuji, ketaatan dalam beragama,
kedisiplinan dalam beribadah, serta menghormati sesama manusia. Jika
masyarakat telah memiliki orientasi kehidupan yang bermoral, maka mereka
akan mampu memfilter infiltrasi budaya asing dengan mengambil sisi positif
dan membuang sisi negatif.
Ketujuh, Menjadi rahmat bagi seluruh alam terutama pada masa-masa
kritis seperti ketika terjadi ketidak adilan, pelanggaran terhadap Hak-hak
asasi manusia (HAM), bencana yang melanda manusia, perampokan,
pencurian yang terjadi dimana-mana, pembunuhan, sehingga umat pun
merasa diayomi, tenang, tenteram, bahagia, dan sejahtera di bawah
bimbingannya. (Hamdan Rasyid: 22).

B. Loyalitas Ustadz
1. Loyalitas
a. Pengertian Loyalitas
Secara harfiah loyal berarti setia, atau loyalitas dapat diartikan sebagai
suatu kesetiaan. Kesetiaan ini timbul tanpa adanya paksaan, tetapi timbul
dari kesadaran sendiri pada masa lalu.
Pengertian loyalitas berasal dari bahasa inggris 'loyal' yang artinya
setia. dan kesetiaan adalah kualitas yang menyebabkan kita tidak
menggemingkan dukungan dan pembelaan kita pada sesuatu. Loyalitas
lebih banyak bersifat emosional, loyalitas adalah kualitas perasaan, dan
perasaan tak selalu membutuhkan penjelasan rasional.
Loyalitas didefinisikan sebagai kesetiaaan pada sesuatu dengan rasa
cinta, sehingga dengan rasa loyalitas yang tinggi sesorang merasa tidak
perlu untuk mendapatkan imbalan dalam melakukan sesuatu untuk orang
lain tempat dia meletakan loyalitasnya.
Utomo (Tommy dkk., 2010) Loyalitas dapat dikatakan sebagai
kesetiaan seseorang terhadap suatu hal yang bukan hanya berupa kesetiaan
fisik semata, namun lebih pada kesetiaan non fisik seperti pikiran dan
perhatian. Loyalitas ustadz dalam pondok pesantren itu mutlak diperlukan
demi kesuksesan pondok pesantren itu sendiri. Menurut Reichheld,
semakin tinggi loyalitas para ustadz di suatu pondok pesantren, maka
semakin mudah bagi pondok pesantren itu untuk mencapai tujuan-tujuan
pondok pesantren yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemilik pondok
pesantren. Begitu pula sebaliknya, bagi pondok pesantren yang loyalitas
para ustadznya rendah, maka semakin sulit bagi pondok pesantren tersebut
untuk mencapai tujuan-tujuan pondok pesantren yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh pemilik pondok pesantren.
Loyalitas dalam pondok pesantren dapat diartikan sebagai kesetiaan
seorang ustadz terhadap pondok pesantren. Menurut Sudimin (2003),
loyalitas berarti Kesediaan ustadz dengan seluruh kemampuan,
keterampilan, pikiran, dan waktu untuk ikut serta mencapai tujuan pondok
pesantren dan menyimpan rahasia pondok pesantren serta tidak melakukan
tindakan-tindakan yang merugikan pondok pesantren selama orang itu
masih berstatus sebagai ustadz.
Sedangkan loyal menurut Siagian (2005), Suatu kecenderungan ustadz
untuk tidak pindah ke pondok lain.
Sedangkan menurut Poerwadarmita (dalam Erwin Agung 2006:49)
yang dimaksud dengan loyalitas adalah patuh yang berarti menurut, atau
setia yang berarti tetap dan teguh hati. Maka yang dimaksud dengan
loyalitas ustadz adalah seseorang yang terbiasa melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh kyai selama seseorang itu masih berada di suatu tempat
tertentu.
Menurut Griffin (dalam Astri, 2012:2) dalam loyalitas lebih mengacu
pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan keputusan untuk
melakukan pekerjaan secara terus menerus terhadap apa yang telah
diperintahkan oleh kyai terhadap dirinya.
Menurut Pambudi, di masa lalu atau masa sebelumnya, loyalitas para
ustadz hanya diukur dari jangka waktu lamanya ustadz tersebut membantu
bagi sebuah pondok pesantren.
Jadi, di sini loyalitas para ustadz bukan hanya sekedar kesetiaan fisik
atau keberadaaannya di dalam pondok pesantren, namun termasuk pikiran,
perhatian, gagasan, serta dedikasinya tercurah sepenuhnya kepada pondok
pesantren. Saat ini loyalitas ustadz bukan sekedar menjalankan tugas-tugas
serta kewajibannya sebagai ustadz yang sesuai dengan uraian-uraian
tugasnya atau disebut juga dengan job description, melainkan berbuat
seoptimal mungkin untuk menghasilkan yang terbaik dari pondok
pesantren.
Selanjutnya Steers & Porter (dalam Dewi & Endang) menyatakan
bahwa timbulnya loyalitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1) karakteristik pribadi, meliputi : usia, masa kerja, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, prestasi yang dimiliki, ras, dan sifat
kepribadian.
2) Karakteristik pekerjaan, meliputi : tantangan kerja, stres kerja,
kesempatan untuk berinteraksi sosial, job enrichment, identifikasi
tugas, umpan balik tugas, dan kecocokan tugas.
3) Karakteristik desain pondok pesantren, yang dapat dilihat dari
sentralisasi, tingkat formalitas, tingkat keikutsertaan dalam
pengambilan keputusan, paling tidak telah menunjukkan berbagai
tingkat asosiasi dengan tanggung jawab perusahaan,
ketergantungan fungsional maupun fungsi kontrol pondok
pesantren.
4) Pengalaman yang diperoleh dalam pondok pesantren, yaitu
internalisasi individu terhadap pondok pesantren setelah
melaksanakan tugas dalam pondok pesantren tersebut meliputi
sikap positif terhadap pondok pesantren, rasa percaya terhadap
pondok pesantren sehingga menimbulkan rasa aman, merasakan
adanya kepuasan pribadi yang dapat dipenuhi oleh pondok
pesantren.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah diungkap di atas dapat dilihat
bahwa masing-masing faktor mempunyai dampak tersendiri bagi
kelangsungan hidup pondok pesantren, sehingga tuntutan loyalitas yang
diharapkan oleh pondok pesantren baru dapat terpenuhi apabila ustadz
memiliki karakteristik seperti yang diharapkan dan pondok pesantren
sendiri telah mampu memenuhi harapan-harapan para ustadz.
Lebih lanjut, terdapat beberapa ciri ustadz yang memiliki loyalitas
yang rendah diantaranya karena sifat karakternya (bawaan), kekecewaan
ustadz, dan sikap kyai, serta perasaan negatif, seperti ingin meninggalkan
pondok pesantren, merasa bekerja di pondok pesantren lain lebih
menguntungkan, tidak merasakan manfaat, dan menyesali bergabung
dengan pondok pesantren. Adapun karakteristik ustadz yang menunjukkan
loyalitas yang tinggi terhadap pondok pesantren, diantaranya adalah :
bersedia bekerja melebihi kondisi biasa, merasa bangga atas tugas yang
dicapai dalam pondok pesantren, merasa terinspirasi, bersedia
mengorbankan kepentingan pribadi, merasa ada kesamaan nilai dengan
perusahaan.
b. Indikator Loyalitas
Menurut Runtu (2014) Loyalitas tidak mungkin dianggap sebagai dari
sesuatu yang terjadi dengan sendirinya ketika seorang ustadz bergabung
dalam pondok pesantren. Apabila pondok pesantren menginginkan seorang
ustadz yang loyal, pondok pesantren harus mengupayakan agar ustadz
menjadi bagian dari pondok pesantren yang merupakan tingkatan lebih
tinggi. Dengan demikian ustadz tersebut sungguh merasa bahwa “suka-
duka” pondok pesantren adalah “suka-duka”-nya juga. Oleh karena itu
loyalitas mencakup kesediaan untuk tetap bertahan, memiliki produktivitas
yang melampaui standard, memiliki perilaku altruis, serta adanya
hubungan timbal balik dimana loyalitas ustadz harus diimbangi oleh
loyalitas pondok pesantren terhadap ustadz.
Ada 16 indikator yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi loyalitas
ustadz sebagaimana dikemukakan Powers (dalam Runtu, 2014), yaitu:
1) Tetap bertahan dalam pondok pesantren.
2) Bersedia bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan.
3) Menjaga rahasia pondok pesantren.
4) Mempromosikan pondok pesantren kepada masyarakat umum.
5) Menaati peraturan tanpa perlu pengawasan yang ketat.
6) Mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan
pondok pesantren.
7) Tidak bergosip, berbohong atau mencuri.
8) Membeli dan menggunakan barang yang ada di pondok
pesantren.
9) Ikut berkontribusi dalam kegiatan sosial pondok pesantren.
10) Menawarkan saran-saran untuk perbaikan.
11) Mau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan aksidental pondok
pesantren.
12) Mau mengikuti arahan atau instruksi.
13) Merawat properti pondok pesantren dan atau tidak
memboroskannya.
14) Bekerja secara aaman.
15) Tidak mengakali aturan pondok pesantren termasuk ijin sakit.
16) Mau bekerja sama dan membantu rekan kerja.
Pambudi (dalam Tommy dkk., 2010) juga menambahkan bahwa lima
5 faktor yang menjadi tolak ukur sumber daya manusia yang mempunyai
loyalitas atau komitmen, yaitu:
1) Ustadz tersebut berada di pondok pesantren tertentu.
2) Ustadz tersebut mengenal seluk beluk pondok pesantren maupun
para pelanggannya dengan baik.
3) Ustadz tersebut turut berperan dalam mempertahankan hubungan
dengan pelanggan yang menguntungkan bagi perusahaannya.
4) Ustadz tersebut merupakan aset tak berwujud yang tidak dapat
ditiru oleh para pesaing.
5) Ustadz tersebut memaparkan pondok pesantren, baik dari sudut
produk, layanan, sebagai tempat kerja yang ideal maupun
keunggulan kinerja dan masa depan yang lebih baik.
c. Aspek-aspek Loyalitas
Loyalitas ustadz tidak terbentuk begitu saja dalam pondok pesantren,
tetapi ada aspek-aspek yang terdapat di dalamnya yang mewujudkan
loyalitas ustadz. Masing-masing aspek merupakan bagian dari manajemen
pondok pesantren yang berkaitan dengan ustadz maupun pondok
pesantren. Aspek-aspek loyalitas kerja yang terdapat pada individu
dikemukakan oleh Siswanto (dalam Soegandhi dkk. 2013), yang menitik
beratkan pada pelaksanaan kerja yang dilakukan ustadz antara lain:
1) Taat pada peraturan. Setiap kebijakan yang diterapkan dalam
pondok pesantren untuk memperlancar dan mengatur jalannya
pelaksanaan tugas oleh manajemen pondok pesantren ditaati dan
dilaksanakan dengan baik. Keadaan ini akan menimbulkan
kedisiplinan yang menguntungkan pondok pesantren baik intern
maupun ekstern.
2) Tanggung jawab pada pondok pesantren. Karakteristik pekerjaan
dan pelaksanaan tugasnya mempunyai konsekuensi yang
dibebankan ustadz. Kesanggupan ustadz untuk melaksanakan
tugas sebaik-baiknya dan kesadaran akan setiap resiko
pelaksanaan tugasnya akan memberikan pengertian tentang
keberanian dan kesadaran bertanggungjawab terhadap resiko atas
apa yang telah dilaksanakan.
3) Kemauan untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang-orang
dalam suatu kelompok akan memungkinkan pondok pesantren
dapat mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh orang-
orang secara invidual.
4) Rasa memiliki, adanya rasa ikut memiliki ustadz terhadap pondok
pesantren akan membuat ustadz memiliki sikap untuk ikut
menjaga dan bertanggung jawab terhadap pondok pesantren
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi
tercapainya tujuan pondok pesantren.
5) Hubungan antar pribadi, ustadz yang mempunyai loyalitas kerja
tinggi mereka akan mempunyai sikap fleksibel ke arah tata
hubungan antara pribadi. Hubungan antara pribadi ini meliputi :
hubungan sosial diantara ustadz, hubungan yang harmonis antara
kyai dan ustadz, situasi kerja dan sugesti dari teman kerja.
6) Kesukaan terhadap pekerjaan, pondok pesantren harus dapat
menghadapi kenyataan bahwa ustadznya setiap hari datang untuk
bekerjasama sebagai manusia seutuhnya dalam hal melakukan
pekerjaan yang akan dilakukan dengan senang hati sebagai
indikatornya bisa dilihat dari : keunggulan ustadz dalam bekerja,
ustadz tidak pernah menuntut apa yang diterimanya diluar gaji
pokok.
.
2. Ustadz / Guru
a. Pengertian Ustadz / Guru
Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk
watak bangsa melaui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang
diinginkan. Dari dimensi tersebut peranan guru sulit digantikan oleh yang
lain. Guru mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan, hal ini
disebabkan ia memiliki tanggungjawab dan menentukan arah pendidikan.
Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang
yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai guru/pendidik. Islam
mengangkat derajat mereka dan memuliakan mereka melebihi dari pada
orang Islam lainnya yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan pendidik.
Firman Allah SWT dalam surat Al Mujadalah ayat 11 :
ٍ ‫ ي رفَ ِع ٱهلل ٱلَّ ِذين آمنُواْ ِمن ُكم وٱلَّ ِذين أُوتُواْ ٱلْعِْلم درج‬...
)11 : ‫(اجملادلة‬... ‫ات‬ َ ََ َ َ َْ َ َ ُ َْ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. AL Mujadalah:11).
Bahkan orang-orang yang berilmu pengetahuan dan mau
mengajarkan ilmunya kepada mereka yang membutuhkan akan disukai
oleh Allah SWT dan dido’akan oleh penghuni langit, penghuni bumi
seperti semut dan ikan di dalam laut agar ia mendapat keselamatan dan
kebahagiaan. (Soenarjo dkk: 910-911).
Kata orang (orang Jawa) “guru” adalah singkatan dari ungkapan
“digugu lan ditiru”. Artinya, guru adalah orang yang harus ditaati dan
diikuti. Tetapi menurut pendapat lain, “guru” sebenarnya berarti “wagu
tur saru”. Artinya sudah tak seronok, memalukan lagi.
Ungkapan pertama, “digugu lan ditiru”, yang merupakan suatu
idealisasi tentang guru. Melalui ungkapan ini masyarakat Jawa
mencanangkan suatu model tentang guru, bahwa seorang guru harus
selalu memikirkan perilakunya, karena segala yang dilakukanya akan
dijadikan teladan oleh murid-murid dan masyarakatnya. Ungkapan
kedua, “wagu tur saru”, merupakan suatu karikatur, suatu ejekan.
Karikatur ini dapat kita pandang sebagai antimodel, yaitu contoh
mengenai apa yang sebaiknya tidak ditiru. (Deni Koswara dan Halimah,
2008: 2-4).
Ustadz (bahasa Arab jamak, asatidz) adalah istilah yang sangat
sering dipakai di Indonesia untuk panggilan kalangan orang yang
dianggap pintar dan ahli di bidang ilmu agama. Ustadz sejajar dengan
istilah buya, kyai, da'i, muballigh. Di sebagian pesantren,
pengasuh/pimpinan pesantren disebut Ustadz. Di sebagian pesantren
yang lain, ustadz statusnya di bawah kyai.
Kata ustadz kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan
makna sebutan khusus untuk seorang guru / pengajar dalam sekolah-
sekolah formal Islam dan orang-orang yang dihormati dalam bidang
Agama Islam (atau bergerak dalam bidang Ke-Islaman).
Guru selain penjaga moral setelah kyai, guru juga dituntut secara
intelektual dan terampil dalam mendidik siswa.
Sedang di Indonesia, seperti disebut di muka, kata ustadz merujuk
pada banyak istilah yang terkait dengan orang yang memiliki
kemampuan ilmu agama dan bersikap serta berpakaian layaknya orang
alim. Baik kemampuan riil yang dimilikinya sedikit atau banyak.
Dalam buku Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam (2010: 95-
97) dijelaskan pendidikan yang berporos pada konsep “al-tarbiyah”
memandang guru sebagai “murobby”. Guru adalah orang yang bertugas
merawat atau membimbing murid agar bisa mengembangkan potensi-
potensi kebaikan dan karakter-karakter positif dalam diri mereka
sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri dan mampu memuliakan
kehidupan sesama. Jelas di sini bahwa guru adalah salah satu unsur
penting dari proses pendidikan. Di pundak mereka terletak tanggung
jawab yang besar dalam mengantarkan murid ke arah tujuan pendidikan
yang dicita-citakan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa guru
dalam pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap
upaya perkembangan jasmani dan rohani serta pengetahuan dan
keterampilan hidup menuju ke tingkat yang lebih tinggi sehingga mampu
menunaikan tugas kemanusiannya baik sebagai khalifah fil ardh maupun
sebagai „abd (hamba Allah). Oleh karena itu guru dalam hal ini tidak
hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas dalam proses pendidikan
di madrasah, tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan
murid sejak masa kanak-kanak hingga meninggal dunia.
Jadi, tugas utama seorang guru adalah mendidik. Orang tua mendidik
anaknya, guru mendidik siswanya, tokoh masyarakat mendidik warga
masyarakat, dan tokoh agama mendidik umatnya. Dalam konteks ini
tugas guru tidak cukup hanya menjadikan anak lebih melek-huruf atau
menjadi anak pintar, melainkan mencakup upaya untuk membekali murid
dengan nilai-nilai yang mempersiapkan mereka menjadi insan yang
bertanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain, dan masyarakat luas.
Undang-undang sistem pendidikan nasional nampaknya telah
memberikan panduan ringkas dan menyeluruh, bahwa proses pendidikan
hendaknya “berlangsung sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara”. (UU Sisdiknas Pasal 1 ayat 1).
Menurut Mochtar (dalam buku wawasan pendidikan karakter dalam
Islam, 2010: 97) sekarang ini terdapat beberapa perbedaan dalam
mengartikan kata “mengajar” sebagai suatu kompetensi yang harus
dimiliki seorang guru. Setidaknya ada empat golongan mengenai hal ini.
Pertama “mengajar” sebagai kegiatan mentransfer pengetahuan
belaka. Dengan demikian, penguasaan bidang pengetahuan sebagai unsur
terpenting, sedangkan keterampilan pedagogik dipandang tidak penting.
Golongan ini juga berpendapat, bahwa kalau guru betul-betul menguasai
bidang yang diajarkan, dengan sendirinya dia akan mengetahui
bagaimana caranya mengajarkan suatu topik. Kedua, memandang
pekerjaan mengajar bukan hanya sebagai pekerjaan mentransfer
pengetahuan belaka, melainkan sebagai kegiatan untuk membimbing
para siswa mengembangkan pengetahuan mereka, dan memahami apa
yang mereka ketahui. Maka di samping penguasaan bidang pengetahuan,
seorang guru juga harus menguasai cara-cara terbaik untuk mengajarkan
bidang pengetahuan yang ditekuninya. Ketiga, yaitu golongan yang
memandang pekerjaan mengajar secara lebih mendalam. Golongan ini
memandang pekerjaan mengajar bukan sebagai kegiatan untuk
memintarkan murid semata-mata, tetapi sebagai suatu tugas untuk
membimbing murid-murid menjadi manusia yang mampu
mempergunakan apa yang mereka ketahui dan mereka pahami sebagai
modal dasar untuk menghidupi dirinya sendiri, untuk mengembangkan
kehidupan pribadi yang bermakna, dan untuk turut memuliakan
kehidupan. Keempat, mempunyai pandangan yang lahir dari suatu
kesadaran sejarah. Pandangan ini mengatakan, tugas guru dan sekolah
ialah mempersiapkan generasi muda untuk pada waktu tertentu di masa
depan mengambil alih dan melanjutkan pekerjaan mengelola kehidupan
negara dan bangsa.
Dilihat dalam perspektif ini, maka tugas mengajar menurut Mochtar
Buchori tidak hanya membekali generasi muda dengan pengetahuan saja,
melainkan membekali pula dengan commitment kepada masa depan
bangsa dan negara.
b. Guru Sebagai Pendidik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001),
disebutkan bahwa pendidik mengandung arti orang yang mendidik.
Adapun mendidik berarti memelihara dan memberi latihan (berupa
ajaran, tuntunan, dan pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Jika diartikan dalam kaitanya dengan guru, pendidik adalah
orang yang mendidik anak didik tentang bagaimana akhlak dan
kecerdasan pikiran menjadi bagian yang terpelihara dan terlatih.
Guru sebagai pendidik adalah messenger of adulty, orang yang
membawa anak menuju pendewasaan dalam berakhlak (budi pekerti)
dan kecerdasan pikiran (mengolah sinergi otak, hati, dan jasmani)
agar kelak mampu berinteraksi dengan dunia yang baru. Guru
memberikan dukungan agar kelak siswanya berhasil. Siswa bebas
menentukan apa yang akan menjadi pilihannya. Namun, para siswa
pun harus selalu sadar dan patuh terhadap aturan dan norma dalam
hidupnya.
Kemampuan seorang guru sebagai pendidik dapat diukur dari
prinsip-prinsip atau sikap yang dibangunya. Hal tersebut merupakan
sarana pendukung untuk mendukung pemahaman akan pendidikan
siswanya. Prinsip yang harus ada dan dibangun tersebut antara lain
sebagai berikut.
1) Guru secara penuh dapat berkolaborasi dalam aktivitas
siswanya.
2) Keterbinaan sifat pengertian antara guru dengan siswa.
3) Guru harus pandai mempertimbangkan pembelajaran bagi
siswanya, baik dalam segi daya pikir maupun pengalaman.
4) Guru memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk
berinovasi.
5) Guru mengajarkan hal yang bermanfaat dan praktis.
(Tiana Juliansyah, 2010: 3).
c. Guru Sebagai Pengajar
Guru sebagai pengajar lebih menekankan pada tugas dalam
merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru
dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis
mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan
diajarkannya. Di sini menurut Abu Ahmadi (1978: 33) dalam
Koswara dan Halimah, ada 3 macam persiapan guru sebagai
pengajar yang harus dipenuhi:
1) Persiapan batin, yaitu suatu kesanggupan, kesediaan untuk
menjadi guru karena jabatan guru adalah suatu panggilan.
Apabila seorang guru memikul tugasnya karena terpaksa,
maka hal ini belum merupakan suatu panggilan.
2) Persiapan materil, sebelum calon guru berhadapan dengan
anak didiknya di dalam kelas, maka calon guru harus
mendapatkan bahan atau gemblengan yang berisi cara-cara
melaksanakan tugasnya, juga pribadi calon guru itu
sendiri.
3) Persiapan tertulis secara sistematis, sebelum esok harinya
berhadapan dengan murid di dalam kelas, guru perlu
memikirkan jenis mata pelajaran apa yang akan diberikan,
sumber-sumber mana yang dapat diperoleh, bagaimana
caranya membawakannya dengan baik, sehingga tujuan
mengajar akan benar-benar tercapai. Di sinilah sebenarnya
inti proses pengajaran, sukses tidaknya seorang guru
tergantung hasil pelajarannya.
d. Guru Sebagai Pembimbing
Tugas dan tanggung jawab guru sebagai pembimbing memberi
tekanan kepada tugas memberikan bantuan kepada siswa dlam
memecahkan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek
mendidik sebab tidak hanya berkenan dengan penyampaian ilmu
pengetahuan, melainkan juga menyangkut pembinaan kepribadian
dan penbentukan nilai-nilai para siswa.
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan
(journey), yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya
bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Sebagai
pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi
untuk melaksanakan empat hal berikut (Diolah dari E. Mulyasa
2008: 41-42):
1) Guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi
kompetensi yang hendak dicapai. Tugas guru adalah
menetapkan apa yang telah dimiliki oleh peserta didik
sehubungan dengan latar belakang dan kemampuannya,
serta kompetensi apa yang mereka perlukan untuk
dipelajari dalam mencapai tujuan.
2) Guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam
pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta
didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara
jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.
3) Guru harus memaknai kegiatan belajar. Tugas guru harus
memberikan kehidupan terhadap kegiatan belajar.
4) Guru harus melaksanakan penilaian. Dalam hal ini,
diharapkan guru dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
dari orang-orang sekeliling. (Deni Koswara dan Halimah,
2008: 86-88).

C. Kepemimpinan Kyai dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan


Loyalitas Ustadz
kepemimpinan adalah hubungan dimana seseorang atau pemimpin
mempengaruhi yang lain untuk bekerjasama pada tugas-tugas terkait untuk
mencapai keinginan pemimpin tersebut). (Asep Kurniawan, 2010: 133). Kata kiai
merupakan Gelar yang diberikan oleh masyaraat epada seorang ahli agama
(Islam) yang memiliki atau menjadi pemimpin pondok pesantren dan mengajar
kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya. (Sama’un Bakry 2005: 162).
kepemimpinan kiai adalah: suatu proses memimpin dan menggerakkan santri
yang dilakukan seorang pengasuh dan pengembang pondok pesantren (kiai) agar
santri mau melakukan sesuatu secara sukarela dan ikhlas untuk mencapai tujuan
pembelajaran di pesantren.
Pengertian loyalitas berasal dari bahasa inggris 'loyal' yang artinya setia. dan
kesetiaan adalah kualitas yang menyebabkan kita tidak menggemingkan dukungan
dan pembelaan kita pada sesuatu. Loyalitas lebih banyak bersifat emosional,
loyalitas adalah kualitas perasaan, dan perasaan tak selalu membutuhkan
penjelasan rasional.
Loyalitas didefinisikan sebagai kesetiaaan pada sesuatu dengan rasa cinta,
sehingga dengan rasa loyalitas yang tinggi sesorang merasa tidak perlu untuk
mendapatkan imbalan dalam melakukan sesuatu untuk orang lain tempat dia
meletakan loyalitasnya.
Utomo (Tommy dkk., 2010) Loyalitas dapat dikatakan sebagai kesetiaan
seseorang terhadap suatu hal yang bukan hanya berupa kesetiaan fisik semata,
namun lebih pada kesetiaan non fisik seperti pikiran dan perhatian. Loyalitas para
ustadz dalam suatu pondok pesantren itu mutlak diperlukan demi kesuksesan
pondok pesantren itu sendiri. Menurut Reichheld, semakin tinggi loyalitas para
ustadz di suatu pondok pesantren, maka semakin mudah bagi pondok pesantren
itu untuk mencapai tujuan-tujuan pondok pesantren yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh kyai. Begitu pula sebaliknya, bagi pondok pesantren yang
loyalitas para ustadznya rendah, maka semakin sulit bagi pondok pesantren
tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan pondok pesantren yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh kyai.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kyai adalah pengasuh sekaligus
pemimpin di pesantren, di mana yang dipimpin dan diarahkan oleh kyai adalah
para ustadz dan santri yang belajar di pesantren.
Selanjutnya, pendidikan pesantren dengan pendidikan lain tentu berbeda,
dalam pesantren Kyai memiliki kedudukan sangat penting dan juga sangat tinggi
dalam mendidik ustadz dan para santri. Kyai adalah pendiri, pemilik, sesepuh,
pengajar dan pemimpin sebuah pesantren. Adapun ciri pendidikan pesantren
yaitu:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kyainya
2. Adanya kepatuhan santri kepada kyai
3. Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4. Kemandirian
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan
6. Kedisiplinan
7. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan
8. Pemberian ijazah (Samsul Nizar, 2007: 289)
Dalam mewujudkan pendidikan pesantren kai memegang peran penting. Kyai
yang merupakan pendidik utama di pesantren memiliki kedudukan yang sangat
tinggi, hal ini bukan karena aspek materi atau kekayaan, akan tetapi karena derajat
guru yang memang dimuliakan dalam Islam. Guru menjalankan tugas pokok dan
fungsi yang berperan multi peran, yaitu sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih
atau pembimbing.
Kemudian Kyai merupakan pengasuh sekaligus pendidik di pesantren, maka
peran kiai lebih kompleks dari guru yakni memimpin dan mengorganisasikan
semua komponen di pesantren, serta mengajar dan membimbing santri. Berkaitan
dengan pemimpin, Allah swt. berfirman:

         

    

Artinya: “dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi


dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu”. (al-An’am: 165) (Departemen agama RI, 2007: 151)
Ayat di atas menjelaskan bahwa pemimpin adalah penguasa yang
bertanggung Jawab atas anggota yang di pimpinnya, derajat pemimpin lebih
tinggi karena memiliki tanggung Jawab besar yang akan dimintai pertanggung
Jawabannya di ahirat kelak.
Melihat peran kyai yang begitu kompleks, kepemimpinan kyai tentu memiliki
pengaruh yang sangat penting dan juga sangat besar pengaruhnya terhadap
kelangsungan dalam proses pembentukan loyalitas bagi para ustadz di pondok
pesantren. Dengan sifat kepemimpinan kyai yang menawan sehingga menjadikan
para ustadz menjadi patuh dan mau menjalankan apa yang diperintahkan oleh kyai
kepada dirinya. Ustadz juga membantu tugas kyai dalam menjalankan program
yang ada di pondok pesantren.
Kepemimpinan kyai dan pelaksanaan tugas-tugas kyai sebagai pemimpin di
pesantren akan memberikan kontribusi yang banyak untuk membentuk loyalitas
ustadz. Kyai yang tegas dalam memimpin, ustadz akan segan dan patuh dalam
menjalankan aturan-aturan di pesantren. Kepemimpinan seseorang akan
menentukan kemajuan dan keberhasilan anggota yang dipimpinnya, begitu juga
kepemimpinan seorang kyai akan berpengaruh bagi keberhasilan dalam
membentuk loyalitas ustadz. Kepatuhan para ustadz dapat tercermin dari
bagaimana seorang kyai memanajemen kegiatan di pesantren.

Anda mungkin juga menyukai