LANDASAN TEORITIS
17
Dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khilafah yang berarti
wakil. Pemakaian kata khilafah setelah Rasulullah SAW. wafat menyentuh
juga maksud yang terkandung di dalam perkataan amir (yang jamaknya
umara) atau penguasa. Oleh karena itu, kedua istilah ini dalam bahasa
Indonesia disebut pemimpin formal. Namun, jika merujuk kepada firman
Allah SWT. Q.S. Al-Baqarah ayat 30:
Artinya: “dari Ibnu Umar r.a berkata: saya telah mendengar Rasulullah
saw. bersabda: semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung Jawab
atas kepemimpinanya. Seorang imam pemimpin dan bertanggung Jawab
atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan
bertanggung Jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan
bertanggung Jawab atas penggunaan harta suaminya. Serang pelayan
(karyawan) bertanggung Jawab atas harta majikannya. Seorang anak
bertanggung Jawab atas penggunaan harta ayahnya.” (H.R. Bukhori dan
Muslim) (Muhammad Faiz Almath, 1994: hal. 167).
2) Militeristik
Yang dimaksud kepemimpinan militeristik itu tidak harus dalam
organisasi militer, tetapi gaya kepemimpinannya seperti militer. Orang
sipil bisa bergaya militer dalam memimpin. Dalam gaya
kepemimpinan militeristik, biasannya perintah pemimpin harus ditaati
secara mutlak.
3) Paternalistik
Yang dimaksud kepemimpinan paternalistik adalah model
kepemimpinan yang mana pemimpin menganggap yang dipimpin
tidak pernah dewasa. Karenannya ia jarang memberikan kesempatan
kepada yang dipimpinnya untuk mengembangkan daya kreasi, inisiatif
dan mengambil keputusan dalam bidang tugas yang dibebankan
kepadanya. Kepemimpinan ini lebih menonjolkan figur dan biasanya
kalau figurnya wafat, maka organisasi akan menjadi stagnan, mundur
atau runtuh.
4) Kharismatik
Pemimpin kharismatik adalah pemimpin yang mempunyai daya
pikat yang sangat besar. Biasanya dia punya banyak pengikut dan
mereka mau bekerja apa saja yang diperintahkan. Kepemimpinan
kharismatik juga menonjolkan pada figur kharismatik, sehingga jika
figur sudah tidak ada lagi, kontinuitas organisasi cenderung mundur
sebab biasanya tidak dibangun sebuah sistem yang baik dalam
organisasi.
5) Demokratis
Kepemimpinan demokratis adalah sebuah model kepemimpinan
yang mana pemimpinnya berusaha menyinkronkan antara kepentingan
dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan orang yang
dipimpinnya. Pemimpin model ini biasanya lebih mengutamakan
kerjasama. Ia lebih terbuka (inklusif), mau dikritik dan mau menerima
pendapat dari orang lain. Dalam mengambil keputusan dan
kebijaksanaan selalu mengutamakan musyawarah. Ia tidak khawatir
disaingi oleh yang dipimpinnya, bahkan berusaha membinannya agar
bersama-sama lebih maju. Model kepemimpinan semacam ini
nampaknya lebih sesuai dengan era demokratisasi di Indonesia.
(Muhadi Zaenaddin, Abd. Mustaqim, 2008: 12-13).
Bentuk kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor
utama dan terpenting. Hubungan antara pemimpin dan orang-orang
yang dipimpin diwujudkan dalam bentuk human relationship yang
didasari prinsip saling menghargai dan saling menghormati. Setiap
orang harus dimanfaatkan dengan mengikutsertakannya dalam semua
kegiatan organisasi. Keikutsertaan itu disesuaikan dengan posisi
masing-masing yang memiliki wewenang dan tanggungJawab yang
sama pentingnya bagi mencapai tujuan bersama.
Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif,
dinamis dan terarah yang berusaha memanfaatkan setiap orang untuk
kepentingan kemajuan dan perkembangan organisasi. Saran-saran,
pendapat-pendapat dan kritik-kritik setiap anggota disalurkan dengan
sebaik-baiknya dan diusahakan memanfaatkannya bagi pertumbuhan
dan kemajuan organisasi sebagai perwujudan tanggungJawab
bersama. (Hadari Nawawi,1987: hal 95).
Pemimpin yang demokratis memiliki sifat-sifat:
1) Dalam mengarahkan bawahan bertitik tolak dari pendapat
bahwa manusia itu makhluk termulia di dunia.
2) Selalu berusaha untuk menyinkronkan kepentingan dan
tujuan organisasi dengan kepentingan dari tujuan pribadi
bawahan.
3) Senang menerima saran, pendapat dan kritik dari bawahan.
4) Mengutamakan kerjasama dalam mencapai tujuan.
5) Memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan
dan membimbingnya.
6) Mengusahakan agar bawahan dapat lebih sukses daripada
dirinya.
7) Selalu mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai
pemimpin. (Ngalim Purwanto, 2002: 52).
2. Kharismatik
a. Pengertian Kharismatik
Karismatik dalam bahasa Yunani berarti ”karunia diinspirasi ilahi. Orang
orang yang karismatik memiliki daya tarik tersendiri bagi orang orang yang
ada di sekitarnya sehingga membuat orang orang yang ada di sekitarnya
secara tidak sadar mengikuti orang yang karismatik tersebut. Kepemimpinan
karismatik membuat para anggota yang di pimpinnya mengikuti inovasi
inovasi yang di ajukan oleh pemimpin ini. Pemimpin karismatik
dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu karismatik visioner dan karismatik di
masa krisis (Ivancevich, 2007:211).
Kharisma diartikan “keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan
kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk
membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya”
atau atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian
individu. Pemimpin kharismatik menampilkan ciri-ciri sebagai berikut: a)
memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran tujuan yang jelas. b)
mengkomunikasikan visi itu secara efektif. c) mendemontrasikan konsistensi
dan fokus d) mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya.
Gaya kepemimpinan karismatis dapat terlihat mirip dengan kepemimpinan
transformasional, di mana pemimpin menyuntikkan antusiasme tinggi pada
tim, dan sangat enerjik dalam mendorong untuk maju. Namun demikian,
pemimpin karismatis cenderung lebih percaya pada dirinya sendiri daripada
timnya. Ini bisa menciptakan resiko sebuah proyek atau bahkan organisasi
akan kolaps bila pemimpinnya pergi. Selain itu kepemimpinan karismatis
membawa tanggung-jawab yang besar, dan membutuhkan komitmen jangka
panjang dari pemimpin. Seorang pemimpin yang kharismatik memiliki
karakteristik yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga
mampu memperoleh pengikut yang sangat besar dan para pengikutnya tidak
selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu
dikagumi. Pengikutnya tidak mempersoalkan nilai, sikap, dan perilaku serta
gaya yang digunakan pemimpin.
Pemimpin kharismatik mempunyai kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan,
percaya diri, serta pendirian dalam keyakinan dan cita-cita mereka sendiri.
Suatu kebutuhan akan kekuasaan memotivasi pmimpin tersebut untuk
mencoba mempengaruhi para pengikut. Rasapercaya diri dan pendirian yang
kuat meningktkan rasa percaya para pengikut terhadap pertimbangan dan
pendapat pemimpin tersebut. Seorang pemimpin tanpa pola cirri yang
demikian lebih kecil kemungkinannya akan mencoba mempengaruhi orang.
Dan jika berusaha mempengaruhi maka lebih kecil kemungkinan untuk
berhasil. Kesuksesan mempengaruhi bawahan dapat diwujudkan apabila
pemimpin mempunyai akhlak dan sifat yang terpuji. Dengan cirri dan sifat
tersebut pemimpin akan dikagumi oleh para pengikutnya. Pemimpin
kharismatik menekankan tujuan-tujuan idiologis yang menghubungkan misi
kelompok kepada nilai-nilai, cita-cita, serta aspirsi-aspirasi yang berakar
dalam yang dirasakan bersama oleh para pengikut. Selain itu kepemimpinan
kharismatik juga didasarkan pada kekuataan luar biasa yang dimiliki oleh
seorang sebagai pribadi. Pengertian sangat teologis, karena untuk
mengidentifikasi daya tarik pribadi yang melekat pada diri seseorang , harus
dengan menggunakan asumsi bahwa kemantapan dan kualitas kepribadian
yang dimilikiadalah merupakan anugerah tuhan. Karena posisinya yang
demikian itulah maka ia dapat dibedakan dari orang kebanyakan, juga karena
keunggulan kepribadian itu, ia dianggap (bahkan) diyakini memiliki kekuasan
supra natural, manusia serba istimewa atau sekurang-kurangnya istimewa
dipandang masyarakat.
Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor khusus yang perlu
dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang pemimpin yang
nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu
kebijakan.Istilah dan konsep demokratis/demokrasi memang sangat lentur.
Teori kepemimpinan karismatik saat ini sangatlah dipengaruhi oleh ide-ide
ahli sosial yang bernama Max Weber. Karisma adalah kata dalam bahasa
Yunani yang berarti “berkat yang terinspirasi secara agung atau dengan
bahasa lain yakni anugerah”, atau dalam bahasa Kristen yakni rahmat
(grace), seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban atau
memprediksikan peristiwa masa depan, sehingga melahirkan suatu perubahan
yang radikal.
Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut
Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki
kekuatan luarbiasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul
bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang
yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide
yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut
yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang
bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang
bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
Melihat definisi di atas, Weber menggunakan istilah itu untuk menjelaskan
sebuah bentuk pengaruh yang bukan didasarkan pada tradisi atau otoritas
formal tetapi lebih atas persepsi pengikut bahwa pemimpin diberkati dengan
kualitas yang luar biasa. Sebab Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat
sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal
yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut
yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang
membuat visi itu terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai
bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa.
Seorang yang berkharisma merupakan orang yang menciptakan suatu
perubahan eksistensial. Namun terkadang, hal itu dianggap sebagai suatu
pembaharuan terhadap adat, atau melahirkan perpecahan dunia. Asumsi lain
tentang pemimpin kharismatik adalah orang yang dianggap dan dipersepsikan
negatif, karena mengadakan keretakan (breakthrough), yang dilatar belkangi
oleh sikapnya yang memperlihatkan suatu bentuk kemerdekaan yang baru dan
mau tidak mau akan menuntut sebuah ketaatan yang baru juga, antara seorang
pemimpin dengan pengikut.
b. Tipe Kepemimpinan Kharismatik
Tipe kharismatik merupakan salah satu dari tiga tipe yang dikemukakan
oleh Weber sebagai postulat ideal dalam memandang peranan pemimpin-
pemimpin keagamaan terhadap pola sosial di masyarakat. Apakah mereka
juga masuk dalam tipe yang dirumuskan oleh Weber dalam konsep
kharismatik, atau malah tidak. Sebenarnya Weber menjadikan tipe otoritas
atau sistem kepercayaan yang mengabsahkan hubungan -hubungan dalam
masyarakat menjadi tiga, yaitu dominasi hukum (legal-rasional), tradisional
(estabilished), dan kharismatik (pemimpin).
Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada
(estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Kekuasaan yang rasional atau
berdasarkan hukum (legal) adalah kekuasaan yang didasarkan atas
kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang
memegang kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk
mengeluarkan perintah. Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan
yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Dengan kata lain
yakni bentuk kepercayaan terhadap legalitas praktek-praktek yang telah
disucikan dan dibakukan. Sedangkan Kekuasaan kharismatik merupakan
dominasi atau otoritas yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian,
sifat kepahlawanan atau yang patut diteladani dan dari ketertiban atas
kekuasaannya.
Tipe kepemimpinan karismatik dapat diartikan sebagai kemampuan
menggunakan keistimewaan atau kelebihan sifat kepribadian dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain, sehingga dalam
suasana batin mengagumi dan mengagungkan pemimpin bersedia berbuat
sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin. Pemimpin disini dipandang
istimewa karena sifat-sifat kepribadiannya yang mengagumkan dan
berwibawa. Dalam kepribadian itu pemimpin diterima dan dipercayai sebagai
orang yang dihormati, disegani, dipatuhi dan ditaati secara rela dan ikhlas.
Kepemimpinan kharismatik menginginkan anggota organisasi sebagai
pengikutnya untuk mengadopsi pandangan pemimpin tanpa atau dengan
sedikit mungkin perubahan. Karakteristik pemimpin yang karismatik
dijelaskan oleh Purwanto sebagai berikut:
1) Mempunyai daya penarik yang sangat besar, karena itu umumnya
mempunyai pengikut yang jumlahnya juga besar.
2) Pengikutnya tidak dapat menjelaskan, mengapa mereka tertarik
mengikuti dan menaati pemimpin itu.
3) Seolah-olah mempunyai kekuatan gaib.
4) Karisma yang dimiliki tidak bergantung pada umur, kekayaan,
kesehatan, ataupun ketampanan si pemimpin.
Sementara itu, Nurkolis mengungkapkan bahwa seorang pemimpin
karismatik mempunyai tujuh karakteristik kunci, yaitu percaya diri, memiliki
visi, memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan visi, memiliki pendirian
yang kuat terhadap visinya, memiliki perilaku yang berbeda dari kebiasaan
orang, merasa sebagai agen pembaru dan sensitif terhadap lingkungan.
c. Ciri dan Perilaku Pemimpin Kharismatik
Ciri dan perilaku pemimpin merupakan penentu penting dari
kepemimpinan karismatik. Para pemimpin yang karismatik akan lebih besar
kemungkinannya untuk memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan,
keyakinan yang tinggi, dan pendirian kuat dalam keyakinan dan idealisme
mereka sendiri.
Perilaku kepemimpinan yang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin
yang karismatik mempengaruhi sikap dan perilaku dari pengikut meliputi
sebagai berikut: (1) menyampaikan sebuah visi yang menarik, (2)
menggunakan bentuk komunikasi yang kuat dan ekspresif saat
menyampaikan visi, (3) mengambil resiko pribadi dan membuat
pengorbanan diri untuk mencapai visi itu, (4) menyampaikan harapan yang
tinggi, (5) memperlihatkan keyakinan akan pengikut, (6) pembuatan model
peran dari perilaku yang konsisten dengan visi itu, (7) mengelola kesan
pengikut akan pemimpin, (8) membangun identifkasi dengan kelompok atau
organisasi, dan (9) memberikan kewenangan kepada pengikut.
3. Kyai
a. Pengertian Kyai
Kyai merupakan elemen paling essensial dari suatu pesantren. Ia seringkali
bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu
pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kyainya.
Kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan
akhlak yang sesuai dengan ilmunya. Menurut Saiful Akhyar Lubis,
menyatakan bahwa “Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren,
maju mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma
sang kyai. Karena itu, tidak jarang terjadi, apabila sang kyai di salah satu
pondok pesantren wafat, maka pamor pondok pesantren tersebut merosot
karena kyai yang menggantikannya tidak sepopuler kyai yang telah wafat
itu”( Saiful Akhyar Lubis, 2007 : 169).
Menurut Mustafa al-Maraghi, kyai adalah orang-orang yang mengetahui
kekuasaan dan keagungan Allah SWT sehingga mereka takut melakukan
perbuatan maksiat. Menurut Sayyid Quthb mengartikan bahwa kyai adalah
orang-orang yang memikirkan dan menghayati ayat-ayat Allah yang
mengagumkan sehingga mereka dapat mencapai ma`rifatullah secara hakiki.
Menurut Nurhayati Djamas mengatakan bahwa “kyai adalah sebutan untuk
tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok pesantren” (Nurhayati
Djamas, 2008 : 55). Sebutan kyai sangat populer digunakan di kalangan
komunitas santri. Kyai merupakan elemen sentral dalam kehidupan pesantren,
tidak saja karena kyai yang menjadi penyangga utama kelangsungan sistem
pendidikan di pesantren, tetapi juga karena sosok kyai merupakan cerminan
dari nilai yang hidup di lingkungan komunitas santri. Kedudukan dan
pengaruh kyai terletak pada keutamaan yang dimiliki pribadi kyai, yaitu
penguasaan dan kedalaman ilmu agama, kesalehan yang tercermin dalam
sikap dan perilakunya sehari-hari yang sekaligus mencerminkan nilai-nilai
yang hidup dan menjadi ciri dari pesantren seperti ikhlas, tawadhu`, dan
orientasi kepada kehidupan ukhrowi untuk mencapai riyadhah.
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dipakai untuk ketiga jenis gelar yang
berbeda:
1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat,
umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas
yang ada di Keraton Yogyakarta.
2) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-
kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia juga sering
disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).
Perlu ditekankan di sini bahwa ahli-ahli pengetahuan Islam di kalangan
umat Islam disebut ulama. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut kyai.
Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di
masyarakat juga mendapat gelar “kyai” walaupun mereka tidak memimpin
pesantren. Dengan kaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren, gelar
kyai dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional.
Kebanyakan para kyai beranggapan bahwa suatu pesantren dapat
diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber
mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam
kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak seorang pun santri atau orang lain
yang dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrenya) kecuali
kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan
berpikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh
kepada dirinya sendiri (self-confident), baik dalam soal-soal pengetahuan
Islam, maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren.
(Zamakhsyari Dhofier, 2011 : 93-94)
Para kyai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan agama
Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami
keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka
dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan
orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka
dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah
dan surban.
Seorang pendidik/kyai mempunyai kedudukan layaknya orang tua dalam
sikap kelemah-lembutan terhadap murid-muridnya, dan kecintaannya
terhadap mereka. Dan ia bertanggung jawab terhadap semua muridnya dalam
perihal kehadiran kyai/pendidik. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap kalian akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Mutafaq Alaih).
Sejak Islam masuk ke Indonesia, para kyai telah menikmati kedudukan
sosial yang tinggi. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, para sultan lebih
banyak menaruh perhatiannya terutama kepada aspek-aspek politik
kesultanan, dan dalam pengertiannya yang konkret membiarkan masalah-
masalah Islam ditangani oleh para kyai. Dengan demikian, secara tidak
langsung, kebijaksanaan para sultan ini telah memperkuat pemisahan antara
kekuasaan agama dan politik.
Dengan adanya pemisahan yang tidak resmi antara kekuasaan agama dan
kekuasaan politik ini, berarti sultan telah menyerahkan kompetensi dalam
bidang hukum agama ke tangan para kyai sepenuhnya.
Para kyai yang memimpin pesantren besar telah berhasil memperluas
pengaruh mereka di seluruh wilayah negara, dan sebagai hasilnya mereka
diterima menjadi bagian dari elit nasional. Sejak Indonesia merdeka banyak
diantara yang diangkat menjadi menteri, anggota parlemen, duta besar, dan
pejabat-pejabat tinggi pemerintah.
Untuk menjadi seorang kyai, seorang calon harus berusaha keras melalui
jenjang yang bertahap. Pertama-tama, ia biasannya merupakan anggota
keluarga kyai. Setelah menyelesaikan pelajarannya di berbagai pesantren,
kyai pembimbingnya yang terakhir melatihnya mendirikan pesantrenya
sendiri. Seringkali kyai pembimbing turut secara langsung dalam pendirian
proyek pesantren baru, sebab kyai muda dianggap mempunyai potensi untuk
menjadi seorang alim yang baik dan berfungsi sebagai penyaji santri senior.
Campur tangan kyai biasannya lebih banyak lagi, antara lain calon kyai
dicarikan jodoh (biasanya dicarikan mertua yang kaya), dan diberi didikan
istimewa agar menggunakan waktu terakhirnya di pesantren khusus untuk
mengembangkan bakat kepemimpinannya.
Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman
pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang ia ajarkan, ia
akan semakin dikagumi. Ia juga diharapkan dapat menunjukkan
kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya,
karena banyak orang datang meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak
hal. Ia juga diharapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa
melihat tinggi rendah kelas sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak
prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti
memberikan kepemimpinan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima
waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan,
kematian dan lain-lain.
b. Ciri-ciri Kyai
Menurut Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya An-
Nashaihud Diniyah mengemukakan sejumlah kriteria atau ciri-ciri kyai di
antaranya ialah: Dia takut kepada Allah, bersikap zuhud pada dunia, merasa
cukup (qana`ah) dengan rezeki yang sedikit dan menyedekahkan harta yang
berlebih dari kebutuhan dirinya. Kepada masyarakat dia suka memberi
nasehat, ber amar ma`ruf nahi munkar dan menyayangi mereka serta suka
membimbing ke arah kebaikan dan mengajak pada hidayah. Kepada mereka
ia juga bersikap tawadhu`, berlapang dada dan tidak tamak pada apa yang ada
pada mereka serta tidak mendahulukan orang kaya daripada yang miskin. Dia
sendiri selalu bergegas melakukan ibadah, tidak kasar sikapnya, hatinya tidak
keras dan akhlaknya baik. Di dalam Shahih Muslim di sebutkan dari Ibnu
Mas`ud ra, dia berkata. Rasulullah saw bersabda :
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan
meskipun seberat zaarah (HR. Muslim).
Menurut Munawar Fuad Noeh menyebutkan ciri-ciri kyai di antaranya
yaitu:
1) Tekun beribadah, yang wajib dan yang sunnah.
2) Zuhud, melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi duniawi.
3) Memiliki ilmu akhirat, ilmu agama dalam kadar yang cukup.
4) Mengerti kemaslahatan masyarakat, peka terhadap kepentingan
umum.
5) Dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah SWT, niat yang benar
dalam berilmu dan berama.
Menurut Imam Ghazali membagi ciri-ciri seorang Kyai di antaranya yaitu:
1) Tidak mencari kemegahan dunia dengan menjual ilmunya dan tidak
memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. Perilakunya
sejalan dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang berbuat kebaikan
sebelum ia mengamalkannya.
2) Mengajarkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa dalam
mendalami ilmu pengetahuan yang dapat mendekatkan dirinya kepada
Allah SWT, dan menjauhi segala perdebatan yang sia-sia.
3) Mengejar kehidupan akhirat dengan mengamalkan ilmunya dan
menunaikan berbagai ibadah.
4) Menjauhi godaan penguasa jahat.
5) Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah.
6) Senang kepada setiap ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Cinta kepada musyahadah (ilmu untuk menyingkap kebesaran
Allah SWT), muraqabah (ilmu untuk mencintai perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya), dan optimis terhadap rahmat-Nya, di
antaranya :
a) Berusaha sekuat-kuatnya mencapai tingkat haqqul-yaqin.
b) Senantiasa khasyyah kepada Allah, takzim atas segala kebesaran-
Nya, tawadhu`, hidup sederhana, dan berakhlak mulia terhadap
Allah maupun sesamanya.
c) Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian
hatinya.
d) Memiliki ilmu yang berpangkal di dalam hati, bukan di atas kitab.
Ia hanya taklid kepada hal-hal yang telah diajarkan Rasulullah
saw.
c. Tugas-tugas Kyai
Di samping kita mengetahui beberapa kriteria atau ciri-ciri seorang kyai
diatas, adapun tugas dan kewajiban kyai yaitu sebagai berikut:
Menurut Hamdan Rasyid bahwa kyai mempunyai tugas di antaranya
adalah:
Pertama, Melaksanakan tablikh dan dakwah untuk membimbing umat.
Kyai mempunyai kewajiban mengajar, mendidik dan membimbing umat
manusia agar menjadi orang-orang yang beriman dan melaksanakan ajaran
Islam.
Kedua, Melaksanakan amar ma`ruf nahi munkar. Seorang kyai harus
melaksanakan amar ma`ruf dan nahi munkar, baik kepada rakyat kebanyakan
(umat) maupun kepada para pejabat dan penguasa Negara (umara), terutama
kepada para pemimpin, karena sikap dan perilaku mereka banyak
berpengaruh terhadap masyarakat.
Ketiga, Memberikan contoh dan teladan yang baik kepada
masyarakat. Para kyai harus konsekwen dalam melaksanakan ajaran Islam
untuk diri mereka sendiri maupun keluarga, saudara-saudara, dan sanak
familinya. Salah satu penyebab keberhasilan dakwah Rasulullah SAW, adalah
karena beliau dapat dijadikan teladan bagi umatnya. Sebagaimana
difirmankan dalam surat Al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu”.(QS. Al-Ahzab: 21).
Keempat, Memberikan penjelasan kepada masyarakat terhadap berbagai
macam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Para kyai
harus menjelaskan hal-hal tersebut agar dapat dijadikan pedoman dan rujukan
dalam menjalani kehidupan.
Kelima, Memberikan Solusi bagi persoalan-persoalan umat. Kyai harus
bisa memberi keputusan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi
masyarakat secara adil berdasarkan al-Qur`an dan al-Sunnah.
Keenam, Membentuk orientasi kehidupan masyarakat yang bermoral dan
berbudi luhur. Dengan demikian, nilai-nilai agama Islam dapat
terinternalisasi ke dalam jiwa mereka, yang pada akhirnya mereka memiliki
watak mandiri, karakter yang kuat dan terpuji, ketaatan dalam beragama,
kedisiplinan dalam beribadah, serta menghormati sesama manusia. Jika
masyarakat telah memiliki orientasi kehidupan yang bermoral, maka mereka
akan mampu memfilter infiltrasi budaya asing dengan mengambil sisi positif
dan membuang sisi negatif.
Ketujuh, Menjadi rahmat bagi seluruh alam terutama pada masa-masa
kritis seperti ketika terjadi ketidak adilan, pelanggaran terhadap Hak-hak
asasi manusia (HAM), bencana yang melanda manusia, perampokan,
pencurian yang terjadi dimana-mana, pembunuhan, sehingga umat pun
merasa diayomi, tenang, tenteram, bahagia, dan sejahtera di bawah
bimbingannya. (Hamdan Rasyid: 22).
B. Loyalitas Ustadz
1. Loyalitas
a. Pengertian Loyalitas
Secara harfiah loyal berarti setia, atau loyalitas dapat diartikan sebagai
suatu kesetiaan. Kesetiaan ini timbul tanpa adanya paksaan, tetapi timbul
dari kesadaran sendiri pada masa lalu.
Pengertian loyalitas berasal dari bahasa inggris 'loyal' yang artinya
setia. dan kesetiaan adalah kualitas yang menyebabkan kita tidak
menggemingkan dukungan dan pembelaan kita pada sesuatu. Loyalitas
lebih banyak bersifat emosional, loyalitas adalah kualitas perasaan, dan
perasaan tak selalu membutuhkan penjelasan rasional.
Loyalitas didefinisikan sebagai kesetiaaan pada sesuatu dengan rasa
cinta, sehingga dengan rasa loyalitas yang tinggi sesorang merasa tidak
perlu untuk mendapatkan imbalan dalam melakukan sesuatu untuk orang
lain tempat dia meletakan loyalitasnya.
Utomo (Tommy dkk., 2010) Loyalitas dapat dikatakan sebagai
kesetiaan seseorang terhadap suatu hal yang bukan hanya berupa kesetiaan
fisik semata, namun lebih pada kesetiaan non fisik seperti pikiran dan
perhatian. Loyalitas ustadz dalam pondok pesantren itu mutlak diperlukan
demi kesuksesan pondok pesantren itu sendiri. Menurut Reichheld,
semakin tinggi loyalitas para ustadz di suatu pondok pesantren, maka
semakin mudah bagi pondok pesantren itu untuk mencapai tujuan-tujuan
pondok pesantren yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemilik pondok
pesantren. Begitu pula sebaliknya, bagi pondok pesantren yang loyalitas
para ustadznya rendah, maka semakin sulit bagi pondok pesantren tersebut
untuk mencapai tujuan-tujuan pondok pesantren yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh pemilik pondok pesantren.
Loyalitas dalam pondok pesantren dapat diartikan sebagai kesetiaan
seorang ustadz terhadap pondok pesantren. Menurut Sudimin (2003),
loyalitas berarti Kesediaan ustadz dengan seluruh kemampuan,
keterampilan, pikiran, dan waktu untuk ikut serta mencapai tujuan pondok
pesantren dan menyimpan rahasia pondok pesantren serta tidak melakukan
tindakan-tindakan yang merugikan pondok pesantren selama orang itu
masih berstatus sebagai ustadz.
Sedangkan loyal menurut Siagian (2005), Suatu kecenderungan ustadz
untuk tidak pindah ke pondok lain.
Sedangkan menurut Poerwadarmita (dalam Erwin Agung 2006:49)
yang dimaksud dengan loyalitas adalah patuh yang berarti menurut, atau
setia yang berarti tetap dan teguh hati. Maka yang dimaksud dengan
loyalitas ustadz adalah seseorang yang terbiasa melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh kyai selama seseorang itu masih berada di suatu tempat
tertentu.
Menurut Griffin (dalam Astri, 2012:2) dalam loyalitas lebih mengacu
pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan keputusan untuk
melakukan pekerjaan secara terus menerus terhadap apa yang telah
diperintahkan oleh kyai terhadap dirinya.
Menurut Pambudi, di masa lalu atau masa sebelumnya, loyalitas para
ustadz hanya diukur dari jangka waktu lamanya ustadz tersebut membantu
bagi sebuah pondok pesantren.
Jadi, di sini loyalitas para ustadz bukan hanya sekedar kesetiaan fisik
atau keberadaaannya di dalam pondok pesantren, namun termasuk pikiran,
perhatian, gagasan, serta dedikasinya tercurah sepenuhnya kepada pondok
pesantren. Saat ini loyalitas ustadz bukan sekedar menjalankan tugas-tugas
serta kewajibannya sebagai ustadz yang sesuai dengan uraian-uraian
tugasnya atau disebut juga dengan job description, melainkan berbuat
seoptimal mungkin untuk menghasilkan yang terbaik dari pondok
pesantren.
Selanjutnya Steers & Porter (dalam Dewi & Endang) menyatakan
bahwa timbulnya loyalitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1) karakteristik pribadi, meliputi : usia, masa kerja, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, prestasi yang dimiliki, ras, dan sifat
kepribadian.
2) Karakteristik pekerjaan, meliputi : tantangan kerja, stres kerja,
kesempatan untuk berinteraksi sosial, job enrichment, identifikasi
tugas, umpan balik tugas, dan kecocokan tugas.
3) Karakteristik desain pondok pesantren, yang dapat dilihat dari
sentralisasi, tingkat formalitas, tingkat keikutsertaan dalam
pengambilan keputusan, paling tidak telah menunjukkan berbagai
tingkat asosiasi dengan tanggung jawab perusahaan,
ketergantungan fungsional maupun fungsi kontrol pondok
pesantren.
4) Pengalaman yang diperoleh dalam pondok pesantren, yaitu
internalisasi individu terhadap pondok pesantren setelah
melaksanakan tugas dalam pondok pesantren tersebut meliputi
sikap positif terhadap pondok pesantren, rasa percaya terhadap
pondok pesantren sehingga menimbulkan rasa aman, merasakan
adanya kepuasan pribadi yang dapat dipenuhi oleh pondok
pesantren.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah diungkap di atas dapat dilihat
bahwa masing-masing faktor mempunyai dampak tersendiri bagi
kelangsungan hidup pondok pesantren, sehingga tuntutan loyalitas yang
diharapkan oleh pondok pesantren baru dapat terpenuhi apabila ustadz
memiliki karakteristik seperti yang diharapkan dan pondok pesantren
sendiri telah mampu memenuhi harapan-harapan para ustadz.
Lebih lanjut, terdapat beberapa ciri ustadz yang memiliki loyalitas
yang rendah diantaranya karena sifat karakternya (bawaan), kekecewaan
ustadz, dan sikap kyai, serta perasaan negatif, seperti ingin meninggalkan
pondok pesantren, merasa bekerja di pondok pesantren lain lebih
menguntungkan, tidak merasakan manfaat, dan menyesali bergabung
dengan pondok pesantren. Adapun karakteristik ustadz yang menunjukkan
loyalitas yang tinggi terhadap pondok pesantren, diantaranya adalah :
bersedia bekerja melebihi kondisi biasa, merasa bangga atas tugas yang
dicapai dalam pondok pesantren, merasa terinspirasi, bersedia
mengorbankan kepentingan pribadi, merasa ada kesamaan nilai dengan
perusahaan.
b. Indikator Loyalitas
Menurut Runtu (2014) Loyalitas tidak mungkin dianggap sebagai dari
sesuatu yang terjadi dengan sendirinya ketika seorang ustadz bergabung
dalam pondok pesantren. Apabila pondok pesantren menginginkan seorang
ustadz yang loyal, pondok pesantren harus mengupayakan agar ustadz
menjadi bagian dari pondok pesantren yang merupakan tingkatan lebih
tinggi. Dengan demikian ustadz tersebut sungguh merasa bahwa “suka-
duka” pondok pesantren adalah “suka-duka”-nya juga. Oleh karena itu
loyalitas mencakup kesediaan untuk tetap bertahan, memiliki produktivitas
yang melampaui standard, memiliki perilaku altruis, serta adanya
hubungan timbal balik dimana loyalitas ustadz harus diimbangi oleh
loyalitas pondok pesantren terhadap ustadz.
Ada 16 indikator yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi loyalitas
ustadz sebagaimana dikemukakan Powers (dalam Runtu, 2014), yaitu:
1) Tetap bertahan dalam pondok pesantren.
2) Bersedia bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan.
3) Menjaga rahasia pondok pesantren.
4) Mempromosikan pondok pesantren kepada masyarakat umum.
5) Menaati peraturan tanpa perlu pengawasan yang ketat.
6) Mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan
pondok pesantren.
7) Tidak bergosip, berbohong atau mencuri.
8) Membeli dan menggunakan barang yang ada di pondok
pesantren.
9) Ikut berkontribusi dalam kegiatan sosial pondok pesantren.
10) Menawarkan saran-saran untuk perbaikan.
11) Mau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan aksidental pondok
pesantren.
12) Mau mengikuti arahan atau instruksi.
13) Merawat properti pondok pesantren dan atau tidak
memboroskannya.
14) Bekerja secara aaman.
15) Tidak mengakali aturan pondok pesantren termasuk ijin sakit.
16) Mau bekerja sama dan membantu rekan kerja.
Pambudi (dalam Tommy dkk., 2010) juga menambahkan bahwa lima
5 faktor yang menjadi tolak ukur sumber daya manusia yang mempunyai
loyalitas atau komitmen, yaitu:
1) Ustadz tersebut berada di pondok pesantren tertentu.
2) Ustadz tersebut mengenal seluk beluk pondok pesantren maupun
para pelanggannya dengan baik.
3) Ustadz tersebut turut berperan dalam mempertahankan hubungan
dengan pelanggan yang menguntungkan bagi perusahaannya.
4) Ustadz tersebut merupakan aset tak berwujud yang tidak dapat
ditiru oleh para pesaing.
5) Ustadz tersebut memaparkan pondok pesantren, baik dari sudut
produk, layanan, sebagai tempat kerja yang ideal maupun
keunggulan kinerja dan masa depan yang lebih baik.
c. Aspek-aspek Loyalitas
Loyalitas ustadz tidak terbentuk begitu saja dalam pondok pesantren,
tetapi ada aspek-aspek yang terdapat di dalamnya yang mewujudkan
loyalitas ustadz. Masing-masing aspek merupakan bagian dari manajemen
pondok pesantren yang berkaitan dengan ustadz maupun pondok
pesantren. Aspek-aspek loyalitas kerja yang terdapat pada individu
dikemukakan oleh Siswanto (dalam Soegandhi dkk. 2013), yang menitik
beratkan pada pelaksanaan kerja yang dilakukan ustadz antara lain:
1) Taat pada peraturan. Setiap kebijakan yang diterapkan dalam
pondok pesantren untuk memperlancar dan mengatur jalannya
pelaksanaan tugas oleh manajemen pondok pesantren ditaati dan
dilaksanakan dengan baik. Keadaan ini akan menimbulkan
kedisiplinan yang menguntungkan pondok pesantren baik intern
maupun ekstern.
2) Tanggung jawab pada pondok pesantren. Karakteristik pekerjaan
dan pelaksanaan tugasnya mempunyai konsekuensi yang
dibebankan ustadz. Kesanggupan ustadz untuk melaksanakan
tugas sebaik-baiknya dan kesadaran akan setiap resiko
pelaksanaan tugasnya akan memberikan pengertian tentang
keberanian dan kesadaran bertanggungjawab terhadap resiko atas
apa yang telah dilaksanakan.
3) Kemauan untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang-orang
dalam suatu kelompok akan memungkinkan pondok pesantren
dapat mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh orang-
orang secara invidual.
4) Rasa memiliki, adanya rasa ikut memiliki ustadz terhadap pondok
pesantren akan membuat ustadz memiliki sikap untuk ikut
menjaga dan bertanggung jawab terhadap pondok pesantren
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi
tercapainya tujuan pondok pesantren.
5) Hubungan antar pribadi, ustadz yang mempunyai loyalitas kerja
tinggi mereka akan mempunyai sikap fleksibel ke arah tata
hubungan antara pribadi. Hubungan antara pribadi ini meliputi :
hubungan sosial diantara ustadz, hubungan yang harmonis antara
kyai dan ustadz, situasi kerja dan sugesti dari teman kerja.
6) Kesukaan terhadap pekerjaan, pondok pesantren harus dapat
menghadapi kenyataan bahwa ustadznya setiap hari datang untuk
bekerjasama sebagai manusia seutuhnya dalam hal melakukan
pekerjaan yang akan dilakukan dengan senang hati sebagai
indikatornya bisa dilihat dari : keunggulan ustadz dalam bekerja,
ustadz tidak pernah menuntut apa yang diterimanya diluar gaji
pokok.
.
2. Ustadz / Guru
a. Pengertian Ustadz / Guru
Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk
watak bangsa melaui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang
diinginkan. Dari dimensi tersebut peranan guru sulit digantikan oleh yang
lain. Guru mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan, hal ini
disebabkan ia memiliki tanggungjawab dan menentukan arah pendidikan.
Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang
yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai guru/pendidik. Islam
mengangkat derajat mereka dan memuliakan mereka melebihi dari pada
orang Islam lainnya yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan pendidik.
Firman Allah SWT dalam surat Al Mujadalah ayat 11 :
ٍ ي رفَ ِع ٱهلل ٱلَّ ِذين آمنُواْ ِمن ُكم وٱلَّ ِذين أُوتُواْ ٱلْعِْلم درج...
)11 : (اجملادلة... ات َ ََ َ َ َْ َ َ ُ َْ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. AL Mujadalah:11).
Bahkan orang-orang yang berilmu pengetahuan dan mau
mengajarkan ilmunya kepada mereka yang membutuhkan akan disukai
oleh Allah SWT dan dido’akan oleh penghuni langit, penghuni bumi
seperti semut dan ikan di dalam laut agar ia mendapat keselamatan dan
kebahagiaan. (Soenarjo dkk: 910-911).
Kata orang (orang Jawa) “guru” adalah singkatan dari ungkapan
“digugu lan ditiru”. Artinya, guru adalah orang yang harus ditaati dan
diikuti. Tetapi menurut pendapat lain, “guru” sebenarnya berarti “wagu
tur saru”. Artinya sudah tak seronok, memalukan lagi.
Ungkapan pertama, “digugu lan ditiru”, yang merupakan suatu
idealisasi tentang guru. Melalui ungkapan ini masyarakat Jawa
mencanangkan suatu model tentang guru, bahwa seorang guru harus
selalu memikirkan perilakunya, karena segala yang dilakukanya akan
dijadikan teladan oleh murid-murid dan masyarakatnya. Ungkapan
kedua, “wagu tur saru”, merupakan suatu karikatur, suatu ejekan.
Karikatur ini dapat kita pandang sebagai antimodel, yaitu contoh
mengenai apa yang sebaiknya tidak ditiru. (Deni Koswara dan Halimah,
2008: 2-4).
Ustadz (bahasa Arab jamak, asatidz) adalah istilah yang sangat
sering dipakai di Indonesia untuk panggilan kalangan orang yang
dianggap pintar dan ahli di bidang ilmu agama. Ustadz sejajar dengan
istilah buya, kyai, da'i, muballigh. Di sebagian pesantren,
pengasuh/pimpinan pesantren disebut Ustadz. Di sebagian pesantren
yang lain, ustadz statusnya di bawah kyai.
Kata ustadz kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan
makna sebutan khusus untuk seorang guru / pengajar dalam sekolah-
sekolah formal Islam dan orang-orang yang dihormati dalam bidang
Agama Islam (atau bergerak dalam bidang Ke-Islaman).
Guru selain penjaga moral setelah kyai, guru juga dituntut secara
intelektual dan terampil dalam mendidik siswa.
Sedang di Indonesia, seperti disebut di muka, kata ustadz merujuk
pada banyak istilah yang terkait dengan orang yang memiliki
kemampuan ilmu agama dan bersikap serta berpakaian layaknya orang
alim. Baik kemampuan riil yang dimilikinya sedikit atau banyak.
Dalam buku Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam (2010: 95-
97) dijelaskan pendidikan yang berporos pada konsep “al-tarbiyah”
memandang guru sebagai “murobby”. Guru adalah orang yang bertugas
merawat atau membimbing murid agar bisa mengembangkan potensi-
potensi kebaikan dan karakter-karakter positif dalam diri mereka
sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri dan mampu memuliakan
kehidupan sesama. Jelas di sini bahwa guru adalah salah satu unsur
penting dari proses pendidikan. Di pundak mereka terletak tanggung
jawab yang besar dalam mengantarkan murid ke arah tujuan pendidikan
yang dicita-citakan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa guru
dalam pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap
upaya perkembangan jasmani dan rohani serta pengetahuan dan
keterampilan hidup menuju ke tingkat yang lebih tinggi sehingga mampu
menunaikan tugas kemanusiannya baik sebagai khalifah fil ardh maupun
sebagai „abd (hamba Allah). Oleh karena itu guru dalam hal ini tidak
hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas dalam proses pendidikan
di madrasah, tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan
murid sejak masa kanak-kanak hingga meninggal dunia.
Jadi, tugas utama seorang guru adalah mendidik. Orang tua mendidik
anaknya, guru mendidik siswanya, tokoh masyarakat mendidik warga
masyarakat, dan tokoh agama mendidik umatnya. Dalam konteks ini
tugas guru tidak cukup hanya menjadikan anak lebih melek-huruf atau
menjadi anak pintar, melainkan mencakup upaya untuk membekali murid
dengan nilai-nilai yang mempersiapkan mereka menjadi insan yang
bertanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain, dan masyarakat luas.
Undang-undang sistem pendidikan nasional nampaknya telah
memberikan panduan ringkas dan menyeluruh, bahwa proses pendidikan
hendaknya “berlangsung sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara”. (UU Sisdiknas Pasal 1 ayat 1).
Menurut Mochtar (dalam buku wawasan pendidikan karakter dalam
Islam, 2010: 97) sekarang ini terdapat beberapa perbedaan dalam
mengartikan kata “mengajar” sebagai suatu kompetensi yang harus
dimiliki seorang guru. Setidaknya ada empat golongan mengenai hal ini.
Pertama “mengajar” sebagai kegiatan mentransfer pengetahuan
belaka. Dengan demikian, penguasaan bidang pengetahuan sebagai unsur
terpenting, sedangkan keterampilan pedagogik dipandang tidak penting.
Golongan ini juga berpendapat, bahwa kalau guru betul-betul menguasai
bidang yang diajarkan, dengan sendirinya dia akan mengetahui
bagaimana caranya mengajarkan suatu topik. Kedua, memandang
pekerjaan mengajar bukan hanya sebagai pekerjaan mentransfer
pengetahuan belaka, melainkan sebagai kegiatan untuk membimbing
para siswa mengembangkan pengetahuan mereka, dan memahami apa
yang mereka ketahui. Maka di samping penguasaan bidang pengetahuan,
seorang guru juga harus menguasai cara-cara terbaik untuk mengajarkan
bidang pengetahuan yang ditekuninya. Ketiga, yaitu golongan yang
memandang pekerjaan mengajar secara lebih mendalam. Golongan ini
memandang pekerjaan mengajar bukan sebagai kegiatan untuk
memintarkan murid semata-mata, tetapi sebagai suatu tugas untuk
membimbing murid-murid menjadi manusia yang mampu
mempergunakan apa yang mereka ketahui dan mereka pahami sebagai
modal dasar untuk menghidupi dirinya sendiri, untuk mengembangkan
kehidupan pribadi yang bermakna, dan untuk turut memuliakan
kehidupan. Keempat, mempunyai pandangan yang lahir dari suatu
kesadaran sejarah. Pandangan ini mengatakan, tugas guru dan sekolah
ialah mempersiapkan generasi muda untuk pada waktu tertentu di masa
depan mengambil alih dan melanjutkan pekerjaan mengelola kehidupan
negara dan bangsa.
Dilihat dalam perspektif ini, maka tugas mengajar menurut Mochtar
Buchori tidak hanya membekali generasi muda dengan pengetahuan saja,
melainkan membekali pula dengan commitment kepada masa depan
bangsa dan negara.
b. Guru Sebagai Pendidik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001),
disebutkan bahwa pendidik mengandung arti orang yang mendidik.
Adapun mendidik berarti memelihara dan memberi latihan (berupa
ajaran, tuntunan, dan pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Jika diartikan dalam kaitanya dengan guru, pendidik adalah
orang yang mendidik anak didik tentang bagaimana akhlak dan
kecerdasan pikiran menjadi bagian yang terpelihara dan terlatih.
Guru sebagai pendidik adalah messenger of adulty, orang yang
membawa anak menuju pendewasaan dalam berakhlak (budi pekerti)
dan kecerdasan pikiran (mengolah sinergi otak, hati, dan jasmani)
agar kelak mampu berinteraksi dengan dunia yang baru. Guru
memberikan dukungan agar kelak siswanya berhasil. Siswa bebas
menentukan apa yang akan menjadi pilihannya. Namun, para siswa
pun harus selalu sadar dan patuh terhadap aturan dan norma dalam
hidupnya.
Kemampuan seorang guru sebagai pendidik dapat diukur dari
prinsip-prinsip atau sikap yang dibangunya. Hal tersebut merupakan
sarana pendukung untuk mendukung pemahaman akan pendidikan
siswanya. Prinsip yang harus ada dan dibangun tersebut antara lain
sebagai berikut.
1) Guru secara penuh dapat berkolaborasi dalam aktivitas
siswanya.
2) Keterbinaan sifat pengertian antara guru dengan siswa.
3) Guru harus pandai mempertimbangkan pembelajaran bagi
siswanya, baik dalam segi daya pikir maupun pengalaman.
4) Guru memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk
berinovasi.
5) Guru mengajarkan hal yang bermanfaat dan praktis.
(Tiana Juliansyah, 2010: 3).
c. Guru Sebagai Pengajar
Guru sebagai pengajar lebih menekankan pada tugas dalam
merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru
dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis
mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan
diajarkannya. Di sini menurut Abu Ahmadi (1978: 33) dalam
Koswara dan Halimah, ada 3 macam persiapan guru sebagai
pengajar yang harus dipenuhi:
1) Persiapan batin, yaitu suatu kesanggupan, kesediaan untuk
menjadi guru karena jabatan guru adalah suatu panggilan.
Apabila seorang guru memikul tugasnya karena terpaksa,
maka hal ini belum merupakan suatu panggilan.
2) Persiapan materil, sebelum calon guru berhadapan dengan
anak didiknya di dalam kelas, maka calon guru harus
mendapatkan bahan atau gemblengan yang berisi cara-cara
melaksanakan tugasnya, juga pribadi calon guru itu
sendiri.
3) Persiapan tertulis secara sistematis, sebelum esok harinya
berhadapan dengan murid di dalam kelas, guru perlu
memikirkan jenis mata pelajaran apa yang akan diberikan,
sumber-sumber mana yang dapat diperoleh, bagaimana
caranya membawakannya dengan baik, sehingga tujuan
mengajar akan benar-benar tercapai. Di sinilah sebenarnya
inti proses pengajaran, sukses tidaknya seorang guru
tergantung hasil pelajarannya.
d. Guru Sebagai Pembimbing
Tugas dan tanggung jawab guru sebagai pembimbing memberi
tekanan kepada tugas memberikan bantuan kepada siswa dlam
memecahkan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek
mendidik sebab tidak hanya berkenan dengan penyampaian ilmu
pengetahuan, melainkan juga menyangkut pembinaan kepribadian
dan penbentukan nilai-nilai para siswa.
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan
(journey), yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya
bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Sebagai
pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi
untuk melaksanakan empat hal berikut (Diolah dari E. Mulyasa
2008: 41-42):
1) Guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi
kompetensi yang hendak dicapai. Tugas guru adalah
menetapkan apa yang telah dimiliki oleh peserta didik
sehubungan dengan latar belakang dan kemampuannya,
serta kompetensi apa yang mereka perlukan untuk
dipelajari dalam mencapai tujuan.
2) Guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam
pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta
didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara
jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.
3) Guru harus memaknai kegiatan belajar. Tugas guru harus
memberikan kehidupan terhadap kegiatan belajar.
4) Guru harus melaksanakan penilaian. Dalam hal ini,
diharapkan guru dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
dari orang-orang sekeliling. (Deni Koswara dan Halimah,
2008: 86-88).