Makalah Sejarah Indonesia Alda
Makalah Sejarah Indonesia Alda
Anggota Kelompok :
1. Ayub Gharal
2. Dhea Zafira
3. Dinda Widya
4. Ghifalda A
5. Wardah Hanyafifah
Belanda telah datang ke Indonesia sejak tahun 1596-an. Cukup lama juga Belanda menapaki tanah
Indonesia, atau yang mereka sebut Hindia Belanda, yakni 350 tahun. Dalam kurun waktu yang panjang ini
Belanda telah cukup menjajah berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia. Seperti ekonomi, politik,
budaya, dan tentunya perkembangan pers.
ADVERTISEMENT
Berbagai lembaga pers yang ada semasa Belanda adalah pers-pers yang sesuai kehendak Belanda. Jika ada
yang coba-coba protes maka bersiaplah untuk dihukum dan surat kabarnya ditutup.
Perkembangan pers di masa penjajahan Belanda juga menjadi catatan sejarah yang penting untuk disimak.
Karena pers pada saat itu juga berperan di dalam menggapai kemerdekaan Indonesia.
Berbagai perjalanan pers di masa penjajahan Belanda, akan dapat kita simak di bagian pembahasan
selanjutnya. Pada bagian pembahasan akan dikemukakan mengenai perkembangan pers di masa
penjajahan Belanda tersebut.
Pers telah ada zaman VOC, awal kemunculan pers ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan informasi
aparat VOC tentang situasi di Negeri Belanda dan daerah sekitarnya.
Dalam sebuah uraian awal tentang pers di Indonesia pada tahun 1909, E.F.E Douwes Dekker (di kemudian
hari dikenal sebagai Dr. Danudirdja Setyabuddhi yang waktu itu menjadi editor pembantu surat kabar
Bataaviasch Niewsblad di Jakarta) telah menilai kedudukan pers berbahasa Melayu jauh lebih penting
daripada pers Belanda karena bahasa Melayu dapat lebih diterima oleh pembaca-pembaca pribumi.
Perkembangan pers berbahasa Melayu awalnya dirintis oleh warga keturunan Cina. Surat kabar berbahasa
Melayu tertua di Indonesia adalah Bintang Soerabaja yang diterbitkan sejak tahun 1861. Surat kabar ini
dikenal kritis terhadap pemerintahan kolonial dan berpengaruh di kalangan orang Cina berpikiran modern
di Jawa Timur.
Pada tahun yang sama muncul Bintang Timor, yang terbit di Surabaya. Surat kabar ini adalah pelopor pers
yang memberitakan persoalan setempat, termasuk keadaan sosial dan ekonomi. Bintang Timor juga
memuat “berita dari surat” yang berhubungan dengan Eropa dan Cina.
ADVERTISEMENT
Menjelang abad ke-20, di Batavia terbit surat kabar Taman Sari (1898) di bawah pimpinan F. Wiggers dan
Pemberita Betawi (1874) yang dipimpin J. Hendriks.
Koran yang pertama lahir di Indonesia tahun 1774 pada zaman Oost Indische Compagnie, yaitu di waktu
pemerintah Van Imhoff. Nama Koran itu ialah Bataviasche Nouvelles, diterbitkan oleh seorang
onderkoopman, eerste klerk dari algemeene secretarie, bernama Jordens. Sebelum itu memang ada juga
dirasai orang Belanda keperluan surat kabar tetapi orang tidak berani karena…….”licht en persschuwe
regeering”, artinya pemerintah yang takut kepada sinar matahari dan sinar pers.
Jordens memberanikan diri minta izin pada Gouverneur Generaal dan dapat octrooi untuk tiga tahun.
Setelah terbit koran itu dan satu eksemplar jatuh di tangan Heeren Zeventien maka dengan post terus
datang tegoran dari negeri Belanda dengan perintah supaya koran itu dimatikan. Gouverneur Generaal Van
Imhoff terpaksa melarang terbitnya Bataviasche Nouvelle itu walaupun sudah memberi perizinan kepada
Jordens untuk tiga tahun.
.
Pers di Indonesia memiliki perjalanan panjang. Pada masa pra kemerdekaan Pers merupakan
aktivis terpelajar kaum intelektual untuk menyerukan kemerdekaan dan persatuan. Masa kini,
pers adalah sebagai pilar keempat merupakan wadah berdemokrasi ditempatkan pada barisan
terdepan dalam mengawal serta kepanjangan tangan dari rakyat untuk menyampaikan
aspirasi masyarakat.
Pers bisa menjadi corong pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat tentang pembangunan
yang dilaksanakan pemerintah. Maka secara umum peranan pers sangat berpengaruh terhadap
pembangunan yang membentuk peradaban manusia.
Tugas pokok fungsi media memiliki tiga peran, yakni fungsi berita, hiburan, serta kontrol
sosial berjalanya pembangunan negara. Maka tak heran, pers selalu ditempatkan sebagai
bagian dari indikator penting maju dan mundurnya pembangunan bangsa.
Dipandang dari sudut Sejarah, pers merupakan salah satu penggagas beridirinya bangsa
Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda, pers pada waktu itu sebagai alat pemersatu bangsa.
Tentu ini memiliki nilai besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, pers saat ini selangkah lebih maju lagi sebagai bagian dari
penyeru kemerdekaan Indonesia, bahkan mengawal dan mempertahankan kemerdekaan yang
bediri tegak lurus menyuarakan kepentingan rakyat dan menumbuhkan rasa nasionalisme
bangsa.
Semangat patriotisme kebangsaan pers harus diberikan pada generasi bangsa, agar mereka
mengenal bagaimana peran penting pers dalam kemerdekaan serta pasca kemerdekaan.
Dengan itu, generasi masa akan datang bisa lebih pandai dan memiliki karakter untuk terus
mengembangkan dan tumbuh mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
serta lebih menghargai apa yang telah dituangkan para pejuang pena di masa itu.
Pada awal abad ke- 20 para priyayi baru menunggakan gagasanya melalui pers (media cetak)
mengenai isu-isu perubahan. Isu ini kemudian dipopulerkan dengan mengangkat isu status
sosial masyarakat Bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang Sosial, Ekonomi, Budaya
dan Politik. Arti dari kemajuan disini ialah merupakan suatu pencerahan dari pendidikan,
perdaban, moderniasasi, dan kesuksesan hidup. Pers merupakan saran berpartisipasi dalam
gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional.
Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan pertama surat kabar berbahasa Melayu.
Orang Indo pertama yang aktif dalam dunia pers yakni H.C.O Clockener Brousson dari
Bintang Hindia. E.F Wigger dari Bintang Biru dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Di
abad itulah penerbit Thionghoa mulai bermunculan dan dijadikan suatu sasaran pertumbuhan
dan perkembangan surat kabar.
Seiring dengan bermunculanya media cetak, kemudian diikuti oleh sejumlah junalis
Bumiputera lainya. Mereka adalah R. Tritodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya
adalah Redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co.Djojosudiro, Redaktur
Thahadja Timoer yang diterbitkan di Malang.
Keduan adalah jurnalis Bumiputra yang telah menjadi embrio kebangsaan melalui artikel dan
komentar mereka dalam surat pembaca untuk mengungkapkan solidaritas diantara mereka
dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar.
Pers Melahirkan Pendidikan Nasional
Pada masa itu, pers yang mendapat perhatian serius pemerintah Kolonial Belanda yaitu Surat
Kabar De Express. Koran ini memuat berita propaganda dengan ide radikal serta kritis
terhadap sistem pemerintahan kolonial pada masa itu. Salah satu adanya tulisan dari tiga
kaum terpelajar dari Komite Boemiputera, yaitu Cipto mangunkusumo, Suwardi
Surjadiningrat atau kerap dikenal Ki Hajar Dewantara, dan Abdul Muis.
Kritikan yang ditulis oleh Suwardi dengan judul Als Ik Eens Nederlander(Andai Aku
Seorang Belanda) ini mendapat perhatian serius kolonial Belanda.
Karena tulisanya itu dianggap telah melakukan penghasutan untuk melawan Belanda buntut
dari tulisanya itu, Suwardi dan kedua orang rekanya kemudian diasingkan ke pulau Bangka
kemudian ke Belanda. Disinilah mereka merenung dan memunculkan gagasan cikal bakal
dari lahirnya Pendidikan Nasional.
Pers ini berdiri atas gagasan kaum terpelajar yang merasa bahwa butuh ada sebuah perubahan
kedepan demi keberlangsungan kebebasaan dalan kehidupan dan terlepas dari bayang-bayang
penjajah.
Era perjuangan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 sehingga tahun 1942
berjaya melahirkan media yang dibiayai, disunting, dan diterbitkan oleh kaum Indonesia. Justeru
media berbahasa daerah menjadi penyebar semangat nasionalisme. Para pemimpin gerakan nasionalis
menjadikan media sebagai semangat untuk mencapai tujuan, dan media berperanan menjadi salah satu
alat perjuangan mencapai cita-cita Indonesia merdeka. Media menyatukan perjuangan bangsa
Indonesia untuk menuju kemerdekaan. Media Indonesia menyesuaikan dengan aliran politik dan
kecenderungan pada organisasinya, dan ini dapat kita lihat melalui Sinar Djawa, Panjaran Warta dan
Saroetomo yang berada di bawah pengaruh Sarekat Islam.
Menjelang berakhir masa kekuasaan kolonial, terdapat 33 media dan majalah berbahasa Indonesia,
dengan naskhah keseluruhan sekitar 47,000 naskhah. Sebelas penerbitan (17,000 naskhah) dimiliki
Partai Indonesia Raya (Parindra); empat penerbitan (7.500 eks) milik Muhammadiyah dan Nahdatul
Ulama (NU); dan dua yang lainnya milik Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Sementara penerbitan
lainnya juga bergabung dengan kelompok Nasionalis (Abdurrachman Surjomihardjo dan Leo
Suryadinata 1980:83-84).
Pemerintah kolonial Belanda mencuba membatasi kebangkitan gerakan nasionalis itu dengan
mengeluarkan Ordinan (ordonansi) Media pada 1931. Dengan peraturan itu penguasa berhak
menghentikan penerbitan media untuk sementara demi keamanan umum. lmpak munculnya aturan itu
antara 1931-1936, tidak kurang dari 27 media kaum nasionalis dimatikan izin oleh Pemerintah
kolonial (Lee 1971).
Bagi para wartawan, pada tempoh masa tersebut, mencari untung bukanlah motif utamanya (Parker
1982). Namun demikian, media tidak boleh sepenuhnya lepas dari pengaruh pemiagaan. Kasusulitan
keuangan terkadang merusak citra media. Salah satu contoh yang baik adalah kisah media Oetoesan
Hindia. Pada 1923, Sarekat Islam menunda mencetak media tersebut karena kasusulitan keuangan,
terutama setelah Pemerintah kolonial melakukan pengawasan yang ketat terhadap organisasi ini.
Bantuan keuangan yang diterima Oetoesan Hindia adalah dari kelompok Arab, tetapi, kelompok Arab
tidak memberi dukungan keuangan karena ketidakpuasan mereka terhadap garis dasar Sarekat Islam
dan Oetoesan Hindia. Selanjutnya, media itu mulai memuat iklan dari para pedagang Cina, dan tidak
lama kemudian Oetoesan Hindia disokong oleh keuangan kaum Cina. Sarekat Islam beserta
medianya, yang pada mulanya merupakan organisasi anti-Cina, cenderung lebih bersahabat dengan
kaum Cina dan menghentikan kegiatan anti-Cina yang pemah menjadi programnya (Neil 1984).
Setelah kemerdekaan, timbul soalan yang diakibatkan oleh terlalu mengebunya semangat kebebasan.
Semangat yang menjiwai perjuangan kemerdekaan mulai luntur, terjadi persaingan keras antara
kekuatan politik. Media Indonesia larut dalam arus itu, dan terjadi perubahan watak dari media
perjuangan menjadi media partaisan. Media sekaclar menjadi corong partai politik.
Pada masa ini pers milik suatu partai yang ada di Indonesia adalah milik segolongan anggota partai
saja, sedangkan masyarakat awam lebih memilih pers atau harian yang tidak memihak atau
independen. Di luar Jakarta pada masa itu telah terbit pula pers yang tergolong besar yang di
antaranya sekarang ini masih terns terbit seperti Waspada dan Mimbar Umum (Medan), Pikiran
Rakyat (Bandung), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Hariam Umum, Jawa Post, dan Surabaya Post
(Surabaya). Di Semarang terbit Dau/at Rakyat, Utusan Nasional, Tempo, Tanah Air dan Suara
Merdeka. Hingga masa pemerintahan Soekarno berakhir,namun media pers yang kuat ,terutama
dalam segi manajemen dan politik, masih bertahan dan dapat mengembangkan media pada masa
selanjutnya. Pengontrolan media lebih dirasakan pada masa paruh kedua pada masa pemerintahan
Soekarno,yakni masa demokrasi terpimpin.
Pada tanggal 20 Mei 1908 sebuah organisasi bernama Budi Utomo dibentuk di
Jakarta. Ketua Budi Utomo adalah dr Sutomo, dan tonggak berdirinya Budi Utomo
pada tanggal 20 Mei 1908 dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tokoh lain
pendiri Budi Utomo adalah Gunawan, Cipto Mangunkusumo, dan R.T. Ario
Tirtokusumo.
Pada mulanya Budi Utomo bukanlah sebuah partai politik. Tujuan utamanya adalah
kemajuan bagi Hindia Belanda. Hal ini terlihat dari tujuan yang hendak dicapai yaitu
perbaikan pelajaran di sekolah-sekolah, mendirikan badan wakaf yang
mengumpulkan tunjangan untuk kepentingan belanja anak-anak bersekolah,
membuka sekolah pertanian, memajukan teknik dan industri, menghidupkan kembali
seni dan kebudayaan bumi putera, dan menjunjung tinggi cita-cita kemanusiaan
dalam rangka mencapai kehidupan rakyat yang layak.
Berikut ini ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin lambannya Budi
Utomo :
1. Budi Utomo cenderung memajukan pendidikan untuk kalangan priyayi daripada
penduduk umumnya.
2. Lebih mementingkan pemerintah kolonial Belanda daripada kepentingan rakyat
Indonesia.
3. Menonjolnya kaum priyayi yang lebih mengutamakan jabatan menyebabkan
kaum terpelajar tersisih. Ketika meletus Perang Dunia I tahun 1914, Budi Utomo
mulai terjun dalam bidang politik.
4. Pada tahun 1935 Budi Utomo mengadakan fusi ke dalam Partai Indonesia Raya
(Parindra). Sejak itu BU terus mengalami kemerosotan dan mundur dari arena
politik.
2. Sarekat Islam (SI)
Pada mulanya Sarekat Islam adalah sebuah perkumpulan para pedagang yang
bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada tahun 1911, SDI didirikan di kota Solo
oleh H. Samanhudi sebagai suatu koperasi pedagang batik Jawa.
Garis yang diambil oleh SDI adalah kooperasi, dengan tujuan memajukan
perdagangan Indonesia di bawah panji-panji Islam. Keanggotaan SDI masih terbatas
pada ruang lingkup pedagang, maka tidak memiliki anggota yang cukup banyak.
Kisi-kisi UTBK SBMPTN 2020 klik disini
Oleh karena itu agar memiliki anggota yang banyak dan luas ruang lingkupnya,
maka pada tanggal 18 September 1912, SDI diubah menjadi SI (Sarekat Islam).
Organisasi Sarekat Islam (SI) didirikan oleh beberapa tokoh SDI seperti H.O.S
Cokroaminoto, Abdul Muis, dan H. Agus Salim. Sarekat Islam berkembang pesat
karena bermotivasi agama Islam. Latar belakang ekonomi berdirinya Sarekat Islam
adalah:
1. Perlawanan terhadap para pedagang perantara (penyalur) oleh orang Cina,
2. Isyarat pada umat Islam bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan
kekuatannya
3. Membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera.
Pada tahun 1913 terdapat persiapan pelaksanaan perayaan 100 tahun pembebasan
Belanda dari kekuasaan Perancis. Belanda meminta rakyat Indonesia untuk turut
memperingati hari tersebut. Para tokoh Indische Partij menentang rencana tersebut.
Suwardi Suryaningrat menulis artikel yang dimuat dalam harian De Expres, dengan
judul Als Ik een Nederlander was (Seandainya aku orang Belanda). Suwardi
mengecam Belanda, bagaimana mungkin bangsa terjajah (Indonesia) disuruh
merayakan kemerdekaan penjajah. Pemerintah Belanda marah dengan sikap para
tokoh Indische Partij. Akhirnya Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi
Suryaningrat ditangkap dan dibuang ke Belanda.
4. Perhimpunan Indonesia
Pada tahun 1908 di Belanda berdiri sebuah organisasi yang bernama Indische
Vereeniging. Pelopor pembentukan organisasi ini adalah Sutan Kasayangan
Soripada dan RM Noto Suroto. Para mahasiswa lain yang terlibat dalam organisasi
ini adalah R. Pandji Sosrokartono, Gondowinoto, Notodiningrat, Abdul Rivai,
Radjiman Wediodipuro (Wediodiningrat), dan Brentel.
PKI terus berupaya mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Salah satu upaya
yang ditempuhnya adalah melakukan infiltrasi dalam tubuh Sarekat Islam.
Organisasi PKI makin kuat ketika pada bulan Februari 1923 Darsono kembali dari
Moskow. Ditambah dengan tokoh-tokoh Alimin dan Musso, maka peranan politik PKI
semakin luas.
PKI telah mengorbankan ribuan orang yang termakan hasutan untuk ikut serta
dalam pemberontakan. Dampak buruk lainnya yang menimpa para pejuang
pergerakan di tanah air adalah berupa pengekangan dan penindasan yang luar
biasa dari pemerintah Belanda sehingga sama sekali tidak punya ruang gerak.
Walaupun PKI dinyatakan sebagai partai terlarang tetapi secara ilegal mereka masih
melakukan kegiatan politiknya. Semaun, Darsono, dan Alimin meneruskan
propaganda untuk tetap memperjuangkan aksi revolusioner di Indonesia.
Lahirnya PNI juga dilatarbelakangi oleh situasi sosio politik yang kompleks.
Pemberontakan PKI pada tahun 1926 membangkitkan semangatuntuk menyusun
kekuatan baru dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Rapat pendirian
partai ini dihadiri Ir. Soekarno, Dr. Cipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mr. Iskaq
Tjokrodisuryo, Mr. Budiarto, dan Mr. Soenarjo. Pada awal berdirinya, PNI
berkembang sangat pesat karena didorong oleh faktor-faktor berikut.
1. Pergerakan yang ada lemah sehingga kurang bisa menggerakkan massa.
2. PKI sebagai partai massa telah dilarang.
3. Propagandanya menarik dan mempunyai orator ulung yang bernama Ir.
Soekarno (Bung Karno).
4. Untuk mengobarkan semangat perjuangan nasional, Bung Karno mengeluarkan
Trilogi sebagai pegangan perjuangan PNI. Trilogi tersebut mencakup kesadaran
nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.
Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia merdeka. Untuk mencapai tujuan tersebut,
PNI menggunakan tiga asas yaitu self help (berjuang dengan usaha sendiri) dan
nonmendiancy, sikapnya terhadap pemerintah juga antipati dan nonkooperasi.
Dasar perjuangannya adalah marhaenisme.
Ketika Ir. Soekarno yang menjadi tokoh dalam PNI ditangkap pada tahun 1929,
maka PNI pecah menjadi dua yaitu Partindo dan PNI Baru. Partindo didirikan oleh
Sartono pada tahun 1929.
Sejak awal berdirinya Partindo memiliki banyak anggota dan terjun dalam aksi-aksi
politik menuju Indonesia Merdeka. Dasar Partindo sama dengan PNI yaitu nasional.
Tujuannya adalah mencapai Indonesia merdeka. Asasnya pun juga sama yaitu self
help dan nonkooperasi.
Partindo semakin kuat setelah Ir. Soekarno bergabung ke dalamnya pada tahun
1932, setelah dibebaskan dari penjara. Namun, karena kegiatan-kegiatannya yang
sangat radikal menyebabkan pemerintah melakukan pengawasan yang cukup ketat.
Karena tidak bisa berkembang, maka tahun 1936 Partindo bubar.
9. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya (Parindra). Parindra didirikan di kota Solo oleh dr. Sutomo
pada tanggal 26 Desember 1935. Parindra merupakan fusi dan Budi Utomo dan
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Tujuan Parindra adalah mencapai Indonesia
Raya. Asas politik Parindra adalah insidental, artinya tidak berpegang pada asas
kooperasi maupun nonkooperasi.
Sikapnya terhadap pemerintah tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi,
jadi luwes. Tokoh-tokoh Parindra yang terkenal dalam membela kepentingan rakyat
di volksraad adalah Moh. Husni Thamrin.
Pada tanggal 15 Juli 1936, partai-partai politik dengan dipelopori oleh Sutardjo
Kartohadikusumo mengajukan usul atau petisi, yaitu permohonan supaya
diselenggarakan suatu musyawarah antara wakilwakil Indonesia dan negara
Belanda di mana anggotanya mempunyai hak yang sama.
Di samping gerakan para pemuda, kaum wanita juga tidak mau ketinggalan.
Pergerakan wanita dipelopori oleh R.A.Kartini dari Jepara dengan mendirikan
Sekolah Kartini. Perkumpulan wanita yang didirikan sebelum tahun 1920 antara lain
Putri Mardika yang didirikan atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan ini bertujuan
untuk memajukan pengajaran terhadap anak-anak perempuan dengan cara
memberi penerangan dan bantuan dana, mempertinggi sikap yang merdeka, dan
melenyapkan tindakan malu-malu yang melampaui batas.
Perkumpulan Kautamaan Istri didirikan pada tahun 1913 di Tasikmalaya, lalu pada
tahun 1916 di Sumedang, Cianjur, dan tahun 1917 di Ciamis, menyusul di Cicurug
tahun 1918. Tokoh Kautamaan Istri yang terkenal adalah Raden Dewi Sartika.
Di samping R.A.Kartini dan Dewi Sartika, masih terdapat seorang tokoh wanita yaitu
Ibu Maria Walanda Maramis dari Minahasa. Beliau mendirikan perkumpulan yang
bernama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) pada tahun 1917.
PIKAT dalam kegiatannya mendirikan Sekolah Kepandaian Putri.
Para pemuda ini menginginkan suatu upaya penyatuan peletakan dasar untuk
kemerdekaan dengan menentang ketidakadilan yang dialami selama masa
penjajahan.