Anda di halaman 1dari 21

BAB I

STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. AA
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Belum menikah
Agama / Suku : Islam / Jawa
Alamat : Jepara
Pekerjaan : Santri Pondok
Nomor CM : 000722XXX
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada hari Jumat, 10 Januari 2020 pukul 09.48 WIB
secara autoanamnesis di Poliklinik Mata RSUD RA Kartini Jepara.
1. Keluhan utama
Mata merah
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli mata RSUD RA Kartini Jepara dengan keluhan
mata kanan kiri merah sejak 4 hari yang lalu. Pasien merasakan gejala
tersebut terus menerus dan dirasa semakin memberat. Pasien sering
terpapar oleh debu oleh karena lokasi pondok ada di pinggir pantai.
Sebelum datang ke RSUD pasien sempat mengkompres mata dan
memberi obat tetes “insto” namun tidak ada perbaikan. Gejala lain
yang dirasakan seperti pandangan kabur, rasa perih, nyeri,
mengganjal, berair, belekan, dan susah membuka mata. Riwayat
alergi disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit serupa (+) 3 bulan yll

1
 Riwayat DM, HT (-)
 Riwayat penggunaan kacamata (-)
 Riwayat memakai lensa kontak (-)
 Riwayat operasi yang berhubungan dengan mata (-)
 Riwayat trauma pada mata (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluarga dan teman 1 pondok mengalami penyakit serupa (-)
 Riwayat operasi yang berhubungan dengan mata (-)
5. Riwayat Sosial Ekonomi
 Pasien merupakan seorang santri dengan kesan sosial ekonomi
baik

C. PEMERIKSAAN FISIK :
1. Status Generalisata
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Baik

2
1. Status Ophtalmologi
OD OS

Filamen (+)
Sekret
Injeksi (+)
mukopurulen (+)

OCCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCCULI SINISTRA (OS)


Visus jauh (Snellen) : 6/15 Visus Visus jauh (Snellen) : 6/9
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Gerak bola mata simetris, Gerak bola mata simetris,
Enoftalmus (-), Enoftalmus (-),
Eksoftalmus (-), Bulbus okuli Eksoftalmus (-),
Strabismus (-) Strabismus (-)
Rontok (-), Rontok (-),
Rapat (+), Supercilia Rapat (+),
Simetris (+) Simetris (+)
Edema (-), Edema (-),
Hiperemis(-), Hiperemis(-),
Nyeri tekan (-), Nyeri tekan (-),
Blefarospasme (-), Blefarospasme (-),
Lagoftalmus(-), Palpebra Lagoftalmus(-),
Ptosis (-) Ptosis (-)
Ektropion (-), Ektropion (-),
Entropion (-) Entropion (-)

3
Rapat (+), Rapat (+),
Rontok (-), Rontok (-),
Cilia
Simetris (+), Simetris (+),
Sekret (-) Sekret (-)
Konjungtiva Palpebra : Konjungtiva Palpebra :
Injeksi (+), Injeksi (+),
Edema (-), Edema (-),
Papil (-), Papil (-),
Folikel (-), Folikel (-),
Sekret (-) Sekret (-)
Konjungtiva Fornix : Konjungtiva Fornix :
Injeksi (+), Injeksi (+),
Edem (-), Konjungtiva Edem (-),
Sekret (-) Sekret (-)
Konjungtiva Bulbi : Konjungtiva Bulbi :
Injekasi (+), Injeksi (+),
Edema (-), Edema (-),
Jaringan fibrovaskuler (-), Jaringan fibrovaskuler (-),
Nodul (-), Nodul (-),
Sekret (-) Sekret (+)
Putih Sklera Putih
Bulat, jernih, Bulat, jernih,
Edema (-), Arkus senilis (-), Edema (-), Arkus senilis (-),
Keratik presipitat (-), Keratik presipitat (-),
Kornea
Filamen (+), Filamen (-),
Sikatriks (-), Sikatriks (-),
Injeksi perikorneal (-) Injeksi perikorneal (-)

4
Jernih, Dalam Jernih, Dalam
Flare (-), Camera Oculi Flare (-),
Hipopion (-), Anterior Hipopion (-),
Hifema (-) Hifema (-)
Warna : Coklat Warna : Coklat
Atrofi (-), Atrofi (-),
Massa (-) Massa (-)
Iris
Sobekan (-) Sobekan (-)
Edema(-), Edema(-),
Synekia (-) Synekia (-)
Bulat, d= ±3mm, letak : sentral Bulat, d= ±3mm, letak : sentral
Refleks pupil direk (+), Pupil Refleks pupil direk (+),
Refleks pupil indirek (+) Refleks pupil indirek (+)
Kekeruhan (-) Kekeruhan (-)
Lensa
Letak : Sentral Letak : Sentral

Tidak dilakukan, epifora (-) Sistem Lakrimasi Tidak dilakukan, epifora (-)

5
D. RESUME
Pasien datang ke poli mata RSUD RA Kartini Jepara dengan keluhan mata
kanan kiri merah sejak 4 hari yang lalu. Pasien merasakan gejala tersebut
terus menerus dan dirasa semakin memberat. Pasien sering terpapar oleh
debu oleh karena lokasi pondok ada di pinggir pantai. Sebelum datang ke
RSUD pasien sempat mengkompres mata dan memberi obat tetes “insto”
namun tidak ada perbaikan. Gejala lain yang dirasakan seperti pandangan
kabur, rasa perih, nyeri, mengganjal, berair, belekan, dan susah membuka
mata. Riwayat alergi disangkal. Pasien pernah mengalami penyakit serupa 3
bulan yang lalu. Pemeriksaan segemen anterior didapatkan injeksi
konjungtiva ODS, filamen pada kornea OD, dan sekret mukopurulen OS.
Pemeriksaan segmen anterior yang lain dalam batas normal. Pemeriksaan
visus jauh (snellen) OD 6/15 dan OS 6/9.
E. DIAGNOSIS BANDING
 ODS Keratokonjungtivitis
 ODS Keratitis
 ODS Konjungtivitis bakteri
 ODS Konjungtivitis virus
 ODS Konjungtivitis alergi
 ODS Uveitis akut
F. DIAGNOSIS KERJA
ODS Keratokonjungtivitis
G. PENATALAKSANAAN
 Debridement
 Cravit ED/jam ODS
 Protagenta ED/4jam ODS
 Megazinc 1x1 tab

6
H. EDUKASI
 Kompres mata dengan menggunakan air hangat
 Jangan menggosok mata
 Menjaga kebersihan mata
 Menggunakan dan meminum obat secara teratur

I. KOMPLIKASI
 Blefaritis Marginal
 Ulserasi kornea marginal
J. PROGNOSIS
Oculi Dekstra Oculi Sinistra
Ad Vitam Ad Bonam Ad Bonam
Ad Fungsionam Ad Bonam Ad Bonam
Ad Sanationam Ad Bonam Ad Bonam
Ad Komestikan Ad Bonam Ad Bonam

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi dan Fisiologi


1.1.1. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata yang
tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari 5 lapisan.
lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel
konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement dan lapisan
endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea juga
merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika terjadi
oedem kornea akan bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga
penderita akan melihat halo.1,8
 Lapisan epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan menjadi lapisan
sel poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal
berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran
air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan
membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
menghasilkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
 Membran bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

8
 Jaringan sroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedang dibagian
perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan
sel stroma kornea yang merupakan fibroblast yang terletak diantara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
 Membran Descement
Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 μm.
 Endotel
Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel
melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan selubung
schwannya. Bulbus krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquos dan
air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir.
Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitas dan
deturgensinya.8

9
Gambar 1. Anatomi Kornea Gambar 2. Anatomi Konjungtiva
1.1.2. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan
kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di
limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:8
1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra).
2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata).
3. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian
posterior palpebra dan bola mata)
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
dan menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum
orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-duktus
kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior.) Kecuali di limbus (tempat
kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris melekat

10
longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya. Struktur epidermoid kecil semacam
daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan
merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.8
Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi
hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-
lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan
pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Jika dilihat dari segi
histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus,
di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel
goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke
tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh
prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di
dekat limbus dapat mengandung pigmen.8
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial)dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2
atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan
fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa
tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar airmata asesori (kelenjar Krause dan
Wolfring), yang struktur dan funginya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam
stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di
forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas. 8

11
1.2. Definisi
Keratokonjungtivitis adalah peradangan ("-itis") dari kornea dan konjungtiva.
Ketika hanya kornea yang meradang, hal itu disebut keratitis, ketika
hanya konjungtiva yang meradang, hal itu disebut konjungtivitis.1,8

1.3. Etiologi
Konjungtivitis dapat diakibatkan oleh virus, bakteri, fungal, parasit, toksik,
chlamydia, kimia dan agen alergik. Konjungtivitis viral lebih sering terjadi daripada
konjungtivitis bakterial. Insidensi konjungtivitis meningkat pada awal musim semi.
Etiologi konjungtivitis dapat diketahui berdasarkan klinis pasien. Pada tingkat seluler
terdapat infiltrat seluler dan eksudat pada konjungtiva. Etiologi keratitis superfisial
antara lain adalah infeksi (bakteri, viral, dan fungal), degeneratif (dry eye, defek
neurotropik atau berhubungan dengan penyakit sistemik), toksik dan alergi.
Morfologi dan distribusi lesi pada kornea dapat membantu mengetahui penyebab
keratitis. Ada beberapa penyebab potensial keratokonjungtivitis yaitu kekeringan,
infeksi virus, manifestasi dari atopi atau allergen maupun trauma mekanik.

1.4. Klasifikasi
 Keratokonjunctivitis sicca digunakan ketika peradangan karena
kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.) Hal ini terjadi
dengan 20% pasien RA.
 Istilah " Vernal keratokonjunctivitis "(VKC) digunakan untuk merujuk
keratokonjungtivitis terjadi di musim semi, dan biasanya dianggap
karena alergen.
 Atopik keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi dari atopi.
 Epidemi keratokonjunctivitis disebabkan oleh adenovirus infeksi.
 Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma mekanik

12
1.5. Patofisiologi
Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen.
Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi, menyebabkan
degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari peradangan. Hal
ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain termasuk
triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan
leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor,
menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi,
kemerahan, dan injeksi konjungtiva.2,5,8
Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun penjamu
dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat
yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel mukosa
konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari
peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih
ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan
berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang
berdilatasi dan tinggi permeabilitas.2,3,5
Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang menutupi
konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya infeksi. Pertahanan
sekunder adalah sistem imunologi (tear-film immunoglobulin dan lisozyme) yang
merangsang lakrimasi.2

1.6. Diagnosis
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores atau
panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda asing dan
tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi papiler yang
biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Sakit pada iris atau corpus siliaris
mengesankan terkenanya kornea. Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia,
berair mata, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma

13
konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan
membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.8
Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut. Kemerahan
paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus disebabkan dilatasi
pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah terang mengesankan
konjungtivitis bakteri dan keputihan mirip susu mengesankan konjungtivitis alergika.
Berair mata (epiphora) sering mencolok, diakibatkan oleh adanya sensasi benda
asing, terbakar atau gatal. Kurangnya sekresi airmata yang abnormal mengesankan
keratokonjungtivitis sicca. Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut.
Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan dapat pula
berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang biasanya menyebabkan tahi mata
dan saling melengketnya palpebra saat bangun tidur pagi hari, dan jika eksudat
berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia. Pseudoptosis adalah
turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke muskulus muller (M. Tarsalis
superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan
keratokonjungtivitis epidemika.8
Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi karena
konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus.
Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (selain unsur sel dan
eksudat) sampai di membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas
papila mirip jeruji payung. Eksudat radang mengumpul di antara serabut-serabut dan
membentuk tonjolan-tonjolan konjungtiva. Pada penyakit yang mengalami nekrosis
(mis.,trachoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat.8
Bila papilanya kecil, konjungtiva umumnya tampak licin mirip beludru.
Konjungtiva papiler merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia
(mis.,konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk trachoma akut).
Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papilla besar dengan atap rata,
poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Pada tarsus superior papilla seperti ini
mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis papiler besar dengan

14
sensitivitas lensa kontak; pada tarsus inferior, mengesankan keratokonjungtivitis
atopik. Papila besar dapat pula timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya
terpapar saat mata dibuka (antara pukul 2 dan 4 dan antara pukul 8 dan 10). Di sini
papila tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai ke
kornea. Papila limbus khas untuk keratokonjungtivitis vernal tetapi jarang pada
keratokonjungtivitis atopi.8
Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis alergik akut
tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau meningococcal akut dan
terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis dari konjungtiva bulbar terlihat
pada pasien dengan trichinosis. Kadang-kadang, kemosis dapat muncul sebelum
infiltrat seluler atau eksudasi terlihat.8
Folikel terlihat pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus. Pada semua kasus
konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi pada neonatus, pada beberapa
kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik yang
disebabkan obat-obatan topikal seperti idoxuridine, dipivefrin, dan miotic. Foikel
pada forniks inferior dan pada batas tarsus mempunyai nilai diagnostik yang rendah,
tapi saat terletak pada tarsus (terutama tarsus atas), konjungtivitis klamidial, viral,
atau toksik (yang menyertai obat-obatan topikal) harus dicurigai. Folikel terdiri dari
hiperplasia limfoid fokal berada dalam lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya
mengandung sentrum germinativum. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai
struktur bulat, putih atau abu-abu avaskuler. Dengan pemeriksaan slitlamp, pembuluh
darah kecil dapat terlihat timbul dari batas folikel dan mengelilingi folikel.8
Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan berbeda
derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan di atas permukaan epitel.
Bila diangkat, epitel tetap utuh. Sebuah membran adalah pengentalan yang meliputi
seluruh epitel dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang kasar dan
berdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai keratokonjungtivitis
epidemika, konjungtivitis herpes simplex virus primer, konjungtivitis streptokokal,

15
difteri, cicatrical pemphigoid, dan eritema multiforme mayor. Juga mungkin timbul
sebagai akibat buruk luka bakar kimiawi, khususnya basa.8
Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan yang paling sering adalah
chalazia. Penyebab endogen lain termasuk sarcoid, sifilis, cat-scratch disease, dan,
yang jarang koksidiomikosis. Parinaud’s oculoglandular syndrome meliputi
granuloma konjungtival dan nodus limfe periaurikuler yang menonjol, dan kelompok
penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsy untuk menegakkan diagnosa.8
Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari konjungtivitis. Nodus
periaurikuler yang terlihat mencolok tampak pada Parinaud’s oculoglandular
syndrome dan, yang jarang, pada epidemic keratoconjunctivitis. Nodus periaurikuler
yang besar maupun kecil, kadang sedikit nyeri tekan, muncul pada konjungtivitis
herpes simplex primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi, dan
trachoma. Nodus periaurikuler yang kecil dan tidak nyeri tekan muncul pada demam
faringokonjungtival dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang
limfadenopati periaurikuler dapat terlihat pada anak dengan infeksi kelenjar
meibomian.8
Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan
eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal harus mencakup
elemen berikut ini:8
· Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler
· Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea
· Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna,
malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan
· Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, perubahan
sikatrikal, simblepharon, massa, secret

Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati terhadap:


· Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, sisa kulit
berwarna darah, keratinisasi

16
· Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu
· Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, secret
· Konjungtiva tarsal dan forniks: Adanya papila, folikel dan ukurannya;
perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon;
membran dan psudomembran, ulserasi, perdarahan, benda asing, massa,
kelemahan palpebra
· Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan, papila,
ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi
· Kornea: Defek epithelial, keratopati punctata dan keratitis dendritik, filament,
ulserasi, infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten, vaskularisasi,
keratik presipitat
· Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi
· Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea

Gambar 3. Keratokonjungtivitis epidemika Gambar 4. Keratokonjungtivitis alergi

Gambar 5. Keratokonjungtivitis limbus superior Gambar 6. Keratokonjungtivitis vernalis

17
1.7. Diagnosis Banding
Gejala subyektif Glaukoma Uveitis Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi
dan obyektif akut akut
PenurunanVisus +++ +/++ +++ - - -
Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -
Fotofobia + +++ +++ - - -
Halo ++ - - - - -
Eksudat - - -/++ +++ ++ +
Gatal - - - - - ++
Demam - - - - -/++ -
Injeksi siliar + ++ +++ - - -
Injeksi konjungtiva ++ ++ ++ +++ ++ +
Kekeruhan kornea +++ - +/++ - -/+ -
Kelainan pupil Midriasis Miosis Normal/ N N N
nonrekatif iregular miosis
Kedalaman COA Dangkal N N N N N
Tekanan Tinggi Rendah N N N N
intraokular
Sekret - + + ++/+++ ++ +
Kelenjar - - - - + -
preaurikular

18
1.8. Komplikasi
Kebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun apabila
konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang adekuat maka dapat menyebabkan
komplikasi:1
a. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis akibat staphilococcus
b. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis chlamidia pada orang
dewasa yang tidak diobati adekuat
c. Keratitis punctata akibat konjungtivitis viral
d. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa penipisan kornea sehingga
bentuknya menyerupai kerucut) akibat konjungtivitis alergi.
e. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga endoftalmitis dapat terjadi
pada infeksi N. gonorrhoeae, N. kochii, N. meningitidis, H. aegypticus, S.
aureus dan M. catarrhalis.
f. Pneumonia terjadi 10-20 % pada bayi yang mengalami konjungtivitis
chlamydia
g. Meningitis dan septikemia akibat konjungtivitis yang diakibatkan
meningococcus.
1.9. Penatalaksanaan
Masing-masing jenis konjungtiva memberikan gejala klinis yang berbeda.
Penatalaksanaan keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya gejala klinik.
Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan obat tetes mata tergantung jenis
penyebabnya seperti pada KKV dapat diberikan anti histamin topikal dan dapat
ditambahkan vasokontriktor, kemudian dilanjutkan dengan stabilasator sel mast. Pada
kasus yang berat dapat dikombinasi dalam pengobatannya ataupun dilakukan
pembedahan.1,8
Pada konjungtivitis virus yang merupakan “self limiting disease” penanganan
yang diberikan bersifat simtomatik serta dapat pula diberikan antibiotic tetes mata
(chloramfenikol) untuk mencegah infeksi bakteri sekunder. Steroid tetes mata dapat
diberikan jika terdapat lesi epithelial kornea, namun pemberian steroid hanya

19
berdasarkan pengawasan dokter spesialis mata karena bahaya efek sampingnya cukup
besar bila digunakan berkepanjangan, antara lain infeksi fungal sekunder, katarak
maupun glaucoma.9,10
Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika ialah dengan kompres
dingin dan menggunakan tetes mata astrigen. Agen antivirus tidak efektif. Antibiotic
topical bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder. Steroid topical 3 kali sehari
akan menghambat terjadinya infiltrate kornea subepitel atau jika terdapat kekeruhan
pada kornea yang mengakibatkan penurunan visus yang berat, namun pemakaian
berkepanjangan akan mengakibatkan sakit mata yang berkelanjutan. Pemakaian
steroid harus di tapering off setelah pemakaian lebih dari 1 minggu.1,11,12
Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan antibiotika topical tetes mata
(misalnya kloramfenikol) yang harus diberikan setiap 2 jam dalam 24 jam pertama
untuk mempercepat proses penyembuhan, kemudian dikurangi menjadi setiap empat
jam pada hari berikutnya. Penggunaan salep mata pada malam hari akan mengurangi
kekakuan pada kelopak mata di pagi hari. Antibiotik lainnya yang dapat dipilih untuk
gram negative ialah tobramisin, gentamisin dan polimiksin; sedangkan untuk gram
positif icefazolin, vancomysin dan basitrasin.10
Penanganan infeksi jamur ialah dengan natamisin 5 % setiap 1-2 jam saat
bangun, atau dapat pula diberikan pilihan antijamur lainnya yaitu mikonazol,
amfoterisin, nistatin dan lain-lain.1

1.10. Prognosis
Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya
gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik terutama pada kasus yang
tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.8

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas DSM, Sidarta,. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
2. American Academy of Ophthalmology. Preferred practice pattern: conjunctivitis,
2nd ed. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2003.
3. Stenson S, Newman R, Fedukowicz H. Laboratories studies in acute
conjunctivitis. Arch Opthalmology. 1982; 100: 1275-1277.
4. Weiss A, Brinser J, Nasae-Stewart V. Acute conjunctivitis in childhood. J Pediatr
Med. 1993; 122:10-14.
5. Gigliotti F, Williams WT, Hayden FG. Etiology of acute conjunctivitis in
children. J. Pediatr. 1981;98: 531-536.
6. Fitch CP, Rapoza PA, Owens S. Epidemiology and diagnosis of acute
conjunctivitis at an inner-city hospital. Opthalmology. 1989;96:1215-1220.
7. Sambursky RP, Fram N, Cohen Ej. The prevalence of adenoviral conjunctivitis at
the Wills Eye Hospital emergency room. Optometry. 2007;78:236-914.
8. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000.
9. Scott IU and Luu K. Conjunctivitis, viral.
http://www.emedicine.medscape.com/article/1197851. [Online] Emedicine, April
2012.
10. Khaw PT, Shah Pand Elkington AR. ABC of Eyes. Fourth edition. BMJ
Publishing Group, 2004.
11. Bawazeer A and Hodge WG. Keratoconjunctivitis Epidemic.
http://emedicine.medscape.com/article/1192751-print. [Online] Emedicine.
January 7, 2008.
12. Yanoff, Myron, Duker JS and Augsburger JJ. Opthalmology 2nd edition: Mosby,
2003.

21

Anda mungkin juga menyukai