i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial
Skenario A Blok 20 tahun 2019.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan laporan ini, penulis sangat
mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun ke arah perbaikan
dan penyempurnaan laporan ini. Cukup banyak kesulitan yang penulis temui dalam
penulisan laporan ini, tetapi penulis menyelesaikannya dengan cukup baik. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Ismail Bustomi, Sp.
BOT sebagai tutor pada kelompok A2 dan seluruh mahasiswa kelas Alpha 2017 Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijiaya.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Palembang, 2 Desember 2019
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
Halaman
LAMPIRAN STRUKTUR KELOMPOK .......................Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
SKENARIO A Blok 20 Tahun 2019 .............................................................................. 1
I. Klarifikasi Istilah ..................................................................................................... 2
II. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 4
III. Analisis Masalah ...................................................................................................... 5
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan.......................................................................... 15
V. Sintesis Masalah..................................................................................................... 17
VI. Kerangka Konsep .................................................................................................. 53
VII. Kesimpulan ............................................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 55
iii
SKENARIO A BLOK 20 TAHUN 2019
Ny. Ani, 43 tahun, datang ke Poliklinik Rematologi Ilmu Penyakit Dalam dengan
keluhan nyeri sendi – sendi tangan sejak tiga bulan yang lalu. Nyeri dirasakan pada sendi
pergelangan tangan, jari- jari tangan dan kaki, lutut dan pergelangan kaki. Nyeri dirasakan
membaik bila minum ibuprofen 400mg, tiga kali sehari, tetapi hanya bertahan satu bulan.
Sejak satu bulan terakhir, keluhan nyeri pada sendi juga disertai pembengkakan dan
kekakuan sampai dua jam terutama pada pagi hari. Saat sore hari, Ny Ani sering merasa
demam, tidak tinggi, fatigue, dan nafsu makan menurun. Nyeri sendi lain seperti
punggung, bokong dan tumit tidak ada. Ny Ani bekerja sebagai penjual kembang dan
merasakan kesulitan memegang gunting untuk memotong kembangnya.
Pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum baik, sensorium
komposmentis, tensi: 120/80mmHg, frekuensi nadi: 82 kali/menit, frekuensi napas: 18
kali/menit, temperature aksila: 37,4°C, dan nilai VAS 5. Berat badan 55 kg dan tinggi
badan 158 cm.
Pemeriksaan organ-organ dalam batas normal. Pemeriksaan sendi-sendi
didapatkan, pergelangan tangan (wrist join) bengkak, nyeri tekan dan luas gerak sendi
normal. Metacarphophalangeal (MCP) II-IV, proximal interphalangeal (PIP) II-IV
kedua tangan tampak bengkak (boggy swelling) tetapi distal interphalangeal (DIP)
normal. Sendi lutut dan pergelangan kaki ada nyeri tekan (joint tenderness) tetapi tidak
ada pembengkakan. Leher, punggung, pinggul dan jari-jari kaki dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium darah, rheumatoid factor (RF) 130 U/ml, cyclic
citrullinated peptide antibodies (anti-CCP) 50 RU/ml, tes ANA kurang dari 1/80, laju
endap darah 60 mm/jam, C-reactive protein (CRP) kuantitatif 35 mg/L. pemeriksaan Xray
tangan dan kaki didapatkan soft tissue swelling pada PIP dan tak ada erosi tulang.
Pemeriksaan USG ditemukan sinovitis pada wrist joint dan PIP.
1
I. Klarifikasi Istilah
No. Istilah Pengertian
2
9. Rheumatoid Factor Antibody yang diarahkan terhadap penentu
antigenic pada molekul IgG, ditemukan dalam
serum sekitar 80% pasien dengan arthritis
rheumatoid. Factor- factor rheumatoid
mungkin adalah antibody IgM, IgG, atau IgA,
meskipun tes serologis hanya mengukur IgM
(Miller Keane).
11. Tes ANA Tes yang bertujuan untuk mencari anti nuklear
antibody dalam darah. Jika pada tes ditemukan
anti nuclear antibody dalam darah artinya
terdapat penyakit autoimun. (Medline Plus).
3
II. Identifikasi Masalah
Masalah Prioritas
4
swelling) tetapi distal interphalangeal
(DIP) normal. Sendi lutut dan pergelangan
kaki ada nyeri tekan (joint tenderness)
tetapi tidak ada pembengkakan. Leher,
punggung, pinggul dan jari-jari kaki dalam
batas normal.
Pemeriksaan laboratorium darah,
rheumatoid factor (RF) 130 U/ml, cyclic
citrullinated peptide antibodies (anti-CCP)
50 RU/ml, tes ANA kurang dari 1/80, laju
endap darah 60 mm/jam, C-reactive protein V
(CRP) kuantitatif 35 mg/L. pemeriksaan
Xray tangan dan kaki didapatkan soft tissue
swelling pada PIP dan tak ada erosi tulang.
Pemeriksaan USG ditemukan sinovitis
pada wrist joint dan PIP.
5
III. Analisis Masalah
1. Ny. Ani, 43 tahun,seorang penjual kembang, mengeluh sejak 3 bulan yang
lalu nyeri pada sendi pergelangan tangan, jari- jari tangan dan kaki, lutut dan
pergelangan kaki.
a. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin, dan pekerjaan terhadap keluhan
yang dialami Ny. Ani?
Berdasarkan epidemiologi, penyakit ini lebih banyak terjadi pada usia 35-50
tahun dan akan meningkat pada usia 60-64 tahun, lebih sering terjadi pada
perempuan daripada laki-laki, serta pekerjaan pasien berpengaruh karena
menahan beban terus menerus.
6
Metabolisme: Dimetabolisme di hati melalui oksidasi.
Ekskresi: Terutama melalui urin (45-80% sebagai metabolit, kira-kira 1%
sebagai unchanged drug; kotoran. Waktu paruh eliminasi: Kira-kira 2 jam.
Efek Samping:
1) Significant: reaksi anafilaktik, resiko hyperkalaemia, edema,
HTN, abnormalitas fungsi hati, anemia, pandangan kabur, scotomata,
perubahan pada visualisasi warna. Jarang, severe blood dyscrasias (e.g.
agranulocytosis, thrombocytopenia, aplastic anaemia).
e. Bagaimana hubungan antara demam tidak tinggi, fatigue, dan nafsu makan
menurun dengan keluhan nyeri sendi?
Sitokin proinflamasi menyebar melalui sirkulasi darah sehingga timbul gejala
konstitusional berupa demam yang juga akan memengaruhi peningkatan
leptin sehingga nafsu makan berkurang. Pada penyakit ini memerlukan energi
yang besar untuk menstabilitaskan gerakan tubuh sehingga terjadi fatigue.
f. Apa makna klinis nyeri sendi lain seperti punggung, bokong dan tumit
tidak ada?
Makna klinisnya yaitu merupakan predileksi rheumatoid artritis dan
menyingkirkan diagnosis banding.
8
Tekanan 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal
Darah
≥23 : BB berlebih
25-29,9 : obesitas I
≥30 : obesitas II
9
(PIP) II-IV kedua tangan tampak bengkak (boggy swelling) tetapi distal
interphalangeal (DIP) normal. Sendi lutut dan pergelangan kaki ada nyeri tekan
(joint tenderness) tetapi tidak ada pembengkakan. Leher, punggung, pinggul dan
jari-jari kaki dalam batas normal.
a. Apa hasil interpretasi pemeriksaan sendi sesuai kasus?
No. Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
1. Pergelangan tangan Bengkak Tidak Abnormal
(wrist join) Bengkak
2. Nyeri tekan dan luas Normal - Normal
gerak sendi
3. Metacarphophalangeal Bengkak Tidak Abnormal
(MCP) II-IV (boggy Bengkak
swelling)
4. Proximal Bengkak Tidak Abnormal
Interphalangeal (PIP) (boggy Bengkak
II-IV swelling)
5. Distal Interphalangeal Normal - Normal
(DIP)
6. Sendi lutut dan Nyeri tekan Tidak Abnormal
pergelangan kaki (joint terdapat
tenderness) dan nyeri
tidak ada tekan
pembengkakan
7. Leher, punggung, Dbn dbn Normal
pinggul dan jari-jari
kaki
10
elastase, PGE2 → pembetukan pannus → kerusakan tulang dan sendi → nyeri
tekan & bengkak
2) Infiltrasi limfosit pada perviaskular → proliferasi sel endotel → ekspresi
molekul adhesi → pelepasan kolagenase, stromelysin elastase, PGE2 →
pembetukan pannus → kerusakan tulang dan sendi → nyeri tekan & bengkak
3) IL 6 dan TGF B mengaktifkan sel Th17 → dihasilkan IL-17 → pelepasan
sitokin, produksi metaloproteinase, ekspresi ligan RANK/RANK (CD265/CD254),
dan osteoklastogenesis → destruksi sendi dan tulang & bengkak
11
USG Sinovitis pada - Abnormal
wrist joint dan
PIP
13
Perhitungan Skor:
- Keterlibatan: lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil) = 5
- Serologi: RF atau ACPA positif tinggi = 3
- Reaktan fase akut: LED atau CRP abnormal = 1
- Lamanya sakit: 6 minggu atau lebih = 1
Skor = 10
14
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan
15
penunjang
sesuai kasus
16
V. Sintesis Masalah
1. Anatomi dan Fisiologi Sendi Synovial
17
Sendi ini mempunyai karakteristik disatukan oleh jaringan ikat fibrosa,
mempunyai beberapa sub klas, yaitu:
a. Gomphosis, di mana hubungan antara tulang berupa tonjolan dan
socket (kantong). Contoh: hubungan gigi dengan tulang rahang (articulatio
dentoalveolaris).
b. Sutura, di mana permukaan tulang yang berhubungan berkelok-
kelok saling bersesuaian, dengan sedikit jaringan ikat fibrosa dan praktis tak ada
gerakan. Contohnya adalah pada hubungan antar tulang-tulang tengkorak. Ada
tiga macam sutura:
▪ Sutura Serrata, hubungan anta tulang seperti gigi gergaji
▪ Sutura Squamosa, hubungan antar tulang saling menipis dan saling
bersesuaian.
▪ Sutura Harmoniana/ plana, hubungan lurus tersusun tepi menepi.
c. Syndesmosis, hubungan antar tulang dengan jaringan fibrosa yang
banyak dan hanya sedikit terjadi gerakan.
Contoh: - Hubungan antara tibia dan fibula (syndesmosis
fibiofibularis)
- Hubungan antara radius dan ulna (syndesmosis radioulnaris)
2) Articulatio Cartilaginea
Sendi ini mempunyai karakteristik bahwa hubungan antar tulang
disatukan oleh tulang rawan yaitu cartilago hyaline atau fibrocartilago. Ada
beberapa sub klas, yaitu:
a. Synchondrosis, hubungan antar tulang bersifat temporer, di mana
tulang rawan yang terjadi saat embrional dapat berkembang menjadi tulang keras
pada masa dewasa, dan dapat melayani pertumbuhan dari tulang yang bersendi.
b. Symphilis, hubungan antar tulang disatukan oleh jaringan
fibrocartilago. Contoh: symphilis pubis, symphilis intervertebralis, dan symphilis
manubriosternalis.
3) Artilaculatio Synovialis atau Diarthrosis
Sendi ini mempunyai karakteristik terdapat ruangan spesifik “Cavitas
Aticularis” yang memungkinkan gerakan menjadi lebih bebas.
18
Tipe sendi sinovial:
1. Sendi datar (articulatio plana)
Permukaan sendi rata / hampir rata, sehingga memungkinkan terjadinya
pergeseran tulang yang satu dengan yang lainnya. Contoh: art. sternoclavicularis,
art. acromioclavicularis.
2. Sendi engsel (articulatio ginglymus)
Menyerupai engsel pintu, sehingga memungkinkan gerakan fleksi dan
ekstensi. Contoh: art. cubiti, art. genus, art. talocruralis
3. Sendi pasak (articulatio trochoidea)
Terdapat pasak tulang yang dikelilingi oleh cincin ligamentum bertulang,
hanya memungkinkan gerakan rotasi. Contoh: art. atlantoaxialis, art. radioulnaris
superior.
4. Sendi (articulatio) condyloidea
Mempunyai dua permukaan koveks yang bersendi dengan dua permukaan
konkaf. Gerakan yang mungkin dilakukan adalah fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi,
dan sedikit rotasi. Contoh: art. metacarpophalangeae, art. interphalangease.
5. Sendi (articulatio) elipsoidea
Permukaan sendi berbentuk konveks elips yang sesuai dengan permukaan
konkaf elips. Memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi. Tidak
bisa rotasi. Contoh: art. radiocarpalis.
6. Sendi pelana (articulatio sellaris)
Permukaan sendi berbentuk konkaf konveks yang saling berlawanan dan
mirip dengan pelana pada punggung kuda. Sendi ini bisa melakukan fleksi,
ekstensi, abduksi, aduksi, dan rotasi. Contoh: art. carpometacarpalis pollicis.
7. Sendi peluru (articulatio spheroidea)
19
Kepala sendi berbentuk bola pada satu tulang cocok dengan lekuk sendi
yang berbentuk socket pada tulang lain. Memungkinkan gerakan yang luas,
termasuk fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, rotasi medial, rotasi lateral, dan
sirkumduksi. Contoh: art. humeri, art. coxae.
1. Membrana synovialis
20
2. Cartilago Articularis
c. Aseluler
d. Bersifat elastis
3. Capsula Articularis
4. Ligamentum
Terdiri dari:
- Ligamentum capsulare
21
memiliki jaringan syaraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh
ke dalam sendi.
Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi ( kondrosit ) dan matriks rawan
sendi. Kondrosit berfungsi mensintesis dan memelihara matriks rawan sehingga
fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks rawan sendi
terutama terdiri dari air, proteoglikan dan kolagen. Pada tabel dibawah ini dapat
dilihat komposisi tulang rawan normal.
Sinovium tersusun atas 1-3 lapis sel-sel sinoviosit yang menutupi jaringan
subsinovial dibawahnya, sel ini merupakan salah satu sel yang memiliki peran
utama pada sinovium disamping sel-sel lain seperti fibroblast, makrofag, sel mast,
sel vaskular dan sel limfatik.
22
endoplasmik dan aparatus golgi well developed. Nukelusnya terlihat lebih pucat
dengan beberapa nucleoli.
Gambar 6. Sinoviosit
23
1) Secara kimia, itu adalah dialyzate (bahan yang mengalami dialisis)
plasma darah yaitu, bagian dari plasma yang telah disaring melalui membran
tetapi mengandung sejumlah besar asam hialuronat dari dialyzates plasma
lainnya.
2) Secara fisik, ini adalah cairan thixotropic yang nyata yaitu cairan yang
kental dan elastis. Viskositasnya berkurang dengan meningkatnya kecepatan
fluida ketika bergerak. Elastisitasnya, di sisi lain, meningkat dengan
meningkatnya kecepatan fluida. Tixotropinya disebabkan oleh asam hialuronat di
dalamnya.
3) Secara fungsional, ia memiliki dua bagian untuk dimainkan: nutrisi
dan pelumasan.
Gerakan cairan sinovial, yang dirujuk sebelumnya sehubungan dengan bantalan
lemak, membantu fungsi nutrisinya dengan mendistribusikannya di atas
permukaan artikular, yang darinya perlahan-lahan mengalir ke bagian dalam
tulang rawan. Sumber asam hialuronat adalah sel-sel lapisan sinovial.
2 Rheumatoid Arthritis
2.1 Diagnosis Banding
Gambaran Artritis
Gout Osteoartritis
Radiologi Reumatoid
Intermitten,
Soft tissue Periartrikular, Esentrik,
tidak sejelas
swelling simetris tophi
yang lain
Subluksasi Ya Tidak biasa Kadang-kadang
Menurun di
Mineralisasi Baik Baik
periartrikular
Kadang-
Kalsifikasi Tidak kadang pada Tidak
tophi
Baik hingga
Celah sendi Menyempit Menyempit
menyempit
Punched out
Ya, pada
Erosi Tidak dengan garis
intraartikular
sklerotik
Produksi Menjalar ke
Tidak Ya
tulang tepi korteks
Bilateral,
Simetri Asimetri Bilateral, simetri
simetri
24
Kaki,
Proksimal ke pergelangan Distal ke
Lokasi
distal kaki, tangan proksimal
dan siku
Seagull
Karakteristik
Pembentukan appearance pada
yang Poliartrikular
kristal sendi
membedakan
interfalangeal
Diagnosis Banding lainnya:
a. Artritis psoriatic → Anti-CCP nya negatif
b. Artritis gout poli articular → ada Tophy
c. Lupus eritemato sistemik → tidak ada erosi
d. Artritis viral
e. Spondiloartropati seronegatif, misalnya artritis psoriatik
f. Artritis reaktif → terjadi pada ekstremitas bawah
25
penyakit yang lama termasuk penyakit yang tidak aktif (dengan atau tanpa
pengobatan) yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis sebagai AR.
Skor
Keterangan sendi
• Hasil Lab negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas
atas ambang batas normal.
• Positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal
tapi sama atau <3 nilai tersebut.
• Positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas.
Jika RF hanya diketahui positif atau negatif, maka positif harus dianggap sebagai
positif rendah.
Lamanya sakit
2.3 Definisi
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa
kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit AR ada 3
macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan sendi yang
progresif, kecacatan, dan bahkan kematian dini.
2.4 Etiologi
Penyebab Rheumatoid Arthritis belum diketahui dengan pasti. Namun,
kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik
dan lingkungan:
27
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari
Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis
estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun
humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon
TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel
induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul
timbulnya penyakit RA.
d. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok dan
aktifitas yang berat sehari-harinya.
2.5 Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu
berkisar antara 0,5-1 %. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan
Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India
dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%. Sedangkan di China,
Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%.
Wanita terkena RA kira-kira 3 kali lipat lebih besar kemungkinannya
daripada laki-laki. Angka kejadian RA juga meningkat seiring berjalannya
bertambah usia. Onset usia dekade 4 dan dekade 5 lebih sering terkena RA, tapi
80% pasien RA terkena di usia 35-50 tahun. Insiden RA meningkat 6 kali lipat
pada wanita usia 60-64 tahun dibandingkan wanita usia 18-20 tahun baik didaerah
dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-
HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A
yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-KB). Gen ini
berperan penting dalam proses resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga
berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim
methlanatetetrahydrofolate reductase dan thyopurine methyltransferase untuk
metabolisme meyhatrexate dan azhotriopine ditentukan oleh genetik. Penelitian
menemukan adanya hubungan dengan faktor genetik. Pada RA derajat tinggi,
28
sekitar 4 kejadian yang diharapkan melibatkan individu ada kerabat tingkat
pertama dari individu-individu dengan penyakit yang terkait dengan kehadiran
autoanti-tubuh, faktor rheumatoid; ~ 10% dari pasien dengan RA akan memiliki
kerabat tingkat pertama yang terkena dampak.
29
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan
dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10
hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA
dimana perokok menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun
kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang
mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai
faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar
mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah
dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi
juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus
(EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada
pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae,
Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko
pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan
menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30.
2.7 Patogenesis
30
AR adalah penyakit autoimun yang masih kurang dipahami, berupa
kompleks faktor risiko interaksi genetik, lingkungan dan sistem imun. Perubahan
patologis terutama disebabkan oleh inflamasi yang dimediasi sitokin, di mana
sumber utama sitokin tersebut adalah dari sel limfosit T CD4+. Banyak pasien
yang juga memproduksi antibodi terhadap peptida sitrulin siklik/cyclic
cetrullinated peptides (CCP s) , yang bisa berperan pada lesi sendi. CCPs berasal
dari protein di mana residu arginin dikonversikan menjadi residu sitrulin setelah
translasi. Pada artritis reumatoid antibodi terhadap fibrinogen sitrulin, kolagen
tipe II, α-enolase dan vimentin amat penting dan bisa membentuk kompleks imun
yang tertimbun di dalam sendi. Antibodi ini adalah tanda diagnostik untuk
penyakit AR dan mungkin terlibat di dalam kerusakan jaringan. Seperti penyakit
autoimun lainnya, artritis reumatoid merupakan kelainan di mana faktor genetik
dan lingkungan berperan pada kerusakan toleransi terhadap antigen sendiri.
31
dengan artritis reumatoid. Terdapat hubungan yang kuat dengan polimorfisme
pada gen PTPN22 yang mengkode tirosin fosfat yang telah diterima sebagai
penghambat pengaktifan sel T.
b. Faktor lingkungan: Banyak calon agen infeksi yang antigennya
dipertimbangkan bisa mengaktifkan sel T atau sel B, tetapi tidak satupun yang
meyakinkan terlibat. Sebagaimana diterangkan di atas, sedikitnya 70% pasien
darahnya mengandungi antibodi anti CCP, yang mungkin diproduksi selama
inflamasi. Peradangan dan lingkungan yang tidak menyenangkan seperti merokok
dan infeksi bisa menyebabkan sitrulinisasi dari beberapa protein itu sendiri,
menghasilkan epitop baru yang memicu reaksi imun.
Diusulkan bahwa penyakit ini dimulai pada orang yang mempunyai
kecenderungan secara genetik untuk pengaktifan sel T heiper CD4+ sebagai reaksi
terhadap beberapa agen arthritogenic, kemungkinan mikroba atau antigen diri
sendiri seperti CCP (Gambar 20-18). Sel TE.,1 CD4+ dan TH17, limfosit B aktif,
sel plasma, dan makrofag, sebagaimana sel radang lainnya, ditemukan di dalam
sinovium yang meradang dan pada kasus yang berat, mungkin ada folikel limfoid
dengan sentrum germinatifum. Sejumlah sitokin, meliputi IL-1, IL-8, TNF, IL-6,
IL-17, dan interferon-γ, telah ditemukan di dalam cairan sinovial. Sitokin
diproduksi oleh sel T aktif leukosit baru seperti makrofag, yang produksinya
menyebabkan jejas pada jaringan dan juga mengaktifkan sel sinovial sendi untuk
memproduksi enzim proteolitik, seperti kolagenase, yang merupakan perantara
destruksi tulang rawan, ligamen, dan tendon sendi. Peningkatan aktivitas
osteoklas di dalam sendi berperan terhadap kerusakan tulang pada artritis
reumatoid; hal ini mungkin disebabkan oleh produksi ikatan RANK sitokin
keluarga TNF oleh sel T aktif. Walaupun berbagai sitokin yang diproduksi di
dalam sendi pada artritis reumatoid, TNF kelihatannya memainkan peranan yang
sangat penting. Hal ini didemonstrasikan oleh kemanjuran yang luar biasa dari
penggunaan antagonisTNF pada pengobatan penderita, bahkan pada penderita
yang resisten terhadap terapi yang lain.
Dari pengamatan klinis dan berbagai percobaan dicurigai bahwa antibodi
juga memainkan peranan penting pada penyakit. Peranan dari anti CCP sudah
diterangkan sebelumnya. Kira-kira 80% pasien memiliki serum imunoglobulin M
(IgM) (dan kurang sering IgA) autoantibodi yang mengikat bagian Fc dari IgG
nya. Autoantibodi ini dinamakan faktor reumatoid. Mereka bisa membentuk
32
kompleks imun dengan IgG nya sendiri yang dideposit di dalam sendi dan
jaringan lainnya, sehingga menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Bagaimanapun juga, peran faktor reumatoid di dalam patogenesis lesi pada sendi
atau ekstra artikular belum dibuktikan.Yang menarik, ada dua varian artritis
reumatoid, satu yang spesifik adanya anti CCP dan faktor reumatoid dan yang
lainnya tidak mempunyai autoantibodi.
2.8 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologis berupa peradangan dan destruksi sendi.
Kecenderungan faktor-faktor genetik bersama dengan lingkungan dapat memicu
perkembangan rheumatoid arthritis (RA), dengan aktivasi sel T sinovial
berikutnya. CD4 + sel T menjadi diaktifkan oleh sel antigenpresenting (APC)
melalui interaksi antara reseptor sel T dan MHC kelas II - antigen peptida (sinyal
1) dengan stimulasi bersama melalui jalur CD28-CD80 / 86, serta jalur lain (sinyal
2). Secara teori, ligan mengikat Toll like receptor (TLR) dapat lebih lanjut
merangsang aktivasi APC di dalam sendi. Sel T CD4 + sinovial berdiferensiasi ke
dalam sel TH1 dan TH17, masing-masing dengan profil sitokin. Sel CD4 + TH
pada gilirannya mengaktifkan sel B, beberapa di antaranya ditakdirkan untuk
berdiferensiasi menjadi penghasil autoantibodi sel plasma. Kompleks imun,
kemungkinan terdiri dari faktor rheumatoid (RF) dan peptida sitrullinasi anti-
siklik (CCP) antibodi, dapat terbentuk di dalam sendi, mengaktifkan jalur
komplemen dan peradangan yang meningkat. T sel-sel efektor merangsang
makrofag sinovial (M) dan fibroblas (SF) untuk mengeluarkan mediator
proinflamasi, antara yang merupakan faktor nekrosis tumor α (TNF-α).
TNF-α meningkatkan regulasi molekul adhesi pada sel endotel,
mempromosikan leukosit masuknya ke dalam sendi. Ini juga merangsang
produksi mediator inflamasi lainnya, seperti interleukin 1 (IL-1), IL-6, dan faktor
penstimulasi koloni granulosit-makrofag(GM-CSF). TNF-α memiliki fungsi yang
sangat penting dalam mengatur keseimbangan antara penghancuran dan
pembentukan tulang. TNF-α mengatur ekspresi dickkopf-1 (DKK-1), yang bisa
kemudian menginternalisasi reseptor Wnt pada prekursor osteoblas. Wnt adalah
mediator terlarut yang memacu osteoblastogenesis dan pembentukan tulang.
Dalam RA, pembentukan tulang dihambat melalui jalur Wnt, mungkin karena aksi
yang ditinggikan level DKK-1. Selain menghambat pembentukan tulang, TNF-α
33
menstimulasi osteoklastogenesis. Namun, tidak cukup dengan sendirinya untuk
menginduksi diferensiasi osteoklas prekursor (Pre-OC) menjadi osteoklas aktif
yang mampu tulang yang terkikis. Diferensiasi osteoklas membutuhkan kehadiran
faktor stimulasi koloni makrofag (M-CSF) dan aktivator reseptor ligan faktor κB
(RANK) nuklir,yang mengikat RANK di permukaan Pre-OC. Di dalam bersama,
RANKL terutama berasal dari sel stroma, sinovial fibroblas, dan sel T.
Osteoprotegerin (OPG) bertindak sebagai reseptor umpan untuk RANKL, dengan
demikian menghambat osteoklastogenesis dan keropos tulang. FGF, faktor
pertumbuhan fibroblast; IFN, interferon; TGF, mengubah faktor pertumbuhan.
2.9 Klasifikasi
Arthritis dapat terjadi secara akut atau kronis,
monoarthritis/poliartritis/oligoarthritis, terkait dengan inflamasi atau non
inflamasi.
34
a. Monoarthricular joint disease : nyeri atau bengkak pada satu
sendi saja, dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu inflamasi dan non inflamasi
(kelainan mekanik atau infiltrative)
35
36
Gambar 12. Klasifikasi inflammatory dan non inflammatory
polyarticular joint disease.
Poliartritis akut, terutama bila disertai dengan demam, biasanya selalu
disebabkan penyakit peradangan dan memerlukan evaluasi segera untuk
menyingkirkan infeksi atau artritis kristalin (akibat deposit kristalin).
37
Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada
banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu
atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri,bengkak,
kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau
selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai pada AR yang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada
membran sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena
adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar
seperti bahu dan lutut juga bisa terkena. Sendi yang terlibat pada umumnya
simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan
menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan
fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan
tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga
sendi interfalang proksimal dan metakarpofal.angeal. Sendi interfalang distal dan
sakroiliaka tidak pernah terlibat. Distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak
pada tabel 2.
Manifestasi ekstraartikular.
Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR
merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai
manifestasi ekastraartikular. Manifestasi ekastraartikular pada umumnya
didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum
tinggi. Nodul reumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai,
tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya
ditemukan di daerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa
olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor
reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus
gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan
demam reumatik, lepra, MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis.
Manifestasi paru juga bisa di-dapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik
hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifestasi ekstraartikular seperti
vaskulitis dan Felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi
spesifik.
38
Gambar 13. Manifestasi ekstraartikular dari RA.
Deformitas.
Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan ligamentum)
menyebabkan terjadinya deformitas. Bentuk-bentuk deformitas yang bisa
ditemukan pada penderita AR dirangkum dalam tabel 4.
40
b. Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya penyakit
dan kemungkinan prognosisnya.
c. Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan pemantauan obat.
41
Gambar 15. Tabel DMARD pada pengobatan RA
Catatan: pemberian loading dose pada leflunomide sudah tidak dianjurkan
lagi. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pengelolaan AR seperti
hidroksiklorokuin, preparat emas dalam D-penicillamin tidak tersedia di
Indonesia. Klorokuin mempunyai efektivitas yang setara dengan
hidroksiklorokuin tapi dengan toksisitas yang lebih besar.
2. Agen Biologik
Masing-masing pasien mempunyai gambaran klinik dan aktivitas penyakit
yang berbeda-beda dengan beberapa pasien tidak menunjukkan respon yang
memuaskan bahkan dengan kombinasi DMARD nonbiologik. Dengan
ditemukannya agen biologik yang baru maka timbul harapan adanya kontrol
terhadap penyakit pada pasien-pasien tersebut. Semakin banyak bukti yang
menunjukkan efikasi agen biologic yang lebih baik pada pengobatan AR, akan
tetapi respon pasien dan adanya efek samping obat dapat berbeda-beda.
Mengingat harga dan efek samping serius yang dapat timbul pada obat ini,
maka penggunaannya untuk penyakit reumatik seperti AR, artritis Psoriatik,
Spondilitis Ankilosa dan LES harus dilakukan oleh dokter konsultan rematologi
42
atau spesialis penyakit dalam yang sudah mendapat pelatihan khusus. Pasien yang
diberi obat ini seharusnya diberikan penjelasan yang memadai tentang risiko dan
manfaat jangka panjang obat tersebut.
Beberapa DMARD biologik dapat berkaitan dengan infeksi bacterial yang
serius, aktif kembalinya hepatitis B dan aktivasi TB. Mengingat hal ini, perlu
pemeriksaan awal dan pemantauan yang serius untuk infeksi. Khususnya untuk
anti TNF-α, dimana Indonesia merupakan daerah endemis untuk Tb, maka
skrining untuk Tb harus dilakukan sebaik mungkin (termasuk tes tuberkulin dan
foto toraks). Efek samping DMARD biologik yang lain adalah reaksi infus,
gangguan neurologis, reaksi kulit dan keganasan.
44
sampai penyakitnya terkendali. Pasien perlu dijelaskan untuk secepatnya dapat
memperoleh konsultasi pada seorang reumatologis.
2. Perubahan terapi dilakukan setelah target tidak tercapai dalam 6
bulan.
3. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan rontgen tangan dan kaki pada
awal perjalanan penyakit.
4. Pasien juga harus dipantau kemampuan fungsionalnya (misalnya
dengan HAQ).
5. Timbulnya komplikasi/manifestasi pada organ lain juga perlu
dipantau (misalnya vaskulitis, penyakit paru, terkenanya tulang belakang leher
dan mata).
6. Perlu dipantau kemungkinan timbulnya komorbiditas seperti
hipertensi, penyakit jantung coroner, osteoporosis, infeksi, kegananasan, depresi
dan efeknya pada kehidupan pasien.
7. Adanya efek samping obat juga harus dipantau dengan baik.
45
Keterangan:
TJC28 = nyeri tekan pada 28 sendi,
SJC28 = pembengkakan pada 28 sendi,
LED = laju endap darah dalam 1 jam pertama,
GH = Patient’s assessment of general health diukur dengan VAS
Kriteria Remisi dan Respon Terapi menurut ACR:
46
Gambar 20. Rekomendasi penatalaksanaan RA modifikasi
2.11.2 Non-Farmakologi
Latihan / Program Rehabilitasi
Pada saat diagnosis AR ditegakkan maka program latihan fisik aerobic
bisa direkomendasikan. latihan fisik harus disesuaikan secara individual
berdasarkan kondisi penyakit dan komorbiditas yang ada. Latihan aerobik dapat
dikombinasikan dengan latihan penguatan otot (regio terbatas atau menyeluruh),
dan latihan untuk kelenturan, koordinasi dan kecekatan tangan serta kebugaran
tubuh.
47
Terapi fisik dengan menggunakan laser kekuatan rendah dan TENS
(transcutaneous electrical nerve stimulation), efektif mengurangi nyeri dalam
jangka pendek. Kombinasi parafin (termoterapi) dan latihan fisik juga tampak
efektif mengurangi nyeri. Penggunaan ultrasound, muscular electro stimulation
dan magnetotherapy masih belum cukup bukti untuk bisa digunakan secara rutin,
tetapi bisa dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu yang tidak respon dengan
terapi lainnya. Aplikasi termoterapi tunggal dan aplikasi dingin lokal, tampaknya
tidak memberikan manfaat klinis yang berarti.
Pada penderita AR stadium lanjut perlu diberi penjelasan tentang cara-cara
proteksi sendi. Penggunaan alat bantu perlu dipertimbangkan pada penderita yang
memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada periode
inflamasi aktif maka ortotik statis dapat digunakan (pertama selama sehari penuh
dan sesudahnya hanya pada malam hari). Kegunaannya seharusnya dievaluasi
secara periodik, dan ortotik yang tidak memberi manfaat sebaiknya tidak
digunakan. Upaya terapi psikologis (misalnya relaksasi, mengatasi stress dan
memperbaiki pandangan hidup yang positif) dapat membantu pasien AR
menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka.
48
pasien/organisasi masyarakat seperti Permari dan Yayasan Lupus dapat
memberikan dampak positif pada pasien.
b. Penjelasan tentang diet dan terapi komplementer
Jelaskan pada pasien AR bahwa tidak ada bukti yang nyata tentang
pengaruh diet pada perjalanan penyakitnya, namun beberapa ahli menyarankan
diet untuk banyak makan sayuran, buah dan ikan serta mengurangi konsumsi
lemak/daging merah. Terapi komplementer juga belum ada bukti yang adekuat
untuk mendukung pemakaiannya dalam pengeloalaan AR. Jelaskan juga bahwa
hal tersebut tidak menggantikan terapi maupun cara pemantauan yang seharusnya.
2.12.2 Pencegahan
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang
menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis
setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki
ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin,
aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja
lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan
dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D,
E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas
pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air
dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang
melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang
disrankan adalah 8 gelas setiap hari.
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa
merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya
pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif
maupun pasif.
49
2.13 Komplikasi
2.14 Prognosis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari
ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga
tujuh puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun.
Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga
meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami
RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat
disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan
saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke
depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal
menunjukkan hasil remisi yang lebih baik.
50
Gambar 21. Faktor prognostic buruk pada RA
2.15 Kompetensi
3A Bukan Gawat Darurat
51
VI.Kerangka Konsep
Sel B berdiferensiasi
menjadi sel plasma
Sinovitis
Low grade fever
Nyeri
52
VII. Kesimpulan
Ny, Ani, 43 tahun, mengalami rheumatoid arthritis dengan faktor resiko
usia dan suami yang merokok.
53
DAFTAR PUSTAKA
American College of Rheumatology Subcommittee on Rematoid Arthritis
Guidelines. Guidelines for the Management of Rematoid Arthritis 2002 Update.
Arthrits Rheum 2002; 46: 328-46.
Arjen BB, Wim BB. The synovium and its role in osteoarthritis. In: Bone and
osteoarthritis,vol 4. Ed: Bronner F et all. Spinger-verlag. London 2007:65-80
Bondeson j, Wainwright SD, Lauder S. The role of synovial macrophages and
macrophage-produced cytokines in driving aggrecanases, matrix
metalloproteinases, and other destructive and inflammatory responses in
osteoarthritis. Arthritis Research & Therapy 2006,8(6):1-12
Benito MJ, Veala DJ,Gerald F et all. Benito MJ, Veala DJ,Gerald F et all.
Synovial tissue inflammation in early and late osteoarthritis. Ann Rheum Dis
2005,64:1263–1267.
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The
Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the
British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
54
Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI. Jakarta: Bagian Patologi Anatomik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1.
Kasmir Y I. Struktur dan fungsi sendi. Sub Bagian Reumatologi, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo. Diakses dari
http://www.irwanashari.com.
Kumar, Vinay, dkk. 2013. Robbins Basic Pathology 9th Edition. Philadelpia: El
Sevier
55
Rollin R, Marco F, Jover JA et all. Early lymphocyte activation in the synovial
microenvironmentin patients with osteoarthritis: comparison with rheumatoid
arthritis patients and healthy controls. Rheumatol Int 2008,28:757–764
Simkin PA. Synovial physiology. In: Arthritis and allied conditions. Ed:
Koopman WJ, Morelan RW. Lippincott williams & wilkins. Alabama 2005:176-
87.
Suarjana, I Nyoman. 2014. Arthritis Rheumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi Idrus, et al. Jakarta : Interna
Publishing.
Tanto, Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi IV Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius
56