Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A BLOK 20 TAHUN 2019

Disusun oleh: Kelompok A2


Tutor: dr. Ismail Bustomi, Sp.BOT
Meta Aulia Rahma 04011181722024
Ummul Azizah 04011181722026
Rahma Adellia 04011181722028
Muhammad Zaki Luthfi 04011181722030
Nurul Shafira 04011181722056
Wira Veronica 04011181722150
Fadiya Nur Fadhila 04011181722152
Titania Az-zahra 04011281722072
Dinda Radeta 04011281722074
Dwi Tantri Marylin 04011281722082
Dary Zakwan Bara 04011281722092
Tilka Rahmatia Quddusi 04011281722094
M. Dedy Supriyadi 04011281722094

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2019
LAMPIRAN STRUKTUR KELOMPOK

Tutor : dr. Ismail Bustomi, Sp.BOT


Moderator : Dwi Tantri Marylin
Sekretaris 1 : Nurul Shafira
Sekretaris 2 : Meta Aulia Rahma
Presentan : M. Dedy Supriyadi
Pelaksanaan : 2 Desember 2019 – 4 Desember 2019
10.00 - 12.30 WIB
Peraturan selama tutorial :
- Angkat tangan bila ingin berpendapat dan jika diberi kesempatan
- Hanya menggunakan gadget untuk kepentingan tutorial
- Dilarang memotong pembicaraan orang lain
- Selama tutorial dilarang makan tapi diperbolehkan minum
- Diperbolehkan ke toilet seizin tutor tapi diperbolehkan langsung keluar apabila
tutor sedang tidak ada di ruangan

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial
Skenario A Blok 20 tahun 2019.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan laporan ini, penulis sangat
mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun ke arah perbaikan
dan penyempurnaan laporan ini. Cukup banyak kesulitan yang penulis temui dalam
penulisan laporan ini, tetapi penulis menyelesaikannya dengan cukup baik. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Ismail Bustomi, Sp.
BOT sebagai tutor pada kelompok A2 dan seluruh mahasiswa kelas Alpha 2017 Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijiaya.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Palembang, 2 Desember 2019
Penulis,

Kelompok A2 Alpha 2017

ii
DAFTAR ISI

Halaman
LAMPIRAN STRUKTUR KELOMPOK .......................Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
SKENARIO A Blok 20 Tahun 2019 .............................................................................. 1
I. Klarifikasi Istilah ..................................................................................................... 2
II. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 4
III. Analisis Masalah ...................................................................................................... 5
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan.......................................................................... 15
V. Sintesis Masalah..................................................................................................... 17
VI. Kerangka Konsep .................................................................................................. 53
VII. Kesimpulan ............................................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 55

iii
SKENARIO A BLOK 20 TAHUN 2019
Ny. Ani, 43 tahun, datang ke Poliklinik Rematologi Ilmu Penyakit Dalam dengan
keluhan nyeri sendi – sendi tangan sejak tiga bulan yang lalu. Nyeri dirasakan pada sendi
pergelangan tangan, jari- jari tangan dan kaki, lutut dan pergelangan kaki. Nyeri dirasakan
membaik bila minum ibuprofen 400mg, tiga kali sehari, tetapi hanya bertahan satu bulan.
Sejak satu bulan terakhir, keluhan nyeri pada sendi juga disertai pembengkakan dan
kekakuan sampai dua jam terutama pada pagi hari. Saat sore hari, Ny Ani sering merasa
demam, tidak tinggi, fatigue, dan nafsu makan menurun. Nyeri sendi lain seperti
punggung, bokong dan tumit tidak ada. Ny Ani bekerja sebagai penjual kembang dan
merasakan kesulitan memegang gunting untuk memotong kembangnya.
Pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum baik, sensorium
komposmentis, tensi: 120/80mmHg, frekuensi nadi: 82 kali/menit, frekuensi napas: 18
kali/menit, temperature aksila: 37,4°C, dan nilai VAS 5. Berat badan 55 kg dan tinggi
badan 158 cm.
Pemeriksaan organ-organ dalam batas normal. Pemeriksaan sendi-sendi
didapatkan, pergelangan tangan (wrist join) bengkak, nyeri tekan dan luas gerak sendi
normal. Metacarphophalangeal (MCP) II-IV, proximal interphalangeal (PIP) II-IV
kedua tangan tampak bengkak (boggy swelling) tetapi distal interphalangeal (DIP)
normal. Sendi lutut dan pergelangan kaki ada nyeri tekan (joint tenderness) tetapi tidak
ada pembengkakan. Leher, punggung, pinggul dan jari-jari kaki dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium darah, rheumatoid factor (RF) 130 U/ml, cyclic
citrullinated peptide antibodies (anti-CCP) 50 RU/ml, tes ANA kurang dari 1/80, laju
endap darah 60 mm/jam, C-reactive protein (CRP) kuantitatif 35 mg/L. pemeriksaan Xray
tangan dan kaki didapatkan soft tissue swelling pada PIP dan tak ada erosi tulang.
Pemeriksaan USG ditemukan sinovitis pada wrist joint dan PIP.

1
I. Klarifikasi Istilah
No. Istilah Pengertian

1. Sendi Tempat penyatuan atau sambungan diantara


tulang terutama sambungan yang
memungkinkan pergerakan satu tulang atau
lebih (Dorland).

2. Ibu profen Obat yang tergolong dalam kelompok obat anti


inflamasi non steroid dan digunakan untuk
mengurangi rasa sakit akibat arthritis
(drugs.com).

3. Kekakuan Keterbatasan gerak sendi dan otot pada saraf


bangun atau setelah istirahat, mereda saat
beraktivitas yang merupakan suatu gejala
utama radang sendi (Farlex).

4. Fatigue Keadaan meningkatnya ketidaknyamanan dan


menurunnya efisiensi akibat kerja yang
berkepanjangan atau berlebihan (Dorland).

5. MCP Sendi synovial sferoid antara kepala


metacarpal dan basis phalang proximal.
(Farlex).

6. DIP Sendi synovial antara phalanges tengah dan


distal jari dan jari kaki (Farlex).

7. PIP Sendi synovial antara phalanges tengah dan


phalanges proksimal pada jari tangan dan jari
kaki (Farlex).

8. Boggy swelling Peningkatan sementara volume dari bagian


badan bukan karena proliferasi sel
(rheumatologi.eu).

2
9. Rheumatoid Factor Antibody yang diarahkan terhadap penentu
antigenic pada molekul IgG, ditemukan dalam
serum sekitar 80% pasien dengan arthritis
rheumatoid. Factor- factor rheumatoid
mungkin adalah antibody IgM, IgG, atau IgA,
meskipun tes serologis hanya mengukur IgM
(Miller Keane).

10. Anti CCP Anti CCP adalah antibodi yang berikatan


dengan asam amino sitrulin, yang terbentuk
dari konversi asam amino arginine
(Medicinenet).

11. Tes ANA Tes yang bertujuan untuk mencari anti nuklear
antibody dalam darah. Jika pada tes ditemukan
anti nuclear antibody dalam darah artinya
terdapat penyakit autoimun. (Medline Plus).

12. CRP Protein yang ada di serum darah pada berbagai


keadaan abnormal (seperti inflamasi dan
neoplasia) (Merriam Webster).

13. Sinovitis Radang membrane synovial, biasanya


menimbulkan nyeri, terutama pada pergerakan
sendi, ditandai dengan pembengkakan yang
hilang timbul, akibat efusi kedalam kanting
synovial (Dorland).

3
II. Identifikasi Masalah
Masalah Prioritas

Ny. Ani, 43 tahun,seorang penjual


kembang, mengeluh sejak 3 bulan yang
lalu nyeri pada sendi pergelangan tangan, VVV

jari- jari tangan dan kaki, lutut dan


pergelangan kaki.
Nyeri membaik bila minum
ibuprofen 400mg, 3x/hari, tetapi hanya
bertahan satu bulan. Sejak 1 bulan terakhir,
keluhan nyeri pada sendi disertai
pembengkakan dan kekakuan sampai dua
jam terutama pada pagi hari. Saat sore hari, VV
sering merasa demam tidak tinggi, fatigue,
nafsu makan menurun, nyeri sendi lain
seperti punggung, bokong dan tumit tidak
ada. Ny Ani merasakan kesulitan
memegang gunting untuk memotong
kembangnya.
Pemeriksaan fisik umum: keadaan
umum baik, sensorium komposmentis,
tensi: 120/80mmHg, frekuensi nadi: 82
kali/menit, frekuensi napas: 18 kali/menit, V

temperature aksila: 37,4°C, dan nilai VAS


5. Berat badan 55 kg dan tinggi badan 158
cm.
Pemeriksaan organ-organ dalam
batas normal. Pemeriksaan sendi-sendi
didapatkan, pergelangan tangan (wrist join)
bengkak, nyeri tekan dan luas gerak sendi V

normal. Metacarphophalangeal (MCP) II-


IV, proximal interphalangeal (PIP) II-IV
kedua tangan tampak bengkak (boggy

4
swelling) tetapi distal interphalangeal
(DIP) normal. Sendi lutut dan pergelangan
kaki ada nyeri tekan (joint tenderness)
tetapi tidak ada pembengkakan. Leher,
punggung, pinggul dan jari-jari kaki dalam
batas normal.
Pemeriksaan laboratorium darah,
rheumatoid factor (RF) 130 U/ml, cyclic
citrullinated peptide antibodies (anti-CCP)
50 RU/ml, tes ANA kurang dari 1/80, laju
endap darah 60 mm/jam, C-reactive protein V
(CRP) kuantitatif 35 mg/L. pemeriksaan
Xray tangan dan kaki didapatkan soft tissue
swelling pada PIP dan tak ada erosi tulang.
Pemeriksaan USG ditemukan sinovitis
pada wrist joint dan PIP.

5
III. Analisis Masalah
1. Ny. Ani, 43 tahun,seorang penjual kembang, mengeluh sejak 3 bulan yang
lalu nyeri pada sendi pergelangan tangan, jari- jari tangan dan kaki, lutut dan
pergelangan kaki.
a. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin, dan pekerjaan terhadap keluhan
yang dialami Ny. Ani?
Berdasarkan epidemiologi, penyakit ini lebih banyak terjadi pada usia 35-50
tahun dan akan meningkat pada usia 60-64 tahun, lebih sering terjadi pada
perempuan daripada laki-laki, serta pekerjaan pasien berpengaruh karena
menahan beban terus menerus.

b. Apa saja kemungkinan penyakit berdasarkan keluhan yang dialami Ny.


Ani?
Artritis rheumatoid, osteoarthritis, artritis gout, dan SLE.

2. Nyeri membaik bila minum ibuprofen 400mg, 3x/hari, tetapi hanya


bertahan satu bulan. Sejak 1 bulan terakhir, keluhan nyeri pada sendi disertai
pembengkakan dan kekakuan sampai dua jam terutama pada pagi hari. Saat sore
hari, Ny Ani sering merasa demam, tidak tinggi, fatigue, dan nafsu makan
menurun. Nyeri sendi lain seperti punggung, bokong dan tumit tidak ada. Ny Ani
merasakan kesulitan memegang gunting untuk memotong kembangnya.
a. Bagaimana mekanisme kerja dan efek samping dari ibuprofen?
Farmakodinamik:
Ibuprofen, NSAID, memiliki sifat analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik
dengan cara menghambat siklooksigenase-1 dan 2 sehingga menghambat
sintesis prostaglandin.
Onset: Analgesik: 30-60 menit. Anti-inflamasi: ≤7 hari (oral).
Durasi: 4-6 jam (oral).
Farmakokinetik:
Absorbsi: Diserap dari saluran pencernaan, sebagian ke dalam kulit, dan
hampir sepenuhnya diserap setelah pemberian secara rektal. Dikonsumsi
bersama makanan mengurangi tingkat penyerapan. Waktu puncak
konsentrasi di plasma: 1-2 jam (oral); 0,75 jam (dubur).
Distribusi: Masuk ke ASI. Pengikatan protein plasma: 90-99%.

6
Metabolisme: Dimetabolisme di hati melalui oksidasi.
Ekskresi: Terutama melalui urin (45-80% sebagai metabolit, kira-kira 1%
sebagai unchanged drug; kotoran. Waktu paruh eliminasi: Kira-kira 2 jam.
Efek Samping:
1) Significant: reaksi anafilaktik, resiko hyperkalaemia, edema,
HTN, abnormalitas fungsi hati, anemia, pandangan kabur, scotomata,
perubahan pada visualisasi warna. Jarang, severe blood dyscrasias (e.g.
agranulocytosis, thrombocytopenia, aplastic anaemia).

2) Kelainan pada telinga: Tinnitus.

3) Kelainan Gatrointestinal: mual, muntah, diare, perut kembung,


konstipasi, dyspepsia, heartburn, nyeri perut; enterocolitis (IV).
Gangguan umum dan kondisi tempat injeksi: Retensi cairan.

4) Infeksi dan infestasi: Sepsis (IV).

5) Komplikasi cedera, keracunan dan prosedural: Reaksi di tempat


suntikan.

6) Investigasi: Peningkatan BUN (IV).

7) Gangguan metabolisme dan nutrisi: Nafsu makan menurun;


hipoalbuminemia, hipoglikemia, hipokalsemia, hipokalemia,
hipernatremia, insufisiensi adrenal (IV).

8) Gangguan sistem saraf: Sakit kepala, pusing; perdarahan


intraventrikular (IV).

b. Mengapa ibuprofen kurang berefek setelah 1 bulan penggunaan?


Karena obat ibuprofen merupakan golongan NSAID yangn bersifat analgesik,
sehingga hanya akan mengurangi nyeri dan bengkak, tidak mengubah
perjalanan penyakitnya.

c. Mengapa keluhan bertambah berat sejak 1 bulan yang lalu?


Karena Ny. Ani hanya menggunakan obat ibuprofen untuk menghilangkan
gejala simptomatiknya saja dan tidak mendapat pengobatan lengkapnya,
sehingga progresivitas penyakit tetap berlangsung.
7
d. Mengapa pembengkakan dan kekakuan dirasakan terutama di pagi hari?
Karena posisi statis dalam waktu yang lama (tidur) menyebabkan
penumpukan cairan synovial pada kartilago artikular dan terjadi pemendekan
kapsul sehingga terjadi pembengkakan dan kekakuan di pagi hari,

e. Bagaimana hubungan antara demam tidak tinggi, fatigue, dan nafsu makan
menurun dengan keluhan nyeri sendi?
Sitokin proinflamasi menyebar melalui sirkulasi darah sehingga timbul gejala
konstitusional berupa demam yang juga akan memengaruhi peningkatan
leptin sehingga nafsu makan berkurang. Pada penyakit ini memerlukan energi
yang besar untuk menstabilitaskan gerakan tubuh sehingga terjadi fatigue.

f. Apa makna klinis nyeri sendi lain seperti punggung, bokong dan tumit
tidak ada?
Makna klinisnya yaitu merupakan predileksi rheumatoid artritis dan
menyingkirkan diagnosis banding.

g. Apa makna klinis Ny Ani merasakan kesulitan memegang gunting untuk


memotong kembangnya?
Kesulitan memegang gunting menunjukkan terjadinya kekakuan, bengkak
dan nyeri yang menyebabkan keterbatasan pergerakan pada sendi.

3. Pemeriksaan fisik umum: keadaan umum baik, sensorium komposmentis,


tensi: 120/80mmHg, frekuensi nadi: 82 kali/menit, frekuensi napas: 18 kali/menit,
temperature aksila: 37,4°C, dan nilai VAS 5. Berat badan 55 kg dan tinggi badan
158 cm.
a. Apa hasil interpretasi pemeriksaan fisik sesuai kasus?
Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi

Keadaan Baik Normal


Umum

Sensorium Compos Mentis Compos Mentis Normal

8
Tekanan 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal
Darah

Nadi 82 kali/menit 60-100x/menit Normal

Frekuensi 18 kali/menit 16-24x/menit Normal


Pernapasan

Temperatur 37,4 °C 35.5-37.0 °C SubFebris


Axila

VAS 5 0-1 : tidak nyeri Nyeri sedang


1-3 : nyeri ringan

3-7 : nyeri sedang

7-9 : nyeri berat

9-10 : nyeri sangat berat

IMT BB : 55kg, TB : <18,5 : BB kurang BB Normal


158cm → 22,03
18,5-22,9 : BB normal

≥23 : BB berlebih

23-24,9 : risiko obesitas

25-29,9 : obesitas I

≥30 : obesitas II

b. Bagaimana mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik sesuai kasus?


Demam : Faktor pencetus (mikroba/autoimun) → berikatan dengan sel T reseptor
→ T reseptor berikatan dengan MHC II & APC sinovium → pengeluaran sitokin
→ reaksi inflamasi kronik sistemik → subfebris

4. Pemeriksaan organ-organ dalam batas normal. Pemeriksaan sendi-sendi


didapatkan, pergelangan tangan (wrist join) bengkak, nyeri tekan dan luas gerak
sendi normal. Metacarphophalangeal (MCP) II-IV, proximal interphalangeal

9
(PIP) II-IV kedua tangan tampak bengkak (boggy swelling) tetapi distal
interphalangeal (DIP) normal. Sendi lutut dan pergelangan kaki ada nyeri tekan
(joint tenderness) tetapi tidak ada pembengkakan. Leher, punggung, pinggul dan
jari-jari kaki dalam batas normal.
a. Apa hasil interpretasi pemeriksaan sendi sesuai kasus?
No. Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
1. Pergelangan tangan Bengkak Tidak Abnormal
(wrist join) Bengkak
2. Nyeri tekan dan luas Normal - Normal
gerak sendi
3. Metacarphophalangeal Bengkak Tidak Abnormal
(MCP) II-IV (boggy Bengkak
swelling)
4. Proximal Bengkak Tidak Abnormal
Interphalangeal (PIP) (boggy Bengkak
II-IV swelling)
5. Distal Interphalangeal Normal - Normal
(DIP)
6. Sendi lutut dan Nyeri tekan Tidak Abnormal
pergelangan kaki (joint terdapat
tenderness) dan nyeri
tidak ada tekan
pembengkakan
7. Leher, punggung, Dbn dbn Normal
pinggul dan jari-jari
kaki

b. Bagaimana mekanisme abnormal pada pemeriksaan sendi sesuai kasus?


Mekanisme nyeri tekan & bengkak:
1) Faktor pencetus (mikroba/autoimun) → berikatan dengan sel T reseptor
→ T reseptor berikatan dengan MHC II & APC sinovium → pengeluaran sitokin
→ aktivasi fibroblas, kondrosit sel sinovial → pelepasan kolagenase, stromelysin

10
elastase, PGE2 → pembetukan pannus → kerusakan tulang dan sendi → nyeri
tekan & bengkak
2) Infiltrasi limfosit pada perviaskular → proliferasi sel endotel → ekspresi
molekul adhesi → pelepasan kolagenase, stromelysin elastase, PGE2 →
pembetukan pannus → kerusakan tulang dan sendi → nyeri tekan & bengkak
3) IL 6 dan TGF B mengaktifkan sel Th17 → dihasilkan IL-17 → pelepasan
sitokin, produksi metaloproteinase, ekspresi ligan RANK/RANK (CD265/CD254),
dan osteoklastogenesis → destruksi sendi dan tulang & bengkak

5. Pemeriksaan laboratorium darah, rheumatoid factor (RF) 130 U/ml, cyclic


citrullinated peptide antibodies (anti-CCP) 50 RU/ml, tes ANA kurang dari 1/80,
laju endap darah 60 mm/jam, C-reactive protein (CRP) kuantitatif 35 mg/L.
pemeriksaan Xray tangan dan kaki didapatkan soft tissue swelling pada PIP dan
tak ada erosi tulang. Pemeriksaan USG ditemukan sinovitis pada wrist joint dan
PIP.
a. Apa hasil interpretasi pada pemeriksaan laboratorium sesuai kasus?
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi

Rheumatoid 130 U/ml 0-30 U/ml Positif kuat


Factor

Anti-CCP 50 RU/ml ≤5 RU/ml Positif kuat

Tes ANA <1/80 >1/80 Negatif

LED 60 mm/jam 0-20 mm/jam Meningkat

CRP 35 mg/L 0,2-3 mg/L Meningkat

X-ray Soft tissue - Abnormal


swelling pada
PIP

Tak ada erosi


tulang

11
USG Sinovitis pada - Abnormal
wrist joint dan
PIP

b. Bagaimana mekanisme abnormal pada pemeriksaan laboratorium sesuai


kasus?
a) Rheumatoid Factor dan Anti-CCP
Autoantigen terbentuk karena autoimun → autoantigen di tangkap sel dendritik
yang merupakan APC → dihantarkan ke limfosit T → aktivasi sel T0 →
terbentuknya Th2 → produksi sel B → terbentuknya autoantibodi (faktor
rematoid dan anti citrulin peptide antibody) → peningkatan faktor rematoid dan
anti-CCP
b) LED
Synovitis → radang → kadar fibrinogen meningkat → sel darah merah lebih
mudah menggumpal → SDM lebih cepat mengendakp → LED meningkat
c) CRP
Faktor genetik HLA-DR1 dan factor lingkungan perokok pasif → terjadi
modifikasi antigen self dengan proses sitrulinasi→sel imun tidak
12
mengenali→antigen ditangkap oleh APC→aktivasi sel T helper
CD4→menstimulasi sel B untuk melakukan proliferasi dan diferensiasi menjadi
sel plasma→sel plasma memproduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen
self→sel T helper dan antibody masuk sirkulasi & menuju sendi→sel T
mensekresi sitokin dan menarik sel-sel inflamasi kedalam ruang sendi→terjadi
reaksi peradangan dan proses inflamasi → tes CRP meningkat
d) Soft Tissue Swelling
Faktor genetik HLA-DR1 dan factor lingkungan perokok pasif → terjadi
modifikasi antigen self dengan proses sitrulinasi→sel imun tidak
mengenali→antigen ditangkap oleh APC→aktivasi sel T helper
CD4→menstimulasi sel B untuk melakukan proliferasi dan diferensiasi menjadi
sel plasma→sel plasma memproduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen
self→sel T helper dan antibody masuk sirkulasi & menuju sendi→sel T
mensekresi sitokin dan menarik sel-sel inflamasi kedalam ruang
sendi→menstimulasi sel-sel synovial untuk berproliferasi→ peningkatan sel
synovial → membran synovial dan jaringan lunak lainnya menebal dan bengkak
e) Sinovitis
Faktor genetik HLA-DR1 dan factor lingkungan perokok pasif → terjadi
modifikasi antigen self dengan proses sitrulinasi→sel imun tidak
mengenali→antigen ditangkap oleh APC→aktivasi sel T helper
CD4→menstimulasi sel B untuk melakukan proliferasi dan diferensiasi menjadi
sel plasma→sel plasma memproduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen
self→sel T helper dan antibody masuk sirkulasi & menuju sendi→sel T
mensekresi sitokin dan menarik sel-sel inflamasi kedalam ruang sendi→terjadi
reaksi peradangan dan proses inflamasi pada sinovium→sinovitis pada wrist joint
dan proximal interphalangeal (PIP) II-IV dextra et sinistra

c. Bagaimana cara menghitung skor ACR (American College of


Rheumatologi)?

13
Perhitungan Skor:
- Keterlibatan: lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil) = 5
- Serologi: RF atau ACPA positif tinggi = 3
- Reaktan fase akut: LED atau CRP abnormal = 1
- Lamanya sakit: 6 minggu atau lebih = 1
Skor = 10

d. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan?


Tes serologi dan MRI.

14
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

Learning What I Don’t What I Have to How I


No. What I Know Learn
Issues Know Prove

Anatomi dan a. Struktur sendi a. Gambaran a. Patofisiologi


1. Fisiologi sinovial patologi kasus
sendi synovial anatomi kasus
a. Definisi a. Patogenesis a. Alur Penegak-
b. Klasifikasi dan kan diagnosis
Rheumatoid c. Etiologi dan Patofisiologi b. Alur
2.
Arthritis Faktor Resiko b. Komplikasi Talaksana
d. Epidemiologi Textbo
e. Kompetensi ok,
a. Skala normal a. Prosedur a. Mekanis-me Jurnal,
pemeriksaan pemeriksaan dari temuan dan
pada pasien abnormal pada Artikel
anak pemeriksa-an
Pemeriksaan
b. Interpretasi fisik
Fisik dan
3. pemeriksaan b. Interpretasi
Pemeriksaan
fisik dan dari hasil
Sendi
pemeriksaan pemeriksa-an
fisik spesifik lain atau
penunjang
sesuai kasus
a. Skala normal a. Prosedur a. Mekanisme
pemeriksaan pemeriksaan dari temuan
pada pasien b. Pemeriksaan abnormal
anak penunjang pada
Pemeriksaan b. Interpretasi yang pemeriksaan
4.
Penunjang pemeriksaan dibutuhkan fisik
fisik dan sesuai kasus b. Interpretasi
pemeriksaan dari hasil
fisik spesifik pemeriksaan
lain atau

15
penunjang
sesuai kasus

16
V. Sintesis Masalah
1. Anatomi dan Fisiologi Sendi Synovial

Gambar 1. Ossa manus


1.1 Sendi
Suatu struktur khusus seperti ruangan yang berfungsi sebagai penghubung
antartulang agar tulang dapat bergerak. Hubungan dua tulang tersebut dikenal
dengan artikulasi. Fungsi utama sendi adalah untuk memberikan flexibilitas dan
pergerakan pada tempatnya, juga sebagai poros anggota gerak.

Gambar 2. Fibrosa, Kartilago dan Synovial


Persambungan/artikulasi : pertemuan antara 2 atau lebih tulang rangka.
3 jenis sendi berdasarkan strukturnya yaitu:
1) Articulatio Fibrosa (Synarthrosis)

17
Sendi ini mempunyai karakteristik disatukan oleh jaringan ikat fibrosa,
mempunyai beberapa sub klas, yaitu:
a. Gomphosis, di mana hubungan antara tulang berupa tonjolan dan
socket (kantong). Contoh: hubungan gigi dengan tulang rahang (articulatio
dentoalveolaris).
b. Sutura, di mana permukaan tulang yang berhubungan berkelok-
kelok saling bersesuaian, dengan sedikit jaringan ikat fibrosa dan praktis tak ada
gerakan. Contohnya adalah pada hubungan antar tulang-tulang tengkorak. Ada
tiga macam sutura:
▪ Sutura Serrata, hubungan anta tulang seperti gigi gergaji
▪ Sutura Squamosa, hubungan antar tulang saling menipis dan saling
bersesuaian.
▪ Sutura Harmoniana/ plana, hubungan lurus tersusun tepi menepi.
c. Syndesmosis, hubungan antar tulang dengan jaringan fibrosa yang
banyak dan hanya sedikit terjadi gerakan.
Contoh: - Hubungan antara tibia dan fibula (syndesmosis
fibiofibularis)
- Hubungan antara radius dan ulna (syndesmosis radioulnaris)

2) Articulatio Cartilaginea
Sendi ini mempunyai karakteristik bahwa hubungan antar tulang
disatukan oleh tulang rawan yaitu cartilago hyaline atau fibrocartilago. Ada
beberapa sub klas, yaitu:
a. Synchondrosis, hubungan antar tulang bersifat temporer, di mana
tulang rawan yang terjadi saat embrional dapat berkembang menjadi tulang keras
pada masa dewasa, dan dapat melayani pertumbuhan dari tulang yang bersendi.
b. Symphilis, hubungan antar tulang disatukan oleh jaringan
fibrocartilago. Contoh: symphilis pubis, symphilis intervertebralis, dan symphilis
manubriosternalis.
3) Artilaculatio Synovialis atau Diarthrosis
Sendi ini mempunyai karakteristik terdapat ruangan spesifik “Cavitas
Aticularis” yang memungkinkan gerakan menjadi lebih bebas.

1.2 Sendi Synovial

18
Tipe sendi sinovial:
1. Sendi datar (articulatio plana)
Permukaan sendi rata / hampir rata, sehingga memungkinkan terjadinya
pergeseran tulang yang satu dengan yang lainnya. Contoh: art. sternoclavicularis,
art. acromioclavicularis.
2. Sendi engsel (articulatio ginglymus)
Menyerupai engsel pintu, sehingga memungkinkan gerakan fleksi dan
ekstensi. Contoh: art. cubiti, art. genus, art. talocruralis
3. Sendi pasak (articulatio trochoidea)
Terdapat pasak tulang yang dikelilingi oleh cincin ligamentum bertulang,
hanya memungkinkan gerakan rotasi. Contoh: art. atlantoaxialis, art. radioulnaris
superior.
4. Sendi (articulatio) condyloidea
Mempunyai dua permukaan koveks yang bersendi dengan dua permukaan
konkaf. Gerakan yang mungkin dilakukan adalah fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi,
dan sedikit rotasi. Contoh: art. metacarpophalangeae, art. interphalangease.
5. Sendi (articulatio) elipsoidea
Permukaan sendi berbentuk konveks elips yang sesuai dengan permukaan
konkaf elips. Memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi. Tidak
bisa rotasi. Contoh: art. radiocarpalis.
6. Sendi pelana (articulatio sellaris)
Permukaan sendi berbentuk konkaf konveks yang saling berlawanan dan
mirip dengan pelana pada punggung kuda. Sendi ini bisa melakukan fleksi,
ekstensi, abduksi, aduksi, dan rotasi. Contoh: art. carpometacarpalis pollicis.
7. Sendi peluru (articulatio spheroidea)

19
Kepala sendi berbentuk bola pada satu tulang cocok dengan lekuk sendi
yang berbentuk socket pada tulang lain. Memungkinkan gerakan yang luas,
termasuk fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, rotasi medial, rotasi lateral, dan
sirkumduksi. Contoh: art. humeri, art. coxae.

Gambar 3. Sendi Synovial

Gambar 4. Anatomi dan Histologi Sendi Synovial


Struktur Articulatio Synovialis :

1. Membrana synovialis

a. Merupakan jaringan ikat yang vaskuler (banyak pembuluh darah)

b. Melapisi permukaan dalam capsula sendi

c. Dapat menghasilkan cairan serupa jeli yang disebut synovia.

20
2. Cartilago Articularis

a. Tidak terdapat pembuluh darah

b. Tidak terdapat syaraf

c. Aseluler

d. Bersifat elastis

e. Nutrisi didapat atau diperoleh dari cairan synovia secara difusi

f. Pada pemeriksaan foto rongen tak tampak

3. Capsula Articularis

Tersusun oleh serabut-serabut holagen tak beraturan

4. Ligamentum

Terdiri dari:

- Ligamentum capsulare

- Ligamentum ekstra capsulare

- Ligamentum intra articulare

Gambar 5. Rawan Sendi


Pada sendi sinovial, tulang-tulang yang saling berhubungan dilapisi rawan
sendi. Ketebalan rawan sendi kurang dari 5 mm tergantung jenis sendi dan lokasi
di dalam sendi. Rawan sendi merupakan jaringan avaskular dan juga tidak

21
memiliki jaringan syaraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh
ke dalam sendi.

Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi ( kondrosit ) dan matriks rawan
sendi. Kondrosit berfungsi mensintesis dan memelihara matriks rawan sehingga
fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks rawan sendi
terutama terdiri dari air, proteoglikan dan kolagen. Pada tabel dibawah ini dapat
dilihat komposisi tulang rawan normal.

1.3 Sinovium ( Membran sinovial )

Sinovium secara fisiologis berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam


rongga sendi siovial serta mengeluarkan sisa metabolismenya, membantu
stabilitas sendi dan bersifat low-friction lining. Sinovium merupakan jaringan
avaskular yang melapisi permukaan dalam kapsul sendi, tetapi tidak melapisi
permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan lunak, berlipat-lipat sehingga
dapat menyesuaikan diri pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan intra
articular.

Sinovium tersusun atas 1-3 lapis sel-sel sinoviosit yang menutupi jaringan
subsinovial dibawahnya, sel ini merupakan salah satu sel yang memiliki peran
utama pada sinovium disamping sel-sel lain seperti fibroblast, makrofag, sel mast,
sel vaskular dan sel limfatik.

Walaupun banyak pembuluh darah dan limfe di dalam jaringan sinovial,


tetapi tidak satupun mencapai lapisan sinoviosit. Jaringan pembuluh darah ini
berperan dalam transfer konstituen darah kedalam rongga sendi dan pembentukan
cairan sendi.

Sinoviosit dibagi dua tipe berdasarkan morfologi dan petanda molekular


permukaannya, yaitu sinoviosit tipe A (synovial macrophage) yang memiliki sifat
seperti makrofag dan sinoviosit B (synovial fibroblast) yang memiliki
karakteristik fibroblast. Sebagian besar (70-80%) sinoviosit merupakan tipe B
dan 20- 30% merupakan sinoviosit tipe A. Sinoviosit A memiliki nukleus yang
kaya akan khromatin, memiliki banyak vakuola sitoplasmik, cukup banyak
aparatus golgi dan sedikit retikulum endoplasmik. Sedangkan sinoviosit B
menyerupai bentuk fibroblast (bipolar shape) memiliki banyak retikulum

22
endoplasmik dan aparatus golgi well developed. Nukelusnya terlihat lebih pucat
dengan beberapa nucleoli.

Gambar 6. Sinoviosit

Fungsi utama sinoviosit yang membentuk membran sinovium adalah


menyediakan berbagai molekul lubrikan seperti glikosaminoglikan disamping
oksigen dan protein plasma nutrien bagi ruang sendi dan rawan sendi serta
khondrosit. Sinoviosit A selain memiliki aktifitas fagositik yang berguna untuk
menyingkirkan berbagai debris dari ruang sendi, berfungsi pula sebagai prosesor
antigen.. Sinoviosit B berfungsi mensintesis hialuronat disamping produksi
berbagai komponen matriks seperti kolagen. Sel ini mampu mengeluarkan
berbagai enzim perusak. Kedua jenis sinoviosit ini saling berinteraksi melalui
sinyal yang diperantarai oleh sitokin, growth factors dan kemokin lain.

1.4 Cairan Synovial


Cairan sendi merupakan ultrafiltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya kadar
molekul dan ion kecil adalah sama dengan plasma, tetapi kadar proteinnya lebih
rendah. Molekul- molekul dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi harus
melewati sawar endotel mikrovaskuler, kemudian melalui matriks subsinovial dan
lapisan sinovium. Sawar endotel sangat selektif, makin besar molekulnya makin
sulit melalui sawar tersebut, sehingga molekul protein yang besar akan tetap
berada dalam jaringan vascular.

Ciri-ciri utama cairan sinovial adalah:

23
1) Secara kimia, itu adalah dialyzate (bahan yang mengalami dialisis)
plasma darah yaitu, bagian dari plasma yang telah disaring melalui membran
tetapi mengandung sejumlah besar asam hialuronat dari dialyzates plasma
lainnya.
2) Secara fisik, ini adalah cairan thixotropic yang nyata yaitu cairan yang
kental dan elastis. Viskositasnya berkurang dengan meningkatnya kecepatan
fluida ketika bergerak. Elastisitasnya, di sisi lain, meningkat dengan
meningkatnya kecepatan fluida. Tixotropinya disebabkan oleh asam hialuronat di
dalamnya.
3) Secara fungsional, ia memiliki dua bagian untuk dimainkan: nutrisi
dan pelumasan.
Gerakan cairan sinovial, yang dirujuk sebelumnya sehubungan dengan bantalan
lemak, membantu fungsi nutrisinya dengan mendistribusikannya di atas
permukaan artikular, yang darinya perlahan-lahan mengalir ke bagian dalam
tulang rawan. Sumber asam hialuronat adalah sel-sel lapisan sinovial.

2 Rheumatoid Arthritis
2.1 Diagnosis Banding
Gambaran Artritis
Gout Osteoartritis
Radiologi Reumatoid
Intermitten,
Soft tissue Periartrikular, Esentrik,
tidak sejelas
swelling simetris tophi
yang lain
Subluksasi Ya Tidak biasa Kadang-kadang
Menurun di
Mineralisasi Baik Baik
periartrikular
Kadang-
Kalsifikasi Tidak kadang pada Tidak
tophi
Baik hingga
Celah sendi Menyempit Menyempit
menyempit
Punched out
Ya, pada
Erosi Tidak dengan garis
intraartikular
sklerotik
Produksi Menjalar ke
Tidak Ya
tulang tepi korteks
Bilateral,
Simetri Asimetri Bilateral, simetri
simetri

24
Kaki,
Proksimal ke pergelangan Distal ke
Lokasi
distal kaki, tangan proksimal
dan siku
Seagull
Karakteristik
Pembentukan appearance pada
yang Poliartrikular
kristal sendi
membedakan
interfalangeal
Diagnosis Banding lainnya:
a. Artritis psoriatic → Anti-CCP nya negatif
b. Artritis gout poli articular → ada Tophy
c. Lupus eritemato sistemik → tidak ada erosi
d. Artritis viral
e. Spondiloartropati seronegatif, misalnya artritis psoriatik
f. Artritis reaktif → terjadi pada ekstremitas bawah

2.2 Algoritma Penegakan Diagnosis


Diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism
2010, yaitu:

Gambar 7. Kriteria Klasifikasi AR ACR 2010


Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Disamping
itu dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang
cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasikan sebagai AR. Pasien dengan

25
penyakit yang lama termasuk penyakit yang tidak aktif (dengan atau tanpa
pengobatan) yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis sebagai AR.

Skor

• Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan


sebagai AR, kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat
terpenuhi seiring berjalannya waktu.

Keterangan sendi

Terkenanya sendi adalah adanya bengkak dan nyeri sendi pada


pemeriksaan yang dapat di dukung oleh adanya bukti sinovitis secara pencitraan.
Sendi DIP, CMCI, dan MTPI tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan
distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang
terkena, dengan penempatan kedalam kategori yang tertinggi yang dapat
dimungkinkan.

• Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan


pergelangan kaki
• Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan
pergelangan tangan.

Keterangan Hasil Lab:

• Hasil Lab negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas
atas ambang batas normal.
• Positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal
tapi sama atau <3 nilai tersebut.
• Positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas.
Jika RF hanya diketahui positif atau negatif, maka positif harus dianggap sebagai
positif rendah.

Lamanya sakit

• Lamanya sakit adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan


atau tanda sinovitis (nyeri atau bengkak pada perabaan).
26
Dalam menegakkan diagnosis AR sangatlah penting untuk
mengelompokkannya berdasarkan waktu dimana dikatakan recent onset jika
sudah menderita kurang dari 2 tahun

Gambar 8. Algoritma untuk mengklasifikasi rheumatoid arthritis

2.3 Definisi
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa
kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit AR ada 3
macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan sendi yang
progresif, kecacatan, dan bahkan kematian dini.

2.4 Etiologi
Penyebab Rheumatoid Arthritis belum diketahui dengan pasti. Namun,
kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik
dan lingkungan:

27
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari
Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis
estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun
humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon
TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel
induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul
timbulnya penyakit RA.
d. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok dan
aktifitas yang berat sehari-harinya.

2.5 Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu
berkisar antara 0,5-1 %. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan
Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India
dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%. Sedangkan di China,
Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%.
Wanita terkena RA kira-kira 3 kali lipat lebih besar kemungkinannya
daripada laki-laki. Angka kejadian RA juga meningkat seiring berjalannya
bertambah usia. Onset usia dekade 4 dan dekade 5 lebih sering terkena RA, tapi
80% pasien RA terkena di usia 35-50 tahun. Insiden RA meningkat 6 kali lipat
pada wanita usia 60-64 tahun dibandingkan wanita usia 18-20 tahun baik didaerah
dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-
HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A
yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-KB). Gen ini
berperan penting dalam proses resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga
berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim
methlanatetetrahydrofolate reductase dan thyopurine methyltransferase untuk
metabolisme meyhatrexate dan azhotriopine ditentukan oleh genetik. Penelitian
menemukan adanya hubungan dengan faktor genetik. Pada RA derajat tinggi,

28
sekitar 4 kejadian yang diharapkan melibatkan individu ada kerabat tingkat
pertama dari individu-individu dengan penyakit yang terkait dengan kehadiran
autoanti-tubuh, faktor rheumatoid; ~ 10% dari pasien dengan RA akan memiliki
kerabat tingkat pertama yang terkena dampak.

2.6 Faktor Resiko


a. Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen
yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase
PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat
diantara populasi Eropa dan Asia. HLADRB1 terdapat di seluruh populasi
penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan
jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam
keluarga dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid
Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya RA semakin meningkat dengan
bertambahnya usia. RA hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia
dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60 tahun. 3. Jenis kelamin RA jauh
lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1. Meskipun
mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon
seks kemungkinan memiliki pengaruh.
b. Dapat dimodifikasi
1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan
antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia
yang menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan
paparan saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok

29
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan
dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10
hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA
dimana perokok menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun
kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang
mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai
faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar
mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah
dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi
juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus
(EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada
pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae,
Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko
pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan
menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30.

2.7 Patogenesis

30
AR adalah penyakit autoimun yang masih kurang dipahami, berupa
kompleks faktor risiko interaksi genetik, lingkungan dan sistem imun. Perubahan
patologis terutama disebabkan oleh inflamasi yang dimediasi sitokin, di mana
sumber utama sitokin tersebut adalah dari sel limfosit T CD4+. Banyak pasien
yang juga memproduksi antibodi terhadap peptida sitrulin siklik/cyclic
cetrullinated peptides (CCP s) , yang bisa berperan pada lesi sendi. CCPs berasal
dari protein di mana residu arginin dikonversikan menjadi residu sitrulin setelah
translasi. Pada artritis reumatoid antibodi terhadap fibrinogen sitrulin, kolagen
tipe II, α-enolase dan vimentin amat penting dan bisa membentuk kompleks imun
yang tertimbun di dalam sendi. Antibodi ini adalah tanda diagnostik untuk
penyakit AR dan mungkin terlibat di dalam kerusakan jaringan. Seperti penyakit
autoimun lainnya, artritis reumatoid merupakan kelainan di mana faktor genetik
dan lingkungan berperan pada kerusakan toleransi terhadap antigen sendiri.

Gambar 9. Proses utama yang terlibat di dalam pathogenesis artritis


rheumatoid.
a. Faktor genetik: Diperkirakan 50% risiko terhadap artritis
reumatoid berhubungan dengan faktor genetik. Kerentanan terhadap artritis
reumatoid dihubungkan dengan lokus HLADRBI. Penelitian akhir-akhir ini
mengungkapkan sejumlah besar gen non-HLA yang polimorfisme berhubungan

31
dengan artritis reumatoid. Terdapat hubungan yang kuat dengan polimorfisme
pada gen PTPN22 yang mengkode tirosin fosfat yang telah diterima sebagai
penghambat pengaktifan sel T.
b. Faktor lingkungan: Banyak calon agen infeksi yang antigennya
dipertimbangkan bisa mengaktifkan sel T atau sel B, tetapi tidak satupun yang
meyakinkan terlibat. Sebagaimana diterangkan di atas, sedikitnya 70% pasien
darahnya mengandungi antibodi anti CCP, yang mungkin diproduksi selama
inflamasi. Peradangan dan lingkungan yang tidak menyenangkan seperti merokok
dan infeksi bisa menyebabkan sitrulinisasi dari beberapa protein itu sendiri,
menghasilkan epitop baru yang memicu reaksi imun.
Diusulkan bahwa penyakit ini dimulai pada orang yang mempunyai
kecenderungan secara genetik untuk pengaktifan sel T heiper CD4+ sebagai reaksi
terhadap beberapa agen arthritogenic, kemungkinan mikroba atau antigen diri
sendiri seperti CCP (Gambar 20-18). Sel TE.,1 CD4+ dan TH17, limfosit B aktif,
sel plasma, dan makrofag, sebagaimana sel radang lainnya, ditemukan di dalam
sinovium yang meradang dan pada kasus yang berat, mungkin ada folikel limfoid
dengan sentrum germinatifum. Sejumlah sitokin, meliputi IL-1, IL-8, TNF, IL-6,
IL-17, dan interferon-γ, telah ditemukan di dalam cairan sinovial. Sitokin
diproduksi oleh sel T aktif leukosit baru seperti makrofag, yang produksinya
menyebabkan jejas pada jaringan dan juga mengaktifkan sel sinovial sendi untuk
memproduksi enzim proteolitik, seperti kolagenase, yang merupakan perantara
destruksi tulang rawan, ligamen, dan tendon sendi. Peningkatan aktivitas
osteoklas di dalam sendi berperan terhadap kerusakan tulang pada artritis
reumatoid; hal ini mungkin disebabkan oleh produksi ikatan RANK sitokin
keluarga TNF oleh sel T aktif. Walaupun berbagai sitokin yang diproduksi di
dalam sendi pada artritis reumatoid, TNF kelihatannya memainkan peranan yang
sangat penting. Hal ini didemonstrasikan oleh kemanjuran yang luar biasa dari
penggunaan antagonisTNF pada pengobatan penderita, bahkan pada penderita
yang resisten terhadap terapi yang lain.
Dari pengamatan klinis dan berbagai percobaan dicurigai bahwa antibodi
juga memainkan peranan penting pada penyakit. Peranan dari anti CCP sudah
diterangkan sebelumnya. Kira-kira 80% pasien memiliki serum imunoglobulin M
(IgM) (dan kurang sering IgA) autoantibodi yang mengikat bagian Fc dari IgG
nya. Autoantibodi ini dinamakan faktor reumatoid. Mereka bisa membentuk

32
kompleks imun dengan IgG nya sendiri yang dideposit di dalam sendi dan
jaringan lainnya, sehingga menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Bagaimanapun juga, peran faktor reumatoid di dalam patogenesis lesi pada sendi
atau ekstra artikular belum dibuktikan.Yang menarik, ada dua varian artritis
reumatoid, satu yang spesifik adanya anti CCP dan faktor reumatoid dan yang
lainnya tidak mempunyai autoantibodi.

2.8 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologis berupa peradangan dan destruksi sendi.
Kecenderungan faktor-faktor genetik bersama dengan lingkungan dapat memicu
perkembangan rheumatoid arthritis (RA), dengan aktivasi sel T sinovial
berikutnya. CD4 + sel T menjadi diaktifkan oleh sel antigenpresenting (APC)
melalui interaksi antara reseptor sel T dan MHC kelas II - antigen peptida (sinyal
1) dengan stimulasi bersama melalui jalur CD28-CD80 / 86, serta jalur lain (sinyal
2). Secara teori, ligan mengikat Toll like receptor (TLR) dapat lebih lanjut
merangsang aktivasi APC di dalam sendi. Sel T CD4 + sinovial berdiferensiasi ke
dalam sel TH1 dan TH17, masing-masing dengan profil sitokin. Sel CD4 + TH
pada gilirannya mengaktifkan sel B, beberapa di antaranya ditakdirkan untuk
berdiferensiasi menjadi penghasil autoantibodi sel plasma. Kompleks imun,
kemungkinan terdiri dari faktor rheumatoid (RF) dan peptida sitrullinasi anti-
siklik (CCP) antibodi, dapat terbentuk di dalam sendi, mengaktifkan jalur
komplemen dan peradangan yang meningkat. T sel-sel efektor merangsang
makrofag sinovial (M) dan fibroblas (SF) untuk mengeluarkan mediator
proinflamasi, antara yang merupakan faktor nekrosis tumor α (TNF-α).
TNF-α meningkatkan regulasi molekul adhesi pada sel endotel,
mempromosikan leukosit masuknya ke dalam sendi. Ini juga merangsang
produksi mediator inflamasi lainnya, seperti interleukin 1 (IL-1), IL-6, dan faktor
penstimulasi koloni granulosit-makrofag(GM-CSF). TNF-α memiliki fungsi yang
sangat penting dalam mengatur keseimbangan antara penghancuran dan
pembentukan tulang. TNF-α mengatur ekspresi dickkopf-1 (DKK-1), yang bisa
kemudian menginternalisasi reseptor Wnt pada prekursor osteoblas. Wnt adalah
mediator terlarut yang memacu osteoblastogenesis dan pembentukan tulang.
Dalam RA, pembentukan tulang dihambat melalui jalur Wnt, mungkin karena aksi
yang ditinggikan level DKK-1. Selain menghambat pembentukan tulang, TNF-α

33
menstimulasi osteoklastogenesis. Namun, tidak cukup dengan sendirinya untuk
menginduksi diferensiasi osteoklas prekursor (Pre-OC) menjadi osteoklas aktif
yang mampu tulang yang terkikis. Diferensiasi osteoklas membutuhkan kehadiran
faktor stimulasi koloni makrofag (M-CSF) dan aktivator reseptor ligan faktor κB
(RANK) nuklir,yang mengikat RANK di permukaan Pre-OC. Di dalam bersama,
RANKL terutama berasal dari sel stroma, sinovial fibroblas, dan sel T.
Osteoprotegerin (OPG) bertindak sebagai reseptor umpan untuk RANKL, dengan
demikian menghambat osteoklastogenesis dan keropos tulang. FGF, faktor
pertumbuhan fibroblast; IFN, interferon; TGF, mengubah faktor pertumbuhan.

Gambar 10. Patofisiologi RA

2.9 Klasifikasi
Arthritis dapat terjadi secara akut atau kronis,
monoarthritis/poliartritis/oligoarthritis, terkait dengan inflamasi atau non
inflamasi.

34
a. Monoarthricular joint disease : nyeri atau bengkak pada satu
sendi saja, dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu inflamasi dan non inflamasi
(kelainan mekanik atau infiltrative)

Gambar 11. Penyebab inflammatory dan non-inflammatory


monoarthritis
b. Polyarthicular joint disease (mengenai beberapa sendi): nyeri
sendi poliartikular dapat disebabkan oleh masalah pada sendi (artritis), dari tulang
yang berdekatan (peri-ostitis, osteonekrosis), dari jaringan lunak di sekitarnya
(bursa, tendon, otot, saraf), atau dari faktor psikogenik (depresi). Ada dua kategori
utama pada pengklasifikasian polyarticular joint disease: inflammatory dan non
inflammatory, kemudian keduanya dibagi menjadi subdivisi berdasarkan onset
(akut dan kronis) dan pola jumlah sendi yang terkena (polyarticular (>5 sendi) dan
oligoarticular (<4 sendi), symmetric vs. asym-metric.

35
36
Gambar 12. Klasifikasi inflammatory dan non inflammatory
polyarticular joint disease.
Poliartritis akut, terutama bila disertai dengan demam, biasanya selalu
disebabkan penyakit peradangan dan memerlukan evaluasi segera untuk
menyingkirkan infeksi atau artritis kristalin (akibat deposit kristalin).

2.10 Manifestasi Klinis


Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu :
a. Stadium sinovitis.
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi
pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya
simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi
permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Sendi
pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interphalanges
proksimal dan metacarpaphalanges.
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial.
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap.
Awitan (onset).
Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan, artritis
simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bu Ian dari perjalanan
penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih
cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10 - 15%
penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga
diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8 - 15% penderita, gejala muncul
beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh
kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih.
Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan,
kelelahan, anoreksia dan demam ringan.
Manifestasi artikular.

37
Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada
banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu
atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri,bengkak,
kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau
selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai pada AR yang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada
membran sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena
adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar
seperti bahu dan lutut juga bisa terkena. Sendi yang terlibat pada umumnya
simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan
menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan
fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan
tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga
sendi interfalang proksimal dan metakarpofal.angeal. Sendi interfalang distal dan
sakroiliaka tidak pernah terlibat. Distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak
pada tabel 2.
Manifestasi ekstraartikular.
Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR
merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai
manifestasi ekastraartikular. Manifestasi ekastraartikular pada umumnya
didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum
tinggi. Nodul reumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai,
tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya
ditemukan di daerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa
olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor
reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus
gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan
demam reumatik, lepra, MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis.
Manifestasi paru juga bisa di-dapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik
hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifestasi ekstraartikular seperti
vaskulitis dan Felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi
spesifik.

38
Gambar 13. Manifestasi ekstraartikular dari RA.
Deformitas.
Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan ligamentum)
menyebabkan terjadinya deformitas. Bentuk-bentuk deformitas yang bisa
ditemukan pada penderita AR dirangkum dalam tabel 4.

Gambar 14. Bentuk deformitas dari RA

2.11 Tata laksana


2.11.1 Farmakologi
1. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD)
Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) memiliki potensi
untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi
dan pada akhirnya mengurangi biaya perawatan dan meningkatkan produktivitas
pasien AR. Obat-obat DMARD yang sering digunakan pada pengobatan AR
adalah metotreksat (MTX), sulfasalazine, leflunomide, klorokuin, siklosporin,
azatiopin.
Semua DMARD memiliki beberapa ciri yang sama yaitu bersifat relatif
slow acting yang memberikan efek setelah 1-6 bulan pengobatan kecuali agen
biologik yang efeknya lebih awal. Setiap DMARD mempunyai toksisitas masing-
39
masing yang memerlukan persiapan dan monitor dengan cermat. Keputusan untuk
memulai pemberian DMARD harus dibicarakan terlebih dahulu kepada pasien
tentang risiko dan manfaat dari pemberian obat DMARD ini.
Pemberian DMARD bisa diberikan tunggal atau kombinasi. Pada pasien-
pasien yang tidak respon atau respon minimal dengan pengobatan DMARD
dengan dosis dan waktu yang optimal, diberikan pengobatan DMARD tambahan
atau diganti dengan DMARD jenis yang lain.

Prinsip penggunaan DMARD:


1. Semua pasien AR yang diagnosisnya sudah tegak harus
mendapatkan DMARD sedini mungkin kecuali ada kontra indikasi. Idealnya
dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya gejala.
2. Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil. Sebagian besar
pasien AR akan membaik selama kehamilan. Hasil observasi dari sejumlah
penelitian didapatkan 60-94% AR akan mengalami perbaikan selama kehamilan
dan sebagian besar (74-76%) terjadi pada trimester pertama. Tetapi kemudian
terdapat risiko terjadi kekambuhan pada saat postpartum15. Tidak didapatkan
peningkatan kejadian abortus atau kematian ibu hamil dengan AR. Pengobatan
AR dengan kehamilan merupakan masalah khusus, karena sebagian besar obat-
obat yang digunakan pada pengobatan AR (DMARD) belum terbukti keamananya
sehingga tidak bisa diberikan pada kehamilan. Berdasarkan laporan penelitian
pada pasien LES, klorokuin dan azatioprin dapat diberikan pasien yang hamil
sehingga obat tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien AR
yang hamil33. Kortikosteroid merupakan obat yang dapat dipertimbangkan untuk
digunakan pada wanita hamil dengan AR, tetapi perlu penilaian lebih cermat
mengenai manfaat dan risikonya sebelum memberikan obat ini13-16. Pengelolaan
pasien seperti ini perlu kerjasama yang baik antara dokter kebidanan dan dokter
ahli penyakit dalam konsultan reumatologi.
3. Pemilihan jenis DMARD ditentukan oleh 3 faktor :
a. Faktor obat : efektivitasnya, kemudahan pemberian, sistem
pemantauan, waktu yang diperlukan sampai obat memberikan khasiat,
kemungkinan efek samping dan yang tidak kalah penting adalah biaya
pengobatan.

40
b. Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya penyakit
dan kemungkinan prognosisnya.
c. Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan pemantauan obat.

Memulai dan Menghentikan DMARD:


1. Sebelum memulai pengobatan dengan DMARD harus dilakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya TB. Pemeriksaan ini sebaiknya juga
dilkukan pada orang-orang yang sering berhubungan dengan pasien.
2. Pertimbangkan pengobatan jangka pendek dengan glukokortikoid
(oral, intramuscular, atau intraartikular) untuk memperbaiki gejala secara cepat
pada pasien AR baru terdiagnosa jika mereka belum menerima glukokortikoid
sebagai bagian dari terapi kombinasi DMARD.
3. Pada orang dengan recent onset AR yang menerima terapi
kombinasi DMARD dan yang bertahan dengan hasil yang memuaskan, kurangi
dosis obat dengan hati-hati ke tingkat yang masih dapat mempertahankan kontrol
penyakit.
4. Pada pasien AR yang baru terdiagnosis dimana terapi kombinasi
DMARD tidak dapat diberikan (misalnya karena penyakit penyerta atau
kehamilan), mulai monoterapi DMARD dengan penekanan pada peningkatan
yang cepat hingga dosis klinis efektif.
5. Pada pasien AR yang kondisi penyakitnya stabil, kurangi dosis
obat DMARD atau agen biologik dengan hati-hati. Segera kembali ke dosis penuh
pada tanda pertama timbulnya kekambuhan.
6. Ketika memulai obat baru untuk memperbaiki pengendalian
panyakit pada regimen pengobatan pasien AR, pertimbangkan mengurangi atau
menghentikan obat DMARD yang sudah ada saat penyakit telah dapat
dikendalikan.
7. Pada setiap pasien AR dimana dosis obat DMARD non-biologik
atau biologik sedang diturunkan atau dihentikan, harus disiapkan review dini.
8. Mengingat banyaknya pertimbangan dalam pemberian DMARD
ini, maka konsultasi dengan konsultan reumatologi sangat penting pada saat akan
memulai pemberian DMARD.

41
Gambar 15. Tabel DMARD pada pengobatan RA
Catatan: pemberian loading dose pada leflunomide sudah tidak dianjurkan
lagi. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pengelolaan AR seperti
hidroksiklorokuin, preparat emas dalam D-penicillamin tidak tersedia di
Indonesia. Klorokuin mempunyai efektivitas yang setara dengan
hidroksiklorokuin tapi dengan toksisitas yang lebih besar.
2. Agen Biologik
Masing-masing pasien mempunyai gambaran klinik dan aktivitas penyakit
yang berbeda-beda dengan beberapa pasien tidak menunjukkan respon yang
memuaskan bahkan dengan kombinasi DMARD nonbiologik. Dengan
ditemukannya agen biologik yang baru maka timbul harapan adanya kontrol
terhadap penyakit pada pasien-pasien tersebut. Semakin banyak bukti yang
menunjukkan efikasi agen biologic yang lebih baik pada pengobatan AR, akan
tetapi respon pasien dan adanya efek samping obat dapat berbeda-beda.
Mengingat harga dan efek samping serius yang dapat timbul pada obat ini,
maka penggunaannya untuk penyakit reumatik seperti AR, artritis Psoriatik,
Spondilitis Ankilosa dan LES harus dilakukan oleh dokter konsultan rematologi

42
atau spesialis penyakit dalam yang sudah mendapat pelatihan khusus. Pasien yang
diberi obat ini seharusnya diberikan penjelasan yang memadai tentang risiko dan
manfaat jangka panjang obat tersebut.
Beberapa DMARD biologik dapat berkaitan dengan infeksi bacterial yang
serius, aktif kembalinya hepatitis B dan aktivasi TB. Mengingat hal ini, perlu
pemeriksaan awal dan pemantauan yang serius untuk infeksi. Khususnya untuk
anti TNF-α, dimana Indonesia merupakan daerah endemis untuk Tb, maka
skrining untuk Tb harus dilakukan sebaik mungkin (termasuk tes tuberkulin dan
foto toraks). Efek samping DMARD biologik yang lain adalah reaksi infus,
gangguan neurologis, reaksi kulit dan keganasan.

Gambar 16. Tabel DMARD biologi pada pengobatan RA


Selain obat-obat tersebut, ada beberapa agen biologic yang dilaporkan
memberikan respon pengobatan untuk AR, tetapi belum beredar di Indonesia
seperti anti CTLA-4 Ig (abatacept), anti TNF-α (adalimunab, certolizumab), anti
IL-1 (anakinra), dan tofacitinib.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang bisa menjadi bagian dari
pengobatan AR, tapi sebaiknya dihindari pemberian bersama OAINS sambil
menunggu efek terapi dari DMARDS. Berikan kortikosteroid dalam jangka waktu
sesingkat mungkin dan dosis serendah mungkin yang dapat mencapai efek klinis.
Dikatakan dosis rendah jika diberikan kortiksteroid setara prednison < 7,5 mg
sehari dan dosis sedang jika diberikan 7,5 mg – 30 mg sehari. Selama penggunaan
43
kortikosteroid harus diperhatikan efek samping yang dapat ditimbulkannya
seperti hipertensi, retensi cairan, hiperglikemi, osteoporosis, katarak dan
kemungkinan terjadinya aterosklerosis dini.
4. Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Obat anti inflamasi non steroid dapat diberikan pada pasien AR. OAINS
harus diberikan dengan dosis efektif serendah mungkin dalam waktu sesingkat
mungkin. Perlu diingatkan bahwa OAINS tidak mempengaruhi perjalanan
penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi. Pemilihan OAINS yang
dipergunakan tergantung pada biaya dan efek sampingnya (cost/benefit). Cara
penggunaan monitor dan cara pencegahan efek samping dapat dilihat lebih detail
pada rekomendasi penggunaan efektivitas tetapi meingkatkan efek samping.
Pembedahan:
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan pada pasien AR yang tetap
mengalami sinovitis refrakter terhadap pengobatan, serta pasien yang mengalami
keterbatasan gerak (memburuknya fungsi sendi akibat kerusakan
sendi/deformitas). Pasien yang mengalami nyeri yang terus menerus yang tidak
dapat dikendalikan dengan obat juga perlu dikonsultasikan dengan spesialis
bedah.
Pertimbangkan juga konsultasi dengan spesialis bedah untuk mencegah
kerusakan/ cacat yang ireversibel pada pasien dengan ruptur tendon yang nyata,
kompresi saraf (misalnya sindrom carpal tunnel) dan fraktur tulang belakang.
Jelaskan pada pasien mengenai manfaat yang dapat diharapkan dari tindakan
operasi yaitu meredakan nyeri, memperbaiki fungsi sendi atau pencegahan
kerusakan/deformitas sendi lebih lanjut. Tindakan sinovektomi yang dilakukan
pada sinovitis persisten dapat juga dilakukan dengan cara non bedah yaitu dengan
menggunakan radioisotope.
Pemantauan Pengobatan:
1. Pengobatan pasien AR memerlukan pemantauan aktivitas penyakit
yang baik melalui evaluasi klinis maupun laboratorium dengan menggunakan
skor seperti DAS28 atau kriteria remisi dari ACR 1987. Pengukuran LED atau
CRP merupakan kunci untuk pemantauan penyakit. Pemantauan ini perlu untuk
meningkatkan pengobatan supaya penyakit lebih terkendali atau secara hati-hati
menurunkan dosis obat jika pasien telah terkontrol dan selanjutknya secara terus
menerus. Sebaiknya pada pasien yang baru diobati, kontrol dilakukan setiap bulan

44
sampai penyakitnya terkendali. Pasien perlu dijelaskan untuk secepatnya dapat
memperoleh konsultasi pada seorang reumatologis.
2. Perubahan terapi dilakukan setelah target tidak tercapai dalam 6
bulan.
3. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan rontgen tangan dan kaki pada
awal perjalanan penyakit.
4. Pasien juga harus dipantau kemampuan fungsionalnya (misalnya
dengan HAQ).
5. Timbulnya komplikasi/manifestasi pada organ lain juga perlu
dipantau (misalnya vaskulitis, penyakit paru, terkenanya tulang belakang leher
dan mata).
6. Perlu dipantau kemungkinan timbulnya komorbiditas seperti
hipertensi, penyakit jantung coroner, osteoporosis, infeksi, kegananasan, depresi
dan efeknya pada kehidupan pasien.
7. Adanya efek samping obat juga harus dipantau dengan baik.

Gambar 17. Formulir DAS28


Pengukuran DAS28 dapat dilakukan dengan menggunakan rumus
(lampiran 5) atau dengan program kalkulator yang dapat diakses dari internet.

45
Keterangan:
TJC28 = nyeri tekan pada 28 sendi,
SJC28 = pembengkakan pada 28 sendi,
LED = laju endap darah dalam 1 jam pertama,
GH = Patient’s assessment of general health diukur dengan VAS
Kriteria Remisi dan Respon Terapi menurut ACR:

Gambar 18. Kriteria remisi menurt ACR 1987

Gambar 19. Kriteria respon menurut ACR 1987

46
Gambar 20. Rekomendasi penatalaksanaan RA modifikasi

2.11.2 Non-Farmakologi
Latihan / Program Rehabilitasi
Pada saat diagnosis AR ditegakkan maka program latihan fisik aerobic
bisa direkomendasikan. latihan fisik harus disesuaikan secara individual
berdasarkan kondisi penyakit dan komorbiditas yang ada. Latihan aerobik dapat
dikombinasikan dengan latihan penguatan otot (regio terbatas atau menyeluruh),
dan latihan untuk kelenturan, koordinasi dan kecekatan tangan serta kebugaran
tubuh.

47
Terapi fisik dengan menggunakan laser kekuatan rendah dan TENS
(transcutaneous electrical nerve stimulation), efektif mengurangi nyeri dalam
jangka pendek. Kombinasi parafin (termoterapi) dan latihan fisik juga tampak
efektif mengurangi nyeri. Penggunaan ultrasound, muscular electro stimulation
dan magnetotherapy masih belum cukup bukti untuk bisa digunakan secara rutin,
tetapi bisa dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu yang tidak respon dengan
terapi lainnya. Aplikasi termoterapi tunggal dan aplikasi dingin lokal, tampaknya
tidak memberikan manfaat klinis yang berarti.
Pada penderita AR stadium lanjut perlu diberi penjelasan tentang cara-cara
proteksi sendi. Penggunaan alat bantu perlu dipertimbangkan pada penderita yang
memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada periode
inflamasi aktif maka ortotik statis dapat digunakan (pertama selama sehari penuh
dan sesudahnya hanya pada malam hari). Kegunaannya seharusnya dievaluasi
secara periodik, dan ortotik yang tidak memberi manfaat sebaiknya tidak
digunakan. Upaya terapi psikologis (misalnya relaksasi, mengatasi stress dan
memperbaiki pandangan hidup yang positif) dapat membantu pasien AR
menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka.

2.12 Edukasi dan Pencegahan


2.12.1 Edukasi
a. Penjelasan Penyakit
Hal yang penting dalam pengobatan AR adalah perlunya penjelasan
kepada pasien tentang penyakitnya, apa itu AR, bagaimana perjalanan
penyakitnya, kondisi pasien saat ini dan bila perlu penjelasan tentang prognosis
penyakitnya. Pasien harus diberitahu tentang program pengobatan, risiko dan
keuntungan pemberian obat dan modalitas pengobatan yang lain. Disini perlu
waktu yang cukup dari dokter untuk memberi kesempatan kepada pasien untuk
menanyakan dan mendiskusikan penyakitnya. Kerjasama dokter-pasien sangat
penting untuk meningkatkan kepatuhan berobat dan pada akhirnya akan
meningkatkan hasil pengobatan. Sampai saat ini belum ditemukan diet spesifik
yang mencetuskan atau memperberat AR. Pasein AR dianjurkan untuk
mempertahankan berat badan ideal, karena obesitas akan memberi stress
tambahan terhadap persendian, mengeksaserbasi inflamasi dan berperan penting
pada risiko terjadinya osteoartritis. Kegiatan secara aktif dalam kelompok

48
pasien/organisasi masyarakat seperti Permari dan Yayasan Lupus dapat
memberikan dampak positif pada pasien.
b. Penjelasan tentang diet dan terapi komplementer
Jelaskan pada pasien AR bahwa tidak ada bukti yang nyata tentang
pengaruh diet pada perjalanan penyakitnya, namun beberapa ahli menyarankan
diet untuk banyak makan sayuran, buah dan ikan serta mengurangi konsumsi
lemak/daging merah. Terapi komplementer juga belum ada bukti yang adekuat
untuk mendukung pemakaiannya dalam pengeloalaan AR. Jelaskan juga bahwa
hal tersebut tidak menggantikan terapi maupun cara pemantauan yang seharusnya.
2.12.2 Pencegahan
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang
menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis
setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki
ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin,
aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja
lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan
dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D,
E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas
pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air
dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang
melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang
disrankan adalah 8 gelas setiap hari.
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa
merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya
pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif
maupun pasif.

49
2.13 Komplikasi

2.14 Prognosis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari
ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga
tujuh puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun.
Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga
meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami
RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat
disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan
saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke
depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal
menunjukkan hasil remisi yang lebih baik.

50
Gambar 21. Faktor prognostic buruk pada RA
2.15 Kompetensi
3A Bukan Gawat Darurat

51
VI.Kerangka Konsep

Ny. Ani 43 tahun

Faktor genetik Faktor lingkungan:


Perokok, infeksi

Kegagalan toleransi &


reaktivasi sel T (limfosit) Sitrulinisasi Terbentuk
anti-CCP

Aktivasi sel CD4+ T


helper

Sel B berdiferensiasi
menjadi sel plasma

Sel T helper & autoantibodi


RF & anti-CCP ↑ spesifik masuk ke sirkulasi Terbentuk
& sendi panus

Sel T produksi IFNɣ


& IL-17 ( reaksi
inflamasi)

Hipertrofi & hiperplasia Makrofag mengeluarkan


membran sinovial sitokin proinflamasi TNFα,
IL-1, IL-6

Sinovitis
Low grade fever

Produksi cairan ↑↑ Tendosinovitis

Boggy swelling Menekan saraf Pembengkakan


pada MCP & di sekitar sendi wrist joint
PIP sinovial

Nyeri

52
VII. Kesimpulan
Ny, Ani, 43 tahun, mengalami rheumatoid arthritis dengan faktor resiko
usia dan suami yang merokok.

53
DAFTAR PUSTAKA
American College of Rheumatology Subcommittee on Rematoid Arthritis
Guidelines. Guidelines for the Management of Rematoid Arthritis 2002 Update.
Arthrits Rheum 2002; 46: 328-46.

Arjen BB, Wim BB. The synovium and its role in osteoarthritis. In: Bone and
osteoarthritis,vol 4. Ed: Bronner F et all. Spinger-verlag. London 2007:65-80
Bondeson j, Wainwright SD, Lauder S. The role of synovial macrophages and
macrophage-produced cytokines in driving aggrecanases, matrix
metalloproteinases, and other destructive and inflammatory responses in
osteoarthritis. Arthritis Research & Therapy 2006,8(6):1-12
Benito MJ, Veala DJ,Gerald F et all. Benito MJ, Veala DJ,Gerald F et all.
Synovial tissue inflammation in early and late osteoarthritis. Ann Rheum Dis
2005,64:1263–1267.
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The
Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the
British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11

Chabib,L.dkk 2016. Review Rheumatoid Arthritis: Terapi Farmakologi, Potensi


Kurkumin dan Analognya, serta Pengembangan Sistem Nanopartikel. Jurnal
Pharmascience, Vol 3, No. 1, Februari 2016, hal: 10 - 18 .

Darmawan J. Rheumatic condition in the northern part of Central Java. An


epidemiological survey. 1988: 97-111.

Faridin HP. Cartilage degradation products as biomarker of osteoarthritis. Dalam:


Kumpulan makalah temu ilmiah reumatologi. Jakarta 2008:13-9.

Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis


Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Gailard, Frank. https://radiopaedia.org/cases/rheumatoid-arthritis-hands-2

Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Reumatoid Arthritis. Dalam:


Textbook of Rheumatology.Philadhelpia: Saunders Co.

54
Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI. Jakarta: Bagian Patologi Anatomik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1.

Kasmir Y I. Struktur dan fungsi sendi. Sub Bagian Reumatologi, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo. Diakses dari
http://www.irwanashari.com.

Kertia N. Kontroversi penggunaan disease modifying osteoarthritis drugs:


efektivitas dan keamanan diacerin. Dalam: Kumpulan makalah temu ilmiah
reumatologi. Jakarta 2008:20-3.
Klippel, John, dkk. 2008. Primer on Reumatic Disease 13th Edition. New York:
Springer Science+Bussiness Media

Kumar, Vinay, dkk. 2013. Robbins Basic Pathology 9th Edition. Philadelpia: El
Sevier

Marzouka, George. 2017. Case Study: Rheumatoid Arthritis Cardiac


Manifestation. Online on Rheumatology Advicor.
https://www.rheumatologyadvisor.com/home/topics/rheumatoid-arthritis/case-
study-rheumatoid-arthritis-cardiac-manifestations/

Mc Kinnis, Lynn. 2010. Fundamental of Musculoskeletal Imaging 3rd Edition.


Philadelpia: E. A Davis Company

Nasution.1996.Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku


Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Pedoman Interpretasi Klinik. (2011). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia.

Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi


Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan


Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN

55
Rollin R, Marco F, Jover JA et all. Early lymphocyte activation in the synovial
microenvironmentin patients with osteoarthritis: comparison with rheumatoid
arthritis patients and healthy controls. Rheumatol Int 2008,28:757–764
Simkin PA. Synovial physiology. In: Arthritis and allied conditions. Ed:
Koopman WJ, Morelan RW. Lippincott williams & wilkins. Alabama 2005:176-
87.

Suarjana, I Nyoman. 2014. Arthritis Rheumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi Idrus, et al. Jakarta : Interna
Publishing.

Tanto, Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi IV Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius

Tobon GJ, Youinou P, Saraux A. The environment, geo-epidemiology, and


autoimmune disease: Rematoid arthritis. J Autoimmun 2010; 35(1): 10-4

Wim B, Peter M, Henk M. Synovium.In: Osteoarthritis, second edition. Ed:


Brandt KD et all. Oxford university press. Sweden 2003:147-55.

56

Anda mungkin juga menyukai