Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU ANESTESI & RE-ANIMASI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN 08 JANUARI 2020


UNIVERSITAS PATTIMURA

ANESTESI UMUM (T.I.V.A + INHALASI) PADA PASIEN CORPUS


ALINEUM REGIO MAXILLA SINISTRA

OLEH:
YUDHIE DJUHASTIDAR TANDO
2018-84-089

PEMBIMBING:
dr. ONY W. ANGKEJAYA, Sp.An.
dr. FAHMI MARUAPEY, Sp.An.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ANESTESI & RE-ANIMASI RSUD dr. M. HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2019
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Anestesi umum (T.I.V.A + inhalasi) pada pasien corpus alineum regio maxilla
sinistra”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Anestesi dan Re-animasi RSUD dr. M.
Haulussy
Penyusunan laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya
bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ony W. Angkejaya,
Sp.An. dan dr. Fahmi Maruapey, Sp.An. selaku pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membantu penulis dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai
pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan laporan kasus ini ke
depannya. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Ambon, 08 Januari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………...... i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………... ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… iii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………….…… 1
BAB II. LAPORAN KASUS………………..………………………………….. 3
A. Evaluasi Pre-Anestesi…………………………………………………….…… 3
B. Persiapan Pre-Anestesi………………………………………………………... 5
C. Pre-Operatif…………………………………………………………………… 6
D. Teknik Anestesi………………...……………………………………………... 7
E. Intra-Operatif………………………………………………………………….. 7
F. Post-Operatif…………………………………………………………………... 8
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….. 10
BAB IV. DISKUSI……………………………………………………………... 19
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan
rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan
hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Semua tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat
anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced anesthesia, yaitu
mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan agen
preanestetikum untuk mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan efek
samping minimal. Anestesi yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria: tiga
komponen anestesi atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan
refleks, ketidaksadaran, aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah
diaplikasikan dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan
anestesiumum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi,
dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan
prosedur diagnostik atau pembedahantanpa menimbulkan gangguan hemodinamik,
respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam.1,2
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan
hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan
sistem saraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan
sensori pada saraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem syaraf
pusat (SSP) secara reversibel. Anestesi umum merupakan kondisi yang
dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan
obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon
rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap
rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya
kesadaran (unconsciousness).1,2 Teknik anestesi umum dapat dilakukan dengan

4
anestesi inhalasi, anestesi intravena, ataupun kombinasi kedua teknik tersebut.
Teknik yang memakai kombinasi antara anestesi intravena sebagai obat induksi dan
anestesi inhalasi sebagai rumatan cukup mudah serta aman digunakan namun
terdapat kekurangan yang harus diperhatikan.3-5
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang
dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme
kerja anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan
misteri, karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ
sasaran yang jauh adalah suatu hal yang unik. Saat ini telah berkembang
pengetahuan mengenai teknik dan obat anestesi intravena untuk induksi yang
digunakan juga sebagai rumatan anestesi untuk menggantikan anestesi inhalasi.
Teknik anestesi yang menggunakan jalur intravena sebagai jalan masuk obat untuk
induksi dan rumatan disebut total intravenous anesthesia (TIVA). Teknik anestesi
intravena total bertujuan mencapai kondisi anestesi yang seimbang melalui
penyuntikan beberapa golongan obat. Opioid, hipnotik–sedatif, dan pelumpuh otot
merupakan golongan obat yang digunakan sebagai kombinasi untuk melakukan
teknik anestesi dengan TIVA.6

5
BAB II
LAPORAN KASUS

A. EVALUASI PRE-ANESTESI
1. Identitas Pasien
Nama : An. LG
Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Namlea
No. RM : 15-44-31
Gol. darah :O
Berat badan : 23 kg
Tinggi badan : - cm
Tanggal MRS : 16 Desember 2019
Ruang rawat : Instalasi Gawat Darurat (IGD)
2. Anamnesis (autoanamnesis)
a. Mekanisme trauma : Pasien datang dengan rujukan dari RSUD
Namlea dengan luka tusuk oleh besi di daerah wajah sebelah kiri ± 1 hari
SMRS. Saat itu pasien sedang bermain di pantai kemudian terjatuh dan
tertusuk besi yang sedang tertancap. Besi tidak bisa dicabut, nyeri (-),
perdarahan (-).
b. Riwayat penyakit dahulu : asma (-), diabetes mellitus (-), hipertensi (-)
c. Riwayat penyakit keluarga : diabetes mellitus (-), hipertensi (-)
d. Riwayat operasi & anestesi : tidak ada
e. Riwayat alergi : tidak ada
f. Riwayat obat-obatan : tidak ada
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status gizi : kesan baik
b. Keadaan psikis : Baik
c. Brain (B1) : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks
cahaya +/+, suhu 36,8 ̊C.
6
d. Breahing (B2) : spontan, airway bebas, RR: 30 x/m reguler;
Inspeksi: pergerakan dada simetris; auskultasi: suara napas vesikuler(+/+);
SpO2: 99% tanpa O2
e. Blood (B3) : Akral hangat, kering, merah; TD: 110/60
mmHg; N: 70 x/m (regular, isi dan tegangan cukup); BJ I/II reguler, murmur
(-), gallop (-)
f. Bowel (B4) : Inspeksi= distensi (-); perkusi= timpani;
palpasi= nyeri tekan (-); auskultasi= bising usus (+).
g. Bladder (B5) : BAK (+), kateter (-)
h. Bone and skin (B6) : Deformitas (-), edema (-).
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (16 Desember 2019):
 Hemoglobin = 12,5 g/dL
 Hematokrit = 35,8 %
 Trombosit = 396 x 103/mm3
 Leukosit = 18,8 x 103/mm3
 GDS = 95 mg/dL
b. Foto x-ray kepala posisi AP/Lateral

7
5. Diagnosis
a. Diagnosis kerja : Corpus alineum regio maxilla
sinistra
b. Diagnosis anestesi menurut ASA : PS ASA IIE
6. Planning
a. Pro CITO ekstraksi corpus alineum
b. Stop intake oral
c. Anti-emetikum profilaksis : Inj. Ondancetron 4 mg/ml amp. IV
d. Rencana anestesi : General anesthesia
e. Siapkan PRC 1 kantong

B. PERSIAPAN PRE-ANESTESI
1. Persiapan Pasien
a. Informed consent
b. Surat persetujuan tindakan anestesi
c. Pasien diminta untuk stop intake oral sebelum tindakan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
d. Pendataan kembali identitas pasien di kamar operasi.
e. Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan pasien.
2. Persiapan Alat Intubasi
Scope = Stetoskop dan laringoskop
Tube = Endotracheal Tube (ETT) atau Laringeal Mask Airway (LMA)
Airway = Oropharyngeal tube/mayo/guedel
Tape = plester fiksasi
Introducer = stylet
Connector
Suction

8
3. Persiapan Obat Anestesi Umum
a. Analgetik : Fentanyl 50 mg IV
b. Neuroleptik : Propofol 50 mg IV
c. Muscle relaxant : Atracurium 10 mg IV
d. Lain-lain : Isoflurane 1 volume %; Sulfas atropine 0,5 mg +
Neostigmin 1 mg IV

C. ANESTESI PRE-OPERATIF
1. Diagnosa Pra Bedah : Vulnus ictum + corpus alineum regio maxilla
sinistra
2. Jenis Pembedahan : Ekstraksi corpus alineum
3. Medikasi Pra-Bedah :
a. Inj. Ceftriaxon 500 mg IV (07.00 WIT)
b. Inj. Omeprazole 20 mg IV (07.00 WIT)
c. Inj. Ketorolac 15 mg IV (11.30 WIT)
4. Posisi : Supine
5. Jenis Anestesi : Anestesi umum (TIVA + Inhalasi)

Gambar 1. Pre-operatif

9
D. TEKNIK ANESTESI
1) Posisikan pasien dalam posisi supine. Pasien diberitahukan bahwa akan
dilakukan tindakan pembiusan.
2) Dilakukan pre-oksigenasi selama 5 menit
3) Pre-medikasi diberikan Fentanyl 50 mg IV, kemudian diinduksi dengan Propofol
50 mg IV, dan diberi muscle relaxant 10 mg IV
4) Kemudian dilakukan intubasi dengan menggunakan Laryngeal Mask Airway
ukuran 2½ (LMA), kembangkan cuff (+) dengan volume udara 15 mL, mayo (-
), sambungkan dengan connector.
5) Lakukan fiksasi pada LMA dengan plester.

Gambar 2. Teknik anestesi

E. ANESTESI INTRA-OPERATIF
1. Maintenance Anestesi : Propofol 50 mg IV; Isoflurane 1 volume %; Sulfas
atropine 0,5 mg + Neostigmin 1 mg IV

10
2. Keseimbangan Cairan :
a. Cairan masuk
 PO = RL ± 100 cc
 DO = RL ± 300 cc
b. Cairan keluar
 PO = -
 DO = -

Gambar 3. Laporan anestesi intra-operatif

F. ANESTESI POST-OPERATIF
1. Lama anestesi : 13:05 WIT – GA
2. Lama operasi : 13:15 – 13:20 WIT
3. Pasien masuk ke ruang pemulihan (RR) pada pukul 13:35 WIT.
a. Brain (B1) : E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
b. Breathing (B2) : spontan, airway bebas, RR: 22 x/m reguler;
Inspeksi: pergerakan dada simetris; auskultasi: suara napas vesikuler(+/+);
SpO2: 100% dengan O2
11
c. Blood (B3) : Akral hangat, kering, merah; TD: 116/81
mmHg; N: 77 x/m (regular, isi dan tegangan cukup); BJ I/II reguler, murmur
(-), gallop (-)
d. Bowel (B4) : Inspeksi: distensi (-); perkusi: timpani;
palpasi: nyeri tekan (-); auskultasi: bising usus (+).
e. Bladder (B5) : BAK (+), kateter (-)
f. Bone and skin (B6) : Deformitas (-), edema (-).
4. Terapi :
a. Bila kesakitan = Inj. Ketorolac 15 mg/8 jam/IV
b. Bila mual/muntah = Inj. Ondancetron 2 mg/12 jam/IV
c. Antibiotik = sesuai terapi dari dokter bedah
d. Infus = RL 16 tpm
e. Monitor = TTV tiap 15 menit selama 2 jam

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan. Tujuan dari anestesi umum adalah
analgesia, menghilangkan kecemasan, amnesia, hilangnya kesadaran, penekanan
terhadap respon kardiovaskular, motorik serta hormonal terhadap stimulasi
pembedahan.1,2
Anestesi umum dibagi menjadi tiga teknik yaitu teknik anestesi total
intravena, anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan
inhalasi yang sering disebut balance anestesia. Masing-masing dari teknik tersebut
memiliki kekurangan dan kelebihan. Pemilihan teknik seringkali ditentukan oleh
karakteristik pasien sehingga tepat penggunaan dan resiko efek samping yang
paling minimal. Saat ini penggunaan teknik ini sudah umum dan sering
dikerjakan.1,2,5
Tahapan Anestesi Umum
Tahapan anestesi sangat penting untuk diketahui terutama dalam menentukan
tahapan terbaik untuk melakukan pembedahan, memelihara tahapan tersebut
sampai batas waktu tertentu, dan mencegah terjadinya kelebihan dosis anestetikum.
Tahapan anestesi dapat dibagi dalam beberapa langkah, yaitu: preanestesi, induksi,
pemeliharaan, dan pemulihan. Tahap pre-anestesi merupakan tahapan yang
dilakukan segera sebelum dilakukan anestesi, dimana data tentang pasien
dikumpulkan, pasien dipuasakan, serta dilakukan pemberian pre-anestetikum.
Induksi adalah proses dimana tahap sadar yang normal atau conscious menuju tahap
tidak sadar atau unconscious. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau
inhalasi. Apabila agen induksi diberikan secara injeksi maka akan diikuti dengan
intubasi endotracheal tube untuk pemberian anestetikum inhalasi atau gas
menggunakan mesin anestesi. Tahap induksi ditandai dengan gerakan tidak

13
terkoordinasi, gelisah dan diikuti dengan relaksasi yang cepat serta kehilangan
kesadaran. Idealnya, keadaan gelisah dan tidak tenang dihindarkan pada tahap
induksi, karena menyebabkan terjadinya aritmia jantung. Preanestesi dan induksi
anestesi dapat diberikan secara bersamaan, seperti pemberian acepromazin,
atropine, dan ketamine dicampur dalam satu alat suntik dan diberikan secara
intravena (IV) Selanjutnya akan memasuki tahap pemeliharaan status teranestesi.
Pada tahap pemeliharaan ini, status teranestesi akan terjaga selama masa tertentu
dan pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat dilakukan. Tahap
pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa sakit atau analgesia,
relaksasi otot rangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan hilangnya
reflekspalpebral, spingter ani longgar, serta respirasi dan kardiovaskuler tertekan
secara ringan. Begitu mulai memasuki tahap pemeliharaan, respirasi kembali teratur
dan gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan bergerak menuju
ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat ringan. Refleks
menelan sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah dimasukkan,
refleks palpebral mulai hilang, dan kesadaran mulai hilang. Anestesi semakin dalam
sehingga sangat nyata menekan sirkulasi dan respirasi. Denyut jantung sangan
rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan seluruh tekanan darah.
Nilai CRT akan meningkat menjadi 2 atau 3 detik. Semua refleks tertekan secara
total dan terjadi relaksasi otot secara sempurna serta refleks rahang bawah sangat
kendor. Apabila anestesi dilanjutkan lebih dalam, pasien akan menunjukkan
respirasi dan kardiovaskuler lebih tertekan dan pada keadaan dosis anestetikum
berlebih akan menyebabkan respirasi dan jantung berhenti. Dengan demikian, pada
tahap pemeliharaan sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan status
teranestesi terhadap sistim kardiovaskuler dan respirasi. Ketika tahap pemeliharaan
berakhir, pasien memasuki tahap pemulihan yang menunjukkan konsentrasi
anestetikum di dalam otak mulai menurun. Metode atau mekanisme bagaimana
anestetikum dikeluarkan dari otak dan sistem sirkulasi adalah bervariasi tergantung
pada anestetikum yang digunakan. Sebagian besar anestetikum injeksi dikeluarkan

14
dari darah melalui hati dan dimetabolisme oleh enzim di hati dan metabolitnya
dikeluarkan melalui sistem urinari.
1. Anestesi Umum Injeksi Intravena
Anestesi umum injeksi merupakan metode anestesi umum yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan agen anestesi langsung melalui muskulus atau
pembuluh darah vena. Anestesi injeksi biasanya digunakan untuk induksi dan dapat
juga digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Anestetika injeksi yang baik memiliki
sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak menimbulkan rasa nyeri pada saat
diinjeksikan, cepat diabsorsi, waktu induksi, durasi, dan masa pulih dari anestesi
berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks terapeutik tinggi, tidak
bersifat toksik, mempunyai pengaruh minimal terhadap organ tubuh terutama
saluran pernapasan dan kardiovaskular, cepat dimetabolisme, tidak bersifat
akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot, analgesik,
dan sudah diketahui antidotumnya.
a. Fentanil
Fentanil merupakan suatu opioid sintetik yang terkait dengan fenilpiperidin. Obat
ini merupakan agonis reseptor μ dan kira-kira 100 kali lebih kuat daripada morfin
sebagai analgesic. Fentanyl merupakan obat yang popular dalam praktik anestetik
karena waktu untuk mencapai puncak efek analgesiknya lebih pendek, efeknya
cepat berakhir setelah pemberian dosis kecil, dan stabilitas kardiovaskular relatif.
Obat ini paling umum diberikan secara intravena, juga biasa diberikan secara
epidural dan intratekal untuk penanggulangan nyeri pascaoperasi akut dan nyeri
kronis. Fentanyl jauh lebih larut lemak daripada morfin. Waktu untuk mencapai
puncak efek analgesic setelah pemberian fentanyl intravena lebih singkat daripada
morfin dengan puncak analgesia tercapai setelah sekitar 5 menit untuk pemberian
fentanyl dibandingkan dengan kurang lebih 15 menit pada morfin. Pemulihan dari
efek analgesic juga terjadi lebih cepat. Akan tetapi, dengan dosis yang lebih besar
atau infus yang diperlama, efek obat ini menjadi lebih bertahan lama, dengan durasi
kerja mirip dengan durasi kerja opioid kerja lama.

15
Penggunaan terapeutik
Fentanyl sitrat terkenal luas sebagai adjuvant anestetik. Obat ini umumnya
digunakan secara intravena, epidural atau intratekal. Suatu formulasi fentanyl
umum digunakan untuk anastesia. Penggunaan epidural fentanyl untuk analgesia
pascaoperasi atau persalinan semakin popular. Penggunaan fentanyl intravena
untuk nyeri pascaoperasi cukup efektif tetapi terbatas oleh kekhawatiran klinis
terhadap kekakuan otot. Akan tetapi, pemakaian fentanyl dan sufentanyl pada
penanganan nyeri kronis telah makin meluas. Infus epidural dan intratekal, baik
tanpa ataupun dengan anestetik local, digunakan dalam penanggulangan kronis
yang ganas dan nyeri tertentu yang tidak ganas.
Efek samping
Sistem saraf pusat, sebagaimana opioid μ lainnya, mual, muntah, dan gatal dapat
teramati setelah penggunaan fentanyl. Kekakuan otot, walaupun mungkin terjadi
setelah penggunaan semua narkotik, tampak lebih umum setelah pemberian bolus
fentanyl atau senyawa sejenisnya. Fentanyl memiliki efek minimal pada tekanan
intracranial bila ventilasi terkendali dan konsentrasi CO2 arteri tidak dibiarkan
meningkat.
Sistem kardiovaskular, fentanyl dan turunannya menurunkan denyut jantung dan
dapat sedikit menurunkan tekanan darah. Akan tetapi, obat ini tidak menyebabkan
pelepasan histamin dan secara umum memberikan tingkat stabilitas jantung yang
nyata. Efek depresan langsungnya pada otot jantung kecil. Dengan alasan ini,
fentanyl atau sufentanyl dosis tinggi umumnya digunakan sebagai anestetik utama
untuk pasien yang menjalani pembedahan kardiovaskular atau untuk pasien dengan
fungsi jantung yang lemah.
b. Propofol
Propofol adalah anestetik parenteral yang paling umum digunakan. Propofol pada
dasarnya tidak larut dalam larutan berair, dan diformulasikan hanya untuk
pemberian intravena intravena sebagai emulsi 1% (10 mg/ml) dalam minyak
kedelai 10%, gliserol 2,25% dan fosfolipid telur yang dimurnikan 1,2%. Onset dan
durasi anestesia setelah pemberian bolus tunggal mirip dengan thiopental. Namun,

16
pemulihan setelah pemberian dosis berulang atau infus ternyata jauh lebih cepat
setelah pemberian propofol dibandingkan setelah thiopental atau bahkan
metoheksital. Propofol dimetabolisme terutama di hati menjadi metabolit yang
kurang aktif yang diekskresikan melalui ginjal.
Penggunaan klinis
Dosis induksi propofol pada orang dewasa sehat adalah 1,5 – 2,5 mg/kg. Propofol
memiliki onset dan durasi anestesia yang sama dengan thiopental. Seperti pada
barbiturate, dosis harus dikurangi pada pasien lanjut usia dan jika ada sedative lain,
serta ditingkatkan pada anak-anak kecil. Propofol sering digunakan untuk
mempertahankan anestesia dan juga induksi. Untuk prosedur singkat, bolus kecil
(10% sampai 50% dosis induksi) yang diberikan setiap 5 menit, atau jika
diperlukan, akan efektif. Propofol menimbulkan nyeri pada waktu disuntikkan,
yang dapat dikurangi dengan lidokain serta penyuntikan di vena pada lengan yang
lebih besar dan vena antecubital.
Efek samping
Sistem saraf, efek propofol terhadap system saraf pusat sama dengan efek
barbiturate. Propofol menurunkan CMRo2, aliran darah serebral, serta tekanan
intracranial dan intraocular, dengan jumlah yang kira-kira sama dengan thiopental.
Seperti thiopental, propofol telah digunakan pada pasien yang mengalami risiko
iskemia serebral, namun belum ada hasil penelitian pada manusia yang telah
dilakukan untuk menentukan efikasi propofol sebagai neuroprotektan.
Sistem kardiovaskular, propofol menghasilkan penurunan tekanan darah yang
tergantung dosis yang secara signifikan lebih besar daripada yang dihasilkan oleh
thiopental. Turunnya tekanan darah dapat dijelaskan dengan vasodilatasi maupun
depresi ringan kontraktilitas otot jantung.
Pernapasan dan efek samping lain, pada dosis ekui-anestetik, propofol
menghasilkan tingkat depresi pernapasan yang sedikit lebih besar daripada
thiopental. Pasien yang diberi propofol harus dipantau untuk memastikan
oksigenasi dan ventilasi yang memadai. Kemungkinan propofol tampaknya sedikit
memicu bronkospasme daripada barbiturate. Obat ini tidak memiliki efek yang

17
bermakna secara klinis pada system hati, ginjal, atau organ endokrin. Tidak seperti
thiopental, propofol tampaknya memiliki kerja antiemetic yang bermakna dan
merupakan pilihan yang baik untuk sedasi atau anestesia pada pasien yang berisiko
tinggi mengalami mual dan muntah. Propofol memicu rekasi anafilaktoid dan
pelepasan histamin dengan frekuensi yang kira-kira sama rendahnya dengan
thiopental. Walaupun propofol dapat melintasi membrane plasenta, obat ini
dianggap aman untuk digunakan pada pasien hamil dan menekan aktivitas bayi baru
lahir secara singkat dengan cara yang sama seperti thiopental.
c. Atracurium
Atracurium besilat merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif
baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopeltalum. Mulai kerjanya 2-3 menit setelah pemberian dan masa
kerjanya 15 - 35 menit. Dosis dan cara pemberiannya adalah:
1) Untuk intubasi pipa-endotrakhea, 0,5 – 0,6 mg/kgBB, diberikan secara
intravena.
2) Untuk relaksasi otot pada saat pembedahan, dosisnya 0,5 – 0,6 mg/kgBB,
diberikan secara intravena.
Indikasi obat pelumpuh otot non depolarisasi:
1) Untuk fasilitasi intubasi
2) Relaksasi lapangan operasi
3) Spasme laring
4) Kontrol napas
5) Mencegah fasikulasi
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot adalah cegukan (hiccup), dinding
perut kaku dan ada tahanan pada inflasi paru. Penawar pelumpuh otot atau
antikolinesterase yang sering digunakan adalah neostigmin (prostigmin) dan
edrophonium. Diberikan secara bertahap mulai dosis 0.5 mg intravena, selanjutnya
dapat diulang sampai dosis total 5 mg. Neostigmin diberikan bersama-sama dengan
sulfas atrropin dengan dosis 1-1,5 mg. Pada keadaan tertentu misalnya: takikardi,
atau demam, pemberian sulfas atropin dipisahkan dan diberikan setelah prostigmin.

18
2. Anestesi Umum Inhalasi
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang
dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme
kerja anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan
misteri, karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ
sasaran yang jauh adalah suatu hal yang unik. Hiperventilasi akan menaikkan
ambilan anestetikum dalam alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan
alveolus. Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting
dalam menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan pemulihan
akan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat yang larut.
Kadar alveolus minimal atau minimum alveolar concentration (MAC) adalah kadar
minimal zat anestesi dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yang diperlukan
untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan rangsangan insisi
standar. Immobilisasi tercapai pada 95% pasien apabila kadar anestetikum
dinaikkan di atas 30% nilai MAC. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial
anestetikum dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat
kerja anestetikum
Isoflurane
Isofluran merupakan salah satu senyawa berbentuk cairan yang mudah menguap
pada suhu kamar dan tidak mudah terbakar ataupun eksplosif dalam campuran
udara atau oksigen
Penggunaan klinis
Isoflurane merupakan anestetik inhalasi yang paling umum digunakan di Amerika
Serikat. Induksi dapat tercapai dalam waktu kurang dari 10 menit dengan
konsentrasi isoflurane yang terhirup adalah 3% dalam oksigen; konsentrasi ini
berkurang menjadi 1,5% sampai 2,5% untuk mempertahankan anestesia.
Penggunaan obat lain seperti opioid atau dinitrogen monoksida mengurangi
konsentrasi isoflurane yang dibutuhkan untuk anestesia bedah.

19
Efek samping.
Sistem kardiovaskular, isofluran menghasilkan penurunan tekanan darah arteri
yang tergantung konsentrasi, tidak seperti halotan, curah jantung terpelihara baik
dengan isofluran, dan hipotensi diakibatkan oleh penurunan resistensi vascular
sistemik. Isofluran menghasilkan vasodilatasi pada kebanyakan jaringan pembuluh
darah, dengan efek yang sangat jelas terutama pada kulit dan otot. Pasien yang
dianestesi dengan isofluran umumnya mengalami sedikit peningkatan frekuensi
jantung, dan perubahan konsentrasi isofluran yang cepat dapat menimbulkan
takikardia dan hipertensi yang singkat. Ini diakibatkan oleh stimulasi simpatik
lansgung yang diinduksi oleh isofluran.
Sistem pernapasan, isofluran menghasilkan penekanan ventilasi yang tergantung-
konsentrasi. Pasien yang menghirup isofluran secara spontan memiliki laju respirasi
yang normal tetapi volume tidal menurun, sehingga terjadi pengurangan ventilasi
alveolar secara nyata dan peningkatan karbondioksida arteri. Isofluran terutama
efektif mendepresi respons dan hipoksia. Walaupun isofluran merupakan
bronkodilator yang efektif, senyawa ini juga merupakan iritan saluran napas dan
dapat merangsang refleks-refleks saluran napas selama induksi anestesia,
menyebabkan batuk dan laringospasme.
Sistem saraf, isofluran, seperti halotan, mendilatasi pembuluh darah serebral,
menghasilkan peningkatan aliran darah serebral dan resiko peningkatan tekanan
intracranial. Isofluran juga mengurangi pemakaian oksigen metabolic serebral.
Isofluran lebih sedikit menyebabkan vasodilatasi serebral dibandingkan enflurane
atau halotan, sehingga lebih disukai untuk prosedur bedah saraf. Sedikit efek
isofluran pada aliran darah serebral dapat mudah dipulihkan dengan hiperventilasi.
Otot, Isofluran menghasilkan relaksasi otot rangka melalui efek sentralnya.
Senyawa ini juga meningkatkan efek relaksan otot yang mendepolarisasi maupun
yang tidak mendepolarisasi senyawa bloker neuromuscular. Isofluran, seperti
anestetik inhalasi berhalogen lain, merelaksasi otot polos uterus dan tidak
dianjurkan untuk analgesia atau anestesia pada persalinan dan pelahiran melalui
vagina.

20
Ginjal, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan GFR. Ini menghasilkan
sedikit volume urin pekat. Perubahan fungsi ginjal yang teramati selama anestesia
dengan isofluran akan pulih dengan cepat, dan tidak ada efek lanjutan atau toksisitas
jangka panjang pada ginjal yang ada hubungannya dengan isofluran.
Hati dan Saluran Gastrointestinal, aliran darah organ visera dan hepatic
berkurang dengan meningkatnya dosis isofluran, karena tekanan arteri sistemik
menurun. Uji fungsi hati hanya sedikit dipengaruhi oleh isofluran dan tidak ada
penjelasan insiden toksisitas hepatic akibat isofluran.

21
BAB III
DISKUSI

Pasien pria berusia 10 tahun dengan diagnosis vulnus ictum + corpus alineum
regio maxilla sinistra. Berdasarkan status fisik menurut American Society of
Anesthesiology (ASA), pasien termasuk ASA IIE. ASA IIE merupakan pasien
penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dan
tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat. Pada pasien ini didapatkan
adanya leukositosis, namun tidak terdapat keterbatasan/masalah fisik yang
mengganggu aktivitas pasien. Pasien direncanakan akan dilakukan pro ekstraksi
corpus alineum. Pemilihan jenis anestesi yang dilakukan oleh pasien ini adalah
anestesi umum. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti mengenai
lokasi pembedahan, dan diharapkan obat anestesi umum menginduksi hilangnya
kesadaran dengan cepat dan juga cepat dalam pemulihannya dengan tetap
mempertahankan fungsi sistem saraf. Anestesi umum merupakan tindakan untuk
menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan
bersifat reversible. Anestesi umum dibagi menjadi tiga teknik yaitu teknik anestesi
total intravena, anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan
inhalasi yang sering disebut balance anestesia. Pada pasien ini menggunakan teknik
kombinasi atau balance anesthesia (TIVA + inhalasi). Teknik kombinasi ini
didasarkan karena tidak ada obat anestesi umum tunggal yang sempurna, maka pada
praktiknya obat anestesi sering diberikan berupa kombinasi.
Tahapan anestesi umum dapat dibagi dalam beberapa langkah, yaitu: pre-
anestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan. Pada tahap pre-anestesi merupakan
tahapan yang dilakukan sebelum dilakukan anestesi meliputi dimana data pasien
dikumpulkan, pasien dipuasakan, serta dilakukan pemberian pre-anestetikum. Pada
pasien ini dilakukan pengumpulan data pasien, dan karena merupakan suatu
tindakan pembedahan gawat darurat, maka puasa tidak perlu dilakukan oleh pasien.
Tahap induksi adalah proses dimana tahap sadar yang normal atau conscious
menuju tahap tidak sadar atau unconscious. Agen induksi dapat diberikan secara
injeksi atau inhalasi. Agen induksi yang biasa diberikan adalah propofol (dosis: 1,5

22
– 2,5 mg/kg), thiopental, ketamin. Agen induksi yang diberikan pada pasien ini
adalah Propofol 50 mg IV. Propofol adalah anestetik parenteral yang paling umum
digunakan. Onset dan durasi anestesia setelah pemberian bolus tunggal mirip
dengan thiopental. Namun, pemulihan setelah pemberian dosis berulang atau infus
ternyata jauh lebih cepat setelah pemberian propofol dibandingkan setelah
thiopental atau bahkan metoheksital. Propofol dapat digunakan untuk induksi
maupun pemeliharaan anestesi pada teknik anestesia intravena total maupun
anestesia imbang. Selain itu pasien juga diberikan Fentanyl 50 mcg IV. Fentanil
merupakan suatu opioid sintetik yang terkait dengan fenilpiperidin. Obat ini
merupakan agonis reseptor μ dan kira-kira 100 kali lebih kuat daripada morfin
sebagai analgesic. Fentanyl merupakan obat yang popular dalam praktik anestetik
karena waktu untuk mencapai puncak efek analgesiknya lebih pendek, efeknya
cepat berakhir setelah pemberian dosis kecil, dan stabilitas kardiovaskular relatif.
Pasien juga diberikan Atracurium 10 mg IV. Atracurium merupakan obat pelumpuh
otot non depolarisasi dengan lama kerja menengah (20-45 menit) yang bekerja
dengan cara berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik menyebabkan
asetilkolin tidak dapat bekerja sehingga tidak menyebabkan depolarisasi.
Setelah dilakukan anestesi melalui intravena, dilakukan intubasi pasien dengan
menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) berukuran diameter 2 ½. Pemilihan
ukuran LMA berdasarkan berat badan pasien (23 kg). Setelah diintubasi, pasien
diberikan anestesi secara inhalasi. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu
metode anestesi umum yang dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke
udara inspirasi. Agen anestesi inhalasi yang biasa digunakan adalah isoflurane dan
sevoflurane. Pada pasien ini menggunakan agen inhalasi isoflurane 1%. Isofluran
merupakan anestesi inhalasi yang paling poten dalam meningkatkan efek pelumpuh
otot, antara lain dengan cara peningkatan aliran darah ke otot akibat vasodilatasi
yang mengakibatkan peningkatan fraksi pelumpuh otot yang mencapai hubungan
neuromuskuler, serta menurunkan sensitivitas membran post sinaps terhadap
depolarisasi.

23
Tahap pemulihan pada pasien ini diberikan pemulihan tonus otot rangka
akibat pelumpuh otot non depolarisasi. Pemulihan dapat berlangsung secara
spontan setelah masa kerja obat berakhir. Namun untuk mempercepat
pemulihannya perlu diberikan obat anti-kolinesterase yaitu neostigmin (dosis 0,5
mg) atau prostigmin. Pada pasien ini diberikan kombinasi neostigmine

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Barash, Paul G., Bruce F. Cullen, Robert K. Stoelting, Mikhael K.Cahalanand,


dan M. Christine Stock. Clinical Anestesia Sixth Edition.Wolters Kluwer:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Buku Petunjuk Praktis Anestesiologi Jilid
II. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. Hal 112-16.
3. Brunton LL, Parker KL. Inhalational anesthetics. Dalam: Lazo JS, penyunting.
Goodman & Gilman’s, Manual of pharmacology and therapeutics. Edisi ke- 11.
McGraw Hill,Inc; 2008. hlm. 232–9.
4. Liu SS, Strodtbeck WM, Richman JM, Wu CL. A comparison of regional versus
general anesthesia for ambulatory anesthesia: a meta-analysis of randomized
controlled trials. Anesth Analg. 2005; 101 (6):1636–42.
5. Buchh V, Saleem B, Reshi F, AM H, Gurcoo S, Shora A. A comparison of total
intravenous anesthesia (TIVA) to conventional general anesthesia for day care
surgery. Internet J Anesthesiol, 2009. 22 (1):1–6.
6. White PF, Romero G. Intravenous anesthetics. Dalam: Barash PG, Cullen BF,
Stoelting RK, penyunting. Clinical anesthesia. Edisi ke-6. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009. Hal..451–3.
7. Goodman & Gilman. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G.
Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Jakarta: EGC; 2012

25

Anda mungkin juga menyukai