15
bertemu pada organ limfoid periferal yaitu pada lymph node, spleen,
dan jaringan limfoid mukosa. Pada organ limfoid periferal inilah
sebenarnya dimulainya imunitas adaptif. Pada organ limfoid periferal
sel-sel tertentu yang dikenal dengan nama antigen presenting cell (APC)
seperti makrofag, sel dendritik, dan sel B akan mempresentasikan
antigen dalam bentuk peptida. Peptida dipresentasikan pada
permukaan APC dalam keadaan terikat oleh MHC. Limposit
mengenali antigen yang terikat oleh MHC itu.
16
menumpuk pada jaringan dan tidak segera memasuki pembuluh
limfa, akan menimbulkan kebengkaan jaringan yang dikenal dengan
istilah adema. Lymph akan dibawa masuk ke jaringan lymph node
melalui sistem limfa. Lymph masuk ke organ lymph node melalui
pembuluh limfa afferent. Cairan lymph tersebut membawa antigen
dari jaringan yang terinfeksi dan juga APC yang telah membawa
berbagai macam antigen. Lymph juga berperan membawa kembali
limfosit ke luar dari lymph node ke dalam sirkulasi darah. Di dalam
organ lymph node sel B menempati daerah folikel, sedangkan sel T
menempati terutama daerah parakortikal. Folikel sel B meliputi
daerah yang disebut germinal center. Pada germinal center inilah sel B
mengalami proliferasi setelah menerima signal dari sel T.
LYMPH NODE
pembuluh limfa
efferent
germinal center
senescent
germinal center sinus marginal
17
menunjukkan froliferasi sel B yang sangat cepat yang terjadi pada pusat
germinal (germinal center) yang disebut folikel limfoid sekunder. Reaksi ini
sangat menyolok namun akhirnya terhenti sebagai germinal center senescent. Cairan
ekstraselluler mengiring antigen yang dibawa sel dendritik maupun makrofag
dari jaringan memasuki pembuluh limfa dan masuk menuju lymph node melalui
pembuluh limfatik afferent. Cairan lymph meninggalkan lymph node melalui
pembuluh limfatik efferent. Limfosit naive memasuki lymph node dari aliran
darah melalui venula postcapilary yang khusus dan meninggalkannya melalui
pembuluh limfatik efferent (sumber: Janeway, 2001)
adenoid
tonsil
saluran thoracic
ginjal spleen / limfa
Peyer’s patch pada usus kecil
appendix
usus besar
18
tempat terjadinya aktivasi limfosit oleh antigen. Limfosit keluar-masuk
pembuluh darah dan organ ini sampai menemukan antigen. Pembuluh limfa
menarik cairan ekstraselluler dari jaringan periferal melalui lymph node dan
masuk pada thoracic duct (duktus thoracic), dan mencurahkan cairan yang
dibawa itu masuk dalam vena subclavian kiri. Cairan yang berasal dari
ekstraselluler itu disebut lymph, yang membawa antigen menuju lymph node
dan membawa kembali limfosit dari lymph node menuju ke sirkulasi darah.
Jaringan limfoid juga berasosiasi dengan mukosa contohnya yang terletak
sepanjang saruran bronkus pada paru.
trabekula arteri
IRISAN TRANSVERSAL PULPA PUTIH IRISAN LONGITUDINAL PULPA PUTIH
zona marginal
corona sel B
germinal center
PALS
(sebagian besar sel T)
arteriola center
sinus marginal
pulpa merah
19
Gambar 15. Organisasi jaringan limfoid, spleen. Spleen (limfa) terdiri dari
bagian yang disebut pulpa merah. Pada tempat ini terjadi penghancuran sel
darah merah yang sudah tua. Pulpa merah berselang-seling dengan pulpa putih.
Limfosit dan sel dendritik yang membawa antigen datang bersama pada
periarteriolar sheath. Pada setiap pulpa putih, darah yang membawa limfosit
dan antigen mengalir dari arteri trabekula masuk ke arteri sentral. Sel dan
antigen kemudian masuk ke dalam sinus dan berlanjut menuju vena trabekula.
Sinus marginal dikelilingi oleh zona marginal limfosit. Di dalam sinus marginal
dan di sekeliling arteri sentral terdapat periarteriolar lymphoid sheath (PALS),
yang tersusun oleh sel T. Folikel didominasi oleh sel B, pada folikel sekunder
germinal senter dikelilingi oleh korona sel B. Meskipun susunan spleen dan
lymph node mempunyai persamaan, namun antigen yang masuk ke spleen
lebih banyak berasal dari darah daripada dari cairan ekstraselluler (lymph).
keberhasilan
seleksi sel T regulator
aviditas
terabaikan seleksi positif seleksi negatif
20
Gut-Associated Limfoid Tissue (GALT).
GALT adalah organ limfoid mencakup adenoid, tonsils,
appendix, dan Peyer’s patches pada usus halus. GALT ini mempunyai
tugas mengumpulkan antigen yang berasal dari daerah pencernakan.
Payer’s patches merupakan GALT yang paling besar peranannya.
Pada Payer’s patches, antigen dikumpulkan oleh sel epitel khusus
yang disebut multi-fenestrated atau sel M. Limfosit membentuk folikel
tersusun atas sel B yang sangat rapat yang dikelilingi oleh sedikit sel
T. Lymph node, spleen, dan limfoid mukosa merupakan organ yang
berbeda namun semua organ ini memiliki tugas yang sama. Semua
organ tersebut mempunyai tugas mengumpulkan antigen dari daerah
infeksi yang selanjutnya akan dikenali oleh sel-sel limfosit untuk
dimulainya simtem imunitas adaptif. Organ limfoid periferal juga
mempunyai peran memberikan signal transduksi kepada limfosit yang
tidak menemukan antigen agar tetap hidup. Limfosit-limfosit yang
belum menemukan antigen itu akan mengadakan sirkulasi ke dalam
peredaran darah sampai menemukan antigen yang spesifik.
Pemberian signal transduksi terutama oleh sel-sel stroma dalam organ
limfoid ini sangat penting untuk mengatur jumlah sel T dan sel B
yang bersirkulasi dalam darah. Untuk diketahui bahwa sel-sel tetap
hidup karena ada signal dari lingkungannya yang memintanya untuk
hidup. Begitu sel tersebut tidak memperoleh signal untuk tetap hidup
dari lingkungannya, sel-sel tersebut akan segera mati dengan proses
alamiah yang disebut apoptosis. Dengan demikian signal transduksi
dari jaringan limfoid akan memberikan peluang untuk
mempertahankan limfosit yang punya potensial merespon antigen
asing. Limfosit bersirkulasi pada darah dan cairan lymph. Sel B dan
sel T yang telah masak pada sumsum tulang dan timus disebut
limfosit naive, sebelum sel-sel tersebut terpapar antigen. Sel-sel naive
akan terus bersirkulasi dari darah ke jaringan limfoid periferal sampai
menemukan antigen. Sel-sel naive memasuki jaringan limfoid periferal
dengan menyelinap dan menembus di antara sel-sel yang menyusun
pembuluh kapiler. Sel-sel tersebut memasuki peredaran darah kembali
melalui pembuluh limfa, kecuali pada spleen sel-sel tersebut langsung
memasuki darah kembali. Ketika limfosit menemukan agen
penginfeksi pada jaringan limfoid maka sel-sel tersebut akan tetap
tinggal pada jaringan limfoid dan mengadakan proliferasi dan
diferensiasi menjadi sel yang disebut sel efektor. Sel-sel efektor
21
mempunyai kemampuan untuk melawan antigen. Ketika terjadi
infeksi di daerah periferal, maka sel dendritik segera menangkap
antigen tersebut dan membawanya dari tempat infeksi ke draining
lymph node melalui pembuluh limfatik afferent. Pada lymph node sel
dendritik akan mempresentasikan antigen yang ditangkap dalam
bentuk peptida ke sel T yang bersirkulasi di daerah tersebut. Sel
dendritik juga memproduksi sitokin untuk membantu aktivasi sel T.
Sel B yang berhasil menangkap antigen sebagaimana APC yang lain
juga berhenti dan menjadi aktif dengan bantuan sel T. Sel-sel limfosit
yang telah mengalami aktivasi dan diferensiasi akibat adanya antigen,
segera meninggalkan lymph node lewat pembuluh limfatik efferent
dalam bentuk sel aktif yang disebut sel efektor. Jaringan limfoid
periferal merupakan jaringan yang labil karena selalu terlibat dalam
respon imunitas adaptif. Sebagai contoh, bentuk serta struktur lymph
node selalu berubah sesuai dengan kepentingan. Pada saat ada infeksi
akan terlihat bahwa folikel untuk produksi sel B semakin banyak,
demikian juga bentuknya akan menjadi besar, mengalami
pembengkakan karena terjadi proliferasi sel B yang berlebihan.
Sebaliknya jika tidak ada infeksi maka lymph node akan kembali
mengecil dalam bentuk normal.
lumen usus
epetelium
(sel M)
dome
folikel
(area sel B)
dinding usus
22
Beta Mikroglobulin.
α2 α1
α3 β2 mikroglobulin
membran sel
23
Suatu hal yang sangat menarik adalah adanya bukti bahwa
perkembangan sel T CD8 sangat tergantung adanya molekul β2
mikroglobulin. Positive selection CD8 sesungguhnya tidak mensyaratkan
adanya gen yang menyandi β2 mikroglobulin pada sel yang sedang
berkembang. Perkembangan sel T CD8 hanya mensyaratkan adanya
molekul β2 mikroglobulin pada lingkungannya. Bukti ini sangat jelas
ketika Rifa’i et.all, melakukan transfer sumsum tulang mencit β2-/-
pada mencit normal yang diradiasi pada dosis letal. Hasil transplantasi
yang diamati setelah tiga bulan menunjukkan bahwa CD8
berkembang dari mencit β2-/- sebagaimana mencit normal. Hal ini
menunjukkan bahwa prekursor sel T yang mengarah pada
pematangan dapat memperoleh self-antigen yang dipreresentasikan
oleh sel epitel timus pada resipien. Dari fakta ini jelaslah sekarang
bahwa β2 mikroglobulin bukanlah faktor survival untuk sel T dan
sekaligus membantah pendapat yang meyakini gen penyandi β2
mikroglobulin terkait langsung pada keberhasilan proliferasi maupun
perkembangan sel T CD8.
Pada pelaksanaan transplantasi sumsusm tulang pada mencit,
radiasi dosis letal adalah sekitar 800-900 Rad. Radiasi dosis letal
bertujuan untuk menghapus semua prekursor darah yang ada pada
resipien. Prekursor darah yang berupa sel punca/stem cells
mempunyai kepekaan yang relatif tinggi terhadap radiasi. Di samping
itu radiasi dosis letal juga mendeplesi sel-sel darah putih yang telah
masak. Mencit yang telah menerima radiasi dosis letal dan tidak
segera menerima transfusi sumsum tulang akan segera mati sekitar
satu minggu setelah radiasi. Transplantasi sumsum tulang pada
mencit congeneic tidak menyebabkan penolakan setelah adanya
radiasi dosis letal. Keberhasilan donor dalam melakukan rekonstitusi
dapat diperiksa setiap saat dengan mengambil darah periferal dan
dianalisis dengan flow cytometry. Pelaksanaan cangkok sumsum
tulang pada setting alogenik dikatakan berhasil apabila donor dapat
merekonstitusi hematopoietik resipien hingga mencapai lebih dari
~95%. Sekitar ~5% sel hematopoietik resipien kebal terhadap radiasi
yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan.
24
Sisa sel resipien sebanyak ~5% merupakan pangkal terjadinya
masalah pada kasus transplantasi sumsum tulang alogenik, karena
sekitar ~5% sel resipien yang kebal terhadap radiasi kebanyakan
berupa limfosit T. Limfosit B secara keseluruhan telah tergantikan
dari perkembangan sel donor sehingga dapat dikatakan bahwa sentral
masalah pada kasus transplantasi sumsum tulang alogenik terletak
pada sel T. Sel resipien yang mengenali sel donor pada akhirnya
mengalami aktivasi dan secara kontinyu melakukan proliferasi
sehingga pada umumnya pada akhirnya sel resipien terus meningkat
jumlahnya dan melakukan penolakan pada donor. Ketika di dalam
tubuh suatu individu terjadi persaingan antara sel donor dan sel
resipien, aktivasi terjadi pada keduanya sehingga sel-sel tersebut akan
memproduksi sitokin yang berlebihan. Sitokin yang tidak terkontrol
pada akhirnya mengganggu homeostasis dan menyebabkan kegagalan
organ. Gagal organ yang terjadi tidak semata-mata hanya disebabkan
ledakan sitokin tetapi juga oleh serangan langsung dan kontak antar
sel yang bertujuan saling mengeliminasi karena satu sama lain
merupakan antigen. Sel T CD8 mempunyai kemampuan killing pada
target yang dikenali sebagai antigen, demikian juga sel natural killer,
NK. Sel T dari populasi CD4 juga mempunyai sumbangan yang besar
pada setiap reaksi imunitas yang melibatkan antigen asing. Sel T CD4
mempunyai potensi menghasilkan sitokin yang mampu memacu
aktivasi sel-sel yang lain.
Paradigma terdahulu meyakini bahwa terjadinya kasus
penolakan donor oleh resipien khususnya pada transplantasi sumsum
tulang alogenik disebabkan karena adanya sel masak yang terdapat
pada sumsum tulang donor. Dengan kata lain terjadinya penolakan
karena adanya kontaminasi sel T yang telah masak pada donor yang
ditransplantasikan. Sel masak itu hanya dikhususkan pada sel T,
sehingga sel T saat ini menjadi pusat kajian pada pelaksanaan
transplantasi. Menurut paradigma itu sel T yang telah masak dari
donor tidak akan melewati seleksi pada timus resipien sehingga tidak
tolerance terhadap sel-sel resipien. Seluruh sel resipien yang mempunyai
inti akan mempresentasikan self antigen pada MHC kelas I.
Presentasi self antigen ini menjadi target serangan sel T CD8 dari
donor yang tidak terdidik pada timus resipien . Dapat dibayangkan
bahwa sel T yang teraktivasi akan mengalami proliferasi yang cepat
25
dan sekaligus mensekresikan molekul-molekul efektor sehingga pada
akhirnya akan terjadi kerusakan tingkat jaringan dan diikuti tingkat
organ. Pada saat sel T CD8 melakukan penghancuran pada sasaran-
sasaran yang dianggap asing akan menyebabkan inflamasi sistemik.
Inflamasi sistemik ini menambah kerusakan semakin luas termasuk
menimbulkan aktivasi sel B nonspesifik. Makrofag yang berkembang
dari donor pada awalnya merupakan sel toleran yang bekerja pada
kisaran homeostasis. Adanya kerusakan level sel dan jaringan yang
makin besar juga menimbulkan aktivasi sel-sel makrofag karena sel-
sel tersebut menelan sisa-sisa kerusakan sel. Fagositosis oleh
makrofag menyebabkan makrofag mempresentasikan antigen asing
yang dikenali oleh sel T populasi CD4. Aktivasi sel T CD4
menimbulkan respon imun semakin besar. Sel T populasi CD4
mempunyai potensi yang sangat besar memproduksi IL-2. IL-2
merupakan interleukin yang sangat berpengaruh pada peningkatan
proliferasi. IL-2 tidak saja dimanfaatkan oleh sel T CD4 namun juga
sel T CD8 dan sel B. Sel T CD8 mempunyai afinitas yang sangat
tinggi terhadap IL-2 dan bahkan lebih tinggi dibandingkan afinitas
CD4 dalam pemanfaatan IL-2, sehingga CD8 berkembang dengan
sangat cepat dan terus menerus memproduksi sitokin termasuk faktor
proinflamasi seperti TNFα dan INFγ. Ketika semua sel
hematopoietik mengalami aktivasi, kerusakan organ nampak makin
jelas sebanding dengan waktu. Pada awal transplantasi alogenik
umumnya resipien nampak sehat karena sistem dikendalikan oleh
donor, namun ketika minor MHC pada resipien mulai dikenali sel T
donor, aktivasi sel T donor akan terjadi.
Pada manusia pelaksanaan transplantasi tidak lepas dengan
penggunaan obat-obat imunosupresor. Penggunaan imunosupresor
dapat melindungi kejadian rijeksi dan graft versus host diseases (GVHD),
namun juga dapat merugikan resipien, karena resipien kehilangan
imunitas melawan infeksi maupun tumor. Seperti diketahui bahwa
setiap saat sel tubuh kita mengalami mutasi level sel yang selalu
dikontrol oleh limfosit T dari populasi CD8 maupun sel NK. Pada
kejadian infeksi sel T CD4 dengan cepat merespon antigen yang telah
dipresentasikan MHC kelas II. Respon sel T CD4 terhadap antigen
bersifat spesifik, artinya hanya klon tertentu yang dapat merespon
26
antigen itu. Respon sel T CD4 ini ditandai dengan adanya proliferasi
dan pelepasan molekul-molekul efektor.
27
kehilangan klon tertentu. Sering dikaitkan bahwa kejadian
autoimun disebabkan klon sel T regulator tidak lengkap. Dengan
kata lain bahwa sel T regulator mempunyai klon yang besar
diversitasnya, manakala salah satu klon absen dari individu, maka
jika terjadi reaktivitas suatu sel imun tidak ada yang kompeten
untuk melakukan supresi. Supresi in vivo sebenarnya tidak
mengharuskan satu klon sel regulator mensupresi sel reaktif
tertentu secara spesifik, karena ketika sel regulator telah aktif akan
memproduksi molekul efektor yang efeknya tidak spesifik, artinya
molekul efektor itu dapat melakukan supresi ke seluruh sel yang
mengalami aktivasi. Apabila klon sel T regulator tertentu absen
dari suatu individu, individu tersebut tidak mempunyai sistem yang
dapat mengawali kejadian supresi sehingga sel reaktif terus
teraktivasi walaupun jumlah sel regulator cukup memadai.
28
menunjukkan keberhasilan transplantasi, dimana sekitar ~90% sel
hematopoietik berasal dari donor β2 mikroglobulin knockout (β2-/-). Donor
dan resipien dapat dibedakan dengan marker CD45.1. Pada eksperimen ini
donor tidak mengekspresikan molekul CD45.1 sehingga disebut CD45.1-,
sedangkan resipien mengekspresikan molekul CD45.1 sehingga disebut
CD45.1+. Panel bawah sebelah kiri merupakan analisis sel T dari mencit β2
mikroglobulin knockout (CD45.1-). Pada analisis sel T dari populasi CD4 dan
CD8 terlihat bahwa profile sel T tampak normal seperti profile mencit alami
tanpa manipulasi dan rekayasa. Pada panel bawah sebelah kanan merupakan
analisis sel T dari resipien. Resipien berupa mencit normal C57BL/6
(CD45.1+). Pada gambar ini ditunjukkan bahwa resipien yang diradiasi masih
menyisakan sel-sel hematopoietik yang kebanyakan berupa sel T, sedangkan sel
B menunjukkan minoritas dalam jumlah. Pada eksperimen ini dilakukan
pelabelan antibodi monoklonal dengan tiga macam warna yakni CD4-FITC,
CD8-PE, dan CD45.1-Biotin. Pada gambar ini setiap titik pada panel
menunjukkan satu sel yang terdeteksi oleh mesin Flow Cytometry. Analisis
dilakukan dengan menggunakan software CELLQUEST. Gambar ini mewakili
lebih dari 10 kali eksperimen.
Sel T Teraktivasi.
29
Tanda-tanda sel teraktivasi khususnya pada limfosit T juga dapat
diamati dengan melihat ekspresi CD69. Molekul CD69 merupakan
protein yang disintesis sekitar dua jam setelah terjadi aktivasi sehingga
menculnya molekul ini pada permukaan sel dianggap gejala awal
terjadinya aktivasi.
30
/-
aktivasi disebabkan oleh antigen yang belum diketahui. Aktivasi sel-
sel hematopoietik pada mencit IL-2Rβ-/- diduga karena hilangnya sel
T regulator CD4+CD25+. IL-2Rβ adalah salah salah satu molekul
sebagai komponen penyusun reseptor IL-2 dan lebih dikenal dengan
nama lain CD122. Knockout gen pada IL-2Rβ sesungguhnya
ditujukan pada molekul CD122, namun efeknya berimbas pada
perkembangan sel T regulator CD4+CD25+. Knockout gen pada IL-
2Rβ menyebabkan mencit kehilangan sel T regulator. Secara teoritis
CD25 seharusnya tidak hilang ketika dilakukan knockout gen CD122,
namun kenyataannya hilangnya ekspresi CD122 karena rekayasa
genetika menyebabkan CD25 hilang dari jaringan limfoid periferal.
Satu hal yang bisa menerangkan hilangnya sel T regulator pada mencit
IL-2Rβ-/- adalah kenyataan bahwa mencit IL-2Rβ-/- mempunyai
kesehatan yang sangat buruk sehingga timus tidak berkembang.
Gangguan pada perkembangan timus ini diduga menjadi penyebab
utama hilangnya ekspresi CD25 sebagai marker sel T regulator.
Banyak percobaan yang berhasil membuktikan bahwa timus
merupakan tempat terbentuknya sel T regulator CD4+CD25+ yang
sering disebut professional regulatory T cells atau natural occuring regulatory T
cell. Gangguan perkembangan timus pada mencit IL-2Rβ-/- diduga
karena hilangnya homeostasis pada mencit tersebut. Gangguan
homeostasis ini banyak disebabkan karena sel-sel teraktivasi pada
mencit IL-2Rβ-/- terus terakumulasi karena kebal terhadap mekanisme
apoptosis. Pada umumnya sel-sel efektor yang teraktivasi akan segera
mengalami eliminasi dengan mekanisme apoptosis baik terjadi karena
ikatan Fas:FasLigan maupun dengan bantuan sel T regulator dengan
mekanisme starvasi yaitu membatasi ketersediaan triptofan pada
lingkungan tempat homing sel efektor.
Satu hal yang sangat menarik ternyata knockout gen CD122
ternyata benar-benar mempengaruhi ekspresi CD25 baik ada maupun
tidaknya organ timus. Bukti ini dapat dilihat pada penelitian Rifa’i
(tidak dipublikasikan) pada transplantasi singenik mencit IL-2Rβ-/-
terhadap mencit normal. Pada model transplantasi ini diharapkan sel
T regulator dapat muncul dari prekursor yang berasal dari sumsum
tulang mencit IL-2Rβ-/- dan stabil selama hidup resipien. Namun
ternyata sel T regulator yang berasal dari IL-2Rβ-/-hanya bertahan
sekitar 2-3 minggu setelah transfer dan selanjutnya sel T regulator
diganti dari resipien. Pada eksperimen ini ada hal yang sangat penting
untuk dikaji mengapa sel T regulator yang muncul dari IL-2Rβ-/- tidak
31
stabil padahal rekonstitusi BMT menunjukkan keberhasilan dimana
lebih dari 95% sel hematopoietik berasal dari IL-2Rβ-/-. Pertanyaan
lain yang tidak kalah pentingnya adalah: ”Mengapa sel T regulator
muncul dari resipien padahal resipien telah diradiasi dengan dosis
letal?”. Pada eksperimen ini ada beberapa kemungkinan yang dapat
dikemukakan. Pertama, bahwa knockout gen CD122 secara langsung
akan berpengaruh pada keberadaan gen penyandi CD25. Hal ini
dimungkinkan karena lokus kedua gen tersebut berdekatan sehingga
ada kemungkinan terjadinya interferensi dan saling mempengaruhi.
Kedua, sel T regualtor yang diamati pada mencit hasil transplantasi
dengan sumsum tulang mencit IL-2Rβ-/- kemungkinan berasal dari sel
resipien yang kebal terhadap radiasi, meskipun tidak menutup
kemungkinan sel T regulator itu berasal dari sumsum tulang resipien
yang berkembang menuju timus. Namun nampaknya kemungkinan
adanya sel-sel dari sumsum tulang resipien berkembang sangat kecil,
karena pada faktanya sel-sel sumsum tulang dan sel-sel epitel
khususnya pada usus sangat rentan terhadap radiasi.
32
dianalisis satu bulan setelah transplantasi dengan menggunakan flow cytometry.
Panel paling atas menunjukkan keberhasilan transplantasi, dimana sekitar ~95%
sel hematopoietik berasal dari donor IL-2Rβ knockout. Donor dan resipien
dapat dibedakan dengan marker CD45.1. Pada eksperimen ini donor tidak
mengekspresikan molekul CD45.1 sehingga disebut CD45.1-, sedangkan
resipien mengekspresikan molekul CD45.1 sehingga disebut CD45.1+. Panel
bawah sebelah kiri merupakan analisis sel T regulator dari mencit IL-2Rβ
knockout (CD45.1-). Analisis sel T dari mencit IL-2Rβ-/- menunjukkan
hilangnya ekspresi molekul CD25, meskipun hasil treansplantasi menunjukkan
fenotip normal. Pada panel bawah sebelah kanan merupakan analisis sel T
resipien yang memperlihatkan ekspresi molekul CD25 pada sel T CD4. Pada
gambar ini ditunjukkan bahwa resipien yang diradiasi dengan dosis letal masih
menyisakan sel T regulator, CD4+CD25+. Pada eksperimen ini dilakukan
staining menggunakan antibodi monoklonal dengan tiga macam warna yakni
CD4-PE, CD8-FITC, dan CD45.1-Biotin. Pada gambar ini setiap titik pada
panel menunjukkan satu sel yang terdeteksi oleh mesin Flow Cytometry.
Analisis dilakukan dengan menggunakan software CELLQUEST. Gambar ini
mewakili lebih dari 10 kali eksperimen.
donor
12%
host
donor host
0.0% 22.3%
CD25
CD4
33
donor. Sel sumsum tulang dari mencit IL-2Rβ-/- sebanyak 5 x 105
ditransplantasi pada mencit normal yang diradiasi dengan 900 Rad.
Perkembangan sel donor IL-2Rβ-/- dianalisis tiga bulan setelah transplantasi
dengan menggunakan flow cytometry. Panel paling atas menunjukkan
keberhasilan transplantasi, dimana sekitar ~90% sel hematopoietik berasal dari
donor IL-2Rβ knockout. Donor dan resipien dapat dibedakan dengan marker
CD45.1. Pada eksperimen ini donor tidak mengekspresikan molekul CD45.1
sehingga disebut CD45.1-, sedangkan resipien mengekspresikan molekul
CD45.1 sehingga disebut CD45.1+. Panel bawah sebelah kiri merupakan
analisis sel T dari mencit IL-2Rβ knockout (CD45.1-). Pada analisis sel T dari
mencit IL-2Rβ-/- menunjukkan hilangnya ekspresi molekul CD25, meskipun
hasil transplantasi menunjukkan fenotipe normal. Pada panel bawah sebelah
kanan merupakan analisis sel T resipien yang memperlihatkan ekspresi molekul
CD25 pada sel T CD4. Pada gambar ini ditunjukkan bahwa resipien yang
diradiasi dengan dosis letal masih menyisakan sel T regulator, CD4+CD25+.
Jumlah sel regulator yang berasal dari resipien meningkat dari ~10% pada
pengamatan satu bulan setelah BMT menjadi ~20% pada pengamatan tiga
bulan setelah BMT. Pada eksperimen ini dilakukan staining dengan antibodi
monoklonal dengan tiga macam warna yakni CD4-PE, CD25-FITC, dan
CD45.1-Biotin. Pada gambar ini setiap titik pada panel menunjukkan satu sel
yang terdeteksi oleh mesin Flow Cytometry. Analisis dilakukan dengan
menggunakan software CELLQUEST. Gambar ini mewakili lebih dari 10 kali
eksperimen.
34