Anda di halaman 1dari 2

Cap Go Meh dan Identitas Budaya Tionghoa

Penulis adalah pemerhati Tionghoa, penulis buku “Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia” (Pustaka
Pelajar, 2013).

Chang-Yau Hoon (2012) dalam buku “Identitas Tionghoa Pasca Soeharto” mengurai
identitas warga Tionghoa kini mulai memudar. Pudarnya identitas bukan tanpa sebab, juga bukan
tanpa kegalauan. Bahkan tak sedikit menimbulkan kekhawatiran.
Aliptojo Wongsodihardjo, penasehat Perhimpunan INTI Jatim, mengungkap kegalauan
dan beberapa indikasi simbolik dimana generasi Tionghoa dari masa ke masa mulai sedikit
luntur tentang pemahaman tradisi dan budaya Tionghoa. Misal saja terkait pemahaman makna
simbol warna merah, warna kuning, warna putih dan warna hitam dalam tradisi budaya
Tionghoa. Contohnya, warna hitam biasanya dalam tradisi Tionghoa untuk kematian, tapi kini
digunakan untuk pernikahan. Hal itu, tentu saja, berimplikasi pada pudarnya identitas budaya
Tionghoa. Belum lagi, tantangan zaman globalisasi dan pragmatisme kultur modern.
Perayaan Imlek yang ditutup dengan ritual Cap Go Meh tahun ini tentu bisa menjadi
momentum penting untuk dipahami dalam konteks penguatan identitas warga Tionghoa
Indonesia. Di sinilah, perayaan diharapkan jangan membuat terjebak dalam ritualisme dan
seremonial ansich.
Christine Susanna Tjhin (2006) pernah mencatat pemahaman yang keliru terkait rutinitas
perayaan Imlek yang seolah menjadi “tanda” kebangkitan etnis Tionghoa di negeri ini. Apalagi
tanda kebangkitan hanya dinilai dari “merah-meriahnya Imlek”. Dari tahun ke tahun, misalnya,
perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Indonesia terus meriah. Hal itu nampak dari tulisan dan
ucapan “Gong Xi Fa Cai” yang bertebaran di area publik, pusat perbelanjaan, televisi, reklame,
koran, majalah, hingga jejaring sosial online seperti facebook, twitter dan semacamnya.
Dari catatan C.Y. Hoon dan C.S. Tjhin di atas, bisa dipahami bahwa perayaan Imlek
hingga Cap Go Meh bukan sesuatu yang salah, namun membangkitkan dan membangun identitas
tentu tidak cukup dengan perayaan saja. Sebab, perayaan di tengah problematika ekonomi sosial
bangsa, memang bisa saja menimbulkan prasangka yang patut diwaspadai.
Di sinilah, format baru perayaan imlek bisa dikaji dan dipikirkan lebih lanjut. Bila
dilacak sejarahnya, esensi Imlek dan Cap Go Meh merupakan perayaan syukur dan berbagi
harapan baik antar sesama.
Sidharta Adhimulya, aktivis Tionghoa menjelaskan sejarah Imlek (Yin Li) merupakan
warisan leluhur tentang sistem penanggalan Tiongkok sebagai penanda gantinya musim salju ke
hujan. Pergantian musim semacam itu, ungkap Sidharta, memberi harapan yang patut disyukuri
bersama.
Sementara, Cap Go Meh adalah istilah yang berasal dari dialek Hokkian yang bila dieja
per kata, Cap mempunyai arti sepuluh, Go adalah lima, dan Meh berarti malam. Jadi, secara
harfiah Cap Go Meh bermakna 15 hari. Itu melambangkan hari kelima belas atau hari terakhir
dari rangkaian masa perayaan Imlek bagi komunitas Tionghoa.
Dalam menyambut perayaan Imlek dan Cap Go Meh, biasanya warga Tionghoa juga
menggelar acara kirab dengan diramaikan penampilan barongsai dan liong. Keduanya sudah
menjadi bagian tradisi budaya dari perayaan hari besar masyarakat Tionghoa. Dalam perayaan
ini pertunjukkan liong dan barongsai menjadi simbol ritual yang diyakini sebagai pembawa
rejeki dan penolak bala. Tradisi liong dan barongsai diyakini sebagai ritual membersihkan
lingkungan, khususnya energi negatif. Dengan turunnya barongsai dan liong diharapkan akan
memberikan perlindungan serta berkah dan keselamatan bagi semua.
Dalam sejarah sosial politik, perayaan Imlek dan Cap Go Meh di negeri ini telah
memiliki sejarah yang panjang. Di masa Orde Baru, perayaan dan hal ihwal terkait tradisi dan
budaya Tionghoa dilarang ditampilkan dan dirayakan di area publik. Berbeda dengan saat ini,
lembaran sejarah politik Indonesia kontemporer mencatat, perayaan seni dan tradisi budaya Tionghoa
kembali semarak setelah sekian lama terkubur di bawah kekuasaan rezim Orde Baru. Pemerintahan
Megawati dan Gus Dur hingga SBY saat ini ikut andil dalam mencetak lembaran baru sejarah perjalanan
Tionghoa Indonesia.
Meminjam ungkapan Christine Susanna Tjhin yang mengutip Charles Taylor (1992)
bahwa fenomena semacam itu merupakan dinamika identitas yang tidak lepas dari politik
pengakuan yang dialogis. Budaya dialog dalam rangka untuk saling mengenal bisa
menumbuhkan rasa sayang dan cinta lintas etnis dan budaya.
Di sinilah, C.Y. Hoon memberikan “kata kunci” bagaimana cara merespons keberagaman dan
simbol perbedaan di sebuah masyarakat multikultural seperti Indonesia. “Kata kunci” yang dimaksud
Hoon adalah hubungan antaretnis dan interaksi antar simbol perbedaan sebaiknya bukanlah dengan cara
“mengatasi” atau “menjauhi” perbedaan, tetapi dengan “hidup dengan”, atau “hidup melalui” perbedaan.
Argumentasi bahwa bila menggunakan logika “mengatasi” dan “menjauhi”, maka akan cenderung
mengarah apatis, bahkan represif dan menindas.
Sementara logika “hidup dengan” akan membuat seseorang terus berusaha saling mengenal dan
dialogis. Begitu pula “hidup melalui” maka simbol perbedaan bukanlah tantangan atau hambatan, namun
justru menjadi peluang yang bisa dijadikan modal kemajuan masyarakat dan bangsa.
Dalam konteks ini, kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan lainnya di negeri ini dapat dipandang
sebagai modal sosial menuju integrasi dan penghargaan atas identitas keindonesiaan yang multikultural.
Modal sosial, sebagaimana pernah diulas panjang lebar oleh Robert D. Putnam dan Francis Fukuyama,
setidaknya ada dua hal, yaitu trust (kepercayaan) dan network (jaringan). Jejaring yang diperkuat dengan
kepercayaan akan menjadi sebuah masyarakat terbayang (imagined communities) dengan kegotong-
royongan dan semangat saling asih, asah dan asuh.
Oleh karena itu, seni dan budaya, tentu, seharusnya tidak melulu dipandang sebagai sarana
hiburan dan perayaan semata, tetapi juga sebagai modal sosial budaya bangsa untuk merevitalisasi
kebhinekaan masyarakat Indonesia untuk kemajuan, kesejahteraan dan kebaikan.***

Sumber: Seputar Indonesia/ SINDO, Minggu, 24 Februari 2013, Hal. 4.

Anda mungkin juga menyukai