Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan
kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar
10-20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya
juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita-wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat-obat hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan
dengan kadar progesteron yang tinggi dapat menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk,
insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien
kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk, dan berusia diatas 40 tahun, tetapi
menurut Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien di
negara kita. (Sudoyo W. Aru,et al,2009)
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang
memburuk secara progresif. Sekitar 60-70% pasien melaporkan adanya riwayat
serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan,
nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti
kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula
kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami
anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat
menggangu kualitas hidup pasien.

1
BAB II
KOLESISTITIS AKUT

2.1 Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perrut kanan atas, nyeri
tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai
ini masih belum jelas. (Isselbacher, K.J,et al , 2009).

2.2 Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis


Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus) (Huffman JL,et al,2009).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan
nekrosis dinding kandung empedu (Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme
pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut,
sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa
dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
(Donovan JM, 2009).
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50-85 %
pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung
empedu para pasien ini adalah E.Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D,
spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh
organisme-organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa,

2
perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan
selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu. (Cullen JJ, et al, 2009)

Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut


(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko
terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan
trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pasca persalinan yang
menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar
nonbiliaris lainnya dalam periode pasca operatif. Faktor lain yang mempercepat
termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,
diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi
parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama
dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,
sifilis, tuberkulosis, aktinomises). (Isselbacher, K.J,et al , 2009).
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kandung empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu.
(Sitzmann JV , et al,2008).

3
2.3 Gambaran Klinis
Keluhan utama ialah nyeri akut di perut kuadran kanan atas, yang kadang-
kadang menjalar ke belakang di daerah skapula. Biasanya ditemukan riwayat
serangan kolik di masa lalu, yang pada mulanya sulit dibedakan dengan nyeri
kolik yang sekarang. Pada kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang
peritoneal berupa nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans muskular otot dinding perut.
Kadang kandung empedu yang membesar dapat diraba. Pada separuh penderita,
nyeri disertai mual dan muntah. Ikterus yang ringan agak jarang ditemukan. Suhu
badan sekitar 38ᵒC. Apabila timbul demam dan menggigil, harus dicurigai
komplikasi yang lebih berat atau penyakit lain.
Pada pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit meningkat atau dalam
batas normal. Apabila jumlah leukosit melebihi 15.000, harus dicurigai
komplikasi yang lebih berat. Kadar bilirubin meningkat sedang, mungkin karena
sindrom Mirizzi atau penjalaran radang ke duktus koledokus. Fosfatase alkali
sering mengalami kenaikan sedang, demikian juga kadar amilase darah. Pada
sindrom Mirizzi, ikterus obstruktif disebabkan tekanan pada duktus koledokus
oleh batu di dalam kandung empedu.
Ultrasonografi dapat memperlihatkan gambaran batu di dalam kandung
empedu, lumpur empedu, dan penebalan dinding kandung empedu. Ultrasonografi
juga dapat memperlihatkan gangren dengan gambaran destruksi dinding dan
nanah atau cairan sekitar kandung empedu pada komplikasi abses perikolesistitis.
Apabila secara klinis sulit menentukan punktum maksimum nyeri dengan palpasi
terutama pada kolesistitis gangren, ultrasonografi dapat sangat membantu.
Kandung empedu yang membesar serta dinding dan jaringan sekitar yang
mengalami peradangan, sering terlihat pada foto polos perut sebagai bayangan
massa jaringan lunak lonjong yang menekan dinding kolon transversum yanag
berisi udara.
Apabila hasil pemeriksaan ultrasonografi tidak jelas atau meragukan, dapat
dilakukan sintigram radionuklir hepatobilier.

4
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
 Leukositosis 12000-15000; kadang normal
 Alkali fosfatase mungkin sedikit meninggi
 Serum amilase kadang diatas normal
Ultrasonografi
 Kandung empedu membesar, dinding menebal
 Adanya lumpur atau batu

2.5 Diagnosis Banding


Diagnosis banding adalah keadaan yang menimbulkan nyeri akut di perut
bagian atas disertai nyeri tekan, seperti pankreatitis akut, tukak peptik, apendisitis
akut, atau abses hati.
Pankreatitis akut kadang sulit dibedakan dengan kolesistitis akut, apalagi
bila kolesistitis disertai dengan kenaikan kadar amilase darah. Meskipun kedua
jenis penyakit ini dapat saja timbul bersamaan, sebaiknya masing-masing
didiagnosis.
Ulkus peptik yang mengalami perforasi dapat didiagnosis dengan
anamnesis riwayat nyeri epigastrik yang berkurang dengan pemberian makanan
atau antasid. Foto polos abdomen pada perforasi sering memperlihatkan bayangan
udara bebas di dalam rongga peritoneum.
Apendisitis akut, terutama dengan sekum yang terletak tinggi di kanan
atas, menimbulkan keraguan. Diagnosis tepat dilakukan dengan ultrasonografi.
Abses hati yang disebabkan amuba maupun bakteri piogenik berbeda pada
riwayat penyakitnya. Nyeri tekan antar-iga di sisi lateral dapat menyingkirkan
kemungkinan kolesistitis akut. Pemeriksaan ultrasonografi sangat menentukan
diagnosis.

5
2.6 Penatalaksanaan
Kolesistektomi merupakan cara pengobatan terbaik untuk kolesistitis akut
dan umumnya dapat dilaksanakan dengan aman pada sekitar 90% penderita.
Namun, penanggulangan awal kolesistitis akut adalah perawatan konservatif.
Sekitar 60% penderita akan sembuh spontan. Pembedahan dilakukan sesuai
dengan perkembangan penyakit. Apabila memburuk, segera dibedah; bila
membaik, pembedahan dilakukan secara elektif.
Terapi nonbedah kolesistitis akut berupa puasa, pemasangan pipa
nasogastrik untuk dekompresi lambung, pemberian cairan intravena untuk
mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit, dan pemberian antibiotik untuk
kuman gram negatif dan kuman anaerob.
Pendekatan lain, yaitu kolesistektomi dini. Keadaan umum diperbaiki dan
sepsis diatasi dengan pemberian antibiotik seperti yang dilakukan pada
pengobatan konservatif, sambil memastikan diagnosis, memperbaiki keadaan
umum, dan mengatasi penyakit penyerta seperti pankreatitis. Setelah 24-48 jam,
keadaan penderita umumnya lebih baik dan infeksi telah dapat diatasi. Tindak
bedah dini yang dapat dilakukan dalam 72 jam pertama perawatan ini memberikan
keuntungan karena mempersingkat masa rawat di rumah sakit sekitar 30 hari.
Insidens penyulit pascabedah dan angka kematian ternyata tidak berbeda antara
pembedahan dini dan pembedahan elektif.
Apabila pada masa persiapan pembedahan keadaan umum penderita
memburuk karena komplikasi peritonitis, pembedahan dipercepat sebagai bedah
emergensi. Bedah emergensi diperlukan pada sekitar 10 % penderita. Bila
keadaan umum terlalu buruk untuk pembedahan, tindakan sementara berupa
kolesistostomi kateter perkutan dengan bimbingan ultrasonografi merupakan cara
terbaik. Setelah keadaan umum penderita membaik, barulah dilakukan
kolesistektomi elektif, umumnya 6 minggu sampai 3 bulan setelah penderita
sembuh dari kolesistitis akut.
Kolesistektomi secara laparoskopik makin sering dilakukan. Tindak bedah
laparoskopik ini berlangsung selama 30-70 menit. Biasanya penderita dapat
pulang setelah 1 hari dirawat di rumah sakit. Morbiditas tidak melewati 10 %.

6
Kesulitan teknis karena perlengketan atau adhesi sehingga memerlukan
laparotomi, sekitar 5%.

2.7 Komplikasi
 Empiema
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan
kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi super infeksi
empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman-kuman pembentuk pus. Biasanya
terjadi pada pasien laki-laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita
diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri
kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum
lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram
negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai
(Gruber PJ , et al,2009).
 Gangren dan perforasi
Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis
jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi
berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi
yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi
perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis
kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses. (Chiu HH,et al,2009)
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Super infeksi bakteri
pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses.
Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien
yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses.
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian
sekitar 30%, pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri
kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami
dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata.

7
 Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung
empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula
dalam duodenum sering disetai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika
kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula
enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi
kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5% pasien yang menjalani
kolesistektomi.
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan
temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan
kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin
memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah
menyebabkan opasifikasi baik kandungan empedu atau saluran fistula. Tetapi
pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi eksplorasi duktus
koledokus dan penutupan saluran fistula.
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang
diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu
tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada
tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada
katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal.
Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris
sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi.
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi
kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui findus kandung
empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos
abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris
dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian
gastointestinalatas (fistula kolesistoduodenum dengan obstuksi usus kecil pada
katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi
usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk
menyingkirkan batu lainnya (Isselbacher, K.J,et al , 2009).

8
2.8 Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat
terlihat dalam 1-4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan
didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal,
fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum pada 10-15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat
mencapai 50-60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki
angka mortalitas sebesar 10-50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah. (McPhee SJ,et al, 2009).

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang
ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni
kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus. Patofisiologi kolesistitis
akut sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Penegakkan
diagnosis untuk kolesistitis adalah dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kolesistitis akut kalkulus lebih banyak ditemukan pada
wanita, usia >40 tahun dan pada wanita hamil atau yang mengkonsumsi obat
hormonal, walaupun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu. Pasien-pasien
yang menerima nutrisi parenteral total (TPN) beresiko menderita kolesistitis akut
akalkulus, sama halnya pada pasien dengan riwayat DM & demam typhoid.
Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan (tanda
Murphy positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia dan demam. Dapat teraba
pula massa di kuadran kanan atas perut. Pemeriksaan penunjang sering
menunjukkan leukositosis, peningkatan serum aminotransferasi, alkali fosfatase,
serum bilirubin dan serum amilase. Pemeriksaan USG dapat merupakan
pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan karena kesensitifitasannya sampai
95%. Terapi dibagi menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan
kondisi umum pasien, antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan anti-
emetik dan terapi pembedahan bila terdapat indikasi, dimana saat ini lebih sering
dilakukan laparaskopik kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan
pada pasien yakni rasa nyeri pasca operasi minimal, memperpendek masa
perawatan dan memperbaiki kualitas hidup pasien lebih cepat.

10
DAFTAR PUSTAKA

 Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2010


 Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
Prinsip – Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa
Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.
 Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC.
2009.
 McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &
Treatment. Mc Graw Hill: Lange. 2009.
 Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar – Dasar Penyakit.
EGC. Jakarta. 2006.
 Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents
parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet.
Jan 2008;170(1):25-31.
 Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
 Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.
Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.
 Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin
on opossumgallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Sur
g. Aug2009;232(2):202-7.
 Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep
2009:188(3):325-6
 Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever andleukocytos
is in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7.
 Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis-a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.

11

Anda mungkin juga menyukai