Anda di halaman 1dari 4

Students and Academic Stress: Scientific Explanation and How to Handle Them

Oleh: Naura Thabina Nastiti (195120300111048)

Program Studi Psikologi

Universitas Brawijaya

Saat ini, siswa-siswi di Indonesia sedang dihadapi dengan berbagai tantangan. Menjelang
akhir tahun, siswa-siswi Indonesia akan melalui Ujian Akhir Semester (UAS) sebagai bentuk
evaluasi terhadap pembelajaran mereka selama satu semester. Terlebih lagi untuk siswa-siswi
kelas 12 SMA yang sebentar lagi akan menghadapi Ujian Nasional (UN), ujian sekolah, ujian
praktik, serta ujian-ujian masuk perguruan tinggi seperti SBMPTN dan lain-lain. Beban yang
dihadapi siswa kelas 12 SMA menjadi dua kali lipat lebih banyak. Di satu sisi, siswa harus belajar
untuk menghadapi kelulusan SMA. Namun, di sisi lain, mereka juga harus belajar agar diterima di
perguruan tinggi yang diinginkan.

Lalu, pergantian menteri pendidikan Indonesia tahun ini dibarengi oleh kebijakan-
kebijakan baru yang akan segera diterapkan di berbagai lembaga pendidikan di seluruh negara.
Tidak sedikit dari pelajar Indonesia yang merasa risau dengan perubahan kebijakan yang
berlangsung dengan cepat. Siswa pun harus cepat beradaptasi dengan kebijakan pendidikan yang
terus berubah.

Banyaknya beban dan tanggung jawab yang dihadapi tentu dapat memicu academic stress
di kalangan pelajar di Indonesia. Sebanyak 29,3% siswa di Indonesia mengalami stress tingkat
tinggi dan sangat tinggi menjelang Ujian Nasional (Astuti, Taufik, & Ifdil, 2017). Lalu, apa yang
terjadi ketika siswa mengalami academic stress? Apa dampak yang dapat terjadi akibat stress
tersebut?

Pada saat mengalami stress, manusia cenderung memberikan respons fight or flight, di
mana dalam situasi terdesak manusia akan melarikan diri atau menghadapi masalah. Respons fight
or flight ini dihasilkan oleh sistem saraf otonom yang menerima sinyal dari hipotalamus, yaitu
struktur otak yang mengatur tubuh agar terjaga kondisi seimbangnya. Selanjutnya, korteks adrenal
akan melepaskan hormon kortisol yang berfungsi untuk menyebabkan rasa takut dan waspada saat
situasi terdesak. Namun, dalam kondisi terlalu stress, hormon ini justru dapat menyebabkan
kesehatan tubuh menjadi terganggu (Wade, Tarvis, & Garry, 2016).

Menurut Hans Selye (dalam Wade et al., 2016), terdapat tiga fase dalam reaksi psikologis
terhadap stress, yaitu:

1). Fase peringatan

2). Fase penolakan

3). Fase kelelahan

Pada saat fase peringatan, sistem saraf simpatik mengeluarkan respon fight or flight saat
menghadapi ancaman. Lalu, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin yang berfungsi untuk
mengeluarkan lonjakan energi, sehingga manusia dapat menghadapi ancaman atau stressor. Dalam
kasus ini, ancaman atau stressor adalah berupa pergantian kebijakan, ujian nasional, dan ujian-
ujian lainnya yang dihadapi oleh siswa.

Lalu, pada fase berikutnya tubuh akan berusaha menolak stressor yang sedang dihadapi.
Selama fase ini, reaksi pada fase peringatan tetap terjadi, namun tubuh akan lebih rentan terhadap
stressor lainnya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa saat menjelang masa-masa ujian, siswa
cenderung mudah merasa terganggu, frustasi, dan sulit mengontrol emosi.

Selanjutnya, pada fase terakhir yaitu fase kelelahan, tubuh akan menjadi rentan terhadap
penyakit akibat stress yang banyak menguras energi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
hormon kortisol yang terlibat dalam stress dapat menyebabkan terganggunya kesehatan tubuh jika
dalam kondisi stress tingkat tinggi. Oleh sebab itu, beberapa siswa cenderung mudah sakit
menjelang masa-masa ujian akibat rasa tertekan dan stress yang dialaminya. Namun, tidak semua
siswa kesehatannya terganggu saat ujian.

Stress merupakan hal yang wajar dialami oleh siapapun, termasuk pelajar. Namun, stress
yang terlalu tinggi dapat berdampak buruk bagi tubuh manusia. Selain berdampak pada kesehatan
tubuh, stress juga berdampak pada kesehatan mental. Siswa yang mengalami academic stress
cenderung lebih rentan terhadap depresi daripada siswa yang tidak mengalami stress (Jayanthi,
Thirunavukarasu, & Rajkumar, 2015). Selain itu, stress yang tinggi pada siswa juga dapat
menyebabkan nilai dan prestasi di sekolah menurun (Shankar & Park, 2016).
Tentu saja, hal ini dapat diatasi dengan beberapa cara. Ketika sedang stress, sebaiknya kita
istirahat terlebih dahulu dan tidur yang cukup. Namun, jangan lupa untuk mengatur pola makan
dan rutin olahraga agar tubuh tetap sehat walau saat mengalami stress. Kita juga dapat bercerita
kepada orang-orang terdekat untuk mengurangi beban pikiran. Relaksasi juga efektif dilakukan
saat kita mengalami stress ringan atau sedang menjelang ujian (Suyono, Triyono & Handarini,
2016). Selain cara-cara di atas, kita juga dapat melakukan hobi atau kegiatan yang kita suka, seperti
mendengarkan musik agar tingkat stress berkurang. Cara menangani stress tentu akan berbeda
pada setiap orang, namun hal yang terpenting adalah, sebagai pelajar yang memiliki banyak
tanggung jawab dan kegiatan, kita harus menjaga kesehatan mental dan harus mampu mengelola
stress dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, A. D., Taufik, & Ifdil. (2017). Stres akademik siswa yang akan menghadapi ujian nasional
berdasarkan jenis kelamin. Seminar & Workshop Nasional Bimbingan dan Konseling:
Jambore Konseling 3 (pp. 190-195). Pontianak: Ikatan Konselor Indonesia.

Jayanthi, P., Thirunavukarasu, M., & Rajkumar, R. (2015). Academic Stress and Depression
among Adolescents: A Cross-sectional Study. Indian Pediatrics, 52(3), 217-219.

Shankar, N. L., & Park, C. L. (2016). Effects of stress on students' physical and mental health and
academic success. International Journal of School & Educational Psychology, 4(1), 5-9.

Suyono, Triyono, & Handarini, D. M. (2016). Keefektifan Teknik Relaksasi untuk Menurunkan
Stres Akademik Siswa SMA. Jurnal Pendidikan Humaniora, 4(2), 115-120.

Wade, C., Travis, C., & Garry, M. (2016). Psikologi, Edisi Kesebelas. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai