Anda di halaman 1dari 17

Kajian Al-Hikam

Pengantar Kajian Al-Hikam

Kitab Al-Hikam adalah buah karya Syekh Ibnu Atha'illah, mursyid ketiga dari Thariqah
Syadziliyah. Adapun pendiri pertama Syadziliyah adalah Syekh Abu Hasan Ali Asy-Syadzili,
seorang Maroko yang kemudian menetap di Iskandariah, Mesir dan wafat pada 1258 M.
Penggantinya adalah Syekh Abu Abbas Al-Mursi, yang berasal dari Murcia, Andalusia,
Spanyol (wafat di tahun 1287 M), yang sepeninggalnya dilanjutkan oleh Syekh Ibnu
Atha'illah.

Syekh Ibnu Atha'illah hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mamluk. Beliau lahir di kota
Alexandria (Iskandariyah), Mesir, lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah beliau menghabiskan
hidupnya dengan mengajar Fikih Mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual.

Ibn Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah
dihasilkannya. Karya itu meliputi bidang tasawuf, tafsir, akidah, hadits, nahwu, dan ushul
fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah Kitab Al-Hikam yang disebut-
sebut sebagai magnum opus beliau.

Al-Hikam adalah sebuah kitab yang diperuntukkan bagi para pejalan (salik), yang di dalamnya
berisi panduan lanjut bagi setiap pejalan untuk menempuh perjalanan spiritual. Al-Hikam
berisi berbagai terminologi suluk yang ketat, yang merujuk pada berbagai istilah dalam Al-
Qur'an.
Pasal 1 :

Bersandar pada Amal

َّ ‫اء ِع ْندَ ُو ُجـو ِد‬


‫الز لــَـ ِل‬ َ ‫ نُ ْق‬،‫ِم ْن َعالَ َم ِة اْ ِالعْـتِــ َما ِد َعلَى ْالعَ َم ِل‬
َّ ُ‫صان‬
ِ ‫الر َج‬

"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah
kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana."

Syarah

Ar-raja adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada
Allah Ta'ala. Pasal Al-Hikam yang pertama ini bukan ditujukan ketika seseorang berbuat
salah, gagal atau melakukan dosa. Karena ar-raja lebih menyifati orang-orang yang
mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk taqarrub.

Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan
seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu
semua adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat
tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun
harapannya semata kepada Allah Ta'ala.

Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua
wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala

Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada
amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal dalam suluk adalah
hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas raja
(harap) kita kepada Allah Ta’ala.

Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya.” Ditanyakan,
“Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Allah
telah memberikan rahmat kepadaku.” – H.R. Bukhari dan Muslim
Pasal 2 :

Syahwat dan Himmah

.‫شـ ْه َـو ةِ ْال َخ ِفـيـَّ ِة‬َّ ‫ب ِمنَ ال‬ِ ‫َّللاِ إِ يَّـاكَ في ِ اْأل َ ْسبَا‬
َّ ‫إِ َر ادَ تُــكَ الـتَّجْ ِر ْيدَ َمـ َع إِقَا َمـ ِة‬
‫ط ِمنَ ْال ِه َّم ِة ْال َعـ ِلـيـَّ ِة‬ ٌ ‫طا‬َ ‫َّللاِ ِإ يَّـاكَ في ِ الـتَّجْ ِر ْي ِد اِن ِح‬ َ ‫َو ِإ َرادَ تُـكَ اْأل َ ْس َب‬
َّ ‫اب َم َع ِإقَا َم ِة‬

"Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab,
merupakan syahwah yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah
sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang
tinggi."

Syarah

Dalam pasal ini, Ibnu Atha’illah menggunakan beberapa istilah baku dalam khazanah sufi,
yang harus dipahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah
itu adalah: tajrid, asbab, syahwat dan himmah.

Tajrid secara bahasa memiliki arti: penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi
adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa dikatakan
sebagai pemurnian jiwa.

Asbab secara bahasa memiliki arti: sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah
status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab akibat. Semisal Iskandar
Zulkarnain yang Allah tempatkan sebagai raja di dunia, mengurusi dunia sebab-akibat.

Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti: tatapan yang kuat, atau keinginan.
Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti
harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa-nafsu (disingkat “nafsu”) adalah
keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.

Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun bila
syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi,
keinginan menuju Allah.

Adakalanya Allah menempatkan seseorang dalam dunia asbab dalam kurun tertentu—
misalnya, untuk mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara. Bila seseorang
sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid
(misalkan dengan ber-uzlah), maka itu dikatakan sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya,
saat Allah menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka
itu merupakan sebuah kejatuhan dari keinginan yang tinggi.

Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam bersuluk, agar mengetahui kapan seseorang harus
tajrid dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Semua kehendak seorang salik
haruslah bekesesuaian dengan Kehendak Allah.[]
Pasal 3 :

Himmah dan Qadar

َ ‫ـق ْال ِه َم ِم الَ ت َخـْ ِر ُق أَس َْو‬


‫ار اْأل َ ْقدَ ِار‬ ُ ِ‫س َـو اب‬
َ

"Kekuatan himmah-himmah tidak akan mampu mengoyak tirai qadar-qadar."

Syarah

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Hikam Pasal 2, himmah adalah sebuah tarikan ke
atas, keinginan menuju Allah, merupakan lawan kata dari syahwat. Adapun pengertian
sawaabiqu (dari akar kata sabaqa) bermakna kekuatan atau perlombaan—satu akar kata
dengan istilah musabaqah.

Pengertiannya adalah bahwa sekalipun seseorang memiliki himmah yang sangat kuat, namun
pencapaian dalam bersuluk itu sudah ditentukan kadarnya, porsinya, dan waktunya. Segala
sesuatu sudah ditentukan takdirnya. Bersuluk itu pada intinya adalah berserah diri kepada
Allah; pencapaian dalam jalan suluk tidak dapat dipercepat maupun diperlambat.

Pasal 4 :

Istirahatkan Dirimu dari Pengaturan

َ‫ام ِبـ ِه َغي ُْر كَ َعـ ْنكَ الَ تَـقُ ْم ِبـ ِه ِلنَ ْفسِك‬ َ ‫أ َ ِر ْح نــ َ ْف‬
َ َ‫ فَ َما ق‬،‫سـكَ ِمنَ الـتَّدْ ِبــي ِْر‬

"Istirahatkan dirimu dari tadbiir (melakukan pengaturan-pengaturan)! Maka apa-apa yang


selainmu (Allah) telah melakukannya untukmu, janganlah engkau (turut) mengurusinya untuk
dirimu."

Syarah

Tanpa kita sadari, banyak hal yang telah Allah atur untuk diri kita. Jaringan syaraf yang terus
bekerja, paru-paru yang memompa udara, oksigen yang kita hirup dengan leluasa, rizki yang
kita makan, dan banyak hal lain yang sesungguhnya telah Allah atur untuk setiap manusia.
Maka kita tidak perlu terlalu khawatir, takut, turut serta melakukan pengaturan untuk diri kita
sendiri, dan bertawakallah! Sebagaimana firman-Nya:

َ‫ض َولَ ٰـ ِكن َكذَّبُوا فَأ َ َخذْنَاهُم بِ َما كَانُوا َي ْك ِسبُون‬


ِ ‫اء َو ْاأل َ ْر‬
ِ ‫س َم‬ ٍ ‫َولَ ْو أ َ َّن أ َ ْه َل ْالقُ َر ٰى آ َمنُوا َواتَّقَ ْوا لَ َفتَحْ نَا َعلَ ْي ِهم بَ َركَا‬
َّ ‫ت ِ ِّمنَ ال‬

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.. – Q.S. Al-A'raaf [7]: 96
Pasal 5 :

Bashirah

ِ َ‫اس ْالــب‬
َ‫صيْرةِ ِم ْنك‬ ِ ‫ دَ ِلي ٌل َعلَى انـــْ ِط َم‬، َ‫ب ِم ْنك‬ ُ ‫صي ُْركَ فِي َما‬
َ ‫ط ِل‬ ِ ‫ َو تـ َ ْق‬، َ‫اِجْ تِ َهاد ُكَ فِي َما ض ُِمنَ لَك‬

"Kesungguhanmu pada apa-apa yang telah Dia Ta’ala jamin bagimu, dan kelalaianmu pada
apa-apa yang Dia Ta’ala tuntut darimu, merupakan bukti atas lenyapnya bashirah darimu!"

Syarah

Bashirah adalah istilah teknis agama untuk "mata hati" yang memiliki fungsi spesifik. Di
dalam Al-Quran terdapat banyak kata tentang "bashirah", misalkan dalam Surah Al-Israa'
[17]: 72 dikatakan, "Dan barangsiapa yang buta (a'maa) di dunia, niscaya di akhirat (nanti)
ia akan lebih buta dan lebih tersesat jalannya". Atau dalam ayat lain disebutkan:

‫َاوة ٌ َولَ ُه ْم َعذَابٌ َع ِظي ٌم‬


َ ‫ار ِه ْم ِغش‬
ِ ‫ص‬َ ‫س ْم ِع ِه ْم َو َعلَ ٰى أ َ ْب‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ٰى قُلُو ِب ِه ْم َو َعلَ ٰى‬
َّ ‫َخت ََم‬

Allah telah mengunci-mati qalb-qalb mereka dan telinga-telinga mereka, dan bashirah-basirah
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. —Q.S. Al-Baqarah [2]: 6

Meski seseorang bisa melihat hingga ke ujung dunia atau dapat menembus langit yang tujuh,
namun bila masih bingung dengan kehidupan, maka itu sebuah penanda bahwa bashirah kita
masih tertutup.

Karena bashirah itu bukan untuk melihat hal-hal di luar diri, tetapi untuk melihat kebenaran
hakikat. Bashirah adalah untuk melihat Al-Haqq dalam segala sesuatu, dalam segenap ufuk
dan dalam dirinya. Sebagaimana firman-Nya:

ٌ ‫ش ِهيد‬
َ ٍ‫ش ْيء‬ ِ ‫ق َو ِفي أَنفُ ِس ِه ْم َحت َّ ٰى َيتَ َبيَّنَ لَ ُه ْم أَنَّهُ ْال َح ُّق أ َ َولَ ْم َي ْك‬
َ ‫ف ِب َر ِبِّكَ أ َنَّهُ َعلَ ٰى ُك ِِّل‬ ِ ‫سنُ ِري ِه ْم آ َيا ِتنَا ِفي ْاْلفَا‬
َ

Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada nafs-nafs
mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa semua itu adalah Al-Haqq. Tiadakah cukup
bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? —Q.S. Fushshilat [41]: 53
Pasal 6 :

Doa dan Ijabah

ُ ‫َارهُ لَـكَ الَ فِي َما تَـخت‬


‫َار‬ ُ ‫ـخت‬ َ ‫اء ُم ْو ِجـبَا ً ِلـيَأْسِكَ ؛ فَـ ُه َـو‬
ْ َ‫ض ِمنَ لَـكَ اْ ِإل َجـابَـةَ فِي َما ي‬ ِ ‫اء َم َع اْ ِإل ْلـ َحـاحِ في ِ الد ُّ َع‬
ِ ‫ط‬َ َ‫الَ يَــ ُك ْن ت َــأ َ ُّخ ُر أ َ َم ِد ْالع‬
ِ ‫ي ي ُِر يـْد ُ الَ في ِ ْال َـو ْق‬
ُ ‫ت الَّذِي ت ُ ِر يد‬ ِ ‫ِلـنَ ْفسِكَ ؛ َوفي ِ ْال َـو ْق‬
ْ ‫ت الَّـ ِذ‬

"Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah


bersungguh-sungguh dalam berdoa, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah
menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan doa) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu,
bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki,
bukan pada waktu yang engkau kehendaki."

Syarah

Doa adalah sebuah bentuk ibadah. Dan dalam Al-Quran, Allah memerintahkan kepada kita
untuk berdoa kepada-Nya—dan Dia Ta’ala pasti kabulkan.

ۚ ‫َوقَا َل َربُّ ُك ُم ادْعُونِي أَ ْست َِجبْ لَ ُك ْم‬

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu." –
Q.S. Al-Mu'min [40]: 60

Tanda seorang mukmin sejati adalah: lebih yakin dengan apa yang ada di Tangan Allah
daripada apa yang dapat diusahakan oleh tangannya sendiri. Ketika doa yang kita panjatkan
seolah tidak mendapat pengabulan dari Allah Ta’ala, disitu terdapat ruang pengetahuan yang
kosong yang harus kita cari dan isi. Doa disini bukan hanya terkait masalah duniawi; tetapi
juga termasuk dalam hal spiritual. Misalkan, kita berdoa agar diterima taubatnya dan
dibersihkan dari segala dosa.

Hakikatnya setiap doa yang kita panjatakan adalah sebuah refleksi dari objek yang telah Allah
siapkan. Tidak serta merta kita menginginkan sesuatu di dalam hati, kecuali telah ada
objeknya. Tanpa objek yang telah Allah sediakan, pada dasarnya setiap orang tidak akan
punya keinginan untuk berdoa. Seperti ketika menginginkan sebuah makanan, karena baunya
sudah tercium dari jauh.

Hanya saja manusia kerap terjebak oleh ketidak-sabaran dan waham (kesalahan pemikiran)
tentang dirinya sendiri. Seperti ketika seorang sahabat meminta kepada Rasulullah SAW agar
berjodoh dengan seorang perempuan; maka jawaban Rasulullah SAW adalah: sekalipun
dirinya dan seluruh malaikan memanjatkan doa maka bila itu bukan haknya dan tidak tertulis
di Lauh Mahfudz pasti tidak akan terlaksana. Keinginannya untuk memiliki jodoh adalah
sebuah isyarat akan objek yang telah Allah sediakan, tetapi keinginannya akan perempuan
tertentu adalah karena syahwat dan wahamnya yang masih belum surut.

Doa membutuhkan pengenalan (ma’rifah) akan Allah dan akan diri sendiri. Allah yang lebih
tahu apa yang terbaik bagi makhluknya, lebih dari seorang ibu mengetahui kebutuhan
bayinya.[]
Pasal 7 :

Cahaya Basirah dan Cahaya Sirr

ِ َ‫ َو إِ ْن ت َـعَـي َِّن زَ َمنُهُ ؛ ِلئ َـالَّ يـَ ُك ْونَ ذَ ِلكَ قَدْ ًحـا في ِ ب‬، ‫ــوعِ ْالـ َم ْـوع ُْـو ِد‬
‫ َو إِ ْخ َمـادً ا‬، َ‫ـصي َْر تِـك‬ ْ ُ‫الَ يـُشَـ ِ ِّككَــنَّكَ في ِ ْال َـو ْع ِد َعد َ ُم ُوق‬
َ‫س ِر يـْ َر تِـك‬َ ‫ور‬ ِ ُ‫ِلـن‬
"Janganlah karena tiadanya pemenuhan atas apa-apa yang dijanjikan, padahal telah jatuh
waktunya, membuatmu ragu terhadap janji-Nya; agar yang demikian itu tidak menyebabkan
bashirah-mu buram dan cahaya sirr-mu padam!"

Syarah
Dalam Al-Quran, ada sebuah hikmah dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Siti Sarah.
Ibrahim a.s. senantiasa berdoa agar dikaruniai keturunan, sebagaimana termaktub dalam Al-
Qur’an Surah Ash-Shaaffaat [37]: 100: “Rabbii hablii minash-shaalihiin.” Tatkala datang dua
malaikat yang memberi kabar gembira akan lahirnya Ishaq a.s., Siti Sarah digambarkan
“tersenyum keheranan” (Q.S. Huud [11]: 72-73 ), atau “memekik” (Q.S. Adz Dzaariyaat [51]:
29).

َ َ‫ش ْي ًخا ۖ إِ َّن َه ٰـذَا ل‬


ٌ‫ش ْي ٌء َع ِجيب‬ ٌ ‫ت يَا َو ْيلَت َٰى أَأ َ ِلد ُ َوأَنَا َع ُج‬
َ ‫وز َو َه ٰـذَا بَ ْع ِلي‬ ْ َ‫قَال‬

ِ ‫قَالُوا أَت َ ْع َجبِينَ ِم ْن أ َ ْم ِر اللَّـ ِه ۖ َرحْ َمتُ اللَّـ ِه َوبَ َركَاتُهُ َعلَ ْي ُك ْم أ َ ْه َل ْالبَ ْي‬
ٌ‫ت ۚ إِنَّهُ َح ِميدٌ َّم ِجيد‬

Istrinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku
adalah seorang perempuan tua, dan suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua
pula? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh." Para malaikat itu berkata:
"Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan
keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul-bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi
Maha Pemurah." – Q.S. Huud [11]: 72-73

Demikian halnya Ibrahim a.s. berkata:


ِّ ِ َ‫ي ْال ِكبَ ُر فَ ِب َم تُب‬
َ‫ش ُرون‬ َّ ‫ش ْرت ُ ُمونِي َعلَ ٰى أَن َّم‬
َ ِ‫سن‬ َّ َ‫قَا َل أَب‬
َ ْ ُ
َ‫ق فال تَكن ِ ِّمنَ القانِ ِطين‬ َ َ ِّ ْ
ِ ‫قَالُوا بَش ْرنَاكَ بِال َح‬
َّ

Berkata Ibrahim: "Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah
lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan
ini?" Mereka menjawab: "Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka
janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa." Ibrahim berkata: "(Tidak ada)
orang yang berputus-asa dari rahmat-Nya, kecuali orang-orang yang sesat." – Q.S. Al-Hijr
[15]: 54-55

Keraguan kita akan janji Allah, sesungguhnya adalah tanda dari kelemahan tauhid, sehingga
membuat bashirah menjadi buram dan cahaya sirr (rahasia-rahasia) menjadi padam.
Keraguan adalah sesuatu yang berbahaya dalam jalan suluk. Dalam kisah Siti Hajar, hal
tersebut telah membuat kelahiran Ishaq a.s. tertunda sebagai sebuah hukuman karena bersitan
keraguan akan janji Allah.

Mengenai bashirah, seperti telah dibahas dalam pasal-pasal sebelumnya (lihat Al-Hikam
Pasal 5), adalah cahaya untuk melihat Al-Haqq pada segenap ufuk alam semesta. Adapun
cahaya sirr merupakan cahaya yang akan menampakan jati diri setiap insan. Rahasia tentang
hakikat diri kita, qadha dan qadar, misi hidup, hanya bisa ditampakkan dengan cahaya sirr
Allah.

Pasal 8 :

Amal, Berserah Diri dan Ma’rifat

‫ أَلَ ْم تَـ ْعلَ ْم أ َ َّن‬. َ‫ف ِإلَيك‬


َ ‫ف فَالَ تُبــَا ِل َم َع َها أ ِْن قَ َّل َع َملُكَ فَإِنَّـهُ َما فَـت َـ َح َها لَكَ ِإالَّ َوه َُو ي ُِر ْيدُ أَ ْن يَـتَـ َع َّر‬
ِ ‫ِإذَا فَت َ َح لَـكَ ِوجْ َهةً ِمنَ الت َّ َع ُّر‬
َ َ ُ َ َ ْ َ َ ْ َ
َ‫ َوأيــْنَ َما تــ ْه ِد ْي ِه إِلـ ْي ِه ِم َّما ه َُـو ُم ْو ِردُهُ َعلـيْك‬،‫ َواأل ْع َما ُل أنتَ ُمــ ْه ِد يْــ َها إِلـ ْي ِه‬، َ‫ف ه َُو ُم ْو ِردُهُ َعليْك‬ َ ‫الـتَّــعَ ُّر‬

"Ketika Dia membukakan bagimu (suatu) Wajah Pengenalan, maka jangan engkau
sandingkan (hadirnya) pengenalan itu dengan sedikitnya amal-amalmu; karena sesungguhnya
Dia tidak membukakan pengenalan itu bagimu kecuali (bahwa) Dia semata-mata
menginginkan untuk memperkenalkan (Diri-Nya) kepadamu.
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya (suatu) pengenalan itu (semata-mata) Dia
yang menginginkannya atasmu, sedangkan amal-amal itu (semata-mata) suatu hadiah dari
engkau kepada-Nya; maka tidaklah sebanding antara apa-apa yang engkau hadiahkan kepada-
Nya dengan apa-apa yang Dia inginkan untukmu."

Syarah

Ada rahasia yang sangat halus dibalik kalimat-kalimat Ibnu Athaillah dalam pasal ini. Ibnu
Athaillah bukan hendak mengatakan bahwa amaliah tidak berarti, karena itu adalah tanda
kepatuhan kepada-Nya. Namun ada persoalan yang lebih besar dari itu yang harus dimiliki
setiap pejalan suluk.

Ketika Allah membuka “Wajah Pengenalan”, maka yang Dia anugrahkan kepada seorang
hamba adalah Diri-Nya, Eksistensi-Nya, bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau
surga-Nya. Maka tidaklah sebanding ketika Allah menyerahkan seluruh Diri-Nya untuk
dikenali, sementara seseorang hanya menyerahkan amal perbuatannya, bukan dirinya.

Adalah Nabi Muhammad SAW memberi nasihat kepada putrinya Fatimah r.a. untuk
senantiasa berdoa pada setiap pagi dan petang:

َ ‫ َوالَ ت َ ِك ْلنِي إِلَى نَ ْفسِي‬،ُ‫ي ُكلَّه‬


‫ط ْرفَةَ َع ْي ٍن‬ ْ ْ َ ‫ْث! أ‬
ُ ‫ي يَا قَي ُّْو ُم بِ َرحْ َمتِكَ أ َ ْستَ ِغي‬
َ ِ‫ص ِل ْح ِلي شَأن‬ ُّ ‫يَا َح‬

Wahai (Dzat) yang Maha Hidup dan Maha Berdiri! Dengan rahmat-Mu aku memohon
pertolongan. Perbaikilah urusanku seluruhnya; dan jangan Engkau serahkan aku kepada diriku
walau hanya sekejap mata. – H.R. Imam An-Nasai, Imam Al-Hakim.

Dalam hadits yang lain dikatakan:

َ‫ الَ ِإلهَ ِإالَّ أ َ ْنت‬،ُ‫ص ِل ْح ِلي شَأْنِي ُكلَّه‬ َ ‫ فَالَ ت َ ِك ْلنِي ِإلَى نَ ْفسِي‬،‫اللَّ ُه َّم َرحْ َمتَكَ أ َ ْر ُجو‬
ْ َ ‫ َوأ‬،‫ط ْرفَةَ َعي ٍْن‬

Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan! Maka janganlah Engkau serahkan aku kepada
diriku meski sekejap mata, dan perbaikilah urusanku seluruhnya. (Sungguh) tidak ada tuhan
selain Engkau. – H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban.
Bahwa kebanyakan manusia mengandalkan urusannya kepada dirinya, kepintarannya, amal
perbuatannya. Dan sangatlah sedikit manusia yang menginginkan berserah diri sepenuhnya
kepada Allah. Sementara dalam Al-Quran dikatakan bahwa sebaik-baik agama seseorang
adalah yang: aslama wajhahu (menyerahkan wajahnya), seluruh eksistensinya, seluruh jiwa-
raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Allah.

َ ‫ِن َواتَّبَ َع ِملَّةَ إِب َْراه‬


‫ِيم َحنِيفًا‬ ٌ ‫سنُ دِينًا ِ ِّم َّم ْن أ َ ْسلَ َم َوجْ َههُ ِ َّّلِلِ َوه َُو ُمحْ س‬
َ ْ‫َو َم ْن أَح‬

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan wajahnya kepada
Allah, sedang diapun seorang yang ihsan dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus?– Q.S.
An-Nisa [4]: 125

Pasal 9 :

Amal, Ahwal dan Warid

‫ت اْألَحْ َوا ِل‬


ِ ‫َاس اْأل َ ْع َما ِل ِلـت َـن َُّوعِ َو ِاردَا‬
ُ ‫ت أَجْ ن‬
ْ ‫ت َـن ََّو َع‬

"Beragamnya jenis amal-amal itu disebabkan oleh beragamnya warid-warid (yang turun) pada
ahwal-ahwal (hamba-Nya)."

Syarah

Warid adalah terminologi suluk yang banyak ditemukan dalam Al-Hikam. Makna sederhana
warid adalah karunia Allah yang turun kepada seorang hamba. Proses turunnya warid terkait
dengan kesiapan qalb, dalam hal ini adalah kadar ahwal si hamba. Sebagai contoh, dalam Al-
Quran Allah berfirman:

َ َ‫َو َما يُلَقَّاهَا ِإ َّال الَّذِين‬


... ‫ص َب ُروا‬

Tidak dianugerahkan (al-hasanah) itu melainkan kepada orang-orang yang sabar ... – Q.S. Al-
Fushilat [41]: 35

Dalam ayat di atas, sabar adalah ahwal si hamba, dan al-hasanah yang dianugrahkan
merupakan warid yang Allah karuniakan.

Namun dalam pasal ini Ibnu Athaillah tidak hanya berbicara tentang ahwal dan warid; namun
juga berbicara keterkaitan antara warid dan amal. Bahwa warid yang diterima seorang hamba
terkait dengan amal hamba tersebut. Amal yang dimaksud disini adalah berupa amal yang
khusus, yakni amal atau dharma yang terkait dengan misi hidup atau jatidiri seseorang.

Haruslah dipahami bahwa jatidiri setiap manusia adalah unik dan berbeda. Suatu warid yang
Allah karuniakan kepada seorang hamba pasti akan mengungkap jatidiri hamba
tersebut. Seorang nabi, seorang rasul, seorang wali, seorang mursyid, seorang raja, seorang
ilmuwan, masing-masing memiliki amal-amal yang khusus terkait jatidirinya. Misalkan
seorang hamba yang jatidirinya sebagai mursyid, maka akan dikaruniai warid berupa
pengetahuan atau kemampuan untuk membimbing murid-muridnya.[]
Pasal 10 :

Cahaya Ikhlas

ِ َ‫ َوأ َ ْر َوا ُحـ َها ُو ُج ْود ُ ِس ِ ِّر اْ ِإل ْخال‬،ٌ‫ص َو ٌر قَائِ َمة‬
‫ص فِي َها‬ ُ ‫ا َ ْأل َ ْع َما ُل‬

"Amal-amal itu semata bentuk-bentuk yang tampil, adapun ruh-ruh yang menghidupkannya
adalah hadirnya sirr ikhlas (cahaya ikhlas) padanya"

Syarah

Alkisah, suatu hari saat Rasulullah SAW sedang berkumpul dengan beberapa sahabatnya,
datanglah seorang wanita kafir membawa beberapa biji buah jeruk sebagai hadiah. Rasulullah
SAW menerimanya dengan senyuman gembira. Lalu mulailah jeruk itu dimakan oleh
Rasulullah SAW dengan tersenyum, sebiji demi sebiji hingga habislah semua jeruk tersebut.
Maka ketika wanita itu meminta izin untuk pulang, maka salah seorang sahabat segera
bertanya mengapa tidak sedikit pun Rasulullah menyisakan jeruk tadi untuk sahabat
lainnya. Rasulullah SAW pun menjawab: “Tahukah kamu, sebenarnya buah jeruk itu terlalu
asam sewaktu saya merasakannya pertama kali. Kalau kalian turut makan, saya takut ada di
antara kalian yang akan mengernyitkan dahi atau memarahi wanita tersebut. Saya takut
hatinya akan tersinggung. Sebab itu saya habiskan semuanya.”

Akhlak yang agung seperti ini tidak dapat dipoles di permukaan, tetapi semata-mata karena
ada cahaya ikhlas yang sudah tertanam di dalam hati. Sikap dan perilaku adalah cerminan
hati. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah SAW bersabda:

"Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, ‘Aku telah
menanyakan hal itu kepada Allah’, lalu Allah berfirman, ‘(Ikhlas) adalah salah satu dari
rahasiaku, yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-
hamba-Ku" –Hadits Qudsi

Sirr secara bahasa artinya adalah “rahasia”. Secara hakikat sirr adalah cahaya khusus yang
Allah berikan kepada seorang hamba yang Dia cintai, sebagaimana diungkap dalam hadits
diatas.

Tidak ada amal-amal yang agung dapat tegak kecuali Allah telah menanamkan ruh berupa
cahaya ikhlas yang dapat menghidupkan amal tersebut. Sebagaimana akhlak-akhlak yang
tinggi yang ditampilkan oleh para nabi, rasul serta hamba-Nya yang Dia cintai adalah karena
ada ruh-ruh yang menghidupkannya; dan itu berupa sirr (cahaya) ikhlas yang menyala di
dalam hati.
Pasal 11:

Kuburlah Eksistensimu!

ُ ‫ فَ َما نَـبَتَ ِم َّمالَ ْم يُدْفَ ْن الَ يَــتِ ُّم نَـت َِاء ُجه‬،‫ض ْال ُخ ُمو ِل‬
ِ ‫اِدْفِ ْن ُو ُجودَكَ في ِ أ َ ْر‬

"Kuburlah wujudmu (eksistensimu) di dalam bumi kerendahan (ketiadaan); maka segala yang
tumbuh namun tidak ditanam (dengan baik) tidak akan sempurna buahnya."

Syarah

Secara bahasa, al-humuul artinya adalah kosong, lemah, bodoh, tidak aktif, tidak dikenal;
yang dalam pasal ini bermakna “kerendahan” atau “ketiadaan”. Sementara wujud atau
eksistensi manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, mahsyur, terpandang, paling hebat,
dan semacamnya. Dalam istilah psikologi, manusia diatur oleh ego yang ada dalam dirinya.

Bersuluk pada dasarnya adalah proses menumbuhkan jiwa. Adapun jiwa bagaikan pohon
yang tumbuh; jiwa harus ditanam dan dirawat agar dapat tumbuh dan berbuah dengan
sempurna. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

‫س َما ِء‬
َّ ‫ع َها فِي ال‬ ْ َ‫ط ِِّيبَ ٍة أ‬
ُ ‫صلُ َها ثَا ِبتٌ َوفَ ْر‬ َ ‫ط ِِّيبَةً َك‬
َ ٍ‫ش َج َرة‬ َ ً‫َّللاُ َمث َ ًال َك ِل َمة‬
َّ ‫ب‬ َ ‫ض َر‬ َ ‫أَلَ ْم ت ََر َكي‬
َ ‫ْف‬

َ‫اس لَ َعلَّ ُه ْم يَتَذَ َّك ُرون‬


ِ َّ‫َّللاُ ْاأل َ ْمثَا َل ِللن‬ ٍ ‫تُؤْ تِي أ ُ ُكلَ َها ُك َّل ِح‬
َّ ُ‫ين ِبإِذْ ِن َر ِِّب َها َو َيض ِْرب‬

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah tayyibah
itu seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke langit;

pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.– Q.S. Ibrahim
[14]: 24-25

Kita tidak akan mampu mengenal siapa diri kita, buah takwa apa yang harus kita hasilkan,
kecuali Allah memberi petunjuk dan perlindungan. Selama ini ego diri kita yang mengatur
siapa diri kita dan apa yang kita inginkan; sementara Allah lah yang lebih mengetahui diri kita
yang sesungguhnya.

Dalam pasal ini, Ibnu Athaillah mengungkap sebuah kunci agar kita dapat menghasilkan buah
takwa yang sempurna, yakni dengan mengubur eksistensi kita, ego kita, dalam bumi
ketiadaan.

......................................................................................................... Pasal 12 s/d pasal 57.........


Pasal 58 :

Kematian Hati

ِ ‫ َوت َْركُ ْالنَّدَ ِم َعلَ ْى َما فَعَلَهُ ِم ْن ُو ُج ْو ِد ْال َّز َّال‬،ِ‫ب َعدَ ُم ْال ُح ْز ِن َعلَ ْى َما فَاتَكَ ِمنَ ْال ُم َوافِقَات‬
‫ت‬ ِ ‫ت ْالقَ ْل‬ ِ ‫ِم ْن َع َال َما‬
ِ ‫ت َم ْو‬

"Di antara tanda-tanda kematian hati (adalah) tidak adanya kesedihan atas apa-apa yang
meninggalkanmu berupa (kondisi-kondisi/amalan-amalan) yang sesuai (al-muwafiqati). Dan
tidak meninggalkan penyesalan atas apa-apa yang telah engkau lakukan berupa
ketergelinciran-ketergelinciran (perbuatan-perbuatan yang menyimpang)."

Syarah

Pasal ini banyak menyimpan rahasia yang penting. Tidak sekedar tentang sebuah kesedihan
karena meninggalkan perbuatan baik atau menyesal karena berbuat dosa. Seperti halnya ada
istilah Al-Muwafiqati, tidak sesederhana diartikan sebagai suatu kebaikan atau amal hasanah,
namun terkait istilah teknis dalam suluk. Al-Muwafiqati adalah apa yang sesuai dengan diri
kita, yakni fitrah.

ِ َّ‫ق اللَّـ ِه ۚ ٰذَلِكَ ال ِدِّينُ ْالقَيِِّ ُم َولَ ٰـ ِك َّن أ َ ْكثَ َر الن‬


َ‫اس َال يَ ْعلَ ُمون‬ ِ ‫اس َعلَ ْي َها ۚ َال تَ ْبدِي َل ِلخ َْل‬ ْ ِ‫ِّين َحنِيفًا ۚ ف‬
َ َ‫ط َرتَ اللَّـ ِه الَّتِي ف‬
َ َّ‫ط َر الن‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِلل ِد‬

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (Itu adalah) fitrah Allah
yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah. (Itulah) Agama yang kokoh, tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. –
Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31

Menghadapkan wajah kita kepada Agama Allah, itulah fitrah.

Beragama adalah sebuah fitrah. Manusia bisa mengerjakan semua hal, tapi tidak akan bahagia
jika tidak menemukan pekerjaan yang sesuai fitrahnya. Karena seperti tertulis di Q.S. Ar-
Ruum [30]: 30 itu, manusia didesain sesuai dengan fitrah. Dan menghadapkan wajah kepada
Agama Allah adalah fitrah manusia. Seiring hilangnya hijab dan dosa, maka seseorang akan
otomatis mencari sebuah orientasi, senantiasa mencari jalan ke hal yang menjadi fitrahnya.

Fitrah manusia, menurut Ibnu Arabi, adalah kecenderungan manusia untuk mencari imam,
mencari seorang penuntun, panutan, waliyan murysida (lihat Q.S. [18]: 17), sesuatu yang
menuntun dirinya ke hadirat Allah Ta'ala. Sebuah simbol, tendensi, untuk mencari hal yang
lebih tinggi.

Setiap manusia memiliki fitrahnya. Tidak ada bayi yang lahir kemudian menjadi gay atau
lesbi, itu adalah sebuah contoh penyimpangan. Setiap bayi terlahir fitrah, yaitu insan yang
menghadapkan wajahnya kepada Agama Allah. Setiap bayi adalah seorang pencari Tuhan.
Semua manusia, di mana pun—jika disentuh oleh hal yang ilahiah, akan runtuh hatinya.

Di antara tanda-tanda kematian hati (qalb), adalah tidak adanya kesedihan atas apa-apa yang
meninggalkanmu berupa (kondisi/amalan-amalan) yang sesuai (dengan jiwamu).

Kalau orang yang hatinya mati, ia tak akan menjadi sedih dengan kehilangan kekhusyu'an
dalam shalat. Tidak menjadi sedih dengan hilangnya kesabaran, kepemurahan, kejujuran dan
semua penghias hati.
Adapun orang yang hidup hatinya akan sedih dengan kehilangan kekhusyu'an dalam shalat,
kehilangan kemampuan untuk bisa bersabar, bersyukur, berbuat kebaikan—terlebih lagi,
kehilangan sesuatu yang sesuai dengan kodrat atau fitrah dirinya.

Allah Ta'ala senantiasa menempatkan kita dalam dalam sebuah momen, selintas, kepada
sebuah keadaan yang sesuai dengan fitrah, yang hal itu kemudian menginspirasinya. Apa-apa
yang menginspirasi kita yang terkait misi hidup masing-masing akan selalu ada, terkecuali
jika hatinya mati. Jika hatinya mati, tidak akan mencari apa-apa yang sesuai dengan kodrat
dirinya, dengan fitrahnya.

Allah Ta’ala bisa saja tanpa sebab memberi sebuah kemanisan dalam shalat (khusyu') dalam
sesaat, yang kemudian Allah mengambilnya tanpa sebab, agar kemudian orang tersebut
berada dalam kesedihan dan merasa kehilangan yang kemudian membuatnya mencari-Nya.

Perhatikan diri masing-masing. Apakah pernah merindukan kekhusyu'an dalam shalat?


Apakah ada sebuah kesedihan dengan kehilangan hal tersebut? Semoga itu menjadi tanda
bahwa hatinya tidak mati.

Coba perhatikan lagi pasal 58 Al-Hikam ini.

Kalimat yang pertama adalah terkait kehilangan pakaian hati, kekhusyu'an, kepemurahan,
kesabaran, kejujuran, dan lain sebagainya.

Yang kedua terkait perbuatan buruk. Seperti halnya ketika kita salah dalam berbicara, terbit
sebuah penyesalan di hati. Sebuah rasa berat karena ketergelinciran lantaran perbuatan yang
kecil. Jika hatinya mati, maka tidak terasa berat ketika salah bicara, tidak terasa berat ketika
memfitnah, menggibah, atau berbuat hal-hal yang tidak pas dengan kondisi jiwanya.

Setiap yang kita perbuat akan menjejak di hati. Dalam kehidupan, Allah Ta’ala selalu
memberi kesempatan setiap saat kepada kita untuk beramal shalih. Allah Ta'ala menguji
dengan hal yang kecil dalam kehidupan. Hati kita bisa menjadi alat ukur akan hal tersebut, di
mana dalam pasal Al-Hikam ini: ihwal sebuah kesedihan yang terkait dengan hilangnya
kesempatan yang sangat penting dalam kehidupan.

Penting buat kita untuk mengukur tanda kematian hati. Apakah kita tidak merasa sedih jika
kehilangan hal-hal yang sesuai dengan bentuk kehidupan kita (fitrah)? Pekerjaan yang sesuai,
amal soleh, kekhusyu'an, dan lain sebagainya?

Hati yang sensitif—bukan di level perbuatan—adalah hati yang peka terhadap “perasaan”
Allah Ta’ala. Seorang mukmin akan senantiasa mensensitifkan hatinya terhadap “perasaan”
Allah. Apakah perbuatanku membuat Allah tersenyum? Apakah Dia ridha? Apakah Dia
berkenan dengan apa yang aku perbuat?

Kita bisa mengukur tingkat kematian hati masing-masing.

Seorang yang hatinya mati tidak akan tertarik akan sebuah keshalihan. Tidak akan
merindukan untuk menjadi shalih. Kalau tidak berjuang untuk meraih akhlak yang shalih,
yakni akhlak Nabi SAW, maka itu tanda matinya hati. Sepanjang kita tidak puas dengan
akhlak hari ini, berjuang mengikuti Nabi SAW, itu tanda hati yang hidup. []
Pasal 59 :

Besar Kecilnya Dosa

ُ‫ب ك ََر ِم ِه ذَ ْنبُه‬


ِ ‫صغ ََر فِ ْي َج ْن‬ َ ‫اّلِلِ تَعَالَ ْى؛ فَإ ِ َّن َم ْن َع َر‬
ْ َ ‫ف َربَّهُ ا ْست‬ َّ ‫صدُّكَ َع ْن ُحس ِْن ْال‬
َّ ْ ِ‫ظ ِِّن ب‬ َ ‫ظ ُم ْالذَّ ْنبُ ِع ْندَكَ َع‬
ُ َ ‫ظ َمةً ت‬ ُ ‫َال يَ ْع‬

"Janganlah membesarkan dosa (dengan suatu) kebesaran (tertentu) di sisimu, (sedemikian


rupa sehingga) menghalangimu dari berprasangka baik kepada Allah Ta'ala; karena
sesungguhnya barangsiapa mengenal Rabb-nya, maka ia akan menganggap kecil dosanya di
sisi kemuliaan-Nya."

Syarah

Ini adalah tentang sesuatu di sisi kita. Apa yang ada di sisi kita, bisa amal baik, bisa amal
buruk. Apa yang di sisi makhluk, dibawa ke sisi Allah. Kalau apa yang ada di sisi kita,
kemudian kita membesar-besarkannya, itu malah menjadi tidak melihat Allah sebagai Dzat
Yang Maha Pengampun.

Pengetahuan kita yang sedikit tentang Allah Ta’ala, bisa membuat kita menjadi
menggampangkan berbuat dosa, di sisi lain juga bisa membuat orang menjadi tidak melihat
sifat Allah yang lain hingga kemudian berputus asa dari rahmat Allah—karena sebuah dosa
(kejatuhan).

Manusia adalah tempat salah dan khilaf dalam arti yang sesungguhnya, yang dipasangkan
dengan sifat Allah yang hadir dengan sifat Cinta Kasih dan Penuh Pemaafan. Allah Ta’ala
hadir dengan sifat Cinta Kasih, lagi Maha Pengampun. Itu adalah pasangannya. Manusia
sebagai tempat berbuat salah, dan Allah dengan sifat Cinta Kasih-Nya.

Adapun semakin tinggi maqam seseorang, maka akan semakin sensitif terhadap konsekuensi
dosa. Menjadi sensitif terhadap hukuman Allah Ta’ala. Siapa yang maqamnya lebih tinggi,
mesti waspada, mesti hati-hati terhadap perbuatan-perbuatannya.

Allah Ta’ala adalah Dzat yang mencintai kepemaafan. Di antara kita, wajib saling berwasiat.
Jika Allah Maha Pemaaf, maka kita sebagai insan pun mesti pemaaf juga.

Allah Ta’ala berfirman,

“Hai Anak Adam, selama kalian berdoa dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan
memberikan ampunan kepada kalian atas semua dosa yang kalian lakukan tanpa Kupedulikan.
Hai Anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai ketinggian langit, kemudian kalian
memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni semua dosa yang telah kalian
lakukan tanpa Kupedulikan. Hai Anak Adam, seandainya kalian datang kepada-Ku dengan
membawa dosa-dosa sepenuh bumi, kemudian kalian datang kepada-Ku tanpa
mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang dengan membawa
ampunan sepenuh bumi.” — H.R. At-Tirmidzi

Dalam riyadhah juga mesti kosong, datang kepada Allah dengan semua keadaan kita. Mesti
lepas, tidak histeris. Histeris dalam riyadhah, seperti membawa penyesalan yang dalam dalam
arti membesar-besarkan, dan hal tersebut tidak efektif dalam riyadhah.
Dalam suluk, ada orang yang datang dengan kesalahannya, keinginannya hanya ingin
diampuni. Itu lebih baik, karena harapannya hanya ingin diampuni—tidak yang lain, karena
esensi dari riyadhah adalah pertaubatan.

Masalah ibadah adalah masalah tanggung jawab pribadi. Hendaklah pada setiap hal, kita
mencari berkah terbaiknya, di setiap waktu, di setiap tempat. Takwa dalam setiap keadaan.

Rasulullah SAW bersabda, "Ma’rifat adalah modalku."

Ketika shalat, kita harus memberikan yang terbaik. Hal pertama yang mesti diperhatikan
adalah tentang shalat. Barang siapa yang menyia-nyiakan shalatnya, maka hal yang lain akan
lebih disia-siakan lagi. Orang beriman itu kehidupannya bertumpu pada shalatnya. Hendaklah
banyak berdoa ketika sujud, karena itu adalah saat yang terdekat hamba dengan Rabb-nya.

Masalah ma’rifat adalah masalah membangun pengetahuan pribadi, dan itu sangat pribadi
sekali. Tidak bisa kita menggantungkan kepada yang lain. Kalau fondasinya rapuh, maka
tidak bisa menjadi bangunan yang kokoh. Dan shalat lah yang menjadi “keajaibannya”, yang
menjadi fondasinya.

Tidak ada seorang mukmin pun yang terlampau percaya diri bisa menyelesaikan setiap
persoalan kehidupannya. Kita harus mengandalkan sujud kita, doa kita, pengharapan kita
kepada Allah Ta’ala. Jika kita tinggal di gudang ilmu sekalipun, bilamana tidak Allah
berkati—tidak akan membawa manfaat. Kita mesti selalu berdoa kepada Allah di setiap
hembusan nafas. Mereka yang tidak berdoa kepada Allah adalah orang yang sombong.
Apapun masalah kita, Allah lah yang menyelesaikan. Itulah bentuk ubudiyah kita.

Segala hal di luar shalat adalah ujian. Kita harus khawatir dengan tipuan dari sebuah ujian.
Kemana pun kita pergi, banyak tipuannya. Bahkan dalam karunia Allah sekalipun. Kita tidak
mengetahui bagaimana mengolah otak kita dengan baik, pemikiran kita, kesehatan kita. Tidak
sedikit waktu luang kemudian menjadi sebuah musibah. Kesehatan pun bisa menjadi
musibah.

Harus takut kepada Allah Ta’ala. Memohon bimbingan-Nya, perlindungan-Nya di setiap hal.
Semua hal yang Allah datangkan bisa menjadi fitnah, kecuali mereka yang berlindung kepada
Allah Ta’ala. Jangan berhenti berdoa. Mohon selalu perlindungan, bahkan ketika mengkaji
Al-Qur’an sekalipun.

Tidak ada seorang mukmin pun yang terlampau percaya diri bisa menyelesaikan setiap
persoalan kehidupannya. Kita harus mengandalkan sujud kita, doa kita, pengharapan kita
kepada Allah Ta'ala.

Seorang pejalan adalah seorang yang betul-betul mengandalkan Allah di setiap saatnya.
Memohon di setiap hal, meminta atas segala hal, bahkan kreatifitas pun memohon
bimbingan—dari semua hal yang Allah datangkan, senantiasa memohon perlindungan kepada
Allah Ta’ala.

Bahkan mimpi pun bisa jadi ujian. Seseorang bisa diuji di dalam mimpi tentang sebuah
hukum.

Semua hal yang Allah datangkan bisa jadi ujian.


Rentang dosa sangat luas, dari hal yang sangat remeh sampai hal yang berat. Dosa kecil jika
dilakukan rutin akan menjadi bukit juga, membesar dan semakin membesar. Dosa kecil yang
dianggap remeh akan menjadi besar juga.

Setiap orang ada spektrum dosanya. Amat jarang yang kemudian memandang sesuatu hal
sebagai adz-dzanbu, karena dianggapnya sebagai sesuatu hal yang kecil.

Semakin khusus seseorang, maka semakin bersih hatinya. Bagi orang yang khusus, semua hal
menjadi adz-dzanbu.

Seperti kisah Nabi Yaqub a.s. yang dibuat buta berpuluh tahun, seolah-olah beliau kurang
hati-hati menitipkan anaknya ke kakak-kakaknya, dan tidak menitipkan dulu ke Allah Ta’ala.
Bagi seorang Nabi, itu adalah hal yang fatal, hingga kemudian Nabi Yaqub a.s. menjadi buta.
Tapi seorang Nabi Yaqub a.s. tidak berputus asa dari rahmat Allah, hingga kemudian
mencium wangi Nabi Yusuf a.s. dan sembuh dari kebutaannya.

Contoh dari Nabi Yaqub a.s. itu bisa terjadi pada kita. Ketika kita menitipkan (masa depan)
anak kita, semestinya ke Allah dulu. Tidak langsung ke perencanaan, langsung menitipkan ke
sebuah sekolah, dan lain sebagainya. Bisa jadi kita buta hati, karena kita lebih yakin kepada
yang lain, dan tidak menitipkan ke Allah Ta'ala dulu, seperti contoh kisah Nabi Yaqub a.s.
yang menitipkan Yusuf a.s. kepada kakak-kakaknya.

Namun, demikian pula, kita mesti seperti Nabi Yaqub a.s.: tidak berputus asa dari rahmat
Allah. Tidak berputus asa dari Ruh Allah. Tidak berputus asa dari bertemu diri.

َ‫س ِمن َّر ْوحِ اللَّـ ِه ِإ َّال ْالقَ ْو ُم ْالكَا ِف ُرون‬


ُ َ ‫سوا ِمن َّر ْوحِ اللَّـ ِه ۖ ِإنَّهُ َال َي ْيأ‬
ُ َ ‫ف َوأ َ ِخي ِه َو َال تَ ْيأ‬
َ ‫س‬
ُ ‫سوا ِمن يُو‬ َّ ‫ي اذْ َهبُوا فَت َ َح‬
ُ ‫س‬ َّ ‫َيا َب ِن‬

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah (ruhillah). Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. – Q.S. Yusuf [12]: 87

Mengapa kita tidak bertemu diri, atau suluk tidak ada perkembangan, adalah karena kita
sendiri lah yang tidak pandai mengelola munajat kita kepada Allah Ta'ala. Jangan salahkan
siapapun, bukan salah mursyidnya, bukan salah agamanya. Itu adalah karena kesalahan kita
yang kurang cerdas dan rapih dalam memanfaatkan dialog dengan Allah Ta'ala di setiap saat.
Itu hal yang gratis, yang bisa dilakukan oleh setiap kita. Karena bukan mursyid yang
berkuasa, bukan pula Nabi, namun Allah lah yang berkuasa atas segala sesuatu.

Dan musuh dalam diri sangat banyak: pikiran, perasaan, hawa nafsu, ilmu kita, cahaya kita,
karunia Allah yang lain bisa jadi musuh kita semua. Oleh karena itu, sebagaimana kata Imam
An-Nifari, “Hamba yang dipercaya adalah mereka yang mengembalikan atau menyerahkan
semua hal kepada Allah Ta’ala.”

Allah akan memberi sesuatu, namun kita mesti bermohon. Ya Allah, hamba adalah seorang
yang tidak paham, hamba seorang yang faqir ihwal semua yang Engkau karuniakan
kepadaku. Pada semua hal, ilmu kita, pangkat kita, kecerdasan kita. Ya Allah, ini buat apa?
Bagaimana mengelolanya agar manfaat?

Jadikanlah pada setiap hal yang Allah berikan, kita mohonkan kepada Allah. Dan ubah setiap
hal, menjadi sebuah kendaraan terbaik kita di akhirat nanti. Baik itu pulpen kita, kacamata
kita, buku kita, kertas kita, handphone kita. Semua hal yang Allah beri!
Ya Allah beri hamba kemampuan untuk mengelola semua hal yang Engkau berikan dengan
benar, agar sesuai dengan yang Engkau kehendaki, di dalam keridhaan Engkau.

Siapa yang sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, maka Allah pasti akan menjamin.

Anda mungkin juga menyukai