Anda di halaman 1dari 6

Pokok Pandangan Islam - Thariqah

Tentang Manusia
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian
Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman
dan beramal shalih, maka bagi mereka karunia yang tiada putus-putusnya. – Q.S. At-Tiin
[95]: 4-6

AL-QUR’AN menggambarkan manusia sebagai makhluk yang menempati kedudukan yang


sangat tinggi dan sangat khusus. Allah SWT, Sang Raja Semesta itu "mengajarkan kepada
Adam nama-nama seluruhnya" (Q.S. Al-Baqarah [2]: 31) dan memintanya mengajarkan
kembali rahasia-rahasia itu kepada makhluk-makhluk lainnya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 33).
Allah bahkan menyuruh kepada para Malaikat agar bersujud kepada Adam (Q.S. Al-Baqarah
[2]: 34).

Namun dalam pandangan beberapa filsuf, eksistensi manusia hanyalah sebuah kebetulan
alamiah saja. Hidup dalam pandangan mereka hanyalah sebuah rutinitas untuk mengukur
jalanan dari pagi sampai petang, mencari makan, mengisi lambung yang tak seberapa ini.

Allah menantang pemikiran-pemikiran ini dalam firman-firman-Nya. Salah satunya berbunyi:

َ‫أَفَ َح ِس ْبت ُ ْم أَنَّ َما َخلَ ْقنَا ُك ْم َع َبثًا َوأَنَّ ُك ْم إِلَ ْينَا ََل ت ُ ْر َجعُون‬

Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakanmu secara main-main (saja), dan
bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? – Q.S. Al-Mu'minuun [23]: 115

Allah sungguh tidak main-main dengan penciptaan manusia. Kedudukan khusus yang
disematkan-Nya kepada makhluk yang satu ini diiringi pula oleh sekian ragam "fasilitas"
yang juga khusus, sangat kaya dan kompleks. Tidakkah kita merasakannya? Saat menyusuri
tempat-tempat di hamparan, gunung-gunung dan lautan, segala hal di dalamnya tampak begitu
"ramah" kepada kita, "Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu
apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya?" (Q.S. Hajj
[22]: 65)

Allah bahkan secara khusus mendesain matahari dan bulan yang beredar sedemikian rupa
demi mendukung satu kebutuhan manusia yang esensial akan bilangan dan perhitungan (Q.S.
Yunus [10]: 5).

7
Allah sungguh tidak main-main dengan penciptaan manusia. Kedudukan khusus yang
disematkan-Nya kepada makhluk yang satu ini diiringi pula oleh sekian ragam "fasilitas"
yang juga khusus, sangat kaya dan kompleks. Tidakkah kita merasakannya?
Bola-bola gas super raksasa yang bersinar terang di langit, terwujud dalam konstelasi bintang-
bintang yang tak terhitung jumlahnya, dengan sekian pelik hukum fisikanya adalah "…agar
kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut" (Q.S. Al-An’aam [6]:
97). Lalu kini kita berdiri di atas sebintik debu bernama Bumi ini di tengah kemahaluasan
Semesta Raya yang semuanya—ya, seluruhnya!—telah ditundukkan-Nya bagi kita manusia.

ٍ ‫س َّخ َراتٌ بِأ َ ْم ِر ِه ۗ إِ َّن فِي َٰذ َلِكَ ََليَا‬


َ‫ت ِلِّقَ ْو ٍم يَ ْع ِقلُون‬ َ ‫س َو ْالقَ َم َر ۖ َوالنُّ ُجو ُم ُم‬
َ ‫ش ْم‬ َ ‫س َّخ َر لَ ُك ُم اللَّ ْي َل َوالنَّ َه‬
َّ ‫ار َوال‬ َ ‫َو‬

Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu
ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami-(nya).–Q.S. An-Nahl
[16]: 12

Tidakkah semua perlakuan khusus itu memicu pertanyaan di dalam diri kita, siapakah
sebenarnya makhluk ini? Siapakah kita? Dari mana asalnya, kemana, dan untuk apa kita ada
di sini?

Apakah kita menganggap bahwa hidup hanya berawal di sini dan di sini pula hidup itu
berakhir? Pernahkah kita membayangkan di sebuah rentang waktu, jauh sebelum kita terlahir
di dunia, kita pernah bercakap-cakap dengan Dia yang kita sebut "Tuhan", Sang Raja Semesta
Raya itu?

Apakah kita menganggap bahwa hidup hanya berawal di sini dan di sini pula hidup itu
berakhir? Pernahkah kita membayangkan di sebuah rentang waktu, jauh sebelum kita terlahir
di dunia, kita pernah bercakap-cakap dengan Dia yang kita sebut "Tuhan", Sang Raja Semesta
Raya itu?

Manusia adalah Saksi Allah


Al-Qur’an merekam sebuah jejak sejarah dari masing-masing kita, keturunan Adam (Bani
Adam), tentang sebuah peristiwa di sebuah alam yang disebut oleh para ulama sebagai Alam
Alastu atau Alam Persaksian:

‫ش ِهدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة إِنَّا‬


َ ۛ ‫ور ِه ْم ذ ُ ِ ِّريَّت َ ُه ْم َوأ َ ْش َهدَ ُه ْم َعلَ َٰى أَنفُ ِس ِه ْم أَلَ ْستُ بِ َربِِّ ُك ْم ۖ قَالُوا بَلَ َٰى‬ ُ ‫َوإِذْ أ َ َخذَ َربُّكَ ِمن بَنِي آدَ َم ِمن‬
ِ ‫ظ ُه‬
َ‫ُكنَّا َع ْن َه َٰـذَا غَافِلِين‬

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). – Q.S. Al-A'raaf
[7]: 172

Ayat ini adalah sebuah reportase penting tentang suatu masa ketika kita sungguh berhadap-
hadapan dengan sosok Sang Raja Diraja Semesta itu. Saat itu diambil sebuah kesaksian
terhadap tiap-tiap diri (nafs/jiwa), masing-masing kita: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Dan
kita pun menjawab: "Betul, kami menjadi saksi."

8
"Saksi", atau "syuhada" dalam bahasa Arab, secara umum merujuk kepada pihak yang
dihadirkan karena dianggap memiliki pengetahuan tentang suatu hal atau karena ia
menyaksikan kejadian tertentu. Dalam hal ini, manusia dinisbatkan sebagai saksi Allah, Tuhan
Semesta Alam.

Manusia adalah saksi yang disumpah untuk memberikan keterangan yang membenarkan-Nya.
Manusialah yang akan angkat bicara atas setiap keraguan tentang keberadaan-Nya, tentang
keesaan-Nya, tentang kebesaran-Nya, tentang ke-99 asma-Nya. Kita menjadi saksi atas itu.
Karena bukankah kita telah berhadap-hadapan dengan Sang Maha Agung, bercakap-cakap
dan menyaksikan-Nya?

Dalam konteks yang lain, syahid atau syuhada (bentuk jamak dari syahid) kerap diartikan
sebagai orang yang mati syahid di medan perang—yang di dalam Al-Qur’an disebutkan
sebagai salah satu di antara orang-orang yang dianugerahi nikmat (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 69)
selain para Nabi, Shiddiqin, dan Shalihin.

Namun makna asali dari kata ini sebenarnya adalah "ia yang bersaksi" dan tidak ada
kaitannya dengan sebuah peperangan. Syahid merupakan sebuah "gelar" orang-orang yang
teguh berdiri dalam kesaksiannya, yang tidak selamanya sebagai martir dalam peperangan,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Siapa yang berdoa kepada Allah dengan benar untuk
mendapatkan mati syahid, maka Allah akan menyampaikannya kepada kedudukan para
syuhada walaupun dia mati di atas tempat tidur" (H.R. Muslim). Juga, di hadits yang lain
disebutkan,"Sebagian besar para syuhada dari umatku adalah mereka yang mati di tempat
tidur" (H.R. Ibnu Mas’ud).

Oleh karena itu, ungkapan yang lebih tepat dalam menggambarkan arti syahid atau syuhada
adalah ia yang memegang teguh kesaksian Allah atas penciptaan-Nya, kasih dan sayang-Nya,
keagungan-Nya, penggelaran seluruh takdir dan asma-asma-Nya, fitrah-Nya. Ia menjadi
tonggak kesaksian Tuhannya itu bahkan ketika hidup sampai di ujung maut sekalipun. Maka,
barangkali dalam konteks inilah kita memahami sabda Rasulullah SAW bahwa "Orang yang
terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang mati terkena wabah adalah syahid, dan
seorang Ibu yang meninggal karena melahirkan anaknya adalah syahid, maka anaknya
menariknya dengan tali pusar untuk masuk ke surga" (H.R. Ahmad).

Itulah prinsip dasar kebersaksian atas Allah Ta’ala, peran yang diemban tiap-tiap diri umat
manusia.

Arti syahid atau syuhada adalah ia yang memegang teguh kesaksian Allah atas penciptaan-
Nya, kasih dan sayang-Nya, keagungan-Nya, penggelaran seluruh takdir dan asma-asma-Nya,
fitrah-Nya.

Abdi Allah : Sang Ksatria Raja

Terdapat beberapa petunjuk lain di dalam Al-Qur’an yang bisa menuntun kita kepada indikasi
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mendasar dan maha penting tentang eksistensi manusia.

ِ ‫نس ِإ ََّل ِليَ ْعبُد‬


‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل‬

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
– Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56

9
Ini adalah ayat yang sangat populer dan sungguh dalam maknanya. Kata ya’buduun di akhir
ayat tersebut memang tak jarang diterjemahkan sebagai "beribadah kepada-Ku", namun kata
tersebut memiliki arti inti yang lebih fundamental, yakni "mengabdi kepada-Ku" atau
"menjadi abdi-Ku": suatu indikasi tentang sebuah peran yang disematkan baik kepada
penciptaan jin maupun manusia.

Ayat tersebut menginformasikan bahwa manusia adalah sesosok makhluk yang diciptakan
untuk menjadi abdi, dan bukan sembarang abdi: ia mengemban tugas dan misi suci dari Allah
Rabb Al-Alamin.

Kita dapat merasakan sebuah redaksi penunjukan langsung di ayat tersebut: Allah Ta’ala
mengatakan "abdi-Ku", bukan "abdi Kami" atau abdi siapa-siapa—manusia, dalam ayat tadi
adalah jelas “milik-Ku”. Manusia tidak membawa tugas kepelayanan tingkat dua atau tiga
dari malaikat tertentu atau jin tertentu atau makhluk-makhluk lainnya. Manusia mengemban
tugas suci langsung dari Allah Ta’ala, Sang Raja Diraja Semesta itu sendiri. Bila diibaratkan,
manusia adalah para ksatria Raja, pelayan raja atau menteri dan abdi negara yang bertanggung
jawab langsung kepada pucuk pimpinan tertingginya.

Masing-masing dari kita semua membawa misi suci dari Allah Ta’ala, tak satu pun terkecuali.
Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa "Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia
diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya." (H.R. Bukhari)

Tapi pernahkah kita merenungkan barang sejenak, di manakah kini para abdi Allah yang
mulia itu? Bila kita manusia, jajaran para ksatria itu, apakah kita telah "lupa kepada
kejadiannya; dan (malah) berkata: 'Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang,
yang telah hancur luluh?'" (Q.S. Yaasiin [36]: 78). Apakah kita telah terjerumus ke dalam ke
limbah nista dan nestapa, terbata-bata dalam kehidupan, lupa akan siapa dirinya dan tak tahu
arah mana yang dituju? Adakah itu lantaran telah tertutup telinga, mata dan hati, hingga kita
berperilaku "seperti hewan ternak bahkan lebih sesat lagi?" (Q.S. Al-A’raaf [7]: 179).

Namun terlepas dari semua "pembangkangan" itu, kita paham satu hal: bahwa ada sesuatu
yang agung pada penciptaan manusia, masing-masing kita. Manusia, pada hakikatnya, adalah
para saksi Allah, saksi atas kemaha-agungan-Nya, yang menjadi abdi-Nya, pelayan-Nya,
ksatria-Nya dalam mengemban suatu tugas atau misi suci tertentu dari Allah Ta’ala.

Khalifah di Muka Bumi

Ayat Al-Qur’an berikut ini menjelaskan lebih jauh seperti apa tugas atau misi yang diemban
oleh kita manusia—sebuah peran yang tidak dinisbatkan kepada malaikat, jin atau makhluk-
makhluk lainnya.

ُ ‫سبِِّ ُح بِ َح ْمدِكَ َونُقَ ِد‬


‫ِّس‬ ِ ‫َوإِذْ قَا َل َربُّكَ ِل ْل َم ََلئِ َك ِة إِنِِّي َجا ِع ٌل فِي ْاْل َ ْر‬
َ ُ‫ض َخ ِليفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْ عَ ُل فِي َها َمن يُ ْف ِسد ُ فِي َها َويَ ْس ِفكُ ال ِدِّ َما َء َونَحْ نُ ن‬
َ‫لَكَ ۖ قَا َل ِإنِِّي أ َ ْعلَ ُم َما ََل تَ ْعلَ ُمون‬

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” – Q.S. Al-Baqarah [2]: 30

10
Di ayat tersebut, Allah menyebutkan di hadapan para Malaikat-Nya tentang kepada siapa Dia
embankan tugas atau misi kekhalifahan di muka bumi ini, yakni kepada Manusia.

Istilah khalifah di dalam bahasa Arab berarti "pemimpin", atau "wakil" atau "pengganti"—
yakni ia yang mewakili atau menggantikan suatu otoritas kepemimpinan tertentu, seperti
halnya duta besar yang mewakili kepala pemerintahan suatu negara di luar negeri. Maka di
sini, sebagai contoh, kita mengenal Khulafaur-Rasyidin, yang mengandung kata khulafa
(jamak dari kata khalifa), yakni mereka yang menggantikan atau mewakili Rasulullah SAW
sepeninggal Beliau sebagai pemimpin umat Islam.

Maka,"khalifah di muka bumi" pada ayat tersebut mengandung arti "pemimpin atau wakil
Allah di muka bumi". Makna ini secara khusus tersirat pula di dalam sebuah ayat yang lain:

‫ضلُّونَ َعن‬
ِ َ‫سبِي ِل اللَّـ ِه ۚ إِ َّن الَّذِينَ ي‬ ِ ‫ق َو ََل تَتَّبِعِ ْال َه َو َٰى فَي‬
َ ‫ُضلَّكَ َعن‬ ِ ِّ ‫اس بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ض فَاحْ ُكم بَيْنَ الن‬ ِ ‫يَا دَ ُاوود ُ إِنَّا َجعَ ْلنَاكَ َخ ِليفَةً فِي ْاْل َ ْر‬
‫ب‬
ِ ‫سا‬ َ ‫سوا َي ْو َم ْال ِح‬ َ ٌ‫س ِبي ِل اللَّـ ِه لَ ُه ْم َعذَاب‬
ُ َ‫شدِيد ٌ ِب َما ن‬ َ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. – Q.S. Shaad [38]: 26

Mari kita renungkan baik-baik ayat yang sangat penting ini.

Mengapa Allah memerintahkan Nabi Daud a.s. agar "berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil" padahal bukankah Allah menyandang gelar Al-Hakim (salah satu dari
99 Asma al-Husna) dan Dia telah menyebut diri-Nya sebagai "yang memberi keputusan dan
Hakim yang sebaik-baiknya"? (Q.S. Yunus [10]: 109). Jawabnya tentu, karena Allah telah
"menjadikan khalifah"—dalam arti "mewakilkan suatu urusan" di muka bumi kepada
manusia. Allah telah mewakilkan urusan kehakiman, urusan pemberian keputusan secara adil
di kalangan Bani Israil kala itu kepada Nabi Daud a.s.

Maka demikianlah, ketika menjadikan khalifah di muka bumi itu, Allah mewakilkan atau
mengamanahkan suatu urusan kepada wakil pengganti (khalifah) tersebut—dan itulah yang
menjadi tugas atau misi spesifik yang diemban oleh seorang manusia sebagai khalifah.

Perhatikan bahwa tak hanya kepada Daud a.s., Allah pun menjadikan Musa a.s. sebagai
khalifah bagi kaumnya di masa itu. Allah mewakilkan kepada tiap-tiap nabi masing-masing
urusannya, termasuk kepada Rasulullah SAW sebagai manusia teragung, segel atau penutup
kenabian (khatamun nabiyyin), dan uswatun hasanah, teladan terbaik bagi umat manusia.

Tiap-tiap diri kita adalah sebuah "instrumen" yang mewakili suatu urusan ('amr) yang
spesifik—di sebuah ruang waktu tertentu, atau situasi tertentu—sebagai perwujudan
rancangan Allah menjadikan para wakil-Nya di muka bumi ini. Maka, sebagaimana Allah
telah mewakilkan aspek Al-Hakim kepada Daud a.s., kepada masing-masing diri kita pun
Allah telah sematkan—dalam kadar tertentu—beberapa khazanah dari asma-asma-Nya itu,
fitrah-Nya, untuk mendukung urusan kekhalifahan tersebut. "(Demikianlah) Fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut Fitrah itu." (Q.S. Ar-Ruum [30]: 30), sebagaimana
pula Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan
citra-Nya." (H.R. Bukhari, Muslim)

11
Tiap-tiap diri kita adalah sebuah "instrumen" yang mewakili suatu urusan ('amr) yang spesifik
– di sebuah ruang waktu tertentu, atau situasi tertentu--sebagai perwujudan rancangan Allah
menjadikan para wakil-Nya di muka bumi ini.

Maka tidakkah kita memiliki rasa itu, menyadari bahwa tiap-tiap diri kita memiliki
kompetensi yang berbeda-beda, kekuatan dan kekurangan, bidang-bidang yang mudah
dikuasai dan bidang-bidang yang sulit? Masing-masing kita disematkan suatu "konfigurasi"
yang unik dari citra-Nya, dari asma-asma-Nya, yang mengindikasikan suatu urusan yang
Allah hendak wakilkan kepada masing-masing kita demi memakmurkan Bumi ini.

ِ ‫شأ َ ُكم ِ ِّمنَ ْاْل َ ْر‬


‫ض َوا ْست َ ْع َم َر ُك ْم فِي َها فَا ْستَ ْغ ِف ُروهُ ث ُ َّم‬ َ ‫صا ِل ًحا ۚ قَا َل يَا قَ ْو ِم ا ْعبُد ُوا اللَّـهَ َما لَ ُكم ِِّم ْن إِلَ َٰـ ٍه َغي ُْرهُ ۖ ه َُو أَن‬
َ ‫َوإِلَ َٰى ث َ ُمودَ أَخَا ُه ْم‬
ٌ‫تُوبُوا إِلَ ْي ِه ۚ إِ َّن َربِِّي قَ ِريبٌ ُّم ِجيب‬

Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu
dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” – Q.S. Huud [11]: 61

Maka, mari renungkan dalam-dalam tentang penciptaan manusia ini, penciptaan diri kita
semua, para saksi Allah, yang berperan sebagai abdi-Nya, ksatria-Nya dalam mengemban
suatu tugas atau misi suci tertentu dari Allah Ta’ala. Kita, yang dilengkapi sekian khazanah
ilahiah yang disematkan ke dalam relung diri (nafs/jiwa) kita yang terdalam, sebagai wakil-
Nya untuk sebuah urusan suci di muka bumi ini.

Ya, masing-masing kita.

Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang
dimudahkan kepadanya. – H.R. Bukhari

Resume

Manusia adalah makhluk Allah yang mengemban amanah dengan tugas istimewa, menjadi
Khalifah, wakil-Nya di Bumi dengan urusan/misi khusus yang berbeda

12

Anda mungkin juga menyukai