Anda di halaman 1dari 9

2

Struktur Insan
Memahami Interaksi Unsur-unsur Pembentuk Manusia

Abu Hamid Al-Ghazali (1058 - 1111 M), seorang ulama besar muslim yang telah berhasil
meraih pengenalan diri dan memahami tujuan penciptaannya, mengatakan dalam kitabnya
Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu ad-diin) bahwa sedikit sekali orang yang
dianugerahi Allah pemahaman tentang jiwa dan perbedaan antara jiwa dan ruh. Itu di masa
keemasan Islam. Di masa ini, lebih sedikit lagi.

Di sisi lain, semakin modern zaman, keraguan dan ambiguitas harus semakin berkurang,
sementara definisi harus semakin jelas—terutama tentang hal-hal yang terkait pemahaman
agama. Melalui para hamba Allah yang ditugaskan untuk membuka hal tersebut di zaman ini,
pemahaman tentang jiwa maupun perbedaannya dengan ruh pun semakin lama menjadi
semakin jelas dan terbuka.

Jasad
Unsur pertama adalah jasad. Kita mengenalnya dengan istilah “tubuh” atau “badan”. Bahasa
Sanskrit mengistilahkannya dengan raga. Dalam kitab-kitab tasawuf, digunakan juga istilah
jism atau jisim. Jasad ini—tepatnya turunan dari jasad Adam a.s., manusia pertama—
merupakan gabungan dari banyak unsur-unsur penciptanya, yang oleh para filsuf di masa
Yunani Kuno disebut bahwa unsur-unsur pembentuknya adalah AFEW: air (udara), fire (Api)
, earth (tanah) dan water (air). Semua unsur ini adalah sama dengan unsur-unsur bumi, tempat
di mana manusia tinggal.

ٍ ‫س ََللَ ٍة ِ ِّمن ِط‬


‫ين‬ ُ ‫سانَ ِمن‬ ِ ْ ‫َولَقَدْ َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْلن‬

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. – Q.S. Al-Mu’minun [23]:
12

Unsur-unsur ini digabung, disatukan, diikat oleh sesuatu yang berasal dari Sang Maha Hidup,
yaitu Ruh. Karena berasal dari Sang Maha Hidup, maka keberadaannya pun membuat sesuatu
menjadi hidup. Karena adanya ruh maka unsur-unsur itu menyatu dan membentuk sesuatu
yang lain, yang hidup. Jika ruh diangkat, maka unsur-unsur itu akan kembali terurai ke sifat-
sifatnya semula, menjadi unsur-unsur saripati tanah.

13
Kedudukan jasad hanyalah sebagai pakaian atau kendaraan bagi pengendaranya, sang jiwa.
Jika pengendaranya sudah berangkat ke alam yang berbeda, jasad—pakaiannya atau
kudanya—akan kembali terurai menjadi unsur-unsur kebumian.

Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain, bintang gemintang,
hingga batas alam semesta fisik yang terjauh, disebut alam mulk. Pendeknya, semua alam
yang masih memiliki bentuk fisik dan terkena hukum-hukum alam fisik, adalah alam mulk.
Kata mulk (dari Bahasa Arab m-l-k) bermakna “kedaulatan”. Alam fisik ini adalah alam di
mana insan diberi kedaulatan atau mandat oleh Allah Ta’ala, untuk ikut mengaturnya—
tepatnya, untuk memakmurkannya. Secara kedekatan, alam mulk adalah alam yang paling
jauh dari Allah Ta’ala.

Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain, bintang gemintang,
hingga batas alam semesta fisik yang terjauh, disebut alam mulk. Semua alam yang masih
memiliki bentuk fisik dan terkena hukum-hukum alam fisik, adalah alam mulk.

Alam mulk disebut juga dengan sebutan alam syahadah (alam persaksian), karena di alam
yang inilah manusia harus berhasil mempersaksikan Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya.

Nafs (Jiwa)
Unsur kedua, adalah nafs. Nafs, dalam bahasa kita disebut jiwa. Bahasa sanskrit menyebutnya
dengan istilah sukma. Dalam bahasa Arab kata nafs kerap dimaknai sebagai diri, karena
sesungguhnya yang disebut diri manusia bukanlah jasadnya, melainkan jiwanya. Nafs adalah
diri yang seharusnya menjadi pengendali atau pengendara jasad. Nafs tidak sama dengan ruh.

Jika jasad terbuat dari satuan unsur-unsur saripati tanah, maka jiwa dibentuk dari cahaya.
Bukan cahaya fisik berupa gelombang elektromagnetik seperti cahaya lampu senter,
melainkan cahaya ilahiah, nur ilahi. Jika dimisalkan bahwa Allah adalah sumber cahaya,
maka nafs diciptakan dari cahaya yang memancar dari sumber cahaya tersebut. Nafs pada
dasarnya tidak membutuhkan ruh untuk hidup—nafs yang berasal dari cahaya Allah telah
hidup walaupun tanpa ruh.

Nafs-lah yang menjadi hakikat ke-insan-an seseorang. Nafs-lah yang menjadi sasaran
pendidikan Allah Ta’ala, untuk diajari tentang Dia dan ayat-ayat-Nya, sehingga ia mampu
mempersaksikan bahwa segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, adalah Al-Haqq—Al-Haqq
adalah salah satu nama Allah Ta’ala.

ٌ ‫ش ِهيد‬
َ ٍ‫ش ْيء‬ ِ ‫ق َوفِي أَنفُ ِس ِه ْم َحت َّ ٰى يَتَبَيَّنَ لَ ُه ْم أَنَّهُ ْال َحق ۗ أ َ َولَ ْم يَ ْك‬
َ ‫ف بِ َر ِبِّكَ أَنَّهُ َعلَ ٰى ُك ِِّل‬ ِ ‫سنُ ِري ِه ْم آيَا ِتنَا فِي ْاْلفَا‬
َ

Akan Kami perlihatkan ayat-ayat kami hingga seluruh ufuk dan dalam nafs-nafs mereka
sendiri, hingga menjadi jelas bagi mereka bahwa itu adalah Al-Haqq. Tidakkah cukup bahwa
Rabb-mu, sesungguhnya Dia, atas segala sesuatu, menjadi saksi? – Q.S. Fushshilat [41]: 53

Sedikit mengoreksi dugaan umum, bahwa ketika telah menyaksikan dengan sebenar-benarnya
bahwa di dalam diri terdapat Al-Haqq sebagaimana tercantum dalam ayat di atas, itu tidak
sama dengan mempersaksikan bahwa diri adalah Allah. Itu lebih kepada berhasil melihat dan
mempersaksikan bahwa segala sesuatu, termasuk diri sendiri, adalah ayat Allah, dan menjadi
salah satu tempat di mana Allah Ta’ala menyimpan Al-Haqq, kebenaran tertinggi, yang
berhasil dipahaminya.

14
Untuk tujuan mengenal ayat-ayat Allah dan Al-Haqq inilah nafs ditempatkan di alam mulk—
alam kita ini—dan diberi kendaraan sekaligus pakaian yang sesuai untuk hidup di alam mulk,
karena berasal dari alam yang sama: jasad. Meski demikian, nafs sesungguhnya bukan
penghuni alam mulk. Ia berasal dari alam yang disebut alam malakut, alam yang merupakan
tempat natural bagi jiwa-jiwa suci dan malaikat.

Namun, bagi jiwa-jiwa yang belum suci dan masih membawa dosa ketika meninggalkan alam
mulk, mereka terikat untuk disucikan di sebuah alam perantara yang disebut alam qubr (alam
kubur). Alam qubr adalah perantara (barzakh) antara alam dunia (mulk) dan alam malakut.

Nafs inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah menjadi kondisi sebagaimana
seharusnya. Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan. Kita
mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.

Nafs inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah menjadi kondisi sebagaimana
seharusnya. Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan. Kita
mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.

‫ِإ َّن اللَّـهَ ََل يُغَ ِي ُِّر َما ِبقَ ْو ٍم َحت َّ ٰى يُ َغ ِي ُِّروا َما ِبأَنفُ ِس ِه ْم‬

Sesungguhnya tidaklah Allah akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah
keadaan nafs-nafs (jiwa-jiwa) mereka.” – Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11

Nafs sendiri, berdasarkan tingkat kesuciannya, terbagi menjadi tiga:

1. Nafs Ammarah bi Su’

Pertama, tingkat nafs yang terendah, disebut nafs ammarah bi-su’ (nafs yang memerintah
dengan keburukan, atau mengajak pada keburukan—bukan “nafsu amarah”).

ٌ ُ‫وء إِ ََّل َما َر ِح َم َربِِّي ۚ إِ َّن َربِِّي َغف‬


‫ور َّر ِحي ٌم‬ َ ‫س ََل َ َّم‬
ِ ‫ارة ٌ بِالس‬ ُ ‫َو َما أُبَ ِ ِّر‬
َ ‫ئ نَ ْفسِي ۚ إِ َّن النَّ ْف‬

Dan tidaklah aku menyatakan jiwaku bebas dari kesalahan. Sesungguhnya nafs itu selalu
memerintah dengan keburukan (ammaratu bi su’) kecuali yang dirahmati Rabb-ku.
Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang. – Q.S. Yusuf [12]: 53

Ini adalah nafs yang masih didominasi oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri, sehingga ia
selalu diajak, diperintah atau dibawa ke arah keburukan oleh hawa nafsu dan syahwatnya—
dan ia tidak mampu melepaskan dirinya. Ia masih terikat dengan (sifat-sifat) kejasadiahannya
sendiri.

Proses pertama di jalan taubat adalah membebaskan nafs dari perbudakan ini: membebaskan
nafs dari diperbudak oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri.

2. Nafs Lawwamah

Tingkat nafs yang sudah mulai menyadari bahwa ia dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya
dan tidak kuasa membebaskan dirinya, disebut nafs lawwamah—berarti “nafs yang amat
menyesali (diri)”.

‫َو ََل أ ُ ْق ِس ُم ِبالنَّ ْف ِس اللَّ َّوا َم ِة‬


15
Dan Aku bersumpah dengan nafs al-lawwamah (nafs yang menyesali diri). – Q.S. Al-
Qiyamah [75]: 2

Nafs lawwamah adalah nafs yang kadang terbawa oleh sifat jasadinya, namun kadang
menyesal dan rindu untuk lepas dari kungkungan sifat-sifat jasadinya. Ia merindukan “langit”,
namun juga mencintai duniawi.

Nafs pada tingkat lawwamah ini adalah nafs yang mulai ingin bertaubat, ingin menjadi baik,
dan ingin lepas dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya.

3. Nafs Muthma’innah

Nafs muthma’innah adalah jiwa yang sudah tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu dan
syahwatnya, dan sudah tidak lagi terikat oleh sifat-sifat jasadinya. Ia tidak lagi terombang-
ambing antara perbuatan dan penyesalan. Ia hanya tunduk dan mencintai penciptanya—sosok
yang pertama kali dilihatnya sejak ada di alam semesta ini—yaitu Allah SWT. Karena itulah
ia menjadi nafs muthma’innah (jiwa yang tenang), jiwa yang berhasil kembali ke martabatnya
yang tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan menyucikan dirinya, dengan penuh
pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya di dalam dirinya sendiri maupun di seluruh
penjuru ufuk, yang berhasil ia pelajari di alam mulk. Nafs tingkatan inilah yang harus kita
kenali dalam perjalananan taubat, karena nafs muthma’innah sajalah yang bisa membuka
ilmu-ilmu Allah yang disimpan Allah dalam dadanya.

Nafs muthma'innah (jiwa yang tenang), jiwa yang berhasil kembali martabatnya yang
tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan menyucikan dirinya, dengan penuh
pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya di dalam dirinya sendiri.

Nafs muthma’innah inilah yang telah sepenuhnya tunduk pada Allah sehingga sepenuhnya
ridha kepada Rabb-nya, dan Rabb-nya pun telah ridha kepadanya. Inilah kedudukan nafs para
hamba Allah.

﴾٣٠﴿ ‫﴾ َوادْ ُخ ِلي َجنَّتِي‬٢٩﴿ ‫﴾ فَادْ ُخ ِلي فِي ِعبَادِي‬٢٨﴿ ً‫ضيَّة‬


ِ ‫اضيَةً َّم ْر‬ ْ ‫س ْال ُم‬
ْ ﴾٢٧﴿ ُ‫ط َم ِئنَّة‬
ِ ‫ار ِج ِعي ِإلَ ٰى َر ِب ِِّك َر‬ ُ ‫يَا أَيَّت ُ َها النَّ ْف‬

Wahai nafs muthma’innah (jiwa yang tenang), kembalilah, pada Rabb-mu dengan ridha lagi
diridhai-Nya. Masuklah menjadi hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku. – Q.S. Al-
Fajr [89]: 27-30

Inilah tujuan penyucian jiwa: agar jiwa manusia bisa melepaskan diri dari perbudakan oleh
hawa nafsu dan syahwatnya, sehingga menjadi jiwa yang tenang atau nafs muthma’innah.

Ruh
Unsur ketiga dalam diri insan adalah yang disebut dengan ruh. Jamaknya, disebut arwah—ruh
yang banyak. Ruh ini berasal dari yang Maha Hidup, yang ditiupkan-Nya ke Adam a.s.
sehingga jasadnya menjadi hidup. Jika nafs dan para malaikat berasal dari alam malakut, ruh
berasal dari alam yang lebih tinggi, yaitu alam jabarut, atau alam arwah. Alam jabarut ini
adalah alam yang paling dekat dengan Allah Ta’ala.

16
Ruh adalah daya hidup. Dan jika diibaratkan ruh adalah api, cahaya apinya saja pun sudah
menghidupkan jasad, alih-alih apinya. Ruh berasal dari Allah, dan pasti akan kembali pada-
Nya. Dengan demikian, ungkapan “semoga arwahnya (arwah: jamak dari “ruh”) diterima
Allah” ketika seseorang meninggal dunia adalah tidak tepat, sebab ruh berasal dari Allah dan
pasti akan kembali kepada-Nya. Yang seharusnya didoakan ketika meninggal adalah jiwa
(nafs), bukan ruh, karena jiwa lah yang akan menempuh perjalanan berikutnya, dan harus
mempertanggungjawabkan semua yang dia lakukan di dunia.

Nafakh Ruh

Ruh yang menghidupkan, yang biasa kita sebut dengan ruh saja, sebenarnya adalah nafakh
ruh. Secara harfiah, nafakh ruh berarti “ruh tiupan”—ruh yang ‘ditiupkan’ Allah ta’ala pada
jasad Adam a.s. Ia adalah ruh yang menghidupkan jasad.

ً ‫ار َو ْاَل َ ْف ِئدَة َ ۚ قَ ِل‬


َ‫يَل َّما تَ ْش ُك ُرون‬ َ ‫ص‬َ ‫وح ِه ۖ َو َج َع َل لَ ُك ُم الس َّْم َع َو ْاَل َ ْب‬ َ ‫ث ُ َّم‬
ِ ‫س َّواهُ َونَفَ َخ ِفي ِه ِمن ر‬

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh dari-Nya (nafakha fihi min
Ruhi), dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit
sekali kamu bersyukur. – Q.S. As-Sajdah [32]: 9

Ruh Al-Amin

Ruh Al-Amin adalah gelar yang dinisbatkan kepada malaikat Jibril a.s. Malaikat Jibril a.s.
adalah termasuk malaikat yang telah diperkuat Allah Ta’ala dengan Ruhul-Qudus di dalam
dirinya. Ruh Al-Amin, sebagaimana para malaikat lainnya, berasal dari alam malakut—
alamnya para malaikat dan jiwa-jiwa yang suci. Kedudukan Jibril a.s. diantara para malaikat
adalah seperti kedudukan Rasulullah SAW diantara para manusia.

Ruhul-Qudus

Ruhul-Qudus adalah esensi ruh insan yang paling murni dan paling suci, yang hadir ke dalam
diri insan sebagai pembawa kabar dan pengetahuan-pengetahuan ilahiah di dalam diri. Jika
tadi dikatakan bahwa cahaya api ruh telah menghidupkan jasad, Ruhul-Qudus adalah apinya,
sumber cahaya dari cahaya ruh yang menghidupkan tersebut.

Ia berasal dari alam Jabarut—alam yang terdekat dengan Allah ta’ala, berbeda dengan Ruhul
Amin yang berasal dari alam Malakut.

Jika manusia biasa hanya menerima cahaya apinya saja, maka ruh ini—apinya, sumber
cahanyanya—hanya dianugerahkan pada hamba-hamba Allah yang telah berhasil menyucikan
nafs-nya ke tingkatan nafs muthma’innah. Mereka yang dianugerahi Ruhul-Qudus berperan
sebagai cahaya Allah bagi alam semesta sekelilingnya.

Ruhul-Qudus adalah kuasa Allah ta’ala yang dianugerahkan pada hamba-hamba yang telah
berhasil mengenali dirinya dan tujuan penciptaannya. Kuasa Allah, atau—qudrah Allah—ini
adalah untuk menguatkan si hamba dalam melaksanakan tujuan penciptaannya, melaksanakan
misi hidupnya.

َ‫ق ِليُث َ ِبِّتَ الَّذِينَ آ َمنُوا َو ُهدًى َوبُ ْش َر ٰى ِل ْل ُم ْس ِل ِمين‬


ِ ِّ ‫قُ ْل ن ََّزلَهُ ُرو ُح ْالقُد ُِس ِمن َّر ِبِّكَ ِب ْال َح‬
17
Katakanlah: "Ruhul-Qudus menurunkan itu dari Rabb-mu dengan Al-Haqq, untuk
mengokohkan orang-orang beriman, lagi menjadi petunjuk dan kabar gembira bagi orang-
orang yang berserah diri".- Q. S. An-Nahl [16] : 102

Seorang manusia dianugerahi Ruhul-Qudus untuk memperkuatnya dalam melaksanakan titah


Rabb-nya, atau amr Rabb-nya. Dalam Al-Qur’an, Ruhul-Qudus ini disebut juga dengan Ruh
min amri Rabbi yang berarti ‘ruh yang berasal dari amr Rabb’. Amr bermakna ‘urusan’,
‘mandat’ atau ‘titah’.

Melalui anugerah Ruhul-Qudus ini seorang manusia akan memahami hakikat terdalam
makna-makna batin Al-Qur’an, dan memahami ayat-ayat Allah di seluruh penjuru ufuk alam
semesta, maupun di dalam diri manusia sendiri (lihat Q. S. Fushshilat [41] : 53). Dengan
menyaksikan dengan sebenar-benarnya bahwa segala sesuatu adalah ayat Allah, maka seorang
manusia—diperkuat oleh Ruhul-Qudus—pun menjadi saksi Allah (syuhada) secara hakiki.

Ruhul-Qudus adalah anugerah tertinggi yang bisa diterima seorang manusia. Ketika
pengetahuan-pengetahuan ilahiyah yang tinggi tidak dimiliki manusia dan alam semesta,
kehadiran Ruhul-Qudus inilah yang menjadikan seorang manusia menjadi sumber cahaya
bagi alam semesta di sekitarnya—seseorang yang dianugerahi Ruhul-Qudus kerap
disimbolkan dengan matahari atau api yang meliputi kepala—karena ia memahami ilmu-ilmu
yang terdalam dan tertinggi langsung dari sisi Allah ta’ala.

Hanya sedikit pengetahuan tentang Ruhul-Qudus atau ruh min amr (ruh dari amr Rabb) ini
yang dibuka kepada manusia, kecuali bagi hamba-hamba yang dianugerahi ruh ini oleh Allah.
Sebagaimana firman Allah,

ً ‫َويَ ْسأَلُونَكَ َع ِن الروحِ ۖۖ قُ ِل الرو ُح ِم ْن أ َ ْم ِر َربِِّي َو َما أُو ِتيتُم ِ ِّمنَ ْال ِع ْل ِم إِ ََّل قَ ِل‬
‫يَل‬

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh dari amr Rabb-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. - Q. S. Al-Isra [17] : 85

Syahwat dan Hawa Nafsu

Itulah tiga unsur utama pembentuk manusia: jasad (jism, badan), jiwa (nafs), dan ruh. Ketiga
unsur ini saling terkait dan berinteraksi. Nah, dari interaksi ketiga unsur ini, kita akan
mengenal beberapa unsur lain.

Syahwat

Ketika nafs ditugaskan untuk hidup di dunia, ia diletakkan ke dalam kendaraan jasad. Jasad
berasal dari bumi, dan ia pun sangat menyukai kesenangan-kesenangan yang berasal dari
alamnya. Ia menyukai makanan dan minuman, lawan jenis, hubungan seksual, kecantikan
atau ketampanan, dan semacamnya. Syahwat adalah daya-daya yang berasal dari jasad, yang
memberi pengaruh pada nafs. Fungsi syahwat adalah untuk kelangsungan hidup si jasad di
bumi ini—ia tidak dapat hidup dengan baik di dunia jika tidak makan, minum, dan
berketurunan.

Dari penyatuan antara nafs dan jasad, daya-daya jasadi ini memberi pengaruh pada nafs yang
suci, yang masuk ke dalam jasadnya—bahkan mendominasi nafs-nya. Dalam hal ini, orientasi
nafs-nya menjadi sama dengan orientasi syahwat, sehingga ia kehidupannya di dunia hanya
untuk mencari hal-hal yang digemari oleh syahwatnya itu.
18
Syahwat sendiri bukan sesuatu yang buruk, sebenarnya. Fungsi syahwat adalah untuk
kelangsungan hidup jasad di alam dunia. Namun syahwat baru menjadi buruk jika ia
menguasai, mendominasi, atau memperbudak tuannya: nafs.

Syahwat adalah daya-daya yang berasal dari jasad, yang memberi pengaruh pada nafs. Fungsi
syahwat adalah untuk kelangsungan hidup si jasad di bumi ini—ia tidak dapat hidup dengan
baik di dunia jika tidak makan, minum, dan berketurunan.

Jadi, dalam tingkatan nafs tadi, nafs ammarah bi su’ adalah nafs yang dikuasai syahwatnya.
Nafs Lawwamah adalah nafs yang dipengaruhi syahwatnya. Sedangkan nafs muthma’innah
adalah nafs yang bebas dari syahwatnya, bahkan syahwatnya telah tunduk pada sang nafs.

Hawa Nafsu

Hawa Nafsu berbeda dengan syahwat. Jika dalam penyatuan jiwa dan jasad tadi, daya-daya
jasadi yang memengaruhi jiwa disebut syahwat, maka di sisi lain, penyatuan ini juga
melahirkan “anak-anak”, yaitu oknum-oknum batin yang sifatnya tengah-tengah, antara jasad
dan jiwa. Sesuai namanya, ia adalah hawa dari nafs—sekadar hawanya, dan bukan nafs yang
sejati. Ia tidak jasadi sepenuhnya, namun juga tidak malakuti sepenuhnya.

Contoh hawa nafsu ini adalah marah, kesombongan, bangga diri, malas, takut, dendam, ragu,
gelisah, putus asa, bahkan hawa nafsu beragama seperti ingin puasa terus-menerus, ingin
shalat terus-menerus, dan tidak peduli dengan tanggung jawab mencari penghidupan,
misalnya.

Hawa Nafsu ini ribuan jumlahnya dalam diri setiap manusia. Fungsinya adalah untuk
melindungi dan membantu nafs—ia disebut sebagai tentara batin. Mereka semua adalah
prajurit, yang seharusnya dikomando oleh nafs muthma’innah untuk mencapai tujuannya,
yaitu melaksanakan mandat yang dibawanya dari Allah ta’ala. Namun, persoalannya adalah
ketika para prajurit—syahwat dan hawa nafsu—justru menguasai pimpinannya dan
mengambil alih kepemimpinan. Nafs, yang ditempatkan di dunia ini untuk sebuah tujuan
agung: menjadi perpanjangan kuasa Allah di muka bumi untuk memakmurkan alam semesta
(khalifah), pada akhirnya hanya hidup di dunia untuk tujuan yang sangat dangkal: sekadar
untuk memenuhi keinginan syahwat dan hawa nafsunya saja.

Insan Kamil : Cahaya Allah bagi Alam Semesta

Al-Qur’an juga menggambarkan struktur jasad, jiwa (nafs) dan Ruhul-Qudus ini melalui
perumpamaan yang indah tentang sebuah misykat (menyerupai ceruk/relung di sebuah
dinding yang oleh masyarakat Arab saat itu biasa digunakan untuk meletakkan lampu
penerangan)—sebuah penggambaran tentang potensi besar manusia yang sempurna (Insan
Kamil) sebagai Cahaya Allah.

‫ي يُوقَدُ ِمن‬ٌّ ‫صبَا ُح فِي ُز َجا َج ٍة ۖ الز َجا َجةُ َكأَنَّ َها ك َْو َكبٌ د ِ ُِّر‬ ْ ‫صبَا ٌح ۖ ْال ِم‬ْ ‫ور ِه ك َِم ْشكَاةٍ فِي َها ِم‬ ِ ُ‫ض ۚ َمثَ ُل ن‬ ِ ‫ت َو ْاَل َ ْر‬ ِ ‫س َم َاوا‬َّ ‫ور ال‬ ُ ُ‫اللَّـهُ ن‬
ۚ ‫ور ِه َمن يَشَا ُء‬ َّ
ِ ُ‫ور ۗ َي ْهدِي اللـهُ ِلن‬ ٍ ُ‫ور َعلَ ٰى ن‬
ٌ ‫َار ۚ ن‬ ٌ ‫س ْسهُ ن‬ ِ ‫ار َك ٍة زَ ْيتُونَ ٍة ََّل ش َْرقِيَّ ٍة َو ََل غ َْر ِبيَّ ٍة يَكَادُ زَ ْيتُ َها ي‬
َ ‫ُضي ُء َولَ ْو َل ْم ت َ ْم‬ َ َ‫ش َج َرةٍ مب‬َ
ِّ ُ َّ
َ ‫اس ۗ َواللـهُ بِك ِل‬
‫ش ْيءٍ َع ِلي ٌم‬ َّ َ َ ْ َّ
ِ ‫َويَض ِْربُ اللـهُ اَل ْمثا َل ِللن‬

19
Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah 'misykat'
yang di dalamnya terdapat 'misbah' (pelita yang terang). Misbah tersebut di dalam 'zujajah'
(kaca), kaca itu seolah seperti 'kaukab' (bintang) yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari
pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak
pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh
api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. – Q.S. An-Nuur [24]: 35

Tiga komponen utama yang dimaksud di dalam ayat itu disimbolkan melalui Misykat (Jasad),
yang di dalamnya terdapat Misbah (Ruhul-Qudus, seperti pelita yang terang benderang) yang
menghidupkan Zujajah (qalb, hati yang merupakan ‘rasa’ jiwa atau nafs).

Misykat melambangkan wujud jasad insan manusia yang dibangun dari aspek fisik al-ardh
(tanah, kebumian). Misykat jasad ini merupakan wadah bagi qalb yang berada di dalam nafs
(jiwa) yang suci, yang di ayat tersebut dilambangkan sebagai zujajah (bola kaca yang jernih).
Terang dan jernihnya qalb ini menjadi syarat agar cahaya misbah (Ruhul-Qudus)—tentu
dengan kehendak-Nya—memancar keluar menerangi bola kaca zujajah. Zujajah yang terang
ini bagaikan sebuah bola langit malam (kaukab) yang gemerlap oleh taburan benda-benda
langit.

Bersinarnya kaukab kalbu ini karena adanya minyak yang menyalakannya, minyak yang
bercahaya walau tanpa disentuh api, minyak yang keluar dari pohon yang banyak berkahnya.
Pohon yang tidak tumbuh di sebelah barat (di tempat tenggelamnya matahari Al-Haqq—yakni
Jasad), tidak pula di sebelah timur (di tempat terbitnya matahari Al-Haqq—yakni alam
ruh/alam jabarut). Pohon ini tumbuh tidak di ufuk diri, tetapi tumbuh di tengah-tengah antara
aspek Jasadi dan aspek Ruhi, yaitu di nafs insan.

Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh Nur Iman dalam nafs-nya, tidak akan bisa
menyalakan zujajah dalam qalb-nya (tidak dianugerahi Ruhul-Qudus) sehingga tidak pernah
tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya. Ini artinya, ia tidak akan pernah
menjadi khalifah Allah, walau hanya khalifah bagi dirinya sendiri.
20
Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh Nur Iman dalam nafs-nya, tidak akan bisa
menyalakan zujajah dalam qalb-nya sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana
cahaya bagi api-Nya.

Insan seperti ini bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita karena kusam
tubuhnya dan padam lampunya, tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi, hawa nafsunya dan
jejak syaithan. Tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah seperti ini kecuali
Allah Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam. []

21

Anda mungkin juga menyukai