Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN

KONSEP KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL DAN BASIC


LIFE SUPPORT

Dosen Pengampu : Isroni Astuti, S.SiT, M. Kes

Disusun Oleh :

Kelompok I Kelas II A Kebidanan :

Dian Sri Rezeki P17124018008

Erika Noviyanti P17124018009

Ifani Choirunnisa P17124018015

Palupi Ningsih P17124018029

Siti Indriyani P17124018037

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

JURUSAN KEBIDANAN

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA 1

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul
“Makalah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Konsep Kegawatdaruratan Maternal
Neonatal Dan Basic Life Support”. Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit
kesulitan dan hambatan yang kami alami namun berkat dukungan, dorongan dan
semangat dari orang terdekat, sehingga kami mampu menyelesaikannya. Dan juga
kami berterima kasih pada Ibu Isroni Astuti, S.SiT, M. Kes selaku pembimbing materi
dalam pembuatan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat diterima dengan baik oleh pembaca
sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jakarta, 11 Januari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 4
2.1 Kegawatdaruratan Maternal .......................................................................................... 4
2.2 Kegawatdaruratan Neonatal ........................................................................................... 7
2.3 Basic Life Support ....................................................................................................... 11
2.4 Prinsip Umum Penanganan Kegawatdaruratan Maternal ............................................ 21
2.5 Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan Maternal ............................................. 25
2.6 Persiapan Umum Sebelum Tindakan Kegawatdaruratan Obstetri .............................. 27
2.7 Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Medik ................................................................. 28
2.8 Sistem Rujukan ........................................................................................................... 30
2.9 Sistem Triase di UGD ................................................................................................. 36
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 40
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 40
3.2 Saran ............................................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 42
LAMPIRAN........................................................................................................................... 43
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................. 44

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


World Health Organzation (WHO) menyatakan setiap hari bahwa sebanyak 830
perempuan meninggal melahirkan terkait komplikasi. Angka Kematian Ibu (AKI)
adalah jumlah kematian ibu akibat dari proses kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan per 100.000 kelahiran hidup. Di negara-negara berkembang kematian ibu
pada tahun 2015 adalah 239/100.000 kelahiran hidup versus 12/100.000 kelahiran
hidup di negara maju (WHO, 2015)

Di Indonesia, angka kematian ibu (AKI) masih tinggi. Angka kematian ini
berkaitan dengan kehamilan, persalinan,dan nifas. Bukan karena sebab lain.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012, AKI
sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.AKI kembali menunjukakan penurunan
menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. (Kemenkes, 2015)

Dalam kajian UNICEF Indonesia seperti yang diungkapkan dalam buku


Kesehatan Masyarakat di Indonesia (tahun 2014) menyatakan bahwa setiap 1jam, satu
wanita meninggal dunia saat melahirkan atau akibat hal yang berhubungan dengan
kehamilan.Faktor yang manyebabkan kematian ibu secara garis besar yaitu faktor yang
berhubungan dengan komplikasi kehamilan, persalinan, nifas.Yaitu, perdarahan
(28)%,preeklamsia atau eklamsia (24%), infeksi (11%), persalinan macet (5%), dan
abortus (3%).(Astuti, 2017).

Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan
meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola
hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan perdarahan pada
minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio plasenta,

1
ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah seksio sesarea, retensio
plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan
koagulopati obstetri.

Setiap bayi baru lahir akan mengalami bahaya jiwa saat proses kelahirannya.
Ancaman jiwa berupa kamatian tidak dapat diduga secara pasti walaupun denagn
bantuan alat-alat medis modern sekalipun,sering kali memberikan gambaran berbeda
tergadap kondisi bayi saat lahir.

Oleh karena itu kemauan dan keterampilan tenaga medis yang menangani
kelahiran bayi mutlak sangat dibutuhkan, tetapi tadak semua tenaga medis memiliki
kemampuan dan keterampilan standart, dalam melakukan resusitasi pada bayi baru
lahir yang dapat dihandalkan, walaupun mereka itu memiliki latar belakang pendidikan
sebagai profesional ahli.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah Konsep Kegawatdaruratan Maternal?
2. Apakah Konsep Kegawatdaruratan Neonatal?
3. Apakah pengertian Basic Life Support?
4. Bagaimanakah Prinsip Umum Penanganan Kegawatdaruratan Maternal?
5. Apakah Prinsip dasar penanganan kegawatdaruratan maternal?
6. Bagaimanakah Persiapan Umum Sebelum Tindakan Kegawatdaruratan
Obstetri?
7. Bagaimanakah Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Medik?
8. Bagaimanakah Sistem Rujukan?
9. Bagaimanakah Sistem Triase di UGD?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui Konsep Kegawatdaruratan Maternal.
2. Untuk menegetahui Konsep Kegawatdaruratan Neonatal.

2
3. Untuk mengetahui pengertian Basic Life Support.
4. Untuk mengetahui Prinsip Umum Penanganan Kegawatdaruratan Maternal.
5. Untuk mnegetahui Prinsip dasar penanganan kegawatdaruratan maternal.
6. Untuk mengetahui Persiapan Umum Sebelum Tindakan Kegawatdaruratan
Obstetri.
7. Untuk mnegetahui Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Medik.
8. Untuk mnegetahui Sistem Rujukan.
9. Untuk mengetahui Sistem Triase di UGD.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kegawatdaruratan Maternal


Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala
berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan
segera guna menyelamtkan jiwa/nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).

Kegawatdaruratan adalah kejadian tidak terduga yang memerlukan tindakan


segera. Lebih lengkapnya konsep kegawatdaruratan adalah suatu kondisi dimana
seseorang membutuhkan pertolongan dengan segera untuk mempertahankan hidup dan
mengurangi resiko kematian dan kecacatan

Istilah Kasus Gawat Darurat dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Kasus Gawat Darurat Obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak
segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini
menjadi penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir. (Saifuddin,
2002).
2. Kasus Gawat Darurat Neonatus ialah kasus bayi baru lahir yang apabila tidak
segara ditangani akan berakibat pada kematian bayi.

a) Definisi Kegawatdaruratan Maternal.

Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan
meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola
hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan perdarahan pada
minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio plasenta,
ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah seksio sesarea, retensio

4
plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan
koagulopati obstetri.

b) Jenis-jenis Kegawatdaruratan Obstetri

Yang termasuk kegawatdaruratan obstetrik , yaitu :

1. Abortus

Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya kurang dari 20
minggu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya amenore, tanda-tanda kehamilan,
perdarahan hebat per vagina, pengeluaran jaringan plasenta dan kemungkinan
kematian janin.Pada abortus septik, perdarahan per vagina yang banyak atau sedang,
demam (menggigil), kemungkinan gejala iritasi peritoneum, dan kemungkinan syok.

2. Mola hidatidosa (Kista Vesikular)

Mola Hidatidosa (Hamil Anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan di dalam rahim
yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa adalah kehamilan abnormal,
dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidrofobik. Mola hidatidosa
juga dihubungkan dengan edema vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya
tidak disertai fetus yang intak. Secara histologist, ditemukan proliferasi trofoblast
dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan,
membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah.

3. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)

Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi diluar


endometrium kavum uteri.

Gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum karena obstruksi mekanis pada jalan
yang melewati tuba uteri. Kehamilan tuba terutama di ampula, jarang terjadi kehamilan
di ovarium.

5
4. Perdarahan

a. Plasenta previa

Plasenta Previa adalah Plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah
uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir

b. Solusio (Abrupsio) Plasenta

Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta yang
berimplantasi normal pada kehamilan di atas 22 minggu dan sebelum anak lahir.
(Cunningham, Obstetri Williams: 2004)

c. Retensio Plasenta (Plasenta Inkompletus)

Adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam setelah bayi
lahir. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan dan tidak
yakin apakah plasenta lengkap.

d. Ruptur Uteri

Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh dinding uterus dan
isi uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen (komplet), atau dapat pula ruptur hanya
meluas ke endometrium dan miometrium, tetapi peritoneum di sekitar uterus tetap utuh
(inkomplet).

5. Preeklampsia Berat

Suatu komplikasi pada kehamilan lebih dari 22 minggu dijumpai :

1. Tekanan darah sistolik > 160 mmhg, diasnolis > 110 mmhg

2. Proteinuri lebih dari 5 gram /24 jam

3. Gangguan selebral atau visual

6
4. Edema pulmonum

5. Nyeri epigastrik atau kwadran atas kanan

6. Gangguan fungsi hati tanpa sebab yang jelas

7. Trobosisfeni

8. Pertumbuhan janin terhambat

9. Peningkatan serum creatinin

Preeklampsia Berat Dan Eklampsia

Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan


harus berlangsung dalam 6 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia.

2.2 Kegawatdaruratan Neonatal


a. Definisi

Kegawatdaruratan Neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan


manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari)
membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi
patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff,
Brousseau, 2006)

Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28
hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim
menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua
system. Neonatus bukanlah miniatur orang dewasa, bahkan bukan pula miniatur anak.
Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan didalam rahim yang serba
tergantung pada ibu menjadi kehidupan diluar rahim yang serba mandiri. Masa
perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini hampir
meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah system

7
pernafasan sirkulasi, ginjal dan hepar. Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan
persiapan yang matang untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap neonatus.

b. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegawatdaruratan pada Neonatus

1) Faktor Kehamilan

a) Kehamilan kurang bulan


b) Kehamilan dengan penyakit DM
c) Kehamilan dengn gawat janin
d) Kehamilan dengan penyakit kronis ibu
e) Kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat
f) Infertilitas

2) Faktor pada Partus

a) Partus dengan infeksi intrapartum


b) Partus dengan penggunaan obat sedative

3) Faktor pada Bayi

a) Skor apgar yang rendah


b) BBLR
c) Bayi kurang bulan
d) Berat lahir lebih dari 4000gr
e) Cacat bawaan
f) Frekuensi pernafasan dengan 2x observasi lebih dari 60/menit

c. Kondisi-Kondisi Yang Menyebabkan Kegawatdaruratan Neonatus

1. Hipotermia

Hipotermia adalah kondisi dimana suhu tubuh < 360C atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan

8
termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai 250C. Disamping sebagai
suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan
kematian. Akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi
hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan
menurunnya simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak
dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake
kalori.

2. Hipertermia

Hipertermia adalah kondisi suhu tubuh tinggi karena kegagalan termoregulasi.


Hipertermia terjadi ketika tubuh menghasilkan atau menyerap lebih banyak panas
daripada mengeluarkan panas. Ketika suhu tubuh cukup tinggi, hipertermia menjadi
keadaan darurat medis dan membutuhkan perawatan segera untuk mencegah kecacatan
dan kematian.

3. Hiperglikemia

Hiperglikemia atau gula darah tinggi adalah suatu kondisi dimana jumlah
glukosa dalam plasma darah berlebihan. Hiperglikemia disebabkan oleh diabetes
mellitus. Pada diabetes melitus, hiperglikemia biasanya disebabkan karena kadar
insulin yang rendah dan / atau oleh resistensi insulin pada sel. Kadar insulin rendah dan
/ atau resistensi insulin tubuh disebabkan karena kegagalan tubuh mengkonversi
glukosa menjadi glikogen, pada akhirnyanya membuat sulit atau tidak mungkin untuk
menghilangkan kelebihan glukosa dari darah.

4. Tetanus neonaturum

Tetanus neonaturum adalah penyakit tetanus yang diderita oleh bayi baru lahir
yang disebabkan karena basil klostridium tetani. Tanda-tanda klinis antara laian : bayi
tiba-tiba panas dan tidak mau minum, mulut mencucu seperti mulut ikan, mudah
terangsang, gelisah (kadang-kadang menangis) dan sering kejang disertai sianosis,

9
kaku kuduk sampai opistotonus, ekstremitas terulur dan kaku, dahi berkerut, alis mata
terangkat, sudut mulut tertarik ke bawah, muka rhisus sardonikus.

5. Penyakit-penyakit pada ibu hamil

Kehamilan Trimester I dan II, yaitu : anemia kehamilan, hiperemesis


gravidarum, abortus, kehamilan ektopik terganggu (implantasi diluar rongga uterus),
molahidatidosa (proliferasi abnormal dari vili khorialis).

Kehamilan Trimester III, yaitu : kehamilan dengan hipertensi (hipertensi essensial, pre
eklampsi, eklampsi), perdarahan antepartum (solusio plasenta (lepasnya plasenta dari
tempat implantasi), plasenta previa (implantasi plasenta terletak antara atau pada
daerah serviks), insertio velamentosa, ruptur sinus marginalis, plasenta sirkumvalata).

6. Sindrom Gawat Nafas Neonatus

Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit,
sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada
saat inspirasi. Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak,
jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan
jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999).

Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi
kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian dalam
waktu yang singkat (sekitar 4 – 6 menit).Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang
harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan
Gallo, 1997).

Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis
yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat membuat

10
keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan penguasaan
pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada situasi kritis dan mampu
menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis.

2.3 Basic Life Support


Bantuan hidup dasar merupakan usaha yang pertama kali dilakukan untuk
mempertahankan kondisi jiwa seseorang pada saat mengalamai kegawatdaruratan.
(Siti Rohmah.2012). Bantuan hidup dasar adalah usaha untuk mempertahankan
kehidupan saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa (Rido.2008)

Bantuan Hidup Dasar atau Basic Life Support (BLS) adalah usaha yang
dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami
keadaan yang mengancam nyawa. (Deden Eka PB at 1:10:00)

Keadaan darurat yang mengancam nyawa bisa terjadi sewaktu-waktu dan di


mana pun. Kondisi ini memerlukan bantuan hidup dasar. Bantuan hidup dasar adalah
usaha untuk mempertahankan kehidupan saat penderita mengalami keadaan yang
mengancam nyawa.

Tujuan dari Bantuan Hidup Dasar sebagai berikut:

1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.


2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari
korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui Resusitasi
Jantung Paru (RJP).
3. Menyelematkan nyawa korban.
4. Mencegah cacat.
5. Memberikan rasa nyaman dan menunjang proses penyembuhan.

Bila terjadi nafas primer, jantung terus dapat memompa darah selama beberapa
menit dan sisa O2 yang berada dalam paru darah akan terus beredar ke otak dan organ
vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas

11
dapat mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan
O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti jantung dapat
disertai dengan fenomena listrik berikut : fibrilasi fentrikular, takhikardia fentrikular,
asistol ventrikular atau disosiasi elektromekanis.
Penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi meliputi posisi
pembukaan jalan nafas buatan dan kompresi dada luar dilakukan kalau memang betul
dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap langkah ABC RJP dimulai
dengan penentuan tidak ada respon, tidak ada nafas dan tidak ada nadi. Pada korban
yang tiba- tiba kolaps, kesadaran harus segera ditentukan dengan tindakan goncangan
atau teriak yang terdiri dari menggoncangkan korban dengan lembut dan memanggil
keras. Bila tidak dijumpai tanggapan hendaknya korban diletakkan dalam posisi
terlentang dan ABC BHD hendaknya dilakukan. Sementara itu mintalah pertolongan
dan bila mungkin aktifitaskan sistem pelayanan medis darurat.
1. Airway (Jalan Nafas)
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring adalah
merupakan persoalan yang sering timbul pada pasien yang tidak sadar dengan posisi
terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila sumbatan tidak diatasi. Tiga cara telah
dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka yaitu dengan metode ekstensi
kepala angkat leher, metode ekstensi kepala angkat dagu dan metode angkat dagu
dorong mandibula, dimana metode angkat dagu dorong mandibula lebih efektif dalam
membuka jalan nafas atas daripada angkat leher.
Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode
paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan
dugaan patah tulang leher. Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat
dengan tidak ada sianosis, korban sebaiknya diletakkan dalam posisi mantap untuk
mencegah aspirasi. Bila tidak diketahui atau dicurigai ada trauma kepala dan leher,
korban hanya digerakkan atau dipindahkan bila memang mutlak diperlukan karena
gerak yang tidak betul dapat mengakibatkan paralisis pada korban dengan cedera leher.
Disini teknik dorong mandibula tanpa ekstensi kepala merupakan cara yang paling

12
aman untuk membuka jalan nafas, bila dengan ini belum berhasil dapat dilakukan
sedikit ekstensi kepala.
2. Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah pasien
dapat bernafas spontan atau tidak. Ini dapat dilakukan dengan mendengarkan gerak
nafas pada dada korban. Bila pernafasan spontan tidak timbul kembali diperlukan
ventilasi buatan.Untuk melakukan ventilasi mulut ke mulut penolong hendaknya
mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan
diatas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau dua kali ventilasi dalam.
Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi
masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi yang dalam sebesar 800 ml sampai
1200 ml setiap 5 detik.
Bila denyut nadi karotis tidak teraba, dua kali ventilasi dalam harus diberikan
sesudah tiap 15 kompresi dada pada resusitasi yang dilakukan oleh seorang penolong
dan satu ventilasi dalam sesudah tiap 5 kompresi dada pada yang dilakukan oleh 2
penolong. Tanda ventilasi buatan yang adekuat adalah dada korban yang terlihat naik
turun dengan amplitudo yang cukup ada udara keluar melalui hidung dan mulut korban
selama respirasi sebagai tambahan selama pemberian ventilasi pada korban, penolong
dapat merasakan tahanan dan pengembangan paru korban ketika diisi.
Pada beberapa pasien ventilasi mulut ke hidung mungkin lebih efektif daripada
fentilasi mulut ke mulut. Ventilasi mulut ke stoma hendaknya dilakukan pada pasien
dengan trakeostomi. Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil
baik walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk
melihat apakah ada sekresi atau benda asing.Pada tindakan jari menyapu, korban
hendaknya digulingkan pada salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut
korban dengan satu tangan memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari
telunjuk dan jari tengah tangan yang lain kedalam satu sisi mulut korban dalam satu
gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya
dikerjakan hentakan abdomen atau hentakan dada, sehingga tekanan udara dalam

13
abdomen meningkat dan akan mendorong benda untuk keluar.Hentakan dada
dilakukan pada korban yang terlentang, teknik ini sama dengan kompresi dada luar.
Urutan yang dianjurkan adalah :
a. Berikan 6 sampai 10 kali hentakan abdomen.
b. Buka mulut dan lakukan sapuan jari.
c. Reposisi pasien, buka jalan nafas dan coba beri ventilasi buatan dapat dilakukan
dengan sukses.
Bila sesudah dilakukan gerak tripel (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong
mandibula), pembersihan mulut dan faring ternyata masih ada sumbatan jalan nafas,
dapat dicoba pemasangan pipa jalan nafas. Bila dengan ini belum berhasil perlu
dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi
trakheal, sebagai alternatifnya adalah krikotomi atau fungsi membrane krikotiroid
dengan jarum berlumen besar (misal dengan kanula intravena 14 G). Bila masih ada
sumbatan di bronkhus maka perlu tindakan pengeluaran benda asing dari bronkhus atau
terapi bronkhospasme dengan aminophilin atau adrenalin.
3. Circulation (Sirkulasi)
Bantuan ketiga dalam BHD adalah menilai dan membantu sirkulasi. Tanda- tanda
henti jantung adalah:
a. Kesadaran hilang dalam waktu 15 detik setelah henti jantung.
b. Tak teraba denyut nadi arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa
atau brakhialis pada bayi).
c. Henti nafas atau megap- megap.
d. Terlihat seperti mati.
e. Warna kulit pucat sampai kelabu.
f. Pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung)
g. Tidak ada nadi yang teraba pada arteri besar, pemeriksaan arteri karotis sesering
mungkin merupakan tanda utama henti jantung.
Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak
teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar

14
diperlukan pada keadaan sangat gawat.Korban hendaknya terlentang pada permukaan
yang keras agar kompresi dada luar yang dilakukan efektif. Penolong berlutut di
samping korban dan meletakkan sebelah tangannya diatas tengah pertengahan bawah
sternum korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari dari persambungan
episternum. Tangan penolong yang lain diletakkan diatas tangan pertama, jari- jari
terkunci dengan lurus dan kedua bahu tepat diatas sternum korban, penolong
memberikan tekanan ventrikel ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4 sampai
5 cm.
Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat
dari dada korban, dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi. Bila ada satu
penolong, 15 kompresi dada luar (laju 80 sampai 100 kali/ menit) harus diikuti dengan
pemberian 2 kali ventilasi dalam (2 sampai 3 detik). Dalam satu menit harus ada 4
siklus kompresi dan ventilasi (yaitu minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi). Jadi
15 kali kompresi dan 2 ventilasi harus selesai maksimal dalam 15 detik. Bila ada 2
penolong, kompresi dada diberikan oleh satu penolong dengan laju 80 sampai 100 kali/
menit dan pemberian satu kali ventilasi dalam 1 sampai 1,5 detik oleh penolong kedua
sesudah tiap kompresi kelima. Dalam satu menit minimal harus ada 60 kompresi dada
dan 12 ventilasi. Jadi lima kompresi dan satu ventilasi maksimal dalam 5
detik.Kompresi dada harus dilakukan secara halus dan berirama.
Bila dilakkan dengan benar, kompresi dada luar dapat menghasilkan tekanan
sistolik lebih dari 100 mmHg, dan tekanan rata- rata 40 mmHg pada arteri karotis.
Kompresi dada tidak boleh terputus lebih dari 7 detik setiap kalinya, kecuali pada
intubasi trakheal, transportasi naik turun tangga dapat sampai 15 detik. Sesudah 4 daur
kompresi dan ventilasi dengan rasio 15 : 2, lakukan reevaluasi pada pasien.
Periksa apakah denyut karotis sudah timbul (5 detik). Bila tidak ada denyut
lanjutkan dengan langkah berikut : Periksa pernafasan 3 sampai 5 detik bila ada, pantau
pernafasan dan nadi dengan ketat. Bila tidak ada lakukan ventilasi buatan 12 kali per
menit dan pantau nadi dengan ketat. Bila RJP dilanjutkan beberapa menit dihentikan,
periksa apakah sudah timbul nadi dan ventilasi spontan begitu seterusnya.

15
Resusitasi Jantung Paru (Cardio Resisitasi Pulmonal)

Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan
kehidupan pada saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa,
sehingga harus secepatya dilakukan.

Note :

Keterlambatan Kemungkinan Berhasil

1 menit 98 dari 100

4 menit 50 dari 100

10 menit 1 dari 100

Langkah-langkah BHD

1. Kenali henti jantung (recognition of arres). Segera setelah aman à nilai


respon klien dengan menepuk bahu “Are you all right”. Hati-hati
kemungkinan trauma leher dan jangan pindahkan atau mobilisasi pasien, bila
tidak perlu.
2. Aktipkan EMS (Activate Emergency Medical Servces).Aktifkan system
emergency atau panggil bantuan tim pertolonngan atau ambulan.
3. Periksa nadi (Cheks Pulse). Tentukan ada tidaknya nadi dalam waktu < 10
menit

Rekomendasi AHA, 2010 :

a. Cirkulasi lebih prioritas dibandingkan airway dan breating


b. Sering sulit dideteksi à jika > 10 detik mulai kompresi dada
c. Tidak menekankan pemeriksaan nadi sebagai mekanisme untuk menilai henti
jantung à karena penolong sering mengalami kesulitan mendeteksi nadi.

16
d. Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi, anggap cardiac arrest jika
pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernafas atau napas tetapi tidak normal (hanya
gasping)
e. Jika nadi tidak ada muli lakukan siklus 30 komprosi dan 2 ventilasi, tetapi jika
nadi ada beri 1 ventilasi tiap 5-6 detik (8-10x/menit) dan evaluasi nadi tiap 2
menit.

4. Kompresi dada (Ches Compressions)

Memperrbaiki posisi pasien supine di atas permukaan yang keras dan datar dan
penolong berlulut disamping klien (out of hospital) atau berdiri disamping tempat
tidur (in hospital). Bila di tempat tidur, sebelum kompresi : angkat kasur tempat tidur
atau pasang backboard/ papan resusitasi.

5. Membuka Jalan nafas (Airway)

Gunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan nafas pada pasien tanpa ada trauma
kepala dan leher dan gunakan jaw trust untuk suspek cedera servikal.

6. Nafas bantuan (Breathing)

a. Pemberian dilakukan sesui tidal volume


b. Rasio kompresi dan ventilasi 30 : 2
c. Ventilasi berikan 10-12 x / menit dan 8-10 x permenit seletah masien dipasang
intubasi.

17
Gambar 2. RJP pada dewasa

RJP diberikan dengan High-Quality CPR (AHA, 2010)

1. Kecepatan kompresi adekuat 100 x atau lebih / menit.


2. Kedalaman pada dewasa 5 cm dan pada anak 3-4 cm
3. Memungkinkan full ches recoil setelah dilakukan kompresi
4. Minimalkan terjadinya gerakan atau mobilisasi lebih dari 10 detik
5. Hindari memberikan ventilasi yang berlebihan pada saat memerikan nafas
buatan.

Gambar 3. RJP pada anak

18
RJP dihentikan

1. Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan


2. Ada yang lebih bertanggung jawab
3. Penolong lelah atau sudah lebih dari 30 menit tidak ada respon
4. Adanya DNAR
5. Tanda kematian yang ireversibel

RJP tidak dilakukan/DNAR (Do Not Attempt Resescitation)

1. Tanda kematian (rigor mortis)


2. Sebelumnya dengan fungsi vital yang sudah sangat jelek dengan terapi
maksimum
3. Bila menolong korban akan membahayakan penolong

Komplikasi RJP

1. Nafas Buatan menimbulkan : inflasi gaster, regurgitasi dan mengurangi


volume atau hiper ventilasi.
2. Bila terjadi inflasi gaster à perbaiki jalan nafas, hidari tidal volum yang besar
dan laju nafas yang cepat.
3. Fraktur iga dan sternum (sering terjadi terutama pada orang tua)
4. RJP tetap dilakukan walaupun terasa ada fraktur iga (posisi tangan salah)

Laserasi hati dan limpa posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan prosesus
xipoideus ke arah hepar/ limpa

19
BAGAN RJP

Manuver Dewasa Anak 1 Tahun- Bayi Usia


Adolescent Di Bawah 1
Tahun

Airway Head Till Chin Lift pada penderita non-trauma, Jaw Thrust
dan Chin Lift pada penderita curiga trauma cervical.

Breathing (tiupan 2x tiap satu detik


awal)

Nafas bantuan 10-12x per menit 12-20x per menit


tanpa kompresi
dada

Napas bantuan 8-10x per menit


dengan airway
definitive

Sumbatan jalan Abdominal Thust Back Blows dan


nafas karena benda Chest Trust
asing

Sirkulasi : periksa Nadi carotis Brachiais atau


nadi Femoralis

Titik kompresi Pertengahan sternum Diantara papillae


dada mamae

20
Metode kompresi Menggunakan Menggunakan satu Menggunakan dua
tumit tangan (dua tangan ibu jari dengan
Tekan dengan
tangan) posisi tangan
keras dan cepat
melingkari tubuh
bayi

Kedalaman 1,5 – 2 inch, 4-5 + 1/3 – ½ dada


kompresi cm

Jumlah kompresi + 100 / menit


(Compression
rate)

Rasio kompresi : Satu atau dua Satu penolong 30 : 2


ventilasi penolong
Dua penolong 15 : 2
30 : 2

2.4 Prinsip Umum Penanganan Kegawatdaruratan Maternal


1. Pastikan Jalan Napas Bebas

Harus diyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan
atau makanan ke dalam mulut karena pasien sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan
muntahan dapat terisap masuk ke dalam paru-paru. Putarlah kepala pasien dan kalau
perlu putar juga badannya ke samping dengan demikian bila ia muntah, tidak sampai
terjadi aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena kondisi hipotermia
berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikkanlah kaki pasien untuk membantu
aliran darah balik ke jantung. Jika posisi berbaring menyebabkan pasien merasa sesak
napas, kemungkinan hla ini dikarenakan gagal jantung dan edema paru-paru. Pada

21
kasus demikian, tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala untuk mengurangi
cairan dalam paru-paru.

2. Pemberian Oksigen

Oksigen diberikan dengan kecepatan 6-8 liter / menit. Intubasi maupun ventilasi
tekanan positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.

3. Pemberian Cairan Intravena

Cairan intra vena diberikan pada tahap awal untuk persiapan mengantisipasi kalau
kemudian penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian cairan infus intravena
selanjutnya baik jenis cairan, banyaknya cairan yang diberikan, dan kecepatan
pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis kasus. Misalnya pemberian cairan
untuk mengganti cairan tubuh yang hilang pada syok hipovolemik seperti pada
perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok septik. Pada umumnya dipilih
cairan isotonik, misalnya NaCl 0.9 % atau Ringer Laktat. Jarum infus yang digunakan
sebaiknya nomor 16-18 agar cairan dapat dimasukkan secara cepat.

Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah penting. Berhati-


hatilah agar tidak berlebihan memberikan cairan intravena terlebih lagi pada syok
septik. Setiap tanda pembengkakan, napas pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan
adalah tanda kelebihan pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi, pemberian cairan
dihentikan. Diuretika mungkin harus diberikan bila terjadi edema paru-paru.

4. Pemberian Tranfusi Darah

Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok, transfusi
darah sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa penderita. Walaupun demikian,
transfusi darah bukan tanpa risiko dan bahkan dapat berakibat kompliksai yang
berbahaya dan fatal. Oleh karena itu, keputusan untuk memberikan transfusi darah
harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Risiko yang serius berkaitan dengan transfusi

22
darah mencakup penyebaran mikroorganisme infeksius ( misalnya human
immunodeficiency virus atau HIV dan virus hepatitis), masalah yang berkaitan dengan
imunologik ( misalnya hemolisis intravaskular), dan kelebihan cairan dalam transfusi
darah

5. Pasang Kateter Kandung Kemih

Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urin yang keluar
guna menulai fungsi ginjal dan keseimbangan pemasukan danpengeluaran cairan
tubuh. Lebih baik dipakai kateter foley. Jika kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urin
ditampung dan dicatat kemungkinan terdapat peningkatan konsesntrasi urin (urin
berwarna gelap) atau produksi urin berkurang sampai tidak ada urin sama sekali. Jika
produksi urin mula-mula rendah kemudian semakin bertambah, hal ini menunjukan
bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam
atau 30 mL/ jam.

6. Pemberian Antibiotika

Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada kasus sepsi,
syok septik, cidera intraabdominal, dan perforasi uterus. Pada kasus syok, pemberian
antibiotika intravena lebih diutamakan sebab lebih cepat menyebarkan obat ke jaringan
yang terkena infeksi. Apabila pemberian intravena tidak memungkinkan, obat dapat
diberikan intramuskular. Pemberian antibiotika per oral diberikan jika pemberian intra
vena dan intramuskular tidak memungkinkan, yaitu jika pasien dalam keadaan syok,
pada infeksi ringan, atau untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi diantisipasi
dapat terjadi sebagai komplikasi.

23
Profilaksis antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk pencegahan infeksi pada
kasus tanpa tanda-tanda dan gejala infeksi. Antibiotika diberikan dalam dosis tugngal,
paling banyak ialah 3 kali dosis. Sebaiknya profilaksis antibiotika diberikan setelah tali
pusat diklem untuk menghindari efeknya pada bayi. Profilaksis antibiotika yang
diberikan dalam dosis terapeutik selain menyalahi prinsip juga tidak perlu dan suatu
pemborosan bagi si penderita. Risiko penggunaan antibiotika berlebihan ialah retensi
kuma, efek samping, toksisitas, reaksi alergi, dan biaya yang tidak perlu dikeluarkan.

7. Obat Pengurang Rasa Nyeri

Pada beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat mengalami rasa


nyeri yang membutuhkan pengobatan segera. Pemberian obat pengurang rasa nyeri
jangan sampai menyembunyikan gejala yang sangat penting untuk menentukan
diagnosis. Hindarilah pemberian antibiotika pada kasus yang dirujuk tanpa didampingi
petugas kesehatan, terlebih lagi petugas tanpa kemampuan untuk mengatasi depresi
pernapasan.

8. Penanganan Masalah Utama

Penyebab utama kasus kegawatdaruratan kasus harus ditentukan diagnosisnya dan


ditangani sampai tuntas secepatnya setelah kondisi pasien memungkinkan untuk segera
ditindak. Kalau tidak, kondisi kegawatdaruratan dapat timbul lagi dan bahkan mungkin
dalam kondisi yang lebih buruk.

9. Rujukan

Fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk menyelesaikan


kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus dirujuk ke fasilitas
kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas
kesehatan yang akan menerima rujukan dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu

24
sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap telah dilakukan dan diyakini
rujukan kasusa tidak akan ditolak.

2.5 Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan Maternal


Prinsip Dasar

Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama


(diagnosa) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan
tenang tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin
dalam kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun
prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi
dan hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap
diperhatikan.

1. Menghormati hak pasien

Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa memandang status
sosial dan ekonominya. Dalam hal ini petugas harus memahami dan peka bahwa dalam
situasi dan kondisi gawatdarurat perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinan adalah
wajar bagi setiap manusia dan kelurga yang mengalaminya.

2. Gentleness

Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan setiap


langkah harus dilakukan dengan penuh kelembutan, termasuk menjelaskan kepada
pasien bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak dapat dihindari sewaktu melakukan
pemeriksaan atau memerikan pengobatan, tetapi prosedur akan dilakukan selembut
mungkin sehingga perasaan kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin.

3. Komunikatif

Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan


kalimat yang tepat, mudah dipahami, dan memperhatikan nilai norma kultur setempat.

25
Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus menjelaskan kepada pasien
apa yang akan diperikssssa dan apa yang diharapkan. Apabila hasil pemeriksaan
normal atau kondisi pasien sudah stabil,upaya untuk memastikan hal itu harus
dilakukan. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya kepada pasien sangatlah penting.

4. Hak Pasien

Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan informed consent, hak pasien untuk
menolak pengobatan yang akan diberikan dan kerahasiaan status medik pasien.

5. Dukungan Keluarga (Family Support)

Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, petugas
kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan
penjelasan kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien, peka akan masalah kelurga
yang berkaitan dengan keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi, dan
sebagainya. Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat dinomorduakan,
misalnya apa bila pasien dalam keadaan syok, dan petugas kesehatan kebetulan hanya
sendirian, maka tidak mungkin untuk meminta informed consent kepada keluarga
pasien. Prosedur untuk menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga
pasien belum diberi informasi.

Penilaian Awal

Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaa
gawatdarurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara sistematis
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan obstetrik. Dalam
praktik, oleh karena pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu yang agak lama,
padahal penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian awal.

Penilaian awal adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri
yang dicurigai dalam keadaan kegawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera

26
dengan mengidentifikasi penyulit yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis
lengkap belum dilakukan. Anamnesa awal dilakukan bersama-sama periksa pandang,
periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi yang
sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya apakah kasus mengalami perdarahan,
demam, tidak sadar, kejang, sudah mengedan, atau bersalin berapa lama, dan
sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasieng mengalami syok
hipofolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik, syok neurologik, dan
sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai kejang-kejang, dan hal itu terjadi
dalam kehamilan, persalinan, atau pasca persalinan.

2.6 Persiapan Umum Sebelum Tindakan Kegawatdaruratan Obstetri


1. Deteksi dini kasus keduratan
a. gejala klinis
b. anamnesis
c. pemeriksaan fisik
d. pemeriksaan obgyn
e. pemeriksaan penunjang
2. penatalaksanaan kasus kegawadaruratan
3. magement rujukan
B ( Bidan ) Jika mungkin pasien ditemani oleh seorang bidan atau petugas
kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan untuk memberikan
penatalaksanaan awal kegawadaruratan obstetric dan bayi baru lahir
A ( Alat ) tersedia alat untuk pertolongan persalinann bila ibu melahirkan saat
diperjalanan ketempat rujukan
K ( Keluarga ) beritahu ibu dan keluarga mengenai kondisi terakhir ibu dan
mengapa ibu perlu dirujuk. Amat dianjurkan ada anggota keluarga khususnya
suami menemani ibu hingga tiba ditempat rujukan
S ( Surat ) walaupun diterima oleh bidan atau petugas kesehatan, sangat
dianjurkan untuk melampirkan surat yang menyatakan identitas pasien,

27
penyebab rujukan, hasil pemeriksaan, diagnosis, masalah dan penatalaksaan
atau terapi yang telah diberikan, termasuk patograf
O ( Obat ) persiapan obat-obat yang dibutuhkan untuk menatalaksana
kegawatdaruratan yang mungkin terjadi selama perjalanan menuju ketempat
rujukan
K ( Kendaraan ) siapkan kednaraan yang paling memungkinkan ibu untuk
dirujuk dalam kondisi cukup nyaman, disamping kondisi kendaraan tersebut
juga cukup baik agar mencapai ketempat rujukan pada waktu yang tepat
U ( Uang ) ingatkan pada keluarga agar membawa uang dalam jumlah yang
cukup untuk membeli obat obatan dan kebutuhan lainnya selama proses
rujukan
D ( darah ) siapkan darah untuk sewaktu waktu membutuhkan tranfusi darah
apabila terjadi pendarahan
2.7 Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Medik
SISTEMATIKA
Triase

Survei primer + resusitasi

Survei sekunder

Stabilisasi

Rujukan / Terapi definitif

28
Kelancaran Nafas,
Perbaiki sistem respirasi Bantuan Hidup Dasar
dan sirkulasi
Gawat Darurat
Menghentikan sumber Cari sumber perdarahan
perdarahan dan balut

Stabilisasi
Mengganti Cairan Tubuh Terapi cairan

Mengatasi nyeri atau Beri Obat OAINS


gelisah
Rujuk
Medikamentosa
tergantung etiologi
kegawatdaruratan

PERSIAPAN UMUM SEBELUM RUJUKAN

29
2.8 Sistem Rujukan
Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan
secara timbal baik baik secara vertical maupun horizontal (Permenkes No 001 Tahun
2012).

Rujukan Maternal dan Neonatal

Rujukan maternal dan neonatal adalah sistem rujukan yang dikelola secara
strategis, proaktif, pragmatis dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat
yang membutuhkannya terutama ibu dan bayi baru lahir, dimanapun mereka berada
dan berasal dari golongan ekonomi manapun, agar dapat dicapai peningkatan derajat
kesehatan ibu hamil dan bayi melalui peningkatan mutu dan ketrerjangkauan pelayanan
kesehatan internal dan neonatal di wilayah mereka berada (Depkes, 2006).

Sistem rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan Neonatal mengacu


pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan
kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan.Setiap kasus dengan
kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal yang datang ke puskesmas. PONED harus
langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap sesuai dengan buku acuan nasional
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.

Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien, kemudian ditentukan apakah


pasien akan dikelola di tingkat puskesmas mampu PONED atau dilakukan rujukan ke
RS pelayanan obstetrik dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) untuk
mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya
(Depkes RI, 2007) dengan alur sebagai berikut:

1. Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas pelayanan


kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal.

30
2. Bidan desa dan polindes dapat memberikan pelayanan langsung terhadap ibu
hamil, ibu bersalin, ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan
kader/masyarakat. Selain menyelenggarakan pelayanan pertolongan persalinan
normal, bidan di desa dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi
tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau
melakukan rujukan pada puskesmas, puskesmas mampu PONED dan RS
PONEK sesuai dengan tingkat pelayanan yang sesuai.
3. Puskesmas non-PONED sekurang-kurangnya harus mampu melakukan
stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang
sendiri maupun yang dirujuk oleh kader/dukun/bidan di desa sebelum
melakukan rujukan ke puskesmas mampu PONED dan RS PONEK.
4. Puskesmas mampu PONED memiliki kemampuan untuk memberikan
pelayanan langsung kepada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir
baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, bidan di desa dan
puskesmas. Puskesmas mampu PONED dapat melakukan pengelolaan kasus
dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan
kemampuannya atau melakukan rujukan pada RS PONEK.
5. RS PONEK 24 jam memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan
PONEK langsung terhadap ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir
baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, bidan di desa dan
puskesmas, puskesmas mampu PONED.
a. Pemerintah provinsi/kabupaten melalui kebijakan sesuai dengan tingkat
kewenangannya memberikan dukungan secara manajemen,
administratif maupun kebijakan anggaran terhadap kelancaran
PPGDON (Pertolongan Pertama Kegawatdaruratan Obstetri dan
Neonatus)
6. Ketentuan tentang persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dapat
dituangkan dalam bentuk peraturan daerah sehingga deteksi dini kelainan pada

31
persalinan dapat dilakukan lebih awal dalam upaya pencegahan komplikasi
kehamilan dan persalinan.
7. Pokja/ satgas GSI merupakan bentuk nyata kerjasama liuntas sektoral ditingkat
propinsi dan kabupaten untuk menyampaikan pesan peningkatan kewaspadaan
masyarakat terhadap komplikasi kehamilan dan persalinan serta
kegawatdaruratan yang mungkin timbul oleh karenanya. Dengan penyampaian
pesan melalui berbagai instansi/institusi lintas sektoral, maka dapat diharapkan
adanya dukungan nyata masyarakat terhadap sistem rujukan PONEK 24 jam.
8. RS swasta, rumah bersalin, dan dokter/bidam praktek swasta dalam sistem
rujukan PONEK 24 jam, puskesmas mampu PONED dan bidan dalam jajaran
pelayanan rujukan. Institusi ini diharapkan dapat dikoordinasikan dalam
kegiatan pelayanan rujukan PONEK 24 jam sebagai kelengkapan pembinaan
pra RS.

Sistem Rujukan Berjenjang

Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan

Dalam Buku Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang Badan penyelenggara


Jaminan Sosial kesehatan tahun 2014 Sistem rujukan pelayanan kesehatan adalah
Penyelenggaraan Pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung
jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang
wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan
seluruh fasilitas kesehatan.

Alur Pelayanan Kesehatan

1. Pelayanan Kesehatan perorangan terdiri dari 3 tingkatan yaitu:


a. Pelayanan kesehatan tingakat pertama
b. Pelayanan kesehatan tingakat kedua, dan
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga

32
2. 2.Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan
dasar yang diberi oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama
3. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis
yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
4. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub
spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub
spesialis yang menggunakan teknologi kesehatan sub spesialistik.
5. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan fasilitas kesehatan tingakat
pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Peserta yang igin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem
rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai
dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS kesehatan.
7. Fasilitas kesehatan yang tidak menerapakan sistem rujukan makan BPJS
kesehatan akan melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas
kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada lanjutan tingkat pertama.
8. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
9. Rujukan horizontal merupakan rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberi
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
fasilitas, peralatan dan/individu ketenagaan yang sifatnya sementara atau
menetap.
10. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan
yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih
rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Rujukan
vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan
yang lebih tinggi dilakukan apabila:

33
a. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
subspesialistik;
b. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau
ketenagaan.
11. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan
pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :
a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya;
b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua
lebih baik dalam menangani pasien tersebut;
c. membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan,
efisiensi dan pelayanan jangka panjang; dan/atau
d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan
dan/atau ketenagaan.

Sistem Rujukan Berjenjang

1. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai


kebutuhan medis, yaitu:
f. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas
kesehatan tingkat pertama
g. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat
dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua
h. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat
diberikan atas rujukan dari faskes primer

34
i. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat
diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer
2. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes
tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana
terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
3. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
a. terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawatdaruratan mengikuti
ketentuan yang berlaku
b. bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau
Pemerintah Daerah
c. kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah
ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat
dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
d. pertimbangan geografis; dan
e. pertimbangan ketersediaan fasilitas
4. Pelayanan oleh bidan dan perawat
a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan
pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau
dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali
dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan
pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi
pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama.

5. Rujukan Parsial

a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi


pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau

35
pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di
Faskes tersebut.
b. Rujukan parsial dapat berupa:
1) pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau
tindakan
2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan
pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

2.9 Sistem Triase di UGD


Triase adalah suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan
tingkat kegawatan kondisinya. Triase terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara
cepat berdasarkan keparahan cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka
melalui intervensi medis yang segera. Sistem triase tersebut harus disesuaikan dengan
keahlian setempat. Prioritas yang lebih tinggi diberikan pada korban yang prognosis
jangka pendek atau jangka panjangnya dapat dipengaruhi secara dramatis oleh
perawatan sederhana yang intensif.

Sistem triase biasanya sering ditemukan pada perawatan gawat darurat di suatu
bencana. Misalnya ada beberapa orang pasien yang harus ditangani oleh perawat
tersebut.dimana setiap pasien dalam kondisi yang berbeda. Jadi perawat harus mampu
menggolongkan pasien tersebut dengan sistem triase. Pasien pertama kondisinya sudah
tidak mungkin untuk diselamatkan lagi (sudah meninggal), terdapat luka parah atau
kebocoran di kepala, sehingga pasien tersebut digolongkan pada triase lampu hitam.
pasien kedua kondisinya mengalami patah tulang, luka-luka dan memar pada tubuhnya,
sehingga pasien berteriak, mungkin karena kejadian yang membuat pasien syok, maka
pasien diklasifikasikan pada triase lampu hijau, tidak perlu penanganan cepat.
Selanjutnya ditemui pasien dengan kondisi lemah, kritis, nadi lemah, serta pernafasan
yang sesak. Maka pasien ini lah yang sangat membutuhkan pertolongan pada saat itu,

36
yang tergolong pada triase lampu merah. Karena jika tidak diselamatkan, nyawa pasien
bisa tidak tertolong lagi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem triase ini digunakan untuk menentukan
prioritas penanganan kegawat daruratan. Sehingga perawat benar-benar memberikan
pertolongan pada pasien yang sangat membutuhkan, dimana keadaan pasien sangat
mengancam nyawanya, namun dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat
menyelamatkan hidup pasien tersebut. Tidak membuang wakunya untuk pasien yang
memang tidak bisa diselamatkan lagi, dan mengabaikan pasien yang membutuhkan.

Tujuan Triase

Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa.


Tujuan triase selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan
yang memerlukan pertolongan kedaruratan.

Dengan triase tenaga kesehatan akan mampu :

1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan
lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat

Sistem Triase dipengaruhi:

1. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan


2. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3. Denah bangunan fisik unit gawat darurat

Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis

Klasifikasi Triase

37
Klasifikasi berdasarkan pada :

a. Pengetahuan
b. Data yang tersedia
c. Situasi yang berlangsung

Kode Warna International Dalam Triase :

Sistem triase dikenal dengan system kode 4 warna yang diterima secara
internasional. Merah menunjukan perioris tinggi perawatan atau pemindahan, kuning
menandakam perioritas sedang, hijau digunakan untuk pasien rawat jalan, dan hitam
untuk kasus kematian atau pasien menjelang ajal. Perawat harus mampu mampu
mengkaji dan menggolongkan pasien dalam waktu 2 – 3 menit.

1. Prioritas 1 atau Emergensi: warna Merah (kasus berat)

Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi segera,
perdarahan berat, pasien dibawa ke ruang resusitasi, waktu tunggu 0 (nol)

1. Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla


2. Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat
3. Fraktur terbuka dan fraktur compound
4. Luka bakar > 30 % / Extensive Burn
5. Shock tipe apapun

2. Prioritas 2 atau Urgent: warna Kuning (kasus sedang)

Pasien dengan penyakit yang akut, mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan
kaki, waktu tunggu 30 menit, area critical care.

1. Trauma thorax non asfiksia


2. Fraktur tertutup pada tulang panjang
3. Luka bakar terbatas ( < 30% dari TBW )

38
4. Cedera pada bagian / jaringan lunak

3. Prioritas 3 atau Non Urgent: warna Hijau (kasus ringan)

Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal, luka lama,
kondisi yang timbul sudah lama, area ambulatory / ruang P3.

1. Minor injuries
2. Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan

4. Prioritas 0: warna Hitam (kasus meninggal)

1. Tidak ada respon pada semua rangsangan


2. Tidak ada respirasi spontan
3. Tidak ada bukti aktivitas jantung
4. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya

39
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan
meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola
hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan perdarahan pada
minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio plasenta,
ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah seksio sesarea, retensio
plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan
koagulopati obstetri.

Neonatus adalah organisme yang berada pada periode adaptasi kehidupan


intrauterin ke ekstrauterin. Masa neonatus adalah periode selama satu bulan tepat 4
minggu atau 28 hari setelah lahir).Penyebab kematian yang paling cepat pada neonatus
adalah asfiksia dan perdarahan. Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan
morbiditas yang penting. Akibat jangka panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki
secara bermakna jika gangguan ini diketahui sebelum kelahiran (misal, pada keadaan
gawat janin) sehingga dapat diusahakan memperbaiki sirkulasi / oksigenasi janin
intrauterin atau segera melahirkan janin untuk mempersingkat masa hipoksemia janin
yang terjadi.

3.2 Saran
Mengingat tingginya AKI dan AKB di Indonesia, maka kegawatdaruratan
maternal dan neonatal haruslah ditangani dengan cepat dan tepat. Penanganan yang
tepat dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga di Indonesia. Maka, dengan
mempelajari dan memahami kegawatdaruratan maternal dan neonatal, diharapkan

40
bidan dapat memberikan penanganan yang maksimal dan sesuai standar demi
kesehatan ibu dan anak.

41
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham. 2005. Obstetri Williams. Jakarta: EGC


Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Sistem Rujukan Maternal dan Neonatal
di Tingkat Kabupaten/Kota. Jakarta: Depkes RI.
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI.
(2007). Pedoman Pelayanan Antenatal. Jakarta: Depkes RI.
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) 24
jam di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Maryunani, I Anik; Puspita, I Eka. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal Dan
Neonatal. Trans Info Media. Jakarta.
P Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat, Plus Contoh Askep dengan Pendekatan
NANDA, NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medikrawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu
Kebidanan. Jakarta : YBPSP
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Buku Panduan Praktis Maternal dan Neonatal.
Prof. Dr. Winjosastro Hanifa, SpOG.2005. Ilmu Kebidanan, Cetakan ketujuh, Edisi
Ketiga, Jakarta : Pustaka Sarwono Prawirohadjo. Yayasan Bina
Waspodo, dkk.. 2005. Pelatihan Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri neonatal
Esensial Dasar. Jakarta : Depkes RI.

42
LAMPIRAN
Prinsip Rujukan

43
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah perkuliahan dengan pokok bahasan “Makalah Asuhan Kebidanan


Kegawatdaruratan Konsep Kegawatdaruratan Maternal Neonatal Dan Basic Life
Support” Telah dikoreksi oleh dosen penanggung jawab dan telah dilakukan revisi oleh
tim.

Jakarta, 11 Januari 2020

Dosen Penanggung Jawab

Isroni Astuti, S.SiT, M. Kes

44

Anda mungkin juga menyukai