Oleh :
NI LUH PUTU KEMALA PUTRI
Program Profesi Ners
P07120319085
B. Klasifikasi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur dapat dibagi
menjadi :
1. Fraktur komplit, tulang terpisah menjadi dua fragmen atau lebih.
Berdasarkan garis frakturnya, fraktur komplet dapat digolongkan sebagai
berikut :
a. Fraktur tranversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakanakibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbutulang dan meruakan akibat trauma angulasi.
c. Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkantrauma rotasi.
d. Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
e. Fraktur impaksi : fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang lainnya.
f. Fraktur kominutif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur dikatakan inkomplit apabila tulang tidak terpisah seluruhnya dan
periosteum tetap intak. Fraktur incomplit dapat digolongkan menjadi
a. Fraktur buckle atau torus : fraktur yang terjadi pada korteks di daerah
metafisis 2-3 cm di atas lempeng epifisis.
b. Fraktur greenstick : fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
c. Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang
masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan
tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan
dengan dunia luar. Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a. Derajat I
1) Luka < 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
4) Kontaminasi minimal
b. Derajat II
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
3) Fraktur kominutif sedang
4) Kontaminasi sedang
c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
1) IIIA :Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
2) IIIB :Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian
distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan
fraktur.
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price (2006) ada 3, yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut (Brunner dan Suddarth, 2002) :
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang.
2. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa
diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
E. Pathway
Fraktur
Tekanan sumsum
Laserasi kulit Pergeseran Spasme otot tulang lbh tinggi dari
fragmen tulang kapiler
Peningkatan tek
Gangguan kapiler Melepaskan
integritas kulit / Deformitas katekolamin
jaringan Pelepasan
histamin Metabolisme
Ggn fungsi asam lemak
ekstermitas
Resiko Infeksi
Protein Bergabung dg
plasma hilang trombosit
Gangguan
mobilitas fisik
Edema Emboli
Resiko syok
F. Patofisiologis
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik
itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau
tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga.
Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan
olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-
jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito,
2000).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
dan Suddarth, 2002).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi:
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain:
radioisotope scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk
memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
H. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan
dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna
(ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF)
meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau
fiksator ekterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna (ORIF)
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur yang
dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan :
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
d) Riwayat Penyakit Dahulu
e) Riwayat Penyakit Keluarga
f) Riwayat Psikososial
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
(2) Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
f) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
g) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
h) Paru
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
i) Jantung
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
j) Abdomen
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
k) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
l) Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
m)Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (mis. prosedur
operasi, trauma)
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
dan / atau vena
4. Gangguan intergritas kulit / jaringan berhubungan dengan faktor mekanis
(fraktur)
5. Risiko syok dibuktikan dengan kekurangan volume cairan
6. Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif
C. Rencana Keperawatan
Pemantauan Cairan
Observasi :
Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
Monitor frekuensi napas
Monitor tekanan darah
Monitor berat badan
Monitor waktu pengisian kapiler
Monitor elastisitas atau turgor kulit
Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urine
Monitor kadar albumin dan protein total
Monitor hasil pemeriksaan serum
Monitor intake dan output cairan
Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba lemah,tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membrane mukosa kering, volume urin
menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah,
konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis. dyspnea,
edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP
meningkat, reflex hepatojugular positif, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
Identifikasi faktor risiko ketidakseimbangan cairan
Terapeutik :
Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan
6. Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Infeksi
Faktor Risiko: keperawatan selama… x 24 jam Observasi :
Penyakit Kronis (mis. Diabetes mellitus) diharapkan pasien dapat melakukan Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Efek prosedur invasif aktivitas dengan kriteria hasil : Terapeutik :
Malnutrisi Tingkat Infeksi Batasi jumlah pengunjung
Peningkatan paparan organisme pathogen Tidak ada demam (36.5-37oC) Berikan perawatan kulit pada area edema
lingkungan Tidak ada kemerahan Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer: Tidak ada nyeri pasien dan lingkungan pasien
Gangguan peristaltic Vesikel normal Pertahanakan teknik aseptic pada pasien berisiko
Kerusakan integritas kulit Tidak ada letargi tinggi
Perubahan sekresi pH Tidak ada cairan berbau busuk Edukasi :
Penurunan kerja siliaris Tidak ada sputum berwarna Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Ketuban pecah lama hijau Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
Ketuban pecah sebelumnya Tidak ada piuria Ajarkan etika batuk
Merokok Tidak mengalami malaise Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
Statis cairan tubuh Tidak menggigil Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder Tidak ada letargi Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Penurunan hemoglobin Tidak mengalami gangguan
Imununosupresi kognitif Pemberian Obat
Leukopenia Kadar sel darah putih normal Observasi :
Supresi respon inflamasi Identifikasi kemungkinan alergi, interaksi, dan
Vaksinasi tidak adekuat kontraindikasi obat
Periksa tanggal kadaluwarsa obat
Monitor tanda vital dan nilai laboratorium sebelum
pemberian obat, jika perlu
Monitor efek terapeutik obat
Monitor efek samping, toksisitas, dan interaksi obat
Terapeutik :
Perhatikan prosedur pemberian obat jenis hipnotik,
narkotik, dan antibiotic
Hindari pemberian obat yang tidak diberi label dengan
benar
Buang obat yang tidak terpakai atau kadaluwarsa
Fasilitasi minum obat
Dokumentasikan pemberian obat dan respons terhadap
obat.
Edukasi :
Jelaskan jenis obat, alasan pemberian, tindakan yang
diharapkan, dan efek samping sebelum pemberian
Jelaskan faktor yang dapat meningkatkan dan
menurunkan efektifitas obat
D. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi merupakan realisasi dari rangkaian dan
penetuan diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
E. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien fraktur disesuaikan dengan criteria
hasil yang telah ditentukan pada intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3. Jakarta : EGC
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing Akademik/CT
NIP.19581219198503205