Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

Oleh :
NI LUH PUTU KEMALA PUTRI
Program Profesi Ners
P07120319085

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2019
LAPORAN PENDAHULUHAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

I. Konsep Dasar Teori


A. Pengertian
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat,
2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
(Price, 2006).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan
fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau
persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).

B. Klasifikasi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur dapat dibagi
menjadi :
1. Fraktur komplit, tulang terpisah menjadi dua fragmen atau lebih.
Berdasarkan garis frakturnya, fraktur komplet dapat digolongkan sebagai
berikut :
a. Fraktur tranversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakanakibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbutulang dan meruakan akibat trauma angulasi.
c. Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkantrauma rotasi.
d. Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
e. Fraktur impaksi : fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang lainnya.
f. Fraktur kominutif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur dikatakan inkomplit apabila tulang tidak terpisah seluruhnya dan
periosteum tetap intak. Fraktur incomplit dapat digolongkan menjadi
a. Fraktur buckle atau torus : fraktur yang terjadi pada korteks di daerah
metafisis 2-3 cm di atas lempeng epifisis.
b. Fraktur greenstick : fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
c. Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang
masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan
tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan
dengan dunia luar. Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a. Derajat I
1) Luka < 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
4) Kontaminasi minimal
b. Derajat II
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
3) Fraktur kominutif sedang
4) Kontaminasi sedang

c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
1) IIIA :Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
2) IIIB :Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian
distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.

C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan
fraktur.
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price (2006) ada 3, yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut (Brunner dan Suddarth, 2002) :
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang.
2. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa
diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
E. Pathway

Trauma langsung Trauma tdk langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tlg

Tekanan sumsum
Laserasi kulit Pergeseran Spasme otot tulang lbh tinggi dari
fragmen tulang kapiler
Peningkatan tek
Gangguan kapiler Melepaskan
integritas kulit / Deformitas katekolamin
jaringan Pelepasan
histamin Metabolisme
Ggn fungsi asam lemak
ekstermitas
Resiko Infeksi
Protein Bergabung dg
plasma hilang trombosit
Gangguan
mobilitas fisik
Edema Emboli

Mengenai jaringan kutis Penekanan pembuluh Menyumbat pembuluh


darah darah
dan sub kutis

Perdarahan Perfusi perifer tidak


efektif
Kehilangan volume cairan

Resiko syok
F. Patofisiologis
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik
itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau
tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga.
Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan
olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-
jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito,
2000).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
dan Suddarth, 2002).

F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi:
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain:
radioisotope scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk
memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.

G. Managemen Preoperatif pada Pasien Fraktur


Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang dilakukan oleh
perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan
pembedahan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif.
Persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta pemeriksaan mental sangat
diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien berawal dari
kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan.
1. Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra-anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi
yang bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan
menganalisa jenis operasi sehingga dapat memilih jenis atau teknik anestesi yang
sesuai, juga dapat meramalkan penyulit yang akan terjadi selama operasi dan atau
pasca bedah dan kemudian mempersiapkan obat atau alat untuk menanggulangi
penyulit tersebut.
Tatalaksana evaluasi pra-anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ
vital dan penentuan status fisik pasien pra-anestesi. Hal ini dilakukan untuk
menegakkan diagnosis sehingga persiapan pasien dapat dilakukan sesegera
mungkin.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien,
riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya gangguan faal
hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah lumbal, syok, anemia, dan
kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang sedang atau telah digunakan,
riwayat operasi dan anesthesia yang pernah dialami di waktu yang lalu, serta
kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti merokok.
Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan,
keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan darah, nadi dan
lain - lain. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien fraktur adalah
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis), foto polos
AP/ lateral pada bagian yang dicurigai fraktur, foto polos toraks, dan EKG.
Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor koagulasi harus dikoreksi
terlebih dahulu.
2. Persiapan Pra Anestesi
Persiapan pra-anestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis maupun
fisik agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan
diagnostik atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil evaluasi pra-anestesi,
persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis. Sebagai seorang ahli
anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan peritonitis adalah
memperbaiki keadaan umum pasien sebelum diambilnya tindakan operasi.
Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation. Oksigenisasi, terapi,
cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemasangan infuse bertujuan untuk mengganti deficit cairan selama puasa
dan mengkoreksi deficit cairan prabedah, sebagai fasilitas vena terbuka untuk
memasukan obat-obatan selama operasi dan sebagai fasilitas transfuse darah,
memberikan cairan pemeliharaan, serta mengoreksi deficit atau kehilangan
cairan selama operasi.Berikut adalah tujuan dari terapi cairan, yaitu mengganti
cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa, fasilitas vena
terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau dehidrasi.

H. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan
dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna
(ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF)
meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau
fiksator ekterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna (ORIF)
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur yang
dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan :
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
d) Riwayat Penyakit Dahulu
e) Riwayat Penyakit Keluarga
f) Riwayat Psikososial
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
(2) Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.

(5) Pola Aktivitas


Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2) Pemeriksaan head-to-toe :
a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala
b) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
c) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
d) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
e) Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.

f) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
g) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
h) Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
i) Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
j) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
 Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
 Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
k) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
l) Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
m)Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (mis. prosedur
operasi, trauma)
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
dan / atau vena
4. Gangguan intergritas kulit / jaringan berhubungan dengan faktor mekanis
(fraktur)
5. Risiko syok dibuktikan dengan kekurangan volume cairan
6. Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif
C. Rencana Keperawatan

No: Diagnose Keperawatan Tujuan Dan Kreteria Hasil Intervensi


1. Nyeri Akut Setelah diberikan asuhan Manajemen nyeri
Penyebab: keperawatan selama …x 24 jam Observasi
 Agen pencedera fisiologis ( mis. inflamasi, diharapkan keluhan nyeri dapat  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
iskemia, neoplasma) teratasi dengan kriteria hasil sebagai kualitas, intensitas nyeri
 Agen pencedera kimiawi ( mis. terbakar, berikut:  Identifikasi skala nyeri
bahan kimia iritan) Tingkat Niyeri  Identifikasi respon nyeri nonverbal
 Agen pencedera fisik ( mis. abses, amputasi,  Keluhan nyeri menurun  Identifikasi factor yang memperingan dan
terbakar, terpotong, mengangkat berat,  Sikap meringis menurun memperberat nyeri
prosedur operasi, trauma, latihan fisik  Sikap gelisah menurun  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
berlebihan)  Sikap protektif menurun  Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
 Kesulitan tidur menurun  Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
Gejala dan Tanda Mayor  Frekuensi nadi dalam rentang pasien
Subjektif : normal  Monitor efek samping penggunaan analgetik
 Mengeluh nyeri  Pola napas dalam rentang  Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
Objektif : normal diberikan
 Tampak meringis  Tekanan darah dalam rentang Terapeutik
 Bersikap protektif (mis. waspada, posisi normal  Fasilitasi istirahat tidur
menghindari nyeri)  Pola tidur membaik  Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri ( missal:
 Gelisah suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan).
 Frekuensi nadi meningkat  Beri teknik non farmakologis untuk meredakan nyeri
 Sulit tidur (aromaterapi, terapi pijat, hypnosis, biofeedback,
teknik imajinasi terbimbimbing, teknik tarik napas
Gejala dan Tanda Minor dalam dan kompres hangat/ dingin)
Subjektif :- Edukasi
Objektif :  Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
 Tekanan darah meningkat  Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Pola napas berubah  Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Nafsu makan berubah  Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
 Proses berpikir terganggu Kolaborasi
 Menarik diri  Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
 Berfokus pada diri sendiri Pemberian analgesic
 Diaphoresis Observasi :
 Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus, pereda,
kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
 Identifikasi riwayat alergi obat
 Identifikasi kesesuaian jenis analgesic dengan tingkat
keparahan nyeri
 Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesic
 Monitor efektifitas analgesic
Terapeutik :
 Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal, jika perlu
 Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus
oploid untuk mempertahankan kadar dalam serum
 Tetapkan target efektifitas analgesic untuk
mengoptimalkan respons pasien
 Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan
efek yang diinginkan
Edukasi :
 Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic, jika
perlu
2. Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan asuhan Dukungan mobilisasi
Penyebab : keperawatan selama ….x 24 jam Observasi
 Kerusakan integritas struktur tulang diharapkan gangguan mobilitas fisik  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
 Perubahan metabolism dapat teratasi dengan kriteria hasil  Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
 Ketidakbugaran fisik sebagai berikut :  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
 Penurunan kendali otot Mobilitas Fisik sebelum memulai mobilisasi
 Penurunan masa otot  Pergerakan ekstermitas  Monitor kondisi umum selama melakukan
 Keterlambatan perkembangan meningkat mobilisasi
 Kekakuan sendi  Kekuatan otot meningkat
 Kontraktur  Rentang gerak (ROM) Terapeutik
 Malnutrisi meningkat  Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
 Gangguan muskuluskleletal  Nyeri menurun (mis. pagar tempat tidur)
 Gangguan neuromuscular  Kecemasan menurun  Fasilitasi melakukan pergerakan
 Efek agen farmakologis  Gerakan terbatas menurun  Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
 Program pembatasan gerak  Kelemahan fisik menurun meningkatkan pergerakan
 Nyeri Edukasi
 Kecemasan  Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Gejala dan Tanda Mayor  Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
Subjektif :
 Mengeluh sulit menggerakan ekstermitas Dukungan Ambulasi
Objektif : Observasi
 Kekuatan otot menurun  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
 Rentang gerk ROM menurun  Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
 Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
Gejala dan Tanda Minor sebelum memulai ambulasi
Subjektif :  Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
 Nyeri saat bergerak Terapeutik
 Enggan melakukan pergerakan  Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
 Merasa cemas saat bergerak  Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
Objektif :  Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
 Sendi kaku meningkatkan ambulasi
 Gerakan tidak terkoordinasi Edukasi
 Gerakan terbatas  Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
 Fisik lemah  Anjurkan melakukan ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
3. Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Perawatan sirkulasi
Penyebab : keperawatan selama …x 24 jam Observasi
 Hiperglikemia sirkulasi darah kembali normal  Periksa sirkulasi perifer (mis. nadi perifer, edema,
 Penurunan konsentrasi hemoglobin dengan kriteria hasil: pengisian kapiler, warna, suhu, ankle brachial index)
 Peningkatan tekanan darah Perfusi Perifer :  Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis.
 Kekurangan volume cairan  Kekuatan nadi perifer diabetes, hipertensi, kadar kolesterol tinggi)
 Penurunan aliran arteri dan/atau vena meningkat  Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada
 Kurang terpapar informasi tentang faktor  Kulit tidak pucat ekstremitas
pemberat (mis. merokok, gaya hidup monoton,  Edema perifer menurun Terapeutik
trauma, obesitas, asupan garam, imobilitas)  Nyeri ekstremitas menurun  Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di
 Kurang terpapar informasi tentang proses  Kekuatan otot meningkat area keterbatasan perfusi
penyakit  Tidak ada kram otot  Hindari pengukuran tekanan darah pada ektremitas
 Kurang aktivitas fisik  CRT < 3 detik dengan keterbatasan perfusi
 Akral hangat  Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada
Gejala dan tanda mayor  Turgor kulit elastis area yang cedera
Subjektif : -  Tekanan darah dalam batas  Lakukan pencegahan infeksi
Objektif : normal  Lakukan hidrasi
 Pengisian kapiler > 3 detik Edukasi
 Nadi perifer menurun atau tidak teraba  Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah,
 Akral teraba dingin antikoagulan, dan penurun kolesterol
 Warna kulit pucat  Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara
 Turgor kulit menurun teratur
 Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi
Gejala dan tanda minor : (mis. rendah lemak jenuh, minyak ikan omega 3)
Subjektif :  Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus
 Parastesia dilaporkan (mis. rasa sakit yang tidak hilang saat
 Nyeri ekstremitas (klaudikasi intermiten) istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa)
Objektif :
 Edema
 Penyembuhan luka lambat
 Indeks ankle-brachial < 0,90
 Bruit femoral
4. Gangguan integritas kulit/jaringan Setelah dilakukan asuhan Perawatan integritas kulit
Penyebab : keperawatan selama … x 24 jam, Observasi
 Perubahan sirkulasi diharapkan integritas kulit dan  Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
 Perubahan status nutrisi jaringan meningkat dengan kriteria Terapeutik
(kelebihan/kekurangan) hasil :  Ubah posisi tiap 2 jam tirah baring
 Kekurangan/kelebihan volume cairan Integritas kulit dan jaringan :  Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika
 Penurunan mobilitas  Elastisitas meningkat perlu
 Bahan kimia iritatif  Hidrasi meningkat  Bersihkan peneal dengan air hangat, terutama selama
 Suhu lingkungan yang ekstrem  Perfusi jaringan meningkat periode diare
 Faktor mekanis atau faktor elektris  Kerusakan jaringan menurun  Gunakan produk berbahan petroleum atu minyak pada
 Efek samping terapi radiasi  Kerusakan lapisan kulit kulit kering
 Kelembaban menurun  Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
 Proses penuaan  Nyeri menurun hipoalergik pada kulit sensitive
 Neuropati perifer  Perdarahan menurun  Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit
 Perubahan pigmentasi  Kemerahan menurun kering
 Perubahan hormonal  Hematoma menurun Edukasi
 Kurang terpapar informasi tentang upaya  Pigmentasi abnormal menurun  Anjurkan menggunakan pelembab
mempertahankan / melindungi integritas  Jaringan parut menurun  Anjurkan minum air yang cukup
jaringan  Nekrosis menurun  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Abrasi kornea menurun  Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
Gejala dan tanda mayor  Suhu kulit membaik  Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrim
Subjektif : -  Sensasi membaik  Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
Objektif :  Tekstur membaik
 Kerusakan jaringan dan / atau lapisan kulit Perawatan Luka
 Pertumbuhan rambut membaik
Observasi
Gejala dan tanda minor  Monitor karakteristik luka (mis. drainase, warna,
Subjektif : - ukuran, bau)
Objektif :  Monitor tanda-tanda infeksi
 Nyeri Terapeutik
 Perdarahan  Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
 Kemerahan  Cukur rambut disekitar daerah luka, jika perlu
 Hematoma  Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih
nontoksik, sesuai kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan
luka
 Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
 Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai
kondisi pasien
 Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kg BB/hari dan
protein 1,25-1,5 g/kg BB/hari
 Berikan suplemen vitamin dan mineral
 Berikan terapi TENS (stimulasi saraf transcutaneous)
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan
protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur debridement
 Kolaborasi pemberian antibiotik

5. Risiko syok Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Syok


Faktor risiko : keperawatan selama ...... x 24 jam Observasi :
 Hipoksemia diharapkan risiko syok tidak terjadi  Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan
 Hipoksia dengan kriteria hasil : kekuatan nadi, frekuensi napas, TD, MAP)
 Hipotensi Tingkat Syok  Monitor status oksigenasi (Oksimetri nadi, AGD)
 Kekurangan volume cairan  Nadi teraba kuat  Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor
 Sepsis  Output urine meningkat dalam kulit, CRT)
 Sindrom respons inflamasi sistemik (systemic batas normal  Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
inflammatory response syndrome [SIRS])  Tingkat kesadaran meningkat  Periksa riwayat alergi
baik Terapeutik :
 Saturasi oksigen normal (95% -  Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
100%) oksigen >94%
 Akral hangat  Pasang jalur IV, jika perlu
 Tidak pucat  Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine
 Tidak letargi  Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
 Frekuensi napas normal (16-20 Edukasi :
kali/menit)  Jelaskan penyebab/faktor risiko syok
 Frekuensi nadi normal (60-100  Jelaskan tanda dan gejala awal syok
kali/menit)  Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda
 Pengisian kapiler < 3 detik dan gejala awal syok
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari allergen
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
 Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
 Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu

Pemantauan Cairan
Observasi :
 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi napas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kapiler
 Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urine
 Monitor kadar albumin dan protein total
 Monitor hasil pemeriksaan serum
 Monitor intake dan output cairan
 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba lemah,tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membrane mukosa kering, volume urin
menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah,
konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
 Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis. dyspnea,
edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP
meningkat, reflex hepatojugular positif, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi faktor risiko ketidakseimbangan cairan
Terapeutik :
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan
6. Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Infeksi
Faktor Risiko: keperawatan selama… x 24 jam Observasi :
 Penyakit Kronis (mis. Diabetes mellitus) diharapkan pasien dapat melakukan  Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
 Efek prosedur invasif aktivitas dengan kriteria hasil : Terapeutik :
 Malnutrisi Tingkat Infeksi  Batasi jumlah pengunjung
 Peningkatan paparan organisme pathogen  Tidak ada demam (36.5-37oC)  Berikan perawatan kulit pada area edema
lingkungan  Tidak ada kemerahan  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
 Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer:  Tidak ada nyeri pasien dan lingkungan pasien
 Gangguan peristaltic  Vesikel normal  Pertahanakan teknik aseptic pada pasien berisiko
 Kerusakan integritas kulit  Tidak ada letargi tinggi
 Perubahan sekresi pH  Tidak ada cairan berbau busuk Edukasi :
 Penurunan kerja siliaris  Tidak ada sputum berwarna  Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ketuban pecah lama hijau  Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Ketuban pecah sebelumnya  Tidak ada piuria  Ajarkan etika batuk
 Merokok  Tidak mengalami malaise  Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
 Statis cairan tubuh  Tidak menggigil  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder  Tidak ada letargi  Anjurkan meningkatkan asupan cairan
 Penurunan hemoglobin  Tidak mengalami gangguan
 Imununosupresi kognitif Pemberian Obat
 Leukopenia  Kadar sel darah putih normal Observasi :
 Supresi respon inflamasi  Identifikasi kemungkinan alergi, interaksi, dan
 Vaksinasi tidak adekuat kontraindikasi obat
 Periksa tanggal kadaluwarsa obat
 Monitor tanda vital dan nilai laboratorium sebelum
pemberian obat, jika perlu
 Monitor efek terapeutik obat
 Monitor efek samping, toksisitas, dan interaksi obat
Terapeutik :
 Perhatikan prosedur pemberian obat jenis hipnotik,
narkotik, dan antibiotic
 Hindari pemberian obat yang tidak diberi label dengan
benar
 Buang obat yang tidak terpakai atau kadaluwarsa
 Fasilitasi minum obat
 Dokumentasikan pemberian obat dan respons terhadap
obat.
Edukasi :
 Jelaskan jenis obat, alasan pemberian, tindakan yang
diharapkan, dan efek samping sebelum pemberian
 Jelaskan faktor yang dapat meningkatkan dan
menurunkan efektifitas obat
D. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi merupakan realisasi dari rangkaian dan
penetuan diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.

E. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien fraktur disesuaikan dengan criteria
hasil yang telah ditentukan pada intervensi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3. Jakarta : EGC

Carpenito, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC

Doenges, at al .2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. Jakarta : EGC

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indnesia : Definisi Dan Indikator


Diagnostik. Jakarta : DPP PPNI

PPNI.2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Deficit Dan Criteria Hasil


Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi Dan Tindakan


Keprawatan. Jakarta : DPP PPNI

Price, A. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.


Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC
LEMBAR PENGESAHAN

Denpasar, November 2019

Pembimbing Praktik Mahasiswa

Putu Agus Sukma Karisma,bbbb A.Md.Kep. Ni Luh Putu Kemala Putri

NIP. 198807172010011005 NIM. P07120315085

Pembimbing Akademik/CT

V.M. Endang S.P. Rahayu, SKp.,M.Pd.

NIP.19581219198503205

Anda mungkin juga menyukai