Anda di halaman 1dari 17

ABSES SEPTUM

Nur Safaatul Laila, Nur Hilaliyah

A. Pendahuluan

Septum nasi merupukan salah satu struktur yang penting dalam menpertahankan

kerangka eksternal dari hidung. Adanya kelainan pada septum seperti deviasi, destruksi

dan atau deformitas pada kartilago secara parsial ataupun total dapat berefek pada fungsi

dan bentuk dari hidung. Perkembangan normal dari hidung dan maxilla akan terganggu

jika kartilago septum nasal rusak yang pada akhirnya akan menyababkan deformitas dari

hidung yang permanen yang akan berpagaruh pada fungsi dari hidung.1 Adapun beberapa

kelainan septum yang sering ditemukan ialah deviasi septum, hematoma dan abses

septum.2

Abses septum nasi didefinisikan sebagai suatu kumpulan pus/nanah yang

terbentuk diantara kartilago septum dengan mukoperikondrium atau diantara tulang

septum dengan mukoperiosteum.3 Abses septum nasi merupakan salah satu kasus

emergensi yang jarang terjadi. Pada beberapa kasus abses septum kebanyakan disebabkan

oleh trauma yang kadang-kadang tidak disadari oleh pasien dan seringkali didahului oleh

hematoma septum yang dikemudian hari akan terinfeksi oleh kuman dan menjadi abses.2

Abses septum juga dikaitkan dengan dengan furunculosis hidung, sinusitis, influenza,

infeksi gigi, dan prosedur operasi hidung terkhusus pada area septum. Gejala abses

septum adalah hidung tersumbat biasanya bilateral, nyeri yang hebat dan terlokalisir

pada hidung, lunak pada puncak hidung, perubahan warna merah atau kebiruan pada

mukosa septum, serta gejala lain seperti demam dan sakit kepala.4

1
Penyebaran infeksi serebral dari abses septum bisa menjadi komplikasi yang

sangat mematikan berupa infeksi intrakranial. Abses septum dapat berakibat serius pada

hidung oleh karena menyebabkan nekrosis kartilago septum yang kemudian menjadi

destruksi dan lambat laun menjadi hidung pelana. Oleh karena itu, diagnosis dini dan

penatalaksanaan yang tepat diperlukan untuk mencegah komplikasi yang berpotensi

mengganggu perkembangan fungsional dan struktural yang membahayakan di masa

depan.5

B. Epidemiologi

Abses septum merupakan kasus yang jarang ditemukan. Berdasarkan data dalam

waktu 10 tahun terakhir di Children’s hospital Los Angeles didapatkan 3 kasus abses

septum nasi dan 43 kasus abses septum nasi dalam periode 8 tahun di Hospital for Sick

Children di Toronto. Dalam periode 10 tahun terakhir di Massachusetts Eye and Ear

Infirmary pada dekade terakhir ini didapatkan hanya 14 kasus abses septum nasi. Di

Rumah Sakit M.D.Jamil Padang didapatkan 3 kasus abses septum nasi dalam waktu 2

tahun terakhir. Usia yang paling sering terkena adalah di bawah 15 tahun diikuti usia 16-

31 tahun dan jarang usia lanjut. Laki-laki lebih sering dibandingkan wanita. Hal ini

dihubungkan dengan agresivitas dan aktivitas mereka sehingga insidens trauma mudah

terjadi.5

Suatu penelitian yang dilakukan Jalaludin dari departemen otorinolaringologi

Kuala Lumpur dari bulan Juni tahun 1981 sampai Juni 1991 melaporkan sebanyak 14

kasus abses septum dimana 71,4% laki-laki dan 28,6% perempuan. Rentang usia 6-55

tahun dengan rata-rata usia 25,8 tahun, dimana 43% terjadi pada usia 16-35 tahun.

2
Etiologi yang terbanyak adalah faktor trauma 85,7%, sinusitis kronis dan vestibulitis

masing-masing sebanyak 7,15%.6

C. Anatomi

Septum nasi adalah struktur garis tengah bidang sagital yang membagi hidung

menjadi dua rongga yang berbentuk kubah. Tebal septum nasi secara normal 2-4 mm

yang sekaligus menjadi dinding medial dari kavum nasi. Septum nasi dibentuk oleh

tulang dan tulang rawan. Bagian tulang yang membentuk septum adalah lamina

perpendikularis os etmoid, os vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os

palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan

kolumela. Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian

terbesar dari septum nasi dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid posterior dan

kartilago septum anterior.7

Lamina perpendikularis os etmoid membentuk sepertiga atas atau lebih septum

nasi, berhubungan dengan bagian horizontal os etmoid yang bagian bawahnya bertumpu

pada os vomer. Di bagian anterior dan superior berhubungan dengan os frontal dan os

nasal, di posterior berhubungan dengan tonjolan os sfenoid, di postero-inferior dengan os

vomer dan antero-inferior dengan kartilago septum. Os vomer terletak di septum nasi

bagian posterior dan inferior. Dibagian superior membentuk sendi os sfenoid dan lamina

perpendikularis os etmoid, dan di bagian inferior dengan krista nasalis os maksila dan os

palatina. Krus medial dari kartilago alar mayor dan prosesus nasal bawah (krista) maksila

membentuk bagian anterior septum.

3
Gambar 1. Anatomi Septum Nasi

Kartilago septum nasi merupakan sekeping tulang rawan tunggal yang berbentuk

quadrilateral sebagai bagian anterior inferior septum nasi. Dibelakang bersatu dengan

bagian tulang septum dan lamina perpendikularis os etmoid, bagian bawahnya bertumpu

pada lekukan os vomer, krista maksila dan spina maksila. Periosteum dan perikondrium

dari tulang rawan septum dihubungkan oleh jaringan penghubung yang dibentuk oleh

ligamentum yang memungkinkan terjadinya gerakan dari tulang tersebut.

Perdarahan hidung sebagian besar berasal dari arteri karotis eksterna dan interna.

Arteri sfenopalatina (cabang dari arteri maksilaris dan arteri karotis eksterna) dan arteri

palatina desendens memperdarahi bagian posteroinferior septum sedangkan bagian

4
anterosuperior septum dan dinding lateral memperoleh perdarahan dari arteri etmoidalis

anterior dan posterior. Arteri palatina mayor (juga cabang arteri maksilaris) melalui

kanalis insisivus menyuplai darah ke bagian anteroinferior. Cabang arteri labialis superior

(cabang arteri fasialis) menyuplai bagian anterior tuberkel septum. Pada bagian kaudal

septum yatiu tepat di belakang vestibulum terdapat pleksus Kiesselbach yang merupakan

anstomosis dari arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior dan arteri palatina mayor.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arteri. Vena pada vestibulum dan struktur luar hidung mempunyai hubungan dengan

sinus kavernosus melalui vena oftalmika superior.7

Gambar 2. Vaskularisasi Septum Nasi

5
Bagian anterosuperior hidung bagian dalam dipersarafi oleh n.etmoidalis anterior dan

posterior, sedangkan cabang dari n.maksilaris dan ganglion pterigopalatina mempersarafi

bagian posterior dan sensasi pada bagian anteroinferior septum nasi dan dinding lateral.

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui

ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan

vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari

n. maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus profundus. Disamping mensarafi

hidung, ganglion sfenopalatina mempersarafi kelenjar lakrimalis dan palatum

Gambar 3. Persarafan Septum Nasi

D. Etiologi
Penyebab abses septum nasi sangat banyak antara lain trauma, penyebaran

infeksi dari sinusitis etmoid, sinusitis spenoid, infeksi gigi, komplikasi operasi hidung,

6
vestibulitis dan furunkulosis, juga ditemukan pada pasien dengan status imunologi yang

rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jalaludin MAB tahun 1993 terhadap 14

kasus abses septum, didapatkan penyebab terbanyak adalah akibat trauma (75%).

Keadaan ini dapat terjadi akibat kecelakaan, perkelahian maupun olahraga. Trauma dapat

mengakibatkan luka pada mukosa septum sehingga dapat menyebabkan hematom

septum nasi. Tiga sampai lima hari setelah terjadi hematom septum nasi, hematom akan

mengalami infeksi sekunder sehingga terjadi abses septum nasi. Abses septum nasi juga

dapat terjadi akibat komplikasi dari operasi hidung. Lo dan Wang tahun 2004

menemukan 7% abses septum disebabkan trauma akibat tindakan septomeatoplasti.8

Pang KP dan Seth DS tahun 2002 melaporkan satu kasus abses septum nasi pada

anak usia 12 tahun sebagai komplikasi dari speno-etmoiditis akut. Walaupun jarang

terjadi, penyebaran akibat infeksi gigi juga pernah dilaporkan oleh Da Silva dkk pada

tahun 1982 pada dua pasien dengan abses septum nasi. Ozan, Polat dan Heler tahun 2006

juga melaporkan satu kasus abses septum nasi yang disebabkan penjalaran infeksi gigi.9

Penyebab lain abses septum nasi adalah vestibulitis, furunkulosis dan status

imunitas tubuh yang rendah (immunocompromised). Dinesh R dkk pada tahun 2011 dari

rumah sakit Taiping Perak Malaysia melaporkan 3 kasus abses septum nasi non trauma

pada penderita diabetes melitus. Sedangkan Salam B dan Camilleri A tahun 2008

melaporkan satu kasus abses septum nasi non trauma pada pasien dengan

imunokompeten di rumah sakit universitas Manchester United Kingdom.6

Organisme yang paling sering menyebabkan abses septum nasi yang didapatkan

dari hasil kultur pus adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,

Streptococcus milleri, Streptococcus viridans, Staphylococcus epidermidis, Haemophilus

7
influenza dan organisme anaerob juga didapatkan dari hasil kultur mikroorganisme.

Penelitian Tavares dkk (2002) melaporkan sebanyak 42,9% dari hasil kultur adalah

Stafilokokus aureus, selain itu juga ditemukan bakteri Streptokokus viridan (21,4%),

Enterokokus fekalis (7,1%) dan Streptokokus piogens (7,1%).10

E. Patofisiologi

Patofisiologi abses septum nasi biasanya tergantung penyebabnya. Beberapa

mekanisme untuk terjadinya abses septum antara lain perluasan langsung sepanjang

permukaan jaringan seperti pada sinusitis, infeksi hematom septum, infeksi disebabkan

oleh infeksi gigi serta penyebaran melalui pembuluh darah vena dari orbita ataupun sinus

kavernosus melalui vena etmoidalis dan vena oftalmika.9

Infeksi gigi dapat mencapai septum melalui perluasan langsung. Lokasi anatomis

yang berdekatan antara gigi insisivus atas (regio maksila) dengan dasar hidung

menjelaskan bahwa abses dari gigi insisivus atas sentral dapat meluas dan menonjol ke

dasar hidung. Biasanya, abses periapikal yang disebabkan infeksi gigi insisivus atas akan

pecah dan mengalir ke rongga mulut dan kadang-kadang melalui gingiva, yang juga bisa

menyebabkan abses di bibir bagian atas. Abses palatum sekunder dari infeksi akar palatal

gigi molar dapat juga menyebabkan abses septum melalui penyebaran secara langsung.

Kadang-kadang (walaupun jarang) infeksi dari insisivus atas mengalami fistulisasi ke

dasar kavum nasi, menghasilkan lesi yang dikira sebagai abses vestibulum ataupun kista

terinfeksi. 11

Hematoma septum nasi terjadi akibat trauma pada septum nasi yang merobek

pembuluh darah yang berbatasan dengan tulang rawan septum nasi. Darah akan

8
terkumpul pada ruang di antara tulang rawan dan mukoperikondrium. Hematoma ini

akan memisahkan tulang rawan dari mukoperikondrium, sehingga aliran darah sebagai

nutrisi bagi jaringan tulang rawan terputus, maka terjadilah nekrosis.3,7 Akibat keadaan

yang relatif kurang steril di bagian anterior hidung, hematoma septum nasi dapat

terinfeksi dan akan cepat berubah menjadi abses septum nasi yang mempercepat resorpsi

tulang rawan yang nekrotik. Tulang rawan septum nasi yang tidak mendapatkan aliran

darah masih dapat bertahan hidup selama 3 hari, setelah itu kondrosit akan mati dan

resorpsi tulang rawan akan terjadi. Jika sudah terjadi nekrosis akan menyebabkan

terjadinya perforasi, sehingga proses supurasi yang semula unilateral menjadi bilateral.

Namun tidak semua hematom septum nasi berkembang menjadi abses, bila sembuh

dengan terapi antibiotik akan terbentuk jaringan ikat, sehingga akan terjadi penebalan

jaringan septum nasi yang dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan retraksi yang

menimbulkan kontraktur septum nasi. 11

Infeksi dari sinus menyebar secara langsung sepanjang permukaan jaringan.

Lamina perpendikularis os etmoid merupakan jalan masuk langsung bila terdapat infeksi

dari sinus frontal dan sfenoid ke etmoid kemudian ke septum hidung. Peter Pang

mempercayai bahwa sfenoiditis akut dapat menyebabkan abses septum nasi melalui

perluasan langsung subperiosteal dari permukaan anterios os sfenoid, bidang periosteum

dari vomer dengan lamina perpendikularis os etmoid ke permukaan subperikondrial dari

kartilago quadrilateral. Selain itu mekanisme lain yang mungkin menjadi penyebab

adalah penyebaran langsung melalui fisura tulang, deformitas tulang kongenital, atau

melalui tromboflebitis. Huang dkk (2006) menduga abses septum nasi yang disebabkan

oleh infeksi sekunder dari sinus terjadi karena tidak adanya katup pada sistem vena pada

9
sinus-sinus yang menyebabkan hubungan bebas dengan bakteriemia atau tromboflebitis

sepsis.12

F. Diagnosis

Diagnosis abses septum nasi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung tersumbat

progresif yang merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada abses septum nasi.

Gejala lainnya adalah nyeri pada hidung seperti berdenyut terutama di puncak hidung,

lesu, demam, sakit kepala dan terasa lunak pada daerah sekitar hidung. Gejala yang

timbul tergantung penyebab abses septum nasi. Oleh karena itu perlu ditanyakan

kemungkinan-kemungkinan penyebab abses septum nasi seperti riwayat trauma, adanya

gejala-gejala sinusitis, operasi hidung, riwayat sakit gigi, riwayat mencabut bulu hidung,

riwayat batuk lama juga riwayat penyakit atau tindakan sebelumnya. 13,14

Gambar 4. Abses Septum Nasi

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak hidung bagian luar (apeks nasi)

hiperemis, edema, dan kulit mengkilat serta nyeri pada sentuhan. Rinoskopi anterior

tampak pembengkakan septum nasi baik unilateral maupun bilateral terutama pada

10
bagian anterior dengan warna yang bervariasi dari abu-abu sampai ungu kemerahan, pada

sentuhan terasa lunak, perabaan menggunakan benda tumpul pembengkakan terasa

fluktuatif. Pemberian kapas yang dibasahi dengan solutio tetrakain efedrin 1% tidak

mengempis. Selain itu juga diperiksa nyeri tekan pada sinus, keadaan gigi-geligi dan

pemeriksaan lain yang berhubungan dengan kemungkinan penyebab abses septum nasi.

Tindakan aspirasi berguna untuk membantu menegakkan diagnosis dan pemeriksaan

kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan dalam abses dan mencegah terjadinya

infeksi intrakranial.14

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab abses septum nasi

yang akan berkaitan dengan terapi, juga untuk melihat sejauh mana terjadinya

komplikasi. Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah laboratorium, foto toraks, foto

sinus paranasal dan kultur resistensi pus. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan

tomografi komputer daerah sinus untuk mendeteksi adanya abses septum nasi.14

Diagnosis infeksi gigi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit gigi

atau periodontal. Gigi sensitif terhadap panas dimana nyeri berkurang dengan dingin,

nyeri gigi saat diperiksa. Adanya gigi yang goyang, kantong periodontal, gingival edema,

gigi yang rusak (gangren). Pada pemeriksaan radiografi (periapikal) ditemukan adanya

perluasan dari membran periodontal. Foto panoramik ditemukan osteitis, kista radikuler

atau lusen pada periapikal gigi. Pembengkakan daerah muka, bibir dan dasar mulut pada

kasus dengan infeksi yang meluas. Riwayat sakit gigi sebelumnya, cabut gigi dan operasi

daerah mulut.14

11
G. Penatalaksanaan

Abses septum nasi merupakan kasus emergensi yang harus ditangani sesegera

mungkin. Pertama kali disarankan untuk melakukan aspirasi jarum sebelum melakukan

insisi dan drainase abses, kemudian dikirim untuk pewarnaan, kultur dan resistensi tes.

Langkah selanjutnya adalah insisi dan drainase. Beberapa peneliti menyarankan

pemasangan drain untuk mencegah reakumulasi pus dan peneliti lain menyarankan

pemasangan tampon hidung.9

Insisi dapat dilakukan dengan anestasi lokal atau anestasi umum. Insisi di buat

vertikal pada daerah yang paling berfluktuasi, diusahakan sedekat mungkin dengan dasar

hidung agar pus dapat keluar semua. Insisi abses dapat unilateral atau bilateral, kemudian

dilakukan evakuasi pus, bekuan darah, jaringan nekrotik dan jaringan granulasi sampai

bersih, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan drain. Drain yang dipasang dapat

berupa pipa (drain Penrose) yang dijahit pada tempat insisi atau drain dari karet. Drain

dipertahankan sampai 2-3 hari, namun jika drain masih diperlukan dapat terus

dipertahankan. Pada kedua rongga hidung dipasang tampon anterior dan dipertahankan

selama 2 sampai 3 hari. Bila pus masih ada luka dibuka lagi.13

A B

Gambar 5. (A) Tehnik insisi abses septum, (B) Pemasangan drain Penrose13

12
Pemberian antibiotik spektrum luas untuk gram positif dan gram negatif serta

kuman anaerob dapat diberikan secara parenteral. Sebelum diperoleh hasil kultur dan tes

resistensi dianjurkan untuk pemberian preparat penisilin intravena dan terapi terhadap

kuman anaerob. Pada kasus tanpa komplikasi, terapi antibiotik parenteral diberikan

selama 3-5 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral selama 7-10 hari. Bila terjadi

destruksi kartilago septum nasi maka rekonstruksi harus segera dilakukan untuk

mempertahankan punggung septum nasi dan mukosa septum, menghindari perforasi dan

mencegah kelainan perkembangan muka. Selain itu sumber infeksi abses septum nasi

juga harus diobati.5

Sedangkan penatalaksanaan infeksi gigi meliputi terapi antibiotik dan drainase

abses. Jika gigi yang terlibat sudah tidak dapat diidentifikasi, gigi tersebut dapat

diekstraksi atau dilakukan perawatan akar gigi. Pilihan antibiotik spesifik tergantung

beberapa faktor termasuk flora mulut, status imunologi pasien, dan gambaran klinis

infeksi (infeksi terlokalisasi, terdapatnya gas gangren, fasitis nekrotikan, perluasan ke

orbita, dan lain-lain). Sebagian besar infeksi gigi terdiri dari flora campuran bakteri aerob

dan anaerob. Penisilin merupakan antibiotik pilihan untuk pengobatan infeksi gigi, karena

sangat efektif untuk membunuh bakteri aerob dan anaerob yang merupakan flora normal

rongga mulut. Untuk meningkatkan efektifitas melawan bakteri anaerob dapat digunakan

metronidazol.5

Bila terjadi perforasi septum nasi dan deformitas pelana kuda yang diakibatkan

hilangnya kartilago septum nasi maka dapat dilakukan rekonstruksi dengan tandur tulang

rawan tragus, konka aurikula atau tulang iga autolog. Diameter tulang rawan septum nasi

yang hilang harus diperkirakan secara cermat. Jika jumlah kartilago yang diperlukan

13
untuk rekonstruksi terlalu besar, sebaiknya digunakan kartilago dari tulang iga. Kartilago

konka aurikula dapat digunakan untuk anak-anak dimana lebih sedikit tulang rawan yang

diperlukan. Tandur tulang rawan distabilkan dan difiksasi pada pelat polidioksanon.

Langkah selanjutnya adalah menempatkan tandur secara tepat diantara tulang vomer,

kartilago lateral superior dan lamina perpendikularis dan/atau kartilago septum nasi yang

tersisa. Setelah implantasi, tandur difiksasi diantara lapisan mukoperikondrium dengan

menggunakan benang jahitan yang dapat diserap dan tampon hidung. Tampon hidung

dapat dikeluarkan setelah 1 atau 2 hari. Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan

selama 7 hari. Cottle menyarankan untuk melakukan rekonstruksi hidung 8-12 minggu

setelah pengobatan abses dan resolusi infeksi.

H. Komplikasi
Keterlambatan dalam mendiagnosis dan tatalaksana menyebabkan peningkatan

angka kejadian komplikasi yang serius. Komplikasi dari abses septum nasi dapat berupa

estetik maupun intrakranial. Komplikasi estetis berupa deformitas hidung (saddle nose)

yang merupakan komplikasi paling sering terjadi. Hal ini disebabkan kerusakan yang

berat dari rangka tulang hidung. Kartilago septum nasi mangalami nekrosis dikarenakan

terganggunya aliran darah akibat vaskulitis trombosis. Cairan pus memisahkan

mukoperikondrium dari kartilago, menyebabkan nekrosis iskemik, diikuti lisis oleh

bakteri. Kartilago yang hancur diganti dengan jaringan fibrotik yang dapat membentuk

jaringan parut yang kemudian menyebabkan kontraksi yang asimetris sehingga

menimbulkan gejala hidung buntu. Hilangnya penyangga dari dorsum nasi dapat

menyebabkan deformitas berupa hidung pelana (saddle nose). Pada anak-anak

14
komplikasi ini dapat mempengaruhi perkembangan wajah, karena kartilago berguna

untuk menunjang hidung dan perkembangan wajah.14

Penjalaran ke intrakranial dapat melalui berbagai jalan. Pertama melalui

pembuluh-pembuluh vena dari segitiga berbahaya, yaitu daerah di dalam garis segitiga

dari glabela ke kedua sudut mulut. Vena-vena tersebut melalui vena angularis, vena

oftalmika, vena etmoidalis, yang akan bermuara di sinus kavernosus. Kedua, infeksi

masuk melalui mukosa hidung kemudian melalui pembuluh limfe atau pembuluh darah

bermuara di sinus longitudinal dorsalis dan sinus lateralis. Ketiga, melalui saluran limfe

dari meatus superior melalui lamina kribriformis dan lamina perpendikularis os etmoid

yang bermuara ke ruang subaraknoid. Keempat, invasi langsung dapat terjadi pada saat

operasi, erosi lokal diduga dapat juga merupakan jalan atau kebetulan ada kelainan

kongenital. Kelima, selubung perineural diduga dapat juga merupakan jalannya

penjalaran infeksi, dalam hal ini selubung olfaktorius yang menuju intrakranial melalui

lamina kribriformis.14

Banyaknya aliran limfatik perineural pada dasar tengkorak bagian anterior dan

tidak adanya katup pada sistem vena antara vena angularis dan sinus kavernosus melalui

vena oftalmika dapat mempermudah penyebaran infeksi ke intrakranial menyebabkan

trombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan empiema subaraknoid.

Penyebaran infeksi ke daerah yang berdekatan seperti mata dan sinus paranasal yang

menyebabkan selulitis orbita dan abses.14

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudhir Naik, Sarika Naik. Nasal Septal Abscess: A Retrospective Study of 20 Cases in

KVG Medical College and Hospital.2010. Clinical Rhinology. Vol 3.Page 135-140

2. Soepadi Arsyad, et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher, edisi 7. FKUI: Jakarta, Hal 127

3. Dispenza C,Saraniti C,Dispenza F, Caramanna, Salzano FA. Management of nasal septal

abscess In Childhood: our experience. 2004. International Journal of Pediatric

Otorhinolaryngology Elesvier. Vol.64 Page 1417-1421

4. Adnane C*, Adouly T, Taali L, Belfaquir L, Rouadi S, Abada R, Roubal M and Mahtar

M. Unusual Spontaneous Nasal Septal Abscess. 2015. Journal of Case Reports and

Studies Vol. 3 No. 3

5. Bestari J Budiman, Jon Prijadi. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Septum Nasi.

2013. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol.2 No.1

6. Jalaludin MAB. Nasal septal abscess-retrospective analysis of 14 cases from university

hospital, Kuala Lumpur. Singapore Med J. 1993. Vol 34. p: 435-437.

7. Snell S. Richard. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. 2014. EGC: Jakarta Hal. 35-40

8. Lo SH, Wang PA. Nasal septal abscess as a complication of laser inferior turbinectomy.

Original article. Chang Gung Med J. 2004. Vol 27 (5). p: 390-392.

9. Ozan F, Polat S, Yeler H. Nasal septal abscess caused by dental infection: A case report.

The internet journal of otorhinolaryngology. 2006. Vol 4. No 2.

10. Smith RA. Jaw cysts. In: Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology

Head and Neck Surgery. 3rd ed. New York: McGraw-Hill companies. 2012. p: 394-406.

16
11. Swain SK, Gupta S, Banerjee A, Sahu MC. Anunusual presentation of nasal septal

abscess in 13-year-old boy. ApolloMed 2018;15:41-3.

12. Menger DJ et al. Nasal septal abscess in children reconstruction with autologous cartilage

grafts on polydioxanone plate. Arch otolaryngol head neck surgery. 2008. Vol 134(8). p:

842-847.

13. Ngo J. Nasal septal hematoma drainage. Cyted January 7th 2019. Available from.

http://emedicine.medscape.com/article/149280.

14. Haryono Y. Abses septum dan sinusitis maksilaris. Majalah kedokteran nusantara. 2006.

Vol 39 (3). hal:359-362

17

Anda mungkin juga menyukai