Anda di halaman 1dari 19

Reaktor Packed Bed (Fixed Bed)

Ada dua tipe dasar dari reaktor dikemas Packed Bed: fasa padat yang
dijadikan reaktan, dan adapula fasa padat yang dijadikan katalis. Banyak contoh
dari jenis pertama dapat ditemukan salah satunya dalam industri ekstraktif
metalurgi. Industri proses kimia biasanya didesain berkaitan dengan reaktor tipe
kedua: reaktor katalitik. Industri reaktor packed bed katalitik dengan berbagai
ukuran daritabung kecil, diameter beberapa sentimeter, untuk diameter besar
untuk packed bed. Reaktor packed beddigunakan untuk reaksi fasa gas dan gas-
cair. Tingkat perpindahan panas rendah dengan diameter besar pada reaktor
packed bed dan untuk tingkat perpindahan panas tinggi reaktor packed bed
fluidised harusdipertimbangkan (Sinnott, 2005).

Tipe -Tipe Reaktor Fixed Bed Menurut Bentuk Tumpukan Katalisator


a. Reaktor dengan satu lapis tumpukan katalisator (single bed)
Pengendalian temperatur dalam reaktor fixed bed yang besar sulit, karena
konduktivitas panas sistem rendah dengan pelepasan atau penyerapan panas yang
besar. Di dasar tumpukan katalis dilengkapi penyangga. Butir katalisator disusun
makin ke atas makin kecil.
b. Reaktor dengan beberapa lapis tumpukan katalisator (multi bed)
Umumnya digunakan pada sistem adiabatik. Jika reaksi sangat eksotermis,
pada konversi yang relatif rendah temperatur campuran campuran sudah naik
sehingga campuran harus didinginkan dulu dengan mengalirkannya ke alat
penukar panas di luar reaktor, kemudian dikembalikan lagi ke reaktor masuk ke
tumpukan katalisator yang kedua, dan seterusnya sampai diperoleh konversi yang
diinginkan. Jika reaksi endotermis, campuran pereaksi dialirkan ke alat penukar
panas untuk dipanaskan. Tebal tumpukan katalisator pada tiap lapis berbeda.
c. Reaktor yang terdiri dari beberapa pipa – pipa kecil (tube) yang berisi
katalisator di dalam sebuah tabung besar (shell), Multitube
Reaktor ini digunakan untuk tujuan memperoleh pengendalian temperatur yang
lebih baik karena perpindahan panasnya besar, sehingga perpindahan panas ke
arah radiasi diabaikan.
Gambar 1.5 Reaktor Packed Bed (Fogler, 1999)
In – out + generation = accumulation ……………………………..……….(1.18)
Berdasarkan Gambar 1.5 didapat persamaan sebagai berikut:
∆W ′
FAo - FA+∫0 rA dW =0…………………..……………………….….........(1.19)

Dimana:
FAo = FA (W)
FAo = FA(W+∆W)
∆W ′
∫0 rA dW = rA′ ∆W

Sehingga neraca mol pada Packed Bed Reactormenjadi:


FA(W) - FA (W+∆W) + rA′ ∆W = 0………………………………...……..(1.20)
Persamaan 1.20 disusun ulang menjadi:
- [FA(W+∆W) - FA(W)] = rA′ ∆W……………………………………...….…..(1.21)
FA(W+∆W) − FA(W)
-[ ∆W
] = rA′ ……..………………………………...............(1.22)
Dimana:
FA(W+∆W) − FA(W) dF
lim [
∆W
]=- dWA . ………………..…………..…………..(1.23)
∆W→0

Sehingga Persamaan 1.23 menjadi:


dF
- dWA= -rA′ …..……………………………….…………………………...(1.24)
dFA
dW
=rA′ ……………….........................................................................(1.25)
Persamaan differensial 1.25 dapat diintegralkan menjadi:
W F dFA
∫0 dW= ∫F A r′A
Ao
F dFA
W =∫F A r′A
………………………………………………............…………..(1.26)
Ao

Neraca Mol Dengan Konversi


Persamaan nerca mol bentuk differensial
dF
- dWA=-
rA′ …………………………………………………………………................(1.27)
Dimana:
FA = FA0 - FA0.X
…………………………………………………………………....................(1.28)
Subtitusi Persamaan 1.27 kepersamaan 1.24, menghasilkan:
d(FA0 X−FA )
dW
=-
rA′ ……………………...………………………………..………...................(1.29)
dX
FA0 =-
dW

rA′ ………………………………...……………………………….................(1.30)
Persamaan 1.29 disusun ulang sehingga menjadi:
dW =
FA0 dX
−r′A
……………………………………..…………………….…………….(1.31)

Persamaan 1.30 diintegralkan menjadi:


W=
X dX
FA0 ∫0
−r′A
..……………………………………..…………………………....(1.32)

Keterangan:
FA0 = Laju alir masuk (kg/s) , V = Volume (dm3)
FA = Laju alir keluar (kg/s) W = Massa (kg)
rA = Laju alir reaksi (kg/s) XA = Fraksi mol
NA = Laju alir akumulasi (kg/s)
CA = Konsentrasi zat masuk
(mol/dm3)
CA0 =Konsentrasi zat keluar
(mol/dm3)
t = Waktu (s)
BAB II
DASAR PERANCANGAN

2.1 Reaktor Fixed Bad Multitube


Reaktor yang terdiri dari beberapa pipa – pipa kecil (tube) yang berisi katalisator di
dalam sebuah tabung besar (shell), Multitube. Reaktor ini digunakan untuk tujuan
memperoleh pengendalian temperatur yang lebih baik karena perpindahan panasnya besar,
sehingga perpindahan panas ke arah radiasi diabaikan.
Reaktor tipe ini termasuk jenis reaktor kimia khusus, yaitu fixed bed reaktor, yang
mana terdiri dari lebih 1 pipa yang berisi tumpukan katalis stasioner dan dioperasikan
vertikal. Biasanya dioperasikan secara adiabatis. Biasanya digunakan untuk reaktan berfase
gas, dan perlu di ketahui, reaksi kimia tersebut terjadi sepanjang pipa, jadi semakin panjang
pipa maka konversinya juga semakin tinggi.
Fixed Bed Reactor katalitik dapat didefinisikan sebagai suatu tube silindrikal yang
dapat diisi dengan partikel-partikel katalis. Selama operasi, gas atau liquid atau keduanya
akan melewati tube dan partikel-partikel katalis, sehingga akan terjadi reaksi (kusmiyati,
2015)

Teori Reaksi Katalitik Gas-Liquid :


A(g) + B(l) → C............................(Persamaan 1.1)
Reaktan A (gas) bereaksi dengan reaktan B yang merupakan liquid non-volatil dengan katalis
padat.
Mekanisme Reaksi Tiga-Fase :
a. transfer massa komponen A dari bulk gas ke antarmuka gas-liquid,
b. transfer massa komponen A dari antarmuka gas-liquid ke bulk liquid ,
c. transfer massa A dan B dari bulk liquid ke permukaan katalis,
d. difusi intra partikel spesies A dan B melalui pori-pori katalis ke sisi aktif,
e. adsorpsi kedua atau salah satu reaktan pada sisi aktif katalis,
f. reaksi permukaan yang meliputi salah satu atau kedua spesies adsorbat,
g. desorpsi produk berlawanan arah .
1. Model Desain Reaktor Fixed Bed Multitube
a. Persamaan Neraca Massa (steady-state)
𝜕2 𝐶𝐴 1 𝜕𝐶𝐴 𝜕2 𝐶𝐴 𝜕(𝑈𝑆 𝐶𝐴 )
𝐷𝑟 ( 2 −𝑟 ) + 𝜕𝐿 ( )− − 𝑅𝐴 𝜌𝐵 = 0............. (Persamaan 1.2)
𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑍 2 𝜕𝑍
Di mana :
Dr, DL = Difusi efektif, m2/s
CA = Konsentrasi komponen, A mol/ m3
Us = Kecepatan superficial, m/s
RA = Laju reaksi global, mol/ kg s
B = Densitas pellet katalis, kg/ m3

b. Persamaan Neraca Energi (steady state)


1 𝜕𝑇 𝜕2 𝑇 𝜕𝑇 𝜕2 𝑇
𝑘𝑟 (𝑟 + 2 ) − (𝑈𝑆 𝜌𝑔 ) 𝐶𝑃 𝜕𝑍 + 𝑘𝐿 − 𝑅𝐴 𝜌𝐵 (−∆𝐻) = 0 ... (Persamaan 1.3)
𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑍 2

Di mana :
Kr, KL = Difusi efektif termal, J/s m K
g = Densitas fluida, Kg/m3
Cp = Kapasitas panas, J/kg K

Gambar 2.1. Fixed Bed Reactor tipe SPM-2300

a. Proses simulasi SPM-2300 Fixed Bed Reactor dapat digunakan untuk mereaksikan 2
macam gas serta dapat berlangsung secara eksotermik ataupun endotermik.
b. Reaktan A dan B diumpankan kepada masing-masing dari keempat inlet fixed bed
melalui suatu heater dimana suhu mereka dinaikkan hingga mencapai suhu optimum
reaksi. Suhu reaktan A dipertahankan agar lebih rendah dari suhu reaktan B, sehingga
memungkinkan untuk inter-bed quenching, suatu teknik yang digunakan untuk
mengontrol temperatur dalam reaktor.
c. Bed reactor dirancang untuk mengubah (mengkonversi) seluruh reaktan A menjadi
produk. Rasio molar inlet dari reaktan B terhadap reaktan A dipertahankan pada 10
banding 1, sejumlah besar reaktan B harus diumpankan ke bed pertama dengan hanya
sedikit reaktan B yang diumpankan ke bed-bed berikutnya.
Katalisator diisi lebih dari satu tumpuk katalisator, fixed bed dengan katalisator lebih
dari satu tumpuk banyak dipakai dalam proses adiabatik. Jika reaksi yang terjadi sangat
ekonomis pada konverrsi yang masih kecil, suhu gas sudah naik sampai lebih dari suhu
maksimum yang diperbolehkan untuk katalisator, maka gas harus didinginkan terlebih dahulu
ke dalam alat penukar panas di luar reaktor melalui tumpukan katalisator kedua. Jika konversi
gas yang keluar dari tumpukan kedua belum mencapai dari yang direncanakan, tetapi suhu
gas sudah lebih tinggi dari yang diperbolehkan maka dilakukan pendinginan lagi dengan
mengalirkan gas ke alat penukar panas kedua diduga kemungkinan dikembalikan ke reaktor
yang masuk melalui tumpukan katalisator ketiga dan seterusnya sampai diperoleh konversi
yang diinginkan. Jika reaksi bersifat endotermis, maka penukar panas di luar reaktor dapat
digunakan untuk pemanas gas reaksi (Faith, 1975).

Keterangan:
Diameter dalam tube, IDt
Diameter luar tube, ODt
Diameter dalam shell, IDs
Diameter luar, OD
Tebal plate, ts
Tebal head, th
Panjang tube, Z
Panjang head, L
Jarak baffle, B

Gambar 2.2 Fixed Bed Mutitube Reactor


Jika reaksi yang bersuhu tinggi, tabung dapat diatur dalam tungku. Pressure-drop dan
koefisien transfer panas dalam reaktor tabung kosong dapat dihitung menggunakan metode
untuk aliran dalam pipa. TFR (Tubular Flow Reactor) biasanya berbentuk pipa yang
memiliki range diameter dari 1-15 cm atau lebih, dan tidak menutup kemungkinan diameter
vessel dalam satuan meter. Ketika beberapa tube yang disusun paralel dibutuhkan, maka
metode shell and tube seperti heat exchanger dapat digunakan (Sinnott, 2005).

2.1.1 Jenis Reaktor


Reaktor yang digunakan pada proses produksi metanol dengan kapasitas 180.000
ton/tahun ialah Fixed Bed Multitube Reactor dan Continuous Fixed Bed Multitube Reactor
Furnace. Pemilihan jenis reaktor ini didasarkan atas beberapa pertimbangan pada katalis
yang digunakan, dan kondisi operasi yang sesuai di kedua unit operasi.
Tempertatur umpan yang dibutuhkan di unit operasi SMR jauh lebih besar dari pada
temperatur umpan yang masuk ke reactor maka digunakanlah Continuous Fixed Bed
Multitube Reactor Furnace. Selain itu, katalis yang digunakan pada reaksi ialah katalis padat
ZnO dan NiO. Katalis ini berbeda fasa dengan umpan sehingga disebut katalis heterogen.
Pada reaktor ini juga digunakan tube sebagai tempat dari penampungan katalis didalam
reaktor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dipilih reaktor jenis fixed bed
multitubular.

2.1.2 Bahan (Material) Penyusun Reaktor


Material yang digunakan adalah Carbon Steels SA – 283 Grade C. Hal ini dikarenakan
material Carbon Steels SA – 283 Grade C memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan
grade A, B, dan D. Bahan Carbon Steels SA – 283 Grade C merupakan bahan material yang
paling sering digunakan dalam konstruksi vessel.
Bahan material ini memiliki keunggulan dalam mengatasi kelemahan dari SA – 283
Grade A, B,dan D. Carbon Steels SA – 283 Grade A dan B memiliki beberapa kelemahan
seperti duktilitas atau kegetasannya yang tinggi dan memiliki daya renggang yang rendah,
sementara Carbon Steels SA – 283 Grade D memiliki duktilitasnya yang tidak memadai
dalam membentuk shell dan head serta lebih sulit dilas dalam merancang reaktor, sedangkan
Grade C memiliki duktilitas yang lebih bagus, maka dari itu, material yang digunakan pada
perancangan reaktor ini adalah Carbon Steels SA – 283 Grade C (Brownell and Young,
1954).

2.2 Persamaan dalam Perancangan Tangki


2.2.1 Densitas dan Viskositas
Dalam perancangan terhadap reaktor, terlebih dahulu dilakukan perhitungan dalam
mencari viskositas dan densitas campuran pada fasa umpan. Hal yang pertama dibutuhkan
ialah, untuk mencari densitas dan viskositas tiap komponen dengan menggunakan persamaan
(Yaws, 1999):
Densitas (ρ) = A. B-(1-T/Tc)^n .................................................(2.1)
Viskositas (µ) = A + BT + CT2 ...........................................(2.2)

Kemudian mencari densitas campuran dapat menggunakan persamaan (Reklaitis dan


Schneider, 1983):
Densitas campuran (ρcampuran) : Ʃ (𝜌𝑖 . 𝑥𝑖) .........................(2.3)

Sedangkan untuk menghitung viskositas campuran dapat menggunakan persamaan


(Rahmes, 1948):

Viskositas campuran (µcampuran) : exp (Σ (%massa komp x ln µkomp) ...(2.4

2.2.2 Volume Reaktor


Setelah densitas dan viskositas campuran diketahui, laju volumetrik yang melewati
reaktor (𝑣) dapat dihitung dengan persamaan (Fogler 4th hal 14, 1999):
𝐹
𝑣= ..........................................................(2.5)
ρ𝑐𝑎𝑚𝑝

Ket : F = Laju alir massa umpan (kg/h)

ρ = Densitas campuran (kg/m3)

Dalam menghitung volume reaktor, terlebih dahulu dihitung komponen waktu tinggal
dengan menggunakan persamaan (Fogler 3rd hal 58, 1999) :

1
Waktu Tinggal (τ) = 𝑆𝑝𝑎𝑐𝑒 𝑉𝑒𝑙𝑜𝑐𝑖𝑡𝑦 .............................. (2.6)

Ket : τ = waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu proses (h-1)

Selanjutnya, volume reaktor dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Fogler


3rd hal 57, 1999):

V = 𝑣 x τ ..........................................................(2.7)

Faktor Keamanan / Safety (kelonggaran) yang digunakan untuk reaktor adalah sebesar
15% (Peter hal 38, 1991). Setelah ditetapkan volume reaktor, tahap selanjutnya yang
dilakukan adalah menghitung jumlah tube.

2.2.3 Jumlah Tube


Terlebih dahulu dilakukan perhitungan diameter tube sebelum menghitung jumlah tube
dengan menggunakan persamaan (J. M. Smith hal 511, 1981):
Diameter katalis (dk)
= 0.15 .....................................(2.8)
Diameter tube (dt)

Setelah menghitung diameter tube dilanjutkan dengan menghitung tumpukan katalis:


Tumpukan katalis = (1-porositas) x ρ katalis.....................(2.9)
Ket : Porositas = ukuran dari ruang kosong diantara material
Nilai tumpukan katalis ini diperlukan untuk menghitung massa katalis, dimana rumus
menghitung massa katalis keseluruhan adalah:
W = Tumpukan katalis × Volume total reaktor ..............(2.10)

Jika massa katalis sudah diketahui maka dilanjutkan dengan perhitungan volume total
tumpukan katalis dengan rumus:

𝑊
V katalis = ..............................................(2.11)
ρ katalis

Ket : W = massa katalis keseluruhan (kg)

Dalam menghitung tinggi tumpukan katalis keseluruhan di reaktor, dapat dihitung


dengan persamaan berikut :

4× 𝑉 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠
Z= ........................................................(2.12)
π×ID2

Ket : Z = Tinggi tumpukan katalis keluruhan (kg)


ID = Diameter tube dalam (m)

Dengan mensubstitusikan pers. 2.11 ke pers. 2.12 maka diperoleh rumus menghitung
tinggi tumpukan katalis keseluruhan ialah:

4×𝑊
Z= ......................................................... (2.13)
π×ID2 ×ρ katalis

Jumlah tumpukan katalis keselurahan yang telah diperoleh digunakan untuk mencari
tumpukan katalis per tube, dengan rumus:

Z = 80% dari tinggi 𝑡𝑢𝑏𝑒 standar (L) ........................(2.14)

Setelah itu dihitung jumlah tube yang dibutuhkan dengan menggunakan data tinggi
tumpukan katalis keseluruhan dan per tube sehingga:

𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑡𝑢𝑚𝑝𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛


Nt = ......................(2.15)
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑡𝑢𝑚𝑝𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠 𝑝𝑒𝑟 𝑡𝑢𝑏𝑒

Dalam mencari tebal tube dapat dihitung dengan rumu s:


𝑂𝐷−𝐼𝐷
Tebal tube = ...................................... (2.16)
2

Ket : OD = Diameter tube luar (m)


ID = Diameter tube dalam (m)
Direncanakan tube akan dirancang dengan susunan triangular pitch (60o) dengan
tujuan agar memberikan turbulensi yang lebih baik, sehingga akan memperbesar koefisien
transfer panas konveksi (ho). Sehingga transfer panasnya lebih baik dari pada square pitch
(Kern, 1983). Sehingga harus dihitung jarak antar pusat pipa (Pt) dengan menggunakan
rumus (Sinnott hal 649, 2005):

Pt = 1.25 × OD ........................................... (2.17)

2.2.4 Shell
Dalam merancang shell dibutuhkan data perhitungan berupa tinggi, diameter, dan
tebal shell. Dilakukan perhitungan diameter shell dengan menggunakan rumus (Brownell &
Young, 1959):

4 ×0.866 ×Nt×Pt2
(IDs) = ................................ (2.18)
π

Ket : Nt = Jumlah tube


Pt = Jarak antar pusat tube
Tebal shell dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Brownell & Young hal 154,
1959):
PR
t s = fE−0,6, P + CA ......................................... (2.19)

Ket : ts = Tebal shell (in)


P = Tekanan desain (psi)
R = Jari-jari shell (in)
f = Tekanan yang diizinkan (psi)
E = Efisiensi sambungan
CA = Korosi yang diizinkan (in)

Untuk menentukan tekanan desain pada reaktor, diambil faktor keamanan / kelonggaran
20% dari tekanan operasi (Peter hal 37, 1991).

2.2.5 Head dan Bottom


Menghitung tebal head dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan jenis tutup yang
akan digunakan berdasarkan tekanan operasi reaktor. Setelah itu, tebal head dapat dihitung
dengan menggunakan rumus untuk torispherical (Wallas, 1988) dan untuk ellipsoidal
(Brownell & Young hal 40, 1959):
0,885 PR
Torispherical : t h = SE−0,1 P + CA ........................(2.20)
PD
Elipsoidal : t h = 2SE−0,2 P + CA ....................... (2.21)

OD

OA

icr A
B sf

ID th
r

Gambar 2.3 Desain Tutup (Brownell and Young, 1959)


Dari nilai OD shell yang didapat dilihat nilai icr (internal crown radius), r (jari-jari),
dan sf (straight flange) dari tabel 5.7 (Brownell & Young, 1959). Kemudian bisa dihitung
nilai-nilai yang terdapat pada gambar 2.1 dengan menggunakan rumus (Brownell & Young
hal 87, 1959):
AB = ID/2 – icr ..........................................................(2.22)
BC = r – icr ................................................................(2.23)
AC = √BC2 − AB2 ...................................................(2.24)
b= r- AC .....................................................................(2.25)
OA = Th + b + sf ........................................................(2.26)

2.2.6 Tinggi Reaktor


Menghitung tinggi reaktor dapat dilakukan dengan menjumlahkan antara tinggi shell
dan tinggi tutup serta bottom, yaitu:
Tinggi total reaktor = L x 2*OA ................................. (2.27)
Ket : L = Tinggi shell
OA = Tinggi tutup

2.2.7 Nozzle
Nozzle ini berfungsi sebagai lubang pemasukan dan pengeluaran bahan baku serta
lubang pemasukan dan pengeluaran dari steam ataupun cooling water yang digunakan.
Dalam perhitungan untuk mendesain nozzle dibutuhkan terlebih dahulu nilai densitas dan
viskositas dari bahan. Setelah itu, menghitung diameter optimum tube dengan menggunakan
persamaan (Sinnott hal 221, 2005):

W
L
12
12

DR
1/2 DR
L

Dp
Gambar
2.4. Nozzle (Brownell and Young, 1959)
0,53 -0,37
diopt = 366 G .µ0.03 ρ ......................... (2.28)

Ket : diopt = Diameter optimum dalam pipa (mm)


G = Kecepatan aliran massa fluida (kg/s)
ρ = Densitas fluida (kg/m3)

Selanjutnya menghitung nilai bilangan Reynold, dengan menggunakan rumus:


4𝐺
𝑅𝑒 = 𝜋𝜇𝐷 ..........................................................(2.29)

Ket : D = Diameter dalam pipa (m)


G = Kecepatan aliran massa fluida (kg/s)
Jika bilangan Reynold >2100 maka aliran adalah turbulen dan jika <2100 maka aliran
disebut laminar. Dari diopt, dapat diperkirakan ukuran pipa yang digunakan dengan melihat
tabel 11 (Kern hal 844, 1983). Untuk ukuran nozzle standar dilihat dari Appendix F Brownell
& Young hal 349. Perhitungan yang sama juga berlaku untuk mendesain nozzle keluaran dan
air pendingin.

2.2.8 Flange, Bolt, dan Gasket


Q

OD J

Weld, B n

Gambar 2.5. Flange (Brownell and Young, 1959)


a. Sambungan head dengan shell
Sambungan antara tutup bejana dengan bagian shell menggunakan sistem flange dan
baut. Bahan konstruksi yang dipilih berdasarkan pada kondisi operasi. Data perancangan
terdiri atas material flange, bolting steel, material gasket, diameter luar shell, ketebalan shell,
diameter dalam shell, tegangan dari material flange (fa), dan tegangan dari bolting material
(fb).

b. Perhitungan lebar gasket


Lebar gasket dihitung dengan menggunakan persamaan (Brownell & Young hal 226,
1959):

t
h
Gasket

W
hG
C
hT R hD
go
HG
g1
HT
G
g1/2

Gambar 2.6. Gasket (Brownell and Young, 1959)

𝑦−𝑃 𝑚
do/di = √𝑦−[ 𝑃 (𝑚+1)] ..................................................(2.30)

Ket : do = Diameter luar gasket (in)


di = Diameter dalam gasket (in)
P = Tekanan operasi (psi)
y = Yield stress (lb/in2) (Brownell & Young hal 228)
m = Faktor gasket (Brownell & Young hal 228)
selanjutnya menghitung lebar gasket minimum (N) dengan rumus:
𝑂𝐷−𝐼𝐷
N= ..................................................................(2.31)
2

Ket : OD = diameter luar shell (in)

ID = diameter dalam shell (in)

c. Perhitungan beban
𝑁
bo = ................................................................ (2.32)
2

Beban berat bolt pada kondisi tanpa tekanan dalam dihitung dengan menggunakan
rumus (Brownell & Young hal 229, 1959):
Wm2 = Hy
= 𝜋 x b x G x y .................................................................................... (2.33)
Ket : Hy = Berat beban bolt maksimum (lb)
Wm2 = Beban berat bolt pada kondisi tanpa tekanan dalam (lb)
b = Efektif gasket (in)
G = Diameter gasket rata-rata (in)
Kemudian dihitung berat untuk menjaga join tight saat operasi digunakan digunakan
rumus (Brownell & Young hal 240, 1959):

Hp = 2 x b x µ x G x m x p................................(2.34)

Ket : Hp = Beban joint tight (lb)


m = Faktor gasket (Fig.12.11)
b = Effective Gasket (in)
G = Diameter gasket rata – rata (in)
P = Tekanan operasi (psi)

Beban dari tekanan internal dihitung dengan rumus (Brownell & Young hal 240,
1959):

𝜋𝐺 2
H= 𝑃 ..........................................................(2.35)
4

Kemudian beban operasi total dihitung dengan:


Wm1 = H + Hp ..................................................(2.36)
Ket : Wm1 = Beban berat bolt pada kondisi operasi (lb)
Wm2 = Beban berat bolt pada kondisi tanpa tekanan dalam (lb)
H = Total joint contact surface (lb)

d. Perhitungan luas baut minimum


Untuk menghitung luas baut minimum, terlebih dahulu dilakukan total luas bolt pada kondisi
operasi dengan rumus (Brownell & Young hal 240, 1959):
Wm1
Am1 = ........................................................ (2.37)
𝑓𝑏

Ket : Am1 = Total luas Bolt pada kondisi operasi (in2)


Fb = Tekanan dari bolting material (psi)

Kemudian ditentukan ukuran baut yang akan digunakan dan diambil data pada tabel
10.4 (Brownell & Young hal 188, 1959). Jumlah baut minimum dihitung dengan rumus:
Am1
Jumlah baut minimum, Nbolt = 𝑟𝑜𝑜𝑡 𝑎𝑟𝑒𝑎 .........(2.38)

Kemudian dilakukan pengecekan baut yang dipilih dengan cara:


Ab actual = Nbolt x Root area .............................(2.39)
Ab 𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 F 𝑎𝑙𝑙𝑎𝑤
Lebar gasket minimum, Nmin = ..............(2.40)
2 𝑦 𝜋𝐺

Apabila nilai Nmin<0.5 in maka pemilihan baut tepat.

e. Perhitungan moment
1. Untuk boilting up condition
Beban desain diberikan dengan persamaan (Brownell & Young hal 242, 1959) :

W = ½ (Ab + Am1) fa ...............................................(2.41)


Ket : W = Berat Beban (lb)
Am1 = Luas baut minimum (in2)
Ab actual = Luas aktual baut (in2)
Fa = Allowable stress (psi)

Hubungan lever arm diberikan dengan persamaan (Brownell & Young hal 242, 1959):
hG = ½ (BC – G) ............................................... (2.42)
Ket : hG = Tahanan radial circle bolt (in)
BC = Bolt circle diameter (in)
G = Diameter gasket rata – rata (in)

Flange moment adalah sebagai berikut:


Ma = W x hG ......................................................(2.43)

2. Untuk kondisi saat beroperasi


Untuk Hydrostastic and force pada area dalam flange dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan (Brownell & Young hal 242, 1959):
HD = 0.785 B2 P (2.44)
Ket : HD = Hydrostastic and force pada area dalam flange (lb)
B = Diameter dalam flange (in)
P = Tekanan operasi (psi)

The level arm, Hd dihitung dengan menggunakan rumus (Brownell & Young hal. 242,
1959):

hD = ½ (BC – B).................................................. (2.45)

The Moment, Md dihitung dengan menggunakan rumus (Brownell & Young hal. 242,
1959):

Md = Hd x hD ......................................................(2.46)

Momen komponen dihitung dengan persamaan (Brownell & Young hal. 242, 1959):

Mg = HG . hg ........................................................(2.47)

Perbedaan antara flange-design bolt load dengan hydrostatic and force end pada luas
area dalam flange, HT (Brownell & Young hal. 242, 1959):

HT = H - HD ....................................................... (2.48)

Hubungan lever arm, hT (Brownell & Young hal. 242, 1959):

hT = ½ (hD + hG) ...............................................(2.49)


The Moment (Brownell & Young hal. 242, 1959)

MT = HT X hT ....................................................(2.50)

Jumlah moment untuk kondisi saat beroperasi, Mo (Brownell & Young hal. 242, 1959):

Mo = MD + MG + MT ........................................(2.51)

Sehingga moment saat beroperasi sebagai pengontrol:


Mmax = Mo

2.2.9 Tebal Flange


Tebal flange dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Brownell & Young hal
239, 1959):
𝑌𝑥 𝑀𝑚𝑎𝑥
t=√ .....................................................(2.51)
𝑓𝑎 𝐵

2.2.10 Berat Reaktor


Berat reaktor ini terdiri atas berat keseluruhan reaktor dihitung dengan persamaan:
Berat reaktor = berat shell + head + tube + material dalam reaktor .....(2.52)

Berat shell dihitung dengan menggunakan persamaan:

Berat shell = ¼.π.(ODs2 – IDs2).Ls.ρstell .................... (2.53)

Berat head dan bottom dihitung dengan menggunakan persamaan:


Berat head dan bottom = Vhb. Ρstell ...................... (2.54)

Berat tube dihitung dengan menggunakan persamaan 2.53. Berat material dalam
reaktor dihitung dengan menggunakan persamaan:

Berat gas = ¼.π.ID2.Lt.ρgas.Nt ............................... (2.55)

2.2.11 Support
Reaktor disangga dengan 4 kaki. Penyangga dilas di tengah-tengah ketinggian
keseluruhan reaktor (50% dari tinggi total reaktor). Dengan jarak antara bottom reaktor ke
pondasi sebesar 5 ft. Maka, tinggi lug :

Hlug = ½ H + L .............................................................................................. (2.56)


Tabel 3.2 Spesifikasi Reaktor 02
Spesifikasi Alat
Kode Alat R-101
Jenis Reaktor Fixed Bed Multi Tube
Material Konstruksi Carbon Steel SA-283 Grade C
Operasi
Temperatur 250 OC 523 K
Tekanan 580.15 psi 39.4769 atm
Desain Shell
Inside Diameter Shell 5.41471124 m 167.706 in
Outside Diameter Shell 5.792116 m 228 in
Tebal Shell 0.20061409 m 7.898176862 in
Tinggi Shell 7.004 m 275.748 in
Tekanan Desain 696.18 Psi
Desain Tube
Inside Diameter Tube 0.035052 m 1.3799972 in
Outside Diameter Tube 0.042164 m 1.6599967 in
Tebal Tube 0.003556 𝑚 0.1399997 in
Tinggi Tube 7.315 m 24 ft
Jumlah Tube 1766,94663 𝑡𝑢𝑏𝑒
Nozzle Umpan
NPS 4 in
No. Schedule 40 in
IDT 4,026 in
ODT 4,5 in
Flow Area 12.7 in2
Weight 10.8 lb
Spesifikasi Baut
Bolt Size 0.5 in
Root Area 5.621 in2
Minimal Radian Distance 3.625 in
Edge Distance 2.875 in
Bolt Spacing 6.25 in
Jumlah Baut 308
Flange

Material Flange Carbon Steel SA-283 Grade C


Allowable Stress 12650 psi
Tebal Flange 427.491469 mm
Gird Support

Penyangga 4 kaki
Perforate plate 0.85476043 m2
C 0.75 in
d 228 in
Tebal minimum plate 47.1105523 in
Luas total pipa 2650.41994 m2
Tekanan total 720.1105523 psi
Spesifikasi Head

OD

OA

icr A
B sf

ID th
r

Tinggi Head m 6.7842085 in


Tebal Head m 1.1239 in
Sf 0.1143002 m 4.5 in
Icr 0.3492507 m 13.75 in
r 4.5720091 m 180 in
B 1.06900614 m 42.086772 in
AC 3.50300301 m 137.91323 in
BC 4.22275845 m 166.25 in
OA 1.3556256 m 53.37098 in
Reaktor

Tinggi Reaktor 10.0312512 m


Diameter Reaktor 5.41471124 m

Anda mungkin juga menyukai