Anda di halaman 1dari 11

BAB II

DASAR PERANCANGAN

2.1. Reaktor Fixed Bed Multitube


Reaktor yang terdiri dari beberapa pipa-pipa kecil (tube) yang berisi
katalisator di dalam sebuah tabung besar (shell), Multitube. Reaktor ini digunakan
untuk tujuan memperoleh pengendalian temperatur yang lebih baik karena
perpindahan panasnya besar, sehingga perpindahan panas ke arah radiasi
diabaikan.
Reaktor tipe ini termasuk jenis reaktor kimia khusus, yaitu fixed bed
reaktor, yang mana terdiri dari lebih 1 pipa yang berisi tumpukan katalis stasioner
dan dioperasikan vertikal. Biasanya dioperasikan secara adiabatis. Biasanya
digunakan untuk reaktan berfase gas, dan perlu di ketahui, reaksi kimia tersebut
terjadi sepanjang pipa, jadi semakin panjang pipa maka konversinya juga semakin
tinggi.
Fixed Bed Reactor katalitik dapat didefinisikan sebagai suatu tube
silindrikal yang dapat diisi dengan partikel-partikel katalis. Selama operasi, gas
atau liquid atau keduanya akan melewati tube dan partikel-partikel katalis,
sehingga akan terjadi reaksi (kusmiyati, 2015).
Teori Reaksi Katalitik Gas-Liquid:
A(g) + B(l) → C............................(Persamaan 1.1)
Reaktan A (gas) bereaksi dengan reaktan B yang merupakan liquid non-volatil
dengan katalis padat.
Mekanisme Reaksi Tiga-Fase:
a. Transfer massa komponen A dari bulk gas ke antarmuka gas-liquid,
b. Transfer massa komponen A dari antarmuka gas-liquid ke bulk liquid ,
c. Transfer massa A dan B dari bulk liquid ke permukaan katalis,
d. Difusi intra partikel spesies A dan B melalui pori-pori katalis ke sisi aktif,
e. Adsorpsi kedua atau salah satu reaktan pada sisi aktif katalis,
f. Reaksi permukaan yang meliputi salah satu atau kedua spesies adsorbat,
g. Desorpsi produk berlawanan arah.

1. Model Desain Reaktor Fixed Bed Multitube


a. Persamaan Neraca Massa (steady-state)
𝜕2 𝐶𝐴 1 𝜕𝐶𝐴 𝜕2 𝐶𝐴 𝜕(𝑈𝑆 𝐶𝐴 )
𝐷𝑟 ( 2 −𝑟 ) + 𝜕𝐿 ( 2 )− − 𝑅𝐴 𝜌𝐵 = 0 (Persamaan 1.2)
𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑍 𝜕𝑍
Dimana:
Dr, DL = Difusi efektif, m2/s
CA = Konsentrasi komponen, A mol/ m3
Us = Kecepatan superficial, m/s
RA = Laju reaksi global, mol/ kg s
B = Densitas pellet katalis, kg/ m3
b. Persamaan Neraca Energi (steady state)
1 𝜕𝑇 𝜕2 𝑇 𝜕𝑇 𝜕2 𝑇
𝑘𝑟 (𝑟 + 2 ) − (𝑈𝑆 𝜌𝑔 ) 𝐶𝑃 𝜕𝑍 + 𝑘𝐿 − 𝑅𝐴 𝜌𝐵 (−∆𝐻) = 0 ... (Persamaan 1.3)
𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑍 2
Dimana:
Kr, KL = Difusi efektif termal, J/s m K
g = Densitas fluida, Kg/m3
Cp = Kapasitas panas, J/kg K

Gambar 2.1. Fixed Bed Reactor tipe SPM-2300


a. Proses simulasi SPM-2300 Fixed Bed Reactor dapat digunakan untuk
mereaksikan 2 macam gas serta dapat berlangsung secara eksotermik ataupun
endotermik.
b. Reaktan A dan B diumpankan kepada masing-masing dari keempat inlet
fixed bed melalui suatu heater dimana suhu mereka dinaikkan hingga mencapai
suhu optimum reaksi. Suhu reaktan A dipertahankan agar lebih rendah dari suhu
reaktan B, sehingga memungkinkan untuk inter-bed quenching, suatu teknik yang
digunakan untuk mengontrol temperatur dalam reaktor.
c. Bed reactor dirancang untuk mengubah (mengkonversi) seluruh reaktan A
menjadi produk. Rasio molar inlet dari reaktan B terhadap reaktan A
dipertahankan pada 10 banding 1, sejumlah besar reaktan B harus diumpankan ke
bed pertama dengan hanya sedikit reaktan B yang diumpankan ke bed-bed
berikutnya.
Katalisator diisi lebih dari satu tumpuk katalisator, fixed bed dengan
katalisator lebih dari satu tumpuk banyak dipakai dalam proses adiabatik. Jika
reaksi yang terjadi sangat ekonomis pada konverrsi yang masih kecil, suhu gas
sudah naik sampai lebih dari suhu maksimum yang diperbolehkan untuk
katalisator, maka gas harus didinginkan terlebih dahulu ke dalam alat penukar
panas di luar reaktor melalui tumpukan katalisator kedua. Jika konversi gas yang
keluar dari tumpukan kedua belum mencapai dari yang direncanakan, tetapi suhu
gas sudah lebih tinggi dari yang diperbolehkan maka dilakukan pendinginan lagi
dengan mengalirkan gas ke alat penukar panas kedua diduga kemungkinan
dikembalikan ke reaktor yang masuk melalui tumpukan katalisator ketiga dan
seterusnya sampai diperoleh konversi yang diinginkan. Jika reaksi bersifat
endotermis, maka penukar panas di luar reaktor dapat digunakan untuk pemanas
gas reaksi (Faith, 1975).
Keterangan:
Diameter dalam tube, IDt
Diameter luar tube, ODt
Diameter dalam shell, IDs
Diameter luar, OD
Tebal plate, ts
Tebal head, th
Panjang tube, Z
Panjang head, L
Jarak baffle, B

Gambar 2.2 Fixed Bed Mutitube Reactor

Jika reaksi yang bersuhu tinggi, tabung dapat diatur dalam tungku.
Pressure-drop dan koefisien transfer panas dalam reaktor tabung kosong dapat
dihitung menggunakan metode untuk aliran dalam pipa. TFR (Tubular Flow
Reactor) biasanya berbentuk pipa yang memiliki range diameter dari 1-15 cm atau
lebih, dan tidak menutup kemungkinan diameter vessel dalam satuan meter.
Ketika beberapa tube yang disusun paralel dibutuhkan, maka metode shell and
tube seperti heat exchanger dapat digunakan (Sinnott, 2005).

2.1.1. Jenis Reaktor


Reaktor yang digunakan pada proses produksi metanol dengan kapasitas
180.000 ton/tahun ialah Fixed Bed Multitube Reactor dan Continuous Fixed Bed
Multitube Reactor Furnace. Pemilihan jenis reaktor ini didasarkan atas beberapa
pertimbangan pada katalis yang digunakan, dan kondisi operasi yang sesuai di
kedua unit operasi.
Tempertatur umpan yang dibutuhkan di unit operasi SMR jauh lebih besar
dari pada temperatur umpan yang masuk ke reactor maka digunakanlah
Continuous Fixed Bed Multitube Reactor Furnace. Selain itu, katalis yang
digunakan pada reaksi ialah katalis padat ZnO dan NiO. Katalis ini berbeda fasa
dengan umpan sehingga disebut katalis heterogen. Pada reaktor ini juga
digunakan tube sebagai tempat dari penampungan katalis didalam reaktor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dipilih reaktor jenis fixed bed
multitubular.

2.1.2. Bahan (Material) Penyusun Reaktor


Material yang digunakan adalah Carbon Steels SA – 283 Grade C. Hal ini
dikarenakan material Carbon Steels SA – 283 Grade C memiliki keunggulan yang
lebih dibandingkan grade A, B, dan D. Bahan Carbon Steels SA – 283 Grade C
merupakan bahan material yang paling sering digunakan dalam konstruksi vessel.
Bahan material ini memiliki keunggulan dalam mengatasi kelemahan dari
SA – 283 Grade A, B,dan D. Carbon Steels SA – 283 Grade A dan B memiliki
beberapa kelemahan seperti duktilitas atau kegetasannya yang tinggi dan memiliki
daya renggang yang rendah, sementara Carbon Steels SA – 283 Grade D memiliki
duktilitasnya yang tidak memadai dalam membentuk shell dan head serta lebih
sulit dilas dalam merancang reaktor, sedangkan Grade C memiliki duktilitas yang
lebih bagus, maka dari itu, material yang digunakan pada perancangan reaktor ini
adalah Carbon Steels SA – 283 Grade C (Brownell and Young, 1954).

2.2. Persamaan dalam Perancangan Tangki


2.2.1. Densitas dan Viskositas
Dalam perancangan terhadap reaktor, terlebih dahulu dilakukan
perhitungan dalam mencari viskositas dan densitas campuran pada fasa umpan.
Hal yang pertama dibutuhkan ialah, untuk mencari densitas dan viskositas tiap
komponen dengan menggunakan persamaan (Yaws, 1999):
Densitas (ρ) = A. B-(1-T/Tc)^n ........................................................................ (2.1)
Viskositas (µ) = A + BT + CT2 .................................................................. (2.2)
Kemudian mencari densitas campuran dapat menggunakan persamaan
(Reklaitis dan Schneider, 1983):
Densitas campuran (ρcampuran) : Ʃ (𝜌𝑖 . 𝑥𝑖) ................................................ (2.3)
Sedangkan untuk menghitung viskositas campuran dapat menggunakan
persamaan (Rahmes, 1948):
Viskositas campuran (µcampuran) : exp (Σ (%massa komp x ln µkomp) .......... (2.4)

2.2.2. Volume Reaktor


Setelah densitas dan viskositas campuran diketahui, laju volumetrik yang
melewati reaktor (𝑣) dapat dihitung dengan persamaan (Fogler 4th hal 14, 1999):
𝐹
𝑣=ρ .................................................................................................... (2.5)
𝑐𝑎𝑚𝑝
Ket : F = Laju alir massa umpan (kg/h)
ρ = Densitas campuran (kg/m3)
Dalam menghitung volume reaktor, terlebih dahulu dihitung komponen
waktu tinggal dengan menggunakan persamaan (Fogler 3rd hal 58, 1999) :
1
Waktu Tinggal (τ) = 𝑆𝑝𝑎𝑐𝑒 𝑉𝑒𝑙𝑜𝑐𝑖𝑡𝑦 ............................................................... (2.6)
Ket : τ = waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu proses (h-1)
Selanjutnya, volume reaktor dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan (Fogler 3rd hal 57, 1999):
V = 𝑣 x τ .................................................................................................... (2.7)
Faktor Keamanan / Safety (kelonggaran) yang digunakan untuk reaktor
adalah sebesar 15% (Peter hal 38, 1991). Setelah ditetapkan volume reaktor, tahap
selanjutnya yang dilakukan adalah menghitung jumlah tube.

2.2.3. Jumlah Tube


Terlebih dahulu dilakukan perhitungan diameter tube sebelum menghitung
jumlah tube dengan menggunakan persamaan (J. M. Smith hal 511, 1981):
Diameter katalis (dk)
= 0.15 .......................................................................... (2.8)
Diameter tube (dt)
Setelah menghitung diameter tube dilanjutkan dengan menghitung
tumpukan katalis:
Tumpukan katalis = (1-porositas) x ρ katalis .............................................. (2.9)
Ket : Porositas = ukuran dari ruang kosong diantara material

Nilai tumpukan katalis ini diperlukan untuk menghitung massa katalis,


dimana rumus menghitung massa katalis keseluruhan adalah:
W = Tumpukan katalis × Volume total reaktor ....................................... (2.10)
Jika massa katalis sudah diketahui maka dilanjutkan dengan perhitungan
volume total tumpukan katalis dengan rumus:
𝑊
V katalis = ρ katalis ................................................................................... (2.11)
Ket : W = massa katalis keseluruhan (kg)
Dalam menghitung tinggi tumpukan katalis keseluruhan di reaktor, dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
4× 𝑉 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠
Z= ........................................................................................... (2.12)
π×ID2
Ket : Z = Tinggi tumpukan katalis keluruhan (kg)
ID = Diameter tube dalam (m)
Dengan mensubstitusikan pers. 2.11 ke pers. 2.12 maka diperoleh rumus
menghitung tinggi tumpukan katalis keseluruhan ialah:
4×𝑊
Z = π×ID2 ×ρ katalis ....................................................................................... (2.13)
Jumlah tumpukan katalis keselurahan yang telah diperoleh digunakan
untuk mencari tumpukan katalis per tube, dengan rumus:
Z = 80% dari tinggi 𝑡𝑢𝑏𝑒 standar (L) ...................................................... (2.14)
Setelah itu dihitung jumlah tube yang dibutuhkan dengan menggunakan
data tinggi tumpukan katalis keseluruhan dan per tube sehingga:
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑡𝑢𝑚𝑝𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛
Nt = 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑡𝑢𝑚𝑝𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠 𝑝𝑒𝑟 𝑡𝑢𝑏𝑒 .................................................... (2.15)
Dalam mencari tebal tube dapat dihitung dengan rumu s:
𝑂𝐷−𝐼𝐷
Tebal tube = 2 .................................................................................... (2.16)
Ket : OD = Diameter tube luar (m)
ID = Diameter tube dalam (m)
Direncanakan tube akan dirancang dengan susunan triangular pitch (60o)
dengan tujuan agar memberikan turbulensi yang lebih baik, sehingga akan
memperbesar koefisien transfer panas konveksi (ho). Sehingga transfer panasnya
lebih baik dari pada square pitch (Kern, 1983). Sehingga harus dihitung jarak
antar pusat pipa (Pt) dengan menggunakan rumus (Sinnott hal 649, 2005):
Pt = 1.25 × OD .......................................................................................... (2.17)

2.2.4. Shell
Dalam merancang shell dibutuhkan data perhitungan berupa tinggi,
diameter, dan tebal shell. Dilakukan perhitungan diameter shell dengan
menggunakan rumus (Brownell & Young, 1959):
4 ×0.866 ×Nt×Pt2
(IDs) = (2.18)
π
Ket : Nt = Jumlah tube
Pt = Jarak antar pusat tube
Tebal shell dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Brownell &
Young hal 154, 1959):
PR
t s = fE−0,6, P + CA ....................................................................................... (2.19)
Ket : ts = Tebal shell (in)
P = Tekanan desain (psi)
R = Jari-jari shell (in)
f = Tekanan yang diizinkan (psi)
E = Efisiensi sambungan
CA = Korosi yang diizinkan (in)
Untuk menentukan tekanan desain pada reaktor, diambil faktor keamanan /
kelonggaran 20% dari tekanan operasi (Peter hal 37, 1991).

2.2.5. Head dan Bottom


Menghitung tebal head dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan
jenis tutup yang akan digunakan berdasarkan tekanan operasi reaktor. Setelah itu,
tebal head dapat dihitung dengan menggunakan rumus untuk torispherical
(Wallas, 1988) dan untuk ellipsoidal (Brownell & Young hal 40, 1959):
0,885 PR
Torispherical: t h = SE−0,1 P + CA .............................................................. (2.20)
PD
Elipsoidal: t h = 2SE−0,2 P + CA .................................................................. (2.21)

OD

OA

icr A
B sf

ID th
r

Gambar 2.3 Desain Tutup (Brownell and Young, 1959)


Dari nilai OD shell yang didapat dilihat nilai icr (internal crown radius), r
(jari-jari), dan sf (straight flange) dari tabel 5.7 (Brownell & Young, 1959).
Kemudian bisa dihitung nilai-nilai yang terdapat pada gambar 2.1 dengan
menggunakan rumus (Brownell & Young hal 87, 1959):
AB = ID/2 – icr .......................................................................................... (2.22)
BC = r – icr ................................................................................................. (2.23)
AC = √BC2 − AB 2 ................................................................................... (2.24)
b= r- AC ..................................................................................................... (2.25)
OA = Th + b + sf ........................................................................................ (2.26)

2.2.6. Tinggi Reaktor


Menghitung tinggi reaktor dapat dilakukan dengan menjumlahkan antara
tinggi shell dan tinggi tutup serta bottom, yaitu:
Tinggi total reaktor = L x 2*OA (2.27)
Ket : L = Tinggi shell
OA = Tinggi tutup

2.2.7. Nozzle
Nozzle ini berfungsi sebagai lubang pemasukan dan pengeluaran bahan
baku serta lubang pemasukan dan pengeluaran dari steam ataupun cooling water
yang digunakan. Dalam perhitungan untuk mendesain nozzle dibutuhkan terlebih
dahulu nilai densitas dan viskositas dari bahan. Setelah itu, menghitung diameter
optimum tube dengan menggunakan persamaan (Sinnott hal 221, 2005):

W
L
12
12

DR
1/2 DR
L

Dp

Gambar 2.4. Nozzle (Brownell and Young, 1959)


0,53 -0,37
diopt = 366 G .µ0.03 ρ ........................................................................ (2.28)
Ket : diopt = Diameter optimum dalam pipa (mm)
G = Kecepatan aliran massa fluida (kg/s)
ρ = Densitas fluida (kg/m3)

Selanjutnya menghitung nilai bilangan Reynold, dengan menggunakan


rumus:
4𝐺
𝑅𝑒 = 𝜋𝜇𝐷 .................................................................................................... (2.29)
Ket : D = Diameter dalam pipa (m)
G = Kecepatan aliran massa fluida (kg/s)
Jika bilangan Reynold >2100 maka aliran adalah turbulen dan jika <2100
maka aliran disebut laminar. Dari diopt, dapat diperkirakan ukuran pipa yang
digunakan dengan melihat tabel 11 (Kern hal 844, 1983). Untuk ukuran nozzle
standar dilihat dari Appendix F Brownell & Young hal 349. Perhitungan yang
sama juga berlaku untuk mendesain nozzle keluaran dan air pendingin.
2.2.8. Flange, Bolt, dan Gasket

OD J

Weld, B n

Gambar 2.5. Flange (Brownell and Young, 1959)

a. Sambungan head dengan shell


Sambungan antara tutup bejana dengan bagian shell menggunakan sistem
flange dan baut. Bahan konstruksi yang dipilih berdasarkan pada kondisi operasi.
Data perancangan terdiri atas material flange, bolting steel, material gasket,
diameter luar shell, ketebalan shell, diameter dalam shell, tegangan dari material
flange (fa), dan tegangan dari bolting material (fb).
b. Perhitungan lebar gasket
Lebar gasket dihitung dengan menggunakan persamaan (Brownell &
Young hal 226, 1959):

t
h
Gasket

W
hG
C
hT R hD
go
HG
g1
HT
G
g1/2

Gambar 2.6. Gasket (Brownell and Young, 1959)


𝑦−𝑃 𝑚
do/di = √𝑦−[ 𝑃 (𝑚+1)] .................................................................................. (2.30)
Ket : do = Diameter luar gasket (in)
di = Diameter dalam gasket (in)
P = Tekanan operasi (psi)
y = Yield stress (lb/in2) (Brownell & Young hal 228)
m = Faktor gasket (Brownell & Young hal 228)
selanjutnya menghitung lebar gasket minimum (N) dengan rumus:
𝑂𝐷−𝐼𝐷
N = 2 .................................................................................................. (2.31)
Ket : OD = diameter luar shell (in)
ID = diameter dalam shell (in)

c. Perhitungan beban
𝑁
bo = 2 ......................................................................................................... (2.32)
Beban berat bolt pada kondisi tanpa tekanan dalam dihitung dengan
menggunakan rumus (Brownell & Young hal 229, 1959):
Wm2 = Hy
= 𝜋 x b x G x y ................................................................................... (2.33)
Ket : Hy = Berat beban bolt maksimum (lb)
Wm2 = Beban berat bolt pada kondisi tanpa tekanan dalam (lb)
b = Efektif gasket (in)
G = Diameter gasket rata-rata (in)
Kemudian dihitung berat untuk menjaga join tight saat operasi digunakan
digunakan rumus (Brownell & Young hal 240, 1959):
Hp = 2 x b x µ x G x m x p ......................................................................... (2.34)
Ket : Hp = Beban joint tight (lb)
m = Faktor gasket (Fig.12.11)
b = Effective Gasket (in)
G = Diameter gasket rata – rata (in)
P = Tekanan operasi (psi)

Beban dari tekanan internal dihitung dengan rumus (Brownell & Young
hal 240, 1959):
𝜋𝐺 2
H = 4 𝑃 .................................................................................................... (2.35)
Kemudian beban operasi total dihitung dengan:
Wm1 = H + Hp (2.36)
Ket : Wm1 = Beban berat bolt pada kondisi operasi (lb)
Wm2 = Beban berat bolt pada kondisi tanpa tekanan dalam (lb)
H = Total joint contact surface (lb)

d. Perhitungan luas baut minimum


Untuk menghitung luas baut minimum, terlebih dahulu dilakukan total luas bolt
pada kondisi operasi dengan rumus (Brownell & Young hal 240, 1959):
Wm1
Am1 = 𝑓𝑏 .................................................................................................. (2.37)
Ket : Am1 = Total luas Bolt pada kondisi operasi (in2)
Fb = Tekanan dari bolting material (psi)

Kemudian ditentukan ukuran baut yang akan digunakan dan diambil data
pada tabel 10.4 (Brownell & Young hal 188, 1959). Jumlah baut minimum
dihitung dengan rumus:
Am1
Jumlah baut minimum, Nbolt = 𝑟𝑜𝑜𝑡 𝑎𝑟𝑒𝑎 (2.38)
Kemudian dilakukan pengecekan baut yang dipilih dengan cara:
Ab actual = Nbolt x Root area .................................................................... (2.39)
Ab 𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 F 𝑎𝑙𝑙𝑎𝑤
Lebar gasket minimum, Nmin = ....................................... (2.40)
2 𝑦 𝜋𝐺
Apabila nilai Nmin<0.5 in maka pemilihan baut tepat.

e. Perhitungan moment
1. Untuk boilting up condition
Beban desain diberikan dengan persamaan (Brownell & Young hal 242,
1959) :
W = ½ (Ab + Am1) fa ................................................................................ (2.41)
Ket : W = Berat Beban (lb)
Am1 = Luas baut minimum (in2)
Ab actual = Luas aktual baut (in2)
Fa = Allowable stress (psi)

Hubungan lever arm diberikan dengan persamaan (Brownell & Young hal
242, 1959):
hG = ½ (BC – G) (2.42)
Ket : hG = Tahanan radial circle bolt (in)
BC = Bolt circle diameter (in)
G = Diameter gasket rata – rata (in)

Flange moment adalah sebagai berikut:


Ma = W x hG ............................................................................................. (2.43)

2. Untuk kondisi saat beroperasi


Untuk Hydrostastic and force pada area dalam flange dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan (Brownell & Young hal 242, 1959):
HD = 0.785 B2 P (2.44)
Ket : HD = Hydrostastic and force pada area dalam flange (lb)
B = Diameter dalam flange (in)
P = Tekanan operasi (psi)
The level arm, Hd dihitung dengan menggunakan rumus (Brownell &
Young hal. 242, 1959):
hD = ½ (BC – B) ......................................................................................... (2.45)
The Moment, Md dihitung dengan menggunakan rumus (Brownell &
Young hal. 242, 1959):
Md = Hd x hD ............................................................................................. (2.46)
Momen komponen dihitung dengan persamaan (Brownell & Young hal.
242, 1959):
Mg = HG . hg ............................................................................................... (2.47)
Perbedaan antara flange-design bolt load dengan hydrostatic and force
end pada luas area dalam flange, HT (Brownell & Young hal. 242, 1959):
HT = H - HD ................................................................................................. (2.48)
Hubungan lever arm, hT (Brownell & Young hal. 242, 1959):
hT = ½ (hD + hG) ......................................................................................... (2.49)
The Moment (Brownell & Young hal. 242, 1959)
MT = HT X hT ............................................................................................. (2.50)
Jumlah moment untuk kondisi saat beroperasi, Mo (Brownell & Young hal. 242,
1959):
Mo = MD + MG + MT ................................................................................. (2.51)
Sehingga moment saat beroperasi sebagai pengontrol:
Mmax = Mo

2.2.9. Tebal Flange


Tebal flange dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Brownell &
Young hal 239, 1959):
𝑌𝑥 𝑀𝑚𝑎𝑥
t=√ ............................................................................................... (2.51)
𝑓𝑎 𝐵

2.2.10. Berat Reaktor


Berat reaktor ini terdiri atas berat keseluruhan reaktor dihitung dengan
persamaan:
Berat reaktor = berat shell + head + tube + material dalam reaktor............ (2.52)

Berat shell dihitung dengan menggunakan persamaan:


Berat shell = ¼.π.(ODs2 – IDs2).Ls.ρstell ................................................ (2.53)
Berat head dan bottom dihitung dengan menggunakan persamaan:
Berat head dan bottom = Vhb. Ρstell ............................................................(2.54)

Berat tube dihitung dengan menggunakan persamaan 2.53. Berat material


dalam reaktor dihitung dengan menggunakan persamaan:
Berat gas = ¼.π.ID2.Lt.ρgas.Nt ..................................................................... (2.55)

2.2.11. Support
Reaktor disangga dengan 4 kaki. Penyangga dilas di tengah-tengah
ketinggian keseluruhan reaktor (50% dari tinggi total reaktor). Dengan jarak
antara bottom reaktor ke pondasi sebesar 5 ft. Maka, tinggi lug :
Hlug = ½ H + L .............................................................................................. (2.56)

Anda mungkin juga menyukai