Anda di halaman 1dari 12

1.

Bertindak Etis
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau para tim medis dibidang pelayanan
kesehatan tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan
prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap
kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995). Alasan
mendasar mengapa pelayanan kesehatan harus diberikan adalah adanya public interest
atau kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah terutama dibidang
pelayanan kesehatan, karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas konsep
etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu
sendiri – yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya
mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara
etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya
dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam
kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan
kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada
persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung
mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung
berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.
Perawat membutuhkan kemampuan untuk menghubungkan dan mempertimbangkan
peran prinsip moralitas, yaitu keyakinannya terhadap tindakan yang di hubungkan
dengan ajaran agama dan perintah Tuhan dalam:
a. Pelaksanaan kode perilaku yang disepakati oleh kelompok profesi, perawat
sendiri, maupun masyarakat.
b. Cara mengambil keputusan yang didasari oleh sikap kebiasaan dan pandangan (
hal yang dianggap benar ). Menurut Veatch, yang mengambil keputusan tentang
etika profesi keperawatan adalah perawat sendiri, tenaga kesehatan lainnya; dan
etika yang berhubungan dengan pelayanan keperawatan ialah masyarakat/orang
awam yang menggunakan ukuran dan nilai umum sesuai dengan tuntutan
masyarakat.

Ciri-Ciri pelayanan kesehatan yang baik

a. Pleasantness : Seorang petugas harus mampu menyenangkan pelanggan


b. Eagernees to help others : Seorang memiliki keinginan yang kuat dari dalam
dirinya untuk membantu dan menyukai pelanggan
c. Respect for other people : Seorang harus menghargai dan menghormati pelanggan
d. Sens of responsibility is a realization that what one does and says is important :
Seorang harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan
perkataannya terhadap pelangan
e. Oderly mind is essential nethodical and accurate work : Seorang harus memiliki
jalan pemikiran yang terarh dan terorganisasi untuk melakukan pekerjaan dengan
metode baik dan tingakat ketepatan yang tinggi.
f. Neatnees indicates pride in self and job : Seorang harus memiliki kerapian diri
dan bangga dengan pekerjaannya sendiri
g. Accurate in everything done and is of permanent importance : Seorang harus
melakukan pekerjaan dengan keakuratan atau ketelitian, hal ini merupakan
sebuah nilai yang sangat penting.
h. Loyality to bith management and collaugues make good temwork : Seorang harus
bersikap setia kepada mnenejemen dan rekan kerja, merupakan kunci
membangun kerjasama
i. Intelligence use of common sens at all time : Seorang senantiasa mengunakan
akal sehat dalam memahami pelanggan dari waktu ke waktu.
j. Tact saying and doing the righ thing at the righ time: Seorang memiliki
keperibadian, berbicara bijaksana dan melakukan pekerjaan secara benar
k. Yearning to be good servive clerk ang love of the work is essential : Seorang
mempunyai keinginan menjadi pelayan yang baik serta mencintai pekerjaannya.

2. Pembelajaran Dadn akeh pendidikan Berkelanjutan


Menurut National League for Nursing (NLN) pusat pendidikan keperawatan milik
perhimpunan perawat Amerika, pendidikan etika keperawatan bertujuan :
a. Meningkatkan pengertian peserta didik tentang hubungan antarprofesi kesehatan
lain dan mengerti tentang peran dan fungsi anggota tim kesehatan tersebut.
b. Mengembangkan potensi pengambilan keputusan yang bersifat moralitas,
keputusan tentang baik dan buruk yang akan dipertanggungjawabkan kepada
tuhan sesuai dengan kepercayaannya.
c. Mengembangkan sifat pribadi dan sikap propesional peserta didik.
d. Mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang penting untuk dasar praktik
keperawatan profesional.Diakui bahwa pengembangan keterampilan ini melalui
dilemma etika, artinya konflik yang dialami, yang memerlukan pengambilan
keputusan yang baik dan benar di pandang dari sudut profesi, kemanusiaan,
kemasyarakatan, kesehatan, dan keprawatan
e. Memberi kesempatan kepada peserta didik menerapkan ilmu dalam prinsip etika
keperawaran dalam praktik dan dalam situasi nyata.

Pendidikan etika sangat penting dalam pendidikan keperawatan yang berfungsi untuk
meningkatkkan kemampuan peserta didik tentang perbedaan nilai, norma yang timbul
dalam keputusan keperawatan. Namun, etika keperawatan tidak cukup hanya
diajarkan, tetapi harus di tanamkan dan diyakini oleh peserta didik melalui
pembinaan, tidak saja di pendidikan, tetapi dalam lingkungan pekerjaan dan
lingkungan profesi.
Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban &
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriterianya adalah keselamatan dalam
pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien adalah partner
dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada sistim dan mekanisme mendidik
pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan
pasien.
Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat:
a. Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
h. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

Standarnya adalah:

a. RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap jabatan


mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
b. RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebagai berikut:
c. Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
keselamatan pasien
d. Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice
training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
e. Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna
mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani
pasien.

Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan pasien, “dorong staf anda
untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana & mengapa kejadian
itu timbul”

Bagi Rumah Sakit:

a. Staf terlatih mengkaji insiden secara tepat, mengidentifikasi sebab


b. Kebijakan: kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause
Analysis/RCA) atau Failure Modes & Effects Analysis (FMEA) atau metoda
analisis lain, mencakup semua insiden & minimum 1 x per tahun untuk proses
risiko tinggi
Bagi Tim:
a. Diskusikan dalam tim pengalaman dari hasil analisis insiden
b. Identifikasi bagian lain yang mungkin terkena dampak & bagi pengalaman
tersebut

3. Isu kasus terkait dengan pengobatanb yang aman dan pengendalian infeksi.
Saat ini isu global yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan adalah keselamatan
pasien (patient safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun 2000an,
sejak laporan dari Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: To err is
human, building a safer health system, yang memuat data menarik tentang Kejadian
Tidak Diharapkan/ KTD (Adverse Event).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan pentingnya keselamatan
dalam pelayanan kepada pasien sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di
berbagai negara menunjukan angka yang tidak kecil berkisar 3 - 16%. Gerakan
keselamatan pasien dalam konteks pelayanan kesehatan saat ini diterima secara luas di
seluruh dunia. WHO kemudian meluncurkan program World Alliance for Patient Safety
pada tahun 2004. Di dalam program itu dikatakan bahwa keselamatan pasien adalah
prinsip fundamental pelayanan pasien sekaligus komponen kritis dalam manajemen
mutu.
Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah
membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni
2005, dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien.
Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.
Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen
Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam
instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat
mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 29/2004
tentang Praktik Kedokteran, muncul berbagai tuntutan hukum kepada dokter dan rumah
sakit. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan penerapan sistem
keselamatan pasien di rumah sakit. Keselamatan pasien sebagai suatu sistem di dalam
rumah sakit sebagaimana dituangkan dalam instrumen standar akreditasi rumah sakit ini
diharapkan memberikan asuhan kepada pasien dengan lebih aman dan mencegah cedera
akibat melakukan atau tidak melakukan tindakan. Dalam pelaksanaannya keselamatan
pasien akan banyak menggunakan prinsip dan metode manajemen risiko mulai dan
identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko. Pelaporan dan analisis insiden keselamatan
pasien akan meningkatkan kemampuan belajar dari insiden yang terjadi untuk mencegah
terulangnya kejadian yang sama dikemudian hari.

a. PATIENT SAFETY DI INDONESIA


Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005 yaitu dengan
didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan telah menerbitkan Panduan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar
implementasi keselamatan pasien di rumah sakit. Dalam perkembangannya, Komite
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun
Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi
Rumah Sakit. Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah
untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan
akuntabilitas rumah sakit, menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya program-
program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah :
a) Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
b) Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat
c) Menurunnya KTD di Rumah Sakit.
d) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD

Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam


sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang
dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan
pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety
Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health
Organization di Illinois pada tahun 2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi
dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang dipakai Indonesia saat ini
dilakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit yang
dikeluarkan oleh KARS.

Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien


Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7
standar, yakni:

 Hak pasien
 Mendididik pasien dan keluarga
 Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
 Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
 Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
 Mendidik staf tentang keselamatan pasien
 Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut Departemen
Kesehatan RI menganjurkan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit” yang terdiri dari:
a) Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
b) Pimpin dan dukung staf
c) Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
d) Kembangkan sistem pelaporan
e) Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
f) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
g) Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi
menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-
Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun
2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi
dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu
mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan
kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat
membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun
kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia
untuk menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan Pasien Rumah Sakit,
atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS
masing-masing.
a. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike
Medication Names).
b. Pastikan Identifikasi Pasien.
c. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
d. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar
e. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
f. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
g. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
h. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
i. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi
Nosokomial.

Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia
menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang
efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini.
Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based
hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada semua kran,
pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan taangan yang benar mengingatkan
penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan
kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang lain.

Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf
medis rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar
profesi dan standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap
berpotensi mengalami cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan
memberikan perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi
kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah sakit
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)
memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif
yang dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan
pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung
dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum
(legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah
sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan
kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan
mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).

Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik
operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang
tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed
care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan,
corporate compliance dan etik organisasi.

Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun


sebagian besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya
kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari.
Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus,
yang terdiri dari empat tahap, yaitu:

a) Risk Awareness.
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah
sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing
dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko.
Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non
medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter,
perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana
pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment,
sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence
report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian
metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.

b) Risk control (and or Risk Prevention).


Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan
atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang
medis, manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan
komite medis. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen
sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya
manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment)
tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya
mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila
tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) baik
terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila
hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya.
Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan
instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai
sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur,
standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar,
pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain.

c) Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian
ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya,
maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan
melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan
insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat
terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang
efektif.

d) Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka
diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai,
misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya.
Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk
diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan
pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan
sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh
pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas
pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para
dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak
untuk mengendalikan risiko bersama.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan
standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali
bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). Agency for
Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan
patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus
dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen
tersebut diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang
bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko.

Elemen-elemen untuk mencegah medical errors tersebut, adalah:


a) Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada
keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh
sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi
dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan
menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan
sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite
medis, sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah
pencegahan kejadian serupa di kemudian hari.
b) Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam
hal ini manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan
dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde
rutin bersama ke unit-unit klinik.
c) Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya
tentang keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta
upaya-upaya meningkatkan keselamatan pasien.
d) Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang
beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-
laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan,
mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya.
e) Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.
f) Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak
menimbulkan kesalahan baru.

Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang


diwujudkan dalam bentuk peraturan hukum,baikperundangan-undangan maupun
peraturan hukum lainnya. Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam bentuk
perundang-undangan namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sepanjang diperintahkan oleh perundangan-undangan. Undang-undang sebagai wujud
peraturan hukum dan sumber hukum formal merupakan alat kebijakan pemerintah
negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat sebagai warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang
aman merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah
Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien. Standar dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan
insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah
sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang
ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit juga memastikan bahwa
tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena
UU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan
Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat independen dan non struktural.
Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien.
Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga mengamanatkan pembentukan
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang bertanggung jawab kepada
Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi,
asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).
Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No.
36 tahun 2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU
Kesehatan tersebut adalah:
a) Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
b) Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
c) Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
d) Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.
e) Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non
diskriminatif.

Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula


menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar
Akreditasi Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun
2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:

a) Hak pasien
b) Mendididik pasien dan keluarga
c) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
d) Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
e) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f) Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah
sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Tanggung Jawab Hukum Keselamatan Pasien


Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya
berpotensi untuk menjadi sengketa hukum. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan
kebijakan tentang keselamatan pasien.
Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan No. 36
tahun 2009:
a) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam:
Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit

Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009


a) Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau
keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif.\
b) Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.

KESIMPULAN

a. Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama
dalam pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan
aman.
b. Indonesia salah satu negara yang menerapkan keselamatan pasien sejak tahun 2005
dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh
Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam perkembangannya Komite
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan menyusun Standar
Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
c. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum
terhadap semua komponen yang terlibat dalam keselamatan pasien, yaitu pasien itu
sendiri, sumber daya manusia di rumah sakit, dan masyarakat. Ketentuan mengenai
keselamatan pasien dalam peraturan perundang-undangan memberikan kejelasan atas
tanggung jawab hukum bagi semua komponen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.

Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut: Greenwood
Press.

Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood
Cliffs, N. J: Prentice-Hall International, Inc.

Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA: Jossey- Bass
Limited.

Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New York, N.Y.:
Longman.http://budiutomo79.blogspot.com/2007/11/etika-dalam-pelayanan-publik.html.

Dewi, A.Indriyanti, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Publik.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Hendrik , SH, Mkes . Etika Dan Hukum Kesehatan
Ismani , Nila HJ . 2001 , Etika Keperawatan. Jakarta : Wjdya medika.

Anda mungkin juga menyukai