Bertindak Etis
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau para tim medis dibidang pelayanan
kesehatan tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan
prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap
kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995). Alasan
mendasar mengapa pelayanan kesehatan harus diberikan adalah adanya public interest
atau kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah terutama dibidang
pelayanan kesehatan, karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas konsep
etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu
sendiri – yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya
mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara
etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya
dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam
kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan
kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada
persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung
mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung
berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.
Perawat membutuhkan kemampuan untuk menghubungkan dan mempertimbangkan
peran prinsip moralitas, yaitu keyakinannya terhadap tindakan yang di hubungkan
dengan ajaran agama dan perintah Tuhan dalam:
a. Pelaksanaan kode perilaku yang disepakati oleh kelompok profesi, perawat
sendiri, maupun masyarakat.
b. Cara mengambil keputusan yang didasari oleh sikap kebiasaan dan pandangan (
hal yang dianggap benar ). Menurut Veatch, yang mengambil keputusan tentang
etika profesi keperawatan adalah perawat sendiri, tenaga kesehatan lainnya; dan
etika yang berhubungan dengan pelayanan keperawatan ialah masyarakat/orang
awam yang menggunakan ukuran dan nilai umum sesuai dengan tuntutan
masyarakat.
Pendidikan etika sangat penting dalam pendidikan keperawatan yang berfungsi untuk
meningkatkkan kemampuan peserta didik tentang perbedaan nilai, norma yang timbul
dalam keputusan keperawatan. Namun, etika keperawatan tidak cukup hanya
diajarkan, tetapi harus di tanamkan dan diyakini oleh peserta didik melalui
pembinaan, tidak saja di pendidikan, tetapi dalam lingkungan pekerjaan dan
lingkungan profesi.
Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban &
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriterianya adalah keselamatan dalam
pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien adalah partner
dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada sistim dan mekanisme mendidik
pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan
pasien.
Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat:
a. Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
h. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standarnya adalah:
Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan pasien, “dorong staf anda
untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana & mengapa kejadian
itu timbul”
3. Isu kasus terkait dengan pengobatanb yang aman dan pengendalian infeksi.
Saat ini isu global yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan adalah keselamatan
pasien (patient safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun 2000an,
sejak laporan dari Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: To err is
human, building a safer health system, yang memuat data menarik tentang Kejadian
Tidak Diharapkan/ KTD (Adverse Event).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan pentingnya keselamatan
dalam pelayanan kepada pasien sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di
berbagai negara menunjukan angka yang tidak kecil berkisar 3 - 16%. Gerakan
keselamatan pasien dalam konteks pelayanan kesehatan saat ini diterima secara luas di
seluruh dunia. WHO kemudian meluncurkan program World Alliance for Patient Safety
pada tahun 2004. Di dalam program itu dikatakan bahwa keselamatan pasien adalah
prinsip fundamental pelayanan pasien sekaligus komponen kritis dalam manajemen
mutu.
Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah
membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni
2005, dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien.
Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.
Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen
Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam
instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat
mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 29/2004
tentang Praktik Kedokteran, muncul berbagai tuntutan hukum kepada dokter dan rumah
sakit. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan penerapan sistem
keselamatan pasien di rumah sakit. Keselamatan pasien sebagai suatu sistem di dalam
rumah sakit sebagaimana dituangkan dalam instrumen standar akreditasi rumah sakit ini
diharapkan memberikan asuhan kepada pasien dengan lebih aman dan mencegah cedera
akibat melakukan atau tidak melakukan tindakan. Dalam pelaksanaannya keselamatan
pasien akan banyak menggunakan prinsip dan metode manajemen risiko mulai dan
identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko. Pelaporan dan analisis insiden keselamatan
pasien akan meningkatkan kemampuan belajar dari insiden yang terjadi untuk mencegah
terulangnya kejadian yang sama dikemudian hari.
Hak pasien
Mendididik pasien dan keluarga
Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut Departemen
Kesehatan RI menganjurkan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit” yang terdiri dari:
a) Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
b) Pimpin dan dukung staf
c) Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
d) Kembangkan sistem pelaporan
e) Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
f) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
g) Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi
menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-
Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun
2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi
dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu
mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan
kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat
membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun
kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia
untuk menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan Pasien Rumah Sakit,
atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS
masing-masing.
a. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike
Medication Names).
b. Pastikan Identifikasi Pasien.
c. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
d. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar
e. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
f. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
g. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
h. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
i. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi
Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia
menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang
efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini.
Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based
hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada semua kran,
pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan taangan yang benar mengingatkan
penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan
kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang lain.
Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf
medis rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar
profesi dan standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap
berpotensi mengalami cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan
memberikan perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi
kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah sakit
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)
memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif
yang dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan
pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung
dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum
(legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah
sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan
kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan
mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik
operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang
tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed
care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan,
corporate compliance dan etik organisasi.
a) Risk Awareness.
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah
sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing
dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko.
Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non
medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter,
perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana
pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment,
sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence
report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian
metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.
c) Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian
ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya,
maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan
melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan
insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat
terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang
efektif.
d) Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka
diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai,
misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya.
Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk
diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan
pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan
sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh
pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas
pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para
dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak
untuk mengendalikan risiko bersama.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan
standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali
bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). Agency for
Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan
patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus
dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen
tersebut diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang
bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko.
a) Hak pasien
b) Mendididik pasien dan keluarga
c) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
d) Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
e) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f) Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah
sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
KESIMPULAN
a. Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama
dalam pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan
aman.
b. Indonesia salah satu negara yang menerapkan keselamatan pasien sejak tahun 2005
dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh
Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam perkembangannya Komite
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan menyusun Standar
Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
c. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum
terhadap semua komponen yang terlibat dalam keselamatan pasien, yaitu pasien itu
sendiri, sumber daya manusia di rumah sakit, dan masyarakat. Ketentuan mengenai
keselamatan pasien dalam peraturan perundang-undangan memberikan kejelasan atas
tanggung jawab hukum bagi semua komponen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut: Greenwood
Press.
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood
Cliffs, N. J: Prentice-Hall International, Inc.
Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA: Jossey- Bass
Limited.
Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New York, N.Y.:
Longman.http://budiutomo79.blogspot.com/2007/11/etika-dalam-pelayanan-publik.html.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Hendrik , SH, Mkes . Etika Dan Hukum Kesehatan
Ismani , Nila HJ . 2001 , Etika Keperawatan. Jakarta : Wjdya medika.