Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai
dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,
serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan
salah satu yang masih mengandung misteri besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil
menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan
kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Tetapi bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Hal
itulah yang masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia.
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap
dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan,
terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Untuk itulah masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk
dibahas.
Salah satu contoh kasus euthanasia di Indonesia seperti “ Pasien Koma selama 3,5 bulan
setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada bulan Oktober 2004 dengan diagnosa
hamil di luar kandungan. Namun setelah dioperasi ternyata hanya ada cairan di sekitar
rahim. Setelah diangkat, operasi tersebut mengakibatkan Siti Zulaeha, 23 tahun mengalami
koma dengan tingkat kesadaran di bawah level binatang. Sang suami, Rudi Hartono 25
mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tangggal 21
Februari 2005. Permohonan yang ditandatangani oleh suami, orang tua serta kakak dan adik
Siti Zulaeha. “
1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar mengenai Euthanasia dan aspek etika dan hukum dalam
kasus tersebut.
2. Untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga dan tenaga kesehatan
baik dokter maupun perawat terhadap kasus Euthanasia.
3. Untuk mengetahui bagaimana peran masing- masing profesi yaitu perawat dan tenaga
kesehatan lainnya dalam menghadapi masalah Euthanasia jika dikaitkan dengan etika dan
hukum keperawatan.
4. Untuk mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan
untuk kasus Euthanasia.
5. Untuk mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan
memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia.
1.3 MANFAAT
Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang seharusnya
dilakukan oleh seorang perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam pengambilan
keputusan mengenai masalah Euthanasia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MALPRAKTEK

2.1.1 PENGERTIAN
Malpraktik adalah tindakan yang dilakukan secara sadar, dengan tujuan yang sudah mengarah
kepada akibat yang ditimbulkan atau petindak tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang
telah diketahuinya melanggar UU.
Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan
dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran di lingkungan yang sama. (Hanafiah & Amir: 1999)

2.1.2 UNSUR MALPRAKTEK


Menurut kepustakaan hukum pidana yang dimaksud Medical Malpractice yang mengandung
unsur-unsur:
a. Neglegent Medical Care, dalam arti kealpaan besar.
b. Standard of care / standard profession yang menjadi ukuran sebagai petunjuk menurut ilmu
pengetahuan dalam menjalankan profesi.
c. Tidak ada accident, risk in treatment, error in judgement sebagai resiko medik.
d. Adanya informed consent yang terkait dengan medical record.
e. Medical liability baik yang bersifat strict liability, vicarious liability, corporate liability.
b. Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
a. Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran.
b. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi.
c. Melakukan kealpaan yang berat atau memberikan pelayanan yang tidak hati- hati.
d. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum. (Hanafiah & Amir: 1999)
Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa ketidaksengajaan (professional
misconducts ataupun akibat lupa / kelalaian) sebagai berikut:
a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian (pasal 359 KUHP, pasal 360 KUHP, pasal 361
KUHP).
b. Penganiayaan (pasal 351 KUHP) untuk tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien
(Informed Consent).
c. Aborsi (pasal 341 KUHP, pasal 342 KUHP, pasal 346 KUHP, pasal 347 KUHP, pasal 348
KUHP, pasal 349 KUHP).
d. Euthanasia (pasal 344 KUHP, pasal 345 KUHP).
e. Keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP).

2.2 EUTHANASIA
2.2.1 PENGERTIAN
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau
gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia
dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat
diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis
penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati
cepat tanpa derita”.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana,
masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau
membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah
melakukan kejahatan.
Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat
dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi Prof.Amos Shapira
berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai tindakan yang tidak
terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya „hak untuk mati‟.
Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia dan bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang.
Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan.
Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari Tuhan
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak
dibenarkan.
2.2.2 EUTHANASIA DI INDONESIA
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak
mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak
untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri
sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak
atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh
siapapun dan menuntut penghargaan serta pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Tuhan di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
maupun keluarganya.

2.2.3 JENIS- JENIS EUTHANASIA


Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis dan mudah dimengerti adalah:
a. Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek
atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah
membolehkannya lewat peraturan perundangan.
b. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat
sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
c. Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan dia
mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan
tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya
adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat
sebagai berikut:
a. Voluntary euthanasia
Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat
mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang
tidak menunjang.
b. Involuntary euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang
yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak
orang tua atau yang bertanggung jawab.
c. Assisted suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangkan rasa
putus asa dengan bunuh diri.
d. Tindakan langsung menginduksi kematian
Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang
bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam
pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan. (Billy: 2008)

2.2.4 SYARAT DILAKUKANNYA EUTHANASIA


Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral dan kesopanan
menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang
bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika
Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah
memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-
Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit dan tidak
dapat diobati misalnya kanker.
b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal menunggu
kematian.
c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat
dikurangi dengan pemberian morfin. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup
pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang
dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia. Semua persyaratan itu
harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan
Pancasila, dengan sila pertamanya „Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak mungkin menerima
tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat
“ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat
dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan
secara alamiah. (Fadli: 2000)

2.2.5 ASPEK- ASPEK DALAM EUTHANASIA


a. Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama
euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau
dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu
pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien
itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau
rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat
menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin
hidup, & tidak menghendaki
kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam
undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi
perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI
no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan
di sana, manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI
no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI
ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan
pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan serta
kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP,
ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan
khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa
dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah
euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini
terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang
menyebutkan bahwa:
1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat.
2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP
ini mengandung asas „lex specialis derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan
mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.

b. Aspek Hak Azazi


Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai dan sebagainya. Tapi
tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan
tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup
layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila
dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala
penderitaan yang hebat.
c. Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk
mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah
seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di
samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya
keuangan.

d. Aspek Agama
1) Agama Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah
Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia
mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun
tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati
demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2:195), dan
dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4:29).
Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu
tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:

a) Euthanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian
si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen
(alat). Euthanasia positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat
kematian. Tindakan ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar.

b) Euthanasia negatif
Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il. Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya
dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna
lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja
hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

2) Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan
ahimsa. Karma adalah suatu konsekuensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau
tindakan. Akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah penghalang “moksa” yaitu
suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi. Ahimsa adalah prinsip “anti kekerasan” atau pantang
menyakiti siapa pun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu sebab perbuatan
tersebut dapat menjadi faktor yang mengganggu karena menghasilkan “karma” buruk.
Kehidupan manusia adalah kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih
baik dalam kelahiran kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh jahat
dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu di mana seharusnya ia menjalani
kehidupan. Misalnya, seseorang bunuh diri pada usia 17 tahun padahal dia ditakdirkan hidup
hingga 60 tahun. Maka selama 43 tahun rohnya berkelana tanpa arah tujuan. Setelah itu, rohnya
masuk ke neraka untuk menerima hukuman lebih berat; kemudian kembali ke dunia (reinkarnasi)
untuk menyelesaikan “karma”–nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya.

3) Agama Buddha
Agama Buddha sangat menekankan larangan untuk membunuh makhluk hidup. Ajaran ini
merupakan moral fundamental dari Sang Buddha. Oleh karena itu, jelas bahwa euthanasia adalah
perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain itu, ajaran Budha
sangat menekankan pada “welas asih” (“karuna”). Mempercepat kematian seseorang secara tidak
alamiah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha. Tindakan jahat itu akan
mendatangkan “karma” buruk kepada siapa pun yang terlibat dalam tindakan euthanasia tersebut.
4) Gereja Ortodoks
Gereja Ortodoks punya kebiasaan untuk mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran
hingga hingga kematian melalui doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih,
iman dan pengharapan. Kehidupan hingga kematian dipandang sebagai suatu kesatuan
kehidupan manusia. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-
kehidupan dan anti euthanasia.

5) Agama Yahudi
Agama Yahudi melarang euthanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya ke dalam
“pembunuhan”. Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan, sumber
dan tujuan kehidupan. Walaupun dengan motivasi yang baik, misalnya mercy killing, euthanasia
merupakan kejahatan karena melawan kewenangan Tuhan. Dasar yang dipakai adalah Kej 1:9,
“Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala
binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama
manusia”.

e. Aspek moral
Ditinjau dari aspek moral, membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan
yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik.

f. Aspek nilai
Pengertian Nilai menurut Spranger adalah suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu
untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Jadi dalam
kasus Euthanasia, pandangan nilai sangat dibutuhkan untuk menjadi acuan dalam mengambil
keputusan yang akan dilakukan
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 PEMECAHAN DILEMA ETIK

Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua atau lebih landasan moral suatu
tindakan terapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan kondisi dimana setiap alternatif
memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk menetukan yang benar
atau salah dan dapat menimbulkan stres pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan,
tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai perawat,
klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil
keputusan.
Menurut Thompson dan Thompson (1985), dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit
dimana alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak
memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar tidak ada yang salah. Untuk
membuat keputusan yang etis, seorang perawat tergantung pada pemikiran yang rasional bukan
emosional (Wulan, 2011). Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah
dan dapat menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi
banyak rintangan untuk melakukannya.
Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi
kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson &
Thompson (1981 ) dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif
yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan
sebanding.
A. Prinsip moral dalam menyelesaiakan masalah etik
Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh perawat dalam pendekatan penyelesaian
masalah / dilema etis adalah :

a. Otonomi

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai.
Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.

Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut


pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak hak
pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.

b. Benefisiensi

Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga


memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan
dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan
kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan otonomi.

c. Keadilan (justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan . Nilai ini direfleksikan dalam praktek
profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan

d. Nonmalefisien

Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan psikologik. Segala
tindakan yang dilakukan pada klien.
e. Veracity (kejujuran)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan
bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang
untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif dan
objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan
yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan
dirinya salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument
mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis
pasien untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab
individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang
kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya

f. Fidelity

Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang
lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia pasien.
Ketaatan, kesetiaan adalah kewajiban seeorang untuk mempertahankan komitmen yang
dibuatnya. Kesetiaan itu menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang
menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan,
mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.

g. Kerahasiaan (confidentiality)

Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus
dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi
tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang klien
diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga
kesehatan lain harus dicegah.
h. Akuntabilitas (accountability)

Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti
pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan
standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang
tidak jelas atau tanpa terkecuali.

3.2 Langkah – langkah penyelesaia masalah


1. mengembangkan data dasar
 orang yang terlibat yaitu : keluarga, klien, dokter, dan perawat
 tindakan diusulkan melakukan operasi laparatomi
 maksut dari tindakan tersebut agar tidak membahayakan diri klien, maka dilakukan
tindakan operasi
2. mengidentifkasi konflik akibat situasi tersebut
 setelah operasi di rumah sakit pasien tidak sadar dan di pindah perawatan ke RSCM
 pihak RSCM menyesalkan pihak rumah sakit pasar rebo yang tidak bersedia
memberikan medical record dengan alasan rahasia dokter.
 melaporkan mal praktek yang dilakukan 12 tim dokter yang menangani pasien karena
melakukan diagnose dan tindakan salah
 keluarga pasien tidak puas dengan keterangan dokter. Tentang kondisi pasien dan
penyebab pasien tidak sadar setelah operasi
 keluarga menginginkan suntik mati karena tidak tega melihat kondisi anaknya yang
tinggal tulang dan kulit
 tim RSCM ( pihak rs ) menolak keinginan keluarga untuk suntik mati, meskipun
nantinya sudah di putuskan pengadilan.
3. tindakan alternative tentang rangkaian tindakan yang di rencanakan dan konsekwensi
tindakan tersebut.
 dalam posisi tidak sadar pihak keluarga menginginkan mengakhiri pengobatan pasien
dengan cara menyuntik mati pasien. Karena factor biaya dan tidak tega melihat kondisi
pasien
 dan keluarga mengajukan permohonan pengadilan supaya keinginan keluarga untuk
suntik mati di setujui
4. menentukan siapa yang mengambil keputusan yang tepat : pada kasus ini yang mengambil
keputusan nyonya s. dan suami .
5. mendefinisikan kewajiban perawat :
a. Mengoptimalkan sistem dukungan
b. Membantu keluarga untuk menemukan mekanisme kopping yang adaptif terhadap
masalah yang sedang di hadapi
c. Memotivasi keluarga untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa
sesuai dengan keyakinannya
6. Membuat keputusan
Dalam kasus ini diagnose awalnya KET bila tidak dilakukan operasi maka resiko
terjadi syok dan terjadi pada paasien merupakan salah satu factor resiko dari tindakan operasi.
Akibat dari resiko operasi yang tidak di inginkan pihak keluarga pasien dilakukan suntik mati.
Alasan dri keluarga untuk pasien yaitu penderitaan tidak terlalu lama dan biaya pengobatan tidak
ada.
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri. Aturan
mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan seringkali berubah seiring dengan
perubahan norma- norma budaya. Di beberapa Negara euthanasia dianggap legal tetapi di
Indonesia tindakan euthanasia tetap dilarang karena tidak ada dasar hukum yang jelas.
Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal 344, pasal 355 dan pasal 359.
Sehingga pada kasus Ny. T euthanasia tidak dibenarkan.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral dan legal dan juga
pandangan bahwa apabila dilegalisir euthanasia dapat disalahgunakan.
Sebagai perawat berperan dalam memberikan advokasi. serta sebagai counselor yaitu membela
dan melindungi pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian.
Perawat diharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada keluarga pasien
bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak
melakukan euthanasia. Menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar
dalam hal mencari sumber biaya yang lain, menjadi jembatan penghubung diantara dokter,
tenaga kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi yang sejelas-
jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa besar
biaya yang telah dan akan dikeluarkan. Memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif
pada keluarga dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny. T atau
dilakukannya euthanasia pasif. Perawat tetap memberikan perawatan pada pasien, pemenuhan
kebutuhan dasar pasien selama perawatan di ICU. Dan membantu keluarga dalam hal
permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah Sakit.
4.2 SARAN
1. Bagi keluarga
Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia. Dan
permasalahan biaya agar mencari alternatif keringanan biaya melalui Jamkesmas, Jamkesda dll.
2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya)
Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan perlindungan
kepada pasien sebagai advokat.
3. Bagi Pemerintah
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu
materi pembahasan, semoga teap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai etika, social
maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA

https : // olhachayo.files.wordpress.com/2014/08/euthanasia.pdf
https://johnkoplo.wordpress.com/2008/05/30/euthanasia-tinjauan-dari-segi-medis-etis-dan-
moral/
https://keperawatanreligiontisamahdiansari.wordpress.com/2015/06/20/halo-dunia/
https://sakrianijamaluddin.wordpress.com/2012/02/16/euthanasia-ditinjau-dari-aspek-moral-
hukum-dan-ilmu-pengetahuan/
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-nilai-dan-macam-macam-nilai.html
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-nilai-dan-macam-macam-nilai.html

Nama : Siti Rahmah NIM : G2A015020 TTL : Kumai, 27 Oktober 1997 Asal : Kumai,
Kalimantan Tengah PTS : Universitas Muhammadiyah Semarang

Anda mungkin juga menyukai