Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

PRMBERONTAKAN PRRI/PERMESTA

OLEH :
KELOMPOK 9
1. SITI MAGFIRAH RAHMAN
2. TANTI NOVILA QUR’ANY
3. SITI TRI PUJI RESKI
4. ST. NUR INDAH KIRANA
5. SULFA NURAENI ADILA

XII MIA 3

MAN 3 MAKASSAR
TAHUN AJARAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makassar, Agustus 2019

penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah……………………………………………………………..


2. Tujuan pembahasan masalah……………………………………………………….
3. Perumusan masalah…………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN

A. Munculnya PRRI……………………………………………………………………
B. Reaksi Pemerintah Pusat……………………………………………………………
C. Antara Perjuangan dan Pemberontakan……………………………………………

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………
B. Saran ………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….......
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Selama ini kita mengenal PRRI (pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)


sebagai suatu pemberontakan yang merongrong kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesian (NKRI). Selama ini kita diajarkan untuk menganggap apapun
kekuatan yang mengganggu gugat kekuasaan negra dianggap sebagai suatu
pemberontakan yang mutlak dianggap salah.Kita tidak pernah melihat ada apa
dibalik pemberontakan tersebut dan apa yang menyebabkannya muncul. Selama ini
kita hanya disuguhi suatu doktrin yang menganggap semua gerakan yang memprotes
dan tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dianggap sebagai suatu gerakan
makar.
Ini juga terjadi pada gerakan PRRI. Selama ini kita tidak tahu atau tepatnya
kurang peduli ada apa dibalik munculnya gerakan ini dan mengapa kita mengenalnya
hanya sebagai pemberontakan yang membahayakan kedaulatan NKRI. Adakah suatu
permainan dibalik ini, apakah PRRI benar-benar sebagai suatu gerakan
pemberontakan ataukah PRRI merupakan suatu perjuangan bangsa untuk
menegakkan demokrasi. Semua itu masih menjadi bahan perdebatan dari kalangan-
kalangan yang memiliki suatu pandangan yang berbeda.

B. Tujuan Pembahasan Masalah


1. Harusnya kita lebih bijak dalam melihat suatu pemberontakan, agar kita dapat
mengambil hikmah dari pemberontakan tersebut
2. Kita harus tahu apa latar belakang pemberontakan
3. kita lebih dapat menjaga persatuan seluruh bangsa Indonesia.
4. Kita lebih memiliki rasa kepedulian terhadap bangsa

C. Perumusan Masalah
1. Bagaimana PRRI muncul?
2. Bagaimana reaksi Pemerintah Pusat pada keberadaan PRRI?
3. Dapatkah PRRI dianggap sebagai suatu pemberontakan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Munculnya PRRI
Munculnya PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia adalah
suatu reaksi dari bangsa Indonesia atasa ketidak puasan pada pemerintah pusat.
Pergolakan pertama kali terjadi di Sumatra pada akhirnya 1956. Pada awal 1957,
muncul Dewan Banteng di Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) dipimpin
Letkol Ahmad Husein, Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin Kolonel M
Simbolon dan Dewan Garuda di Sumatra Tengah dipimpin oleh Letkol Barlian
kesemuanya tergabung dalam PRRI.

Dewan-dewan ini lahir sebagai reaksi dari situasi bangsa dan negara ketika itu.
Awal pemberontakan PRRI di Sumatra Tengah terjadi menjelang pembentukan
Republik Indonesia Serkat (RIS) pada tahun 1949. Penciutan Divisi Banteng pada
Oktober 1949 menjadi satu brigade terdiri atas batalyon-batalyon besar di Sumatra
Tengah. Akibatnya sejumlah prajurit terpaksa pulang kampung termasuk Ahmad
Husein. Selain itu, pembangunan di Sumatra Tengah terasa sangat lambat dan
menghadapi masalah.

Keadaan ini juga menggugah hati sejumlah perwira bekas Divisi Banteng yang
masih bertugas. Selain itu juga menggugah berbagai tokoh politik dan sasta yang
pernah bergabung dengan Divisi Banteng. Keprihatinan ini melahirkan gagasan
mencari penyelesaian dengan mengadakan pertemuan pada 21 September 1956 di
kompleks perumahan Persari milik Jamaludin Malik di Jakarta. Kemudian disusul
dengan reuni di Padang 11 Oktober 1956 dan menyusul pertemuan-pertemuan yang
lain. Reuni divisi Banteng ini menghasilkan keputusan untuk menyelesaikan
masalah-masalah negara terutama perbaikan progressive di tubuh angkatan darat
diantaranya adalah dengan menetapkan peabat-pejabat daerah yang jujur dan kreatif,
menuntut agar diberi otonomi luas untuk daerah Sumatra tengah serta menuntut
ditetapkannya eks Divisi Banteng Sumatra Tengah yang diciutkan menjadi kesatuan
pelaksana Proklamasi sebagai satu korps dalam angkatan darat.

Pada tanggal 22 Desember 1956 Kolonel Simbolon pemimpin Dewan Gajah


melalui RRI Medan mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan
dengan pemerintah pusat. Ia mengubah nama kodam TT I menjadi Kodam TT I
Bukit Barisan. Dia melihat pada permasalahan kesejahteraan danb perumahan
prajurit yang sangat memprihatinkan. Karena keterbatasan dana dari pusat maka
Kolonel Simbolon mencari jalan sendiri membangun asrama dan perumahan prajurit.
Dia mencari dana sendiri namun sayang cara yang digunakan adalah cara illegal. Dia
menjual secara illegal hasil perkebunan di wilayah Sumatra Utara. Ekspor hasil
perkebunan dijual melalui Teluk Nibungh di Muara Sungai Asahan Tanjung Balai.
Namun, pers ibukota memberitakan penyulundupan itu dan kasad memerintahkan
pemeriksaan pada ksus ini. Kasad pun bermaksud menggantikan panglima TT I
Bukit Barisan dengan kolonel Lubis. Melihat situasi yang gawat, simbolon
mengadakan rapat perwira yang disebut “Ikrar 4 Desember 1956”. Pada 27
Desember 1956 subuh, simbolon menerima berita ada pasukan yang diperintahkan
menangkapnya. Dengan perlindungan dari Batalyon 132 dibawah Kapten Sinta
Pohan, dia bergerak ke Tapanuli bergabung dengan Resimen III Mayor J Samosir.

Di Sumatra Selatan Dewan Garuda menjadi tuan rumah penyelenggaraan


pertemuan tokoh-tokoh militer di wilayah tersebut. Ini berlangsung menjelang
Musyawarah Nasional September 1957 dan melahirkan Piagam Palembang sebagai
dasar perjuangan bersama dari daerah-daerah bergolak. Namun sebenarnya dalam
tubuh Dewan garuda terjadi keretakan. Dewan Garuda bersifat mendua. Ini
disebabkan tokoh-tokoh militer masih berhubungan dengan kasad sehingga segala
perkembangan Dewan garuda Dapat diketahui oleh pemerintah pusat di Jakarta.
Tetapi dilain fihak Dewan Garuda juga memihak pada dewan Banteng. Keretakan ini
juga mengakibatkan pada saat konflik bersenjata antara PRRI dengan pemerintash
pusat Dewan Garuda memihak pada pemerintah Pusat.

PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda.


Dewan Perjuangan PRRI membentuk Kabinet baru, Kabinet Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini
berlangsung saat Persiden Soekarno sedang berada di Tokyo, Jepang. Pada tanggal
10 Februari 1958 sebuah Dewan Perjuangan melalui RRI Padang mengeluarkan
pernyataan “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada
Persiden Soekarno agar “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional
menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta
membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut
diantaranya adalah:
1. Supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya
pada Persiden.
2. Agar pejabat persiden Sartono membentuk kabinet baru Zaken kabinet nasional
yang bebas dari pengaruh komunis dibawah Mohammad Hatta dan
Hamengkubuwono IX.
3. Agar kabinet baru diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilihan
umum yang akan dating.
4. Agar Persiden Soekarno membetasi diri menurut konstitusi.
5. Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam maka Dewan
Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri.

Tuntutan-tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat. Reaksi dari PRRI adalah dengan
mengumumkan pendirian Pemerintahan Tandingan yaitu Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) lengkap dengan kabinetnya pada tanggal 15 Februari
1958. Susunan Kabinet PRRI adalah sebagai berikut:
1. Syarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Mentri dan Mentri Keuangan.
2. M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri.
3. Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman.
4. Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran.

B. Reaksi Pemerintah Pusat


Tuntutan Dewan Perjuangan ini dikumandangkan saat Persiden Soekarno sedang
tidak ada di tempat. Beliau sedang berada di Tokyo, Jepang. Maka Kabinet Djuanda
segera mengambil keputusan. Tuntutan PRRI ini ditolak dan sehari setelah
pengambilan keputusan, keputusan disiarkan melalui radio dan perintah-perintah
selanjutnya dikeluarkan yakni semua tuntutan Dewan Perjuangan ditolak dan sejalan
dengan itu diambil keputusan memutuskan hubungan darat dan udara dengan
Sumatra. Kemudian diikuti dengan pembekuan komando militer di Sumatra (TT I
Sumatra Utara dan TT II Sumatra Selatan) dan seterusnya.

Setelah Persiden Soekarno kembali dari luar negri pada 16 Februari 1958 Persiden
Soekarno menyatakan “Kita harus menghadapi penyelewengan tanggal 5 Februari
1958 di Padang dengan segala kekuatan yang ada pada kita”. Diputuskan akan
menggunakan kekerasan senjata untuk menghadapi Dewan Kabinet PRRI. Persiden
Soekarno memerintahkan untuk menangkap tokoh-tokoh PRRI. Hubungan darat
maupun udara dengan Sumatra Tengah dihentikan.

Tidak semua tokoh dalam pemerintah pusat setuju dengan keputusan ini. Salah
seorang yang menentang keputusan ini adalah Mohammad Hatta. Sebagai Wakil
Persiden dia muncul ke depan menentang keputusan ini. Dia mengirim utusan ke
Padang untuk menemui Ahmad Husein dan meminta agar Dewan Banteng
menghindari konflik bersenjata dengan pemerintah pusat namun entah mengapa
utusan ini tidak pernah sampai ke Padang. Karena pengiriman utusan gagal maka
Mohammad Hatta berusaha untuk mendekati Persiden Soekarno agar mengurungkan
niatnya agar tidak meletus perang saudara. Namun usaha ini juga gagal. Pada tanggal
20 dan 21 Februari 1958 serangan ke Padang dimulai. Serangan dipimpin oleh
Kolonel Ahmad Yani dengan diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17
Agustus. PRRI mendapat dukungan rakyat Sumatra Tengah.

Serangan dilaksanakan. Pemerintah pusat menyerantg Padang. Padang dijatuhi


bom-bom yang mengakibatkan kota ini hancur. Banyak rakyat padang yang
mengungsi ke daerah Solok dengan membawa barang-barang seadanya yang dapat
ibawa. Tokoh-tokoh PRRI ditangkap. PRRI mendapat dukungan Permesta. Akhirnya
PRRI dapat ditumpas. Setelah PRRI berhasil ditumpas maka untuk mencegah
munculnya pemberontakan serupa Suprapto diangkat menjadi Deputi Republik
Indonesia Staf Angkatan Darat Untuk Wilayah Sumatra yang bermarkas di Medan.
Peristiwa ini meninggalkan trauma bagi rakyat Sumatra.

C. Antara Perjuangan dan Pemberontakan


Batas antara benar dan salah sangatlah tipis, tergantung dari sudut pandang mana
kita melihat. Demikian juga batas antara perjuangan dan pemberontakan. Mungkin
akan lebih mudah bila kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Perkara
seakan-akan terlihat jelas dan mutlak. Namun masalah akan muncul saat kita
melihatnya dari berbagai sudut pandang. Bisa saja pendapat satu dengan pendapat
yang lain dapat berbeda. Demikian juga dalam perjuangan dan pemberontakan. Jika
kita melihat hanya dari satu sudut pandang saja akan mudah menentukan suatu
gerakan sebagai pemberontakan maupun perjuangan. Namun jika kita melihatnya
dari berbagai sudut pandang akan sangat sulit menentukan apakah itu suatu
perjuangan atau pemberontakan.
Keadaan ini juga muncul dalam kajian tentang gerakan PRRI. Dari sudut pandang
pemerintah pusat jelaslah itu suatu pemberontakan namun jika kita melihatnya dari
sudut pandang PRRI kita akan melihatnya sebagai suatu perjuangan.

PRRI adalah hasil akumulasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat dan
juga kekecewaan anggota resimen 6 Divisi IX Banteng yang dibonsaikan oleh
pemerintah pusat. PRRI menganggap terjadi kesenjangan pembangunan antara Jawa
dan Luar Jawa. Keadaan ini menimbulkan kekecewaan dalam diri perwira-perwira
PRRI. Namun sebenarnya kesenjangan ini dapat difahami memngingat umur RI
yang masih tergolong muda untuk suatu negara pada saat itu tidaklah mungkin untuk
melakukan pembangunan secara merata pada seluruh wilayah Indonesia. Selain
keterbatasan waktu, keterbatasan dana juga mempengaruhi kesenjangan ini.

Karena perekonomian RI pada masa itu masih lemah maka RI terfokus terlebih
dahulu pada Jawa sebagai pusat pemerintahan Indonesia. Jadi alasan ini kurang tepat
digunakan PRRI untuk melegalkan gerakannya, apalagi pada masa itu masih ada
daerah-daerah di Jawa yang belum tersentuh pembangunan. Selain itu
pemberontakan PRRI muncul karena terjadi penciutan divisi Banteng menjadi satu
brigade. Sebenarnya penciutan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah pusat
menganggap jumlah prajurit pada waktu itu di Indonesia terlampau banyak sehingga
pemerintah tidak dapat mendanainya maka diperlukan adanya perampingan jumlah
prajurit.

Kurang bijak jika PRRI menggunakan alasan ini untuk melakukan gugatan pada
pemerintah. Namunm kesalahan Pemerintah pusat adaklah mengapa pemerntah pusat
menghapus komando dari divisi Banteng. Padahal selama ini di daerah Sumatra
Barat divisi inil;ah yang terbesar dan sangat berjasa bagi perjuangan Indonesia.
Seharusnya Pemerintah Pusat tetap mempertahankan komando dari Divisi Banteng
ini walaupun jumlahnya diperkecil. Dengan demikian akan dapat mewngurangi
konflik yang akan muncul.

Alasan lain dari munculnya PRRI ini adalah pelanggaran konstitusi oleh
pemerintah pusat dan Persiden Soekarno. Alasan ini lebih relevan jika digunakan
oleh PRRI untuk melegalkan gerakannya, mengingat Persiden Soekarno yang
melakukan eksperimen politik untuk menemukan bentuk pemerintahan yang cocok
dengan bangsa Indonesia. Namun Persiden Soekarno tidak sadar bahwa berganti-
gantinya bentuk pemerintahan ini tidak sepenuhnya dapat diikuti oleh bangsa
Indonesia sehingga terjadi berbagai pelanggaran pada UUD1945 sebagai dasar
bangsa Indonesia Merdeka. Pelanggaran-pelanggaran inilah yang memunculkan
ketidak puasaan daerah. Muncul keinginan daerah untuk meluruskan kembali
pemerintah pusat sehuinggta muncul gerakan-gerakan. Keadaan menjadi semakin
parah dengan merasuknya pengaruh komunis dalam pemerintah pusat yang terlihat
dalam faham nasakom yang dicanangkan oleh Persiden Soekarno.

Keadaan inilah yang menjadikan gerakan PRRI muncul. PRRI sangat anti pada
komunis. PRRI menyampaikan tuntutannya dalam Piagam perjuangan. Tuntutan-
tuntutan tersebut bersifat memaksa maka pemerintah pusat menganggapnya sebagai
ultimatum, namun PRRI tidak menganggap tuntutan tersebut sebagai ultimatum.
Dari kalimat “Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam, maka
Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri” terlihat bahwa
tuntutan ini bersifat memaksa dan tepat jika dikatakan sebagai sebuah ultimatum,
walaupun PRRI tidak mengakuinya. Daerah berani mengultimatum pemerintah pusat
itu sudah merupakan pemberontakan pada kekuasaan pusat . Maka pemerintahpun
bereaksi keras. Namun reaksi pemerintahpun kurang bijak. Harusnya pemerintah
pusatpun harus instropeksi diri terlebih dahulu. Pemerintah pusat hanya melakukan
sedikit usaha damai yang tidak ada artinya sama sekali sehingga pnumpasanpun
dilaksanakan.

Disini dapat kita lihat fihak sentral yang bertikai adalah pemerintah pusat dan
daerah. Ketidakpuasan daerah pada kebijakan pusat mengakibatkan kekecewaan
yang mendalam dalam diri daerah. Ketika kekecewaan daerah memuncak. Daerah
berani mengajukan tuntutannya pada pusat yang bersifat ultimatum. Jelaslah
pemerintah pusat menganggapnya sebagai pemberontakan. Apalagi PRRI berani
mendirikan pemerintah tandingan lengkap dengan susunan kabinetnya. Pembentukan
pemerintah tandingan ini juga sebagai salah satu tanda suatu pemberontakan. Tidak
ada dalam satu negara memiliki dua pemerintah pusat. Hanya ada satu pemerintah
yang syah sedangkan sisanya ilegal. Ini merupakan suatu usaha kudeta. Jelaslah ini
suatu pemberontakan pada pemerintah pusat.
Namun jika gerakan ini disebut sebagai pemberontakan tampaknya juga kurang
tepat. Jika ini suatu pemberontakan maka mereka akan berusaha untuk membentuk
pemerintahan baru dan menggulingkan Sang Penguasa. Namun disini PRRI tidak
berusaha untuk menggulingkan Pesiden Soekarno. Tepatkah gerakan ini dianggap
sebagai gerakan pemberontakan. Apalagi gerakan ini tidak hanya berasal dari
golongan politik dan militer saja tetapi juga berasal dari golongan-golongan lain
misalnya golongan pendidikan. Gerakan ini hanya berusaha untuk memperbaiki
keadaan Indonesia, meluruskan pemerintah pusat agar sejalan dengan cita-cita
bangsa Indonesia merdeka.

Pada masa sebelumnya di Wilayah Sumatra tengah inilah Indonesia dapat


mempertahankan kemerdekaannya dari tangan pemerintah Hindia Belanda yang
berusaha merangkul kembali Indonesia menjadi Negara jajahannya. Di daerah inlah
dibentuk Pemrintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengisi kevakuman
pemerintah Pusat di Yogyakarta sehingga Republik Indonesia tetap memiliki
pemerintahan sendiri walaupun para pemimpinnya sedang ditahan sehingga
Indonesia tetap merdeka. Dengan perannya selama ini Padang masih merasa
memiliki hak untuk melakukan koreksi pada pemerintah pusat. Dengan demikian
PRRI merasa memiliki hak untuk mengkoreksi Pemerintah Pusat yang kebijakannya
dianggap salah oleh PRRI. PRRI merasa apa yang dilakukannya tidak bertentangan
dengan hukum dan bukan merupakan suatu pemberontakan.

PRRI hanya menginginkan perbaikan dalam tubuh pemerintah dan tentara yang
menurutnya tidak adil dan telah terkontaminasi oleh faham-faham komunis. Dilihat
dari sini kita akan melihat bahwa PRRI merupakan suatu perjuangan untuk
melaksanakan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang demokratis
yang memiliki pemerintahan yang adil. Hanya saja Pemerintah Pusat beranggapan
lain. Pemerintah Pusat menganggap Padang tidak lagi memiliki hak untuk
mengkoreksi pemerintah pusat. Jika ingin mengkoreksi ada jalur tersendiri. Rakyat
bisa menyalurkannya lewat wakil-wakilnya, namun pada masa itu jalur itu memang
kurang dapat berjalan dengan baik. Akibatnya pemerintah pusat menganggap
gerakan ini sebagai gerakan pemberontakan. Anggapan ini diperkuat dengan indikasi
adanya bantuan Amerika Serikat pada PRRI (walau saat pergolakan terjadi bantuan
dihentikan). Tanpa berpikir panjang Pemerintah Pusat melakukan penumpasan.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dari sudut pandang yang berbeda
akan diperoleh jawaban yang berbeda pula. Dari sudut pandang pemerintah pusat
PRRI jelaslah sebagai suatu pemberontakan. Jika dilihat dari sudut pandang PRRI
maka PRRI merupakan sebuah perjuangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Awal tahun 1957 muncul Dewan Banteng, Dewan Gajah dan Dewan Garuda
semuanya bergabung dalam PRRI. Awal pemberontakan ini mulai muncul
menjelang pembentukan RIS pada tahun 1949. Ini terjadi saat Divisi banteng
diciutkan. Faktor lain yang mendorong munculnya pemberontakan ini adalah
kesenjangan pusat dan daerah selain itu juga adanya pengaruh PKI dalam pemerintah
pusat yang menimbulkan kekecewaan daerah yang bereaksi menjadi suatu
pemberontakan. PRRI tidak mengakui Dewan Djuanda. PRRI membentuk Dewan
Revolusioner yang mengajukan tuntutan pada pemerintah pusat yang kemudian
ditolak. PRRI membentuk Pemerintahan tandingan lengkap dengan kabinetnya.
PRRI memperoleh dukungan rakyat dan permesta. Pada gerakan ini pemerintah
pusat bereaksi keras. Pemerintah pusat melakukan penumpasan. Akibatnya timbul
trauma dalam masyarakat Sumatra teryutama Padang.Sebenarnya gerakan ini
merupakan reaksi dari kekecewaan daerah pada pusat. Ini karena pemerintah pusat
memfokuskan pembangunannya di pulau Jawa. Selain itu juga terjadi pengurangan
jumlah tentara dan PKI telah merasuk dalam pemerintah pusat. Keadaan ini
diperparah dengan pelanggaran konstitusi oleh pejabat-pejabat di dalam pemerintah
pusat tidak terkecuali Persiden Soekarno. Walaupun alasan dari gerakan ini benar
namun jalan yang digunakan PRRI kurang tepat. PRRI menuntut pada pemerintah
dengan nada paksaan sehingga tuntutannya lebih bersifat ultimatum. Ini
menimbulkan kesan PRRI adalah sebuah pemberontakan. Namun begitu PRRI
kurang tepat jika dikatakan sebagai pemberontakan karena PRRI tidak bertujuan
untuk menggulingkan pemerintah pusat namun hanya ingin melakukan perbaikan
pada diri pemerintah pusat.

B. Saran
Dalam menyikapi gerakan ini kita harus lebih bijaksana. Usahakan jalan damai
untuk menyelesaikannya. Pemerintah harus instrospeksi diri, apa yang salah dalam
pemerintahannya lalu memperbaikinya. Namun PRRI juga harus memahami keadaan
Negara jadi PRRI jangan terlalu menuntut pada pemerintah jika keadaan kurang
memungkinkan.
DAFTAR PUSTAKA

G. Moedjanto, M.A, Drs. 1988. Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang Kemerdekaan


Pertama Kemerdekaan Pertama Sampai PELITA III. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Syamdani. 2001. Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
www.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai