Epidemiologi Pencegahan Penyakit Infeks
Epidemiologi Pencegahan Penyakit Infeks
DisusunOleh :
FAKULTAS TEKNIK
2017-2018
KATA PENGANTAR
Penyusun
DAFTAR ISI
9. AnggotaKelompok :
Lucky Bayano
Nor Miati
Khalida Dian N.A
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidup sehat adalah suatu hal yang utama dalam kegiatan sehari-hari. Hidup sehat
mencakup lingkungan tempat tinggal seseorang dimana lingkungan tersebut akan
mempengaruhi pola hidup orang yang bertempat tinggal di lingkungan tersebut.
Epidemiologi merupakan bagian dari ilmu kesehatan masyarakat (Publick Health) yang
menekankan perhatian pada keberadaan penyakit maupun masalah kesehatan lainnya dalam
masyarakat. Menurut asal katanya secara entimologis epidemiologi berarti ilmu yang
mengenai kejadian yang menimpa penduduk. Pada perkembangan hingga dewasa ini,
epidemiologi diartikan sebagai ilmu tentang distribusi (penyebaran) dan determinan (faktor-
faktor penentu) masalah kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk pembuatan perencanaan
dan pengambilaan keputusan dalam menanggulangi masalah kesehatan. (Ikhbal, 2012).
Berbagai macam penyakit yang diakibatkan oleh udara yang kurang bersih di wilayah
Indonesia menjadi permasalahan yang serius yang diderita oleh masyarakat terutama penyakit
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Permasalahan penyakit ini juga dirasakan oleh
masyarakat sekitar Banjarbaru, Kalimantan Selatan tepatnya disekitar Sungai Besar.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Sungai Besar Banjarbaru, pasien yang
berkunjung untuk didiagnosa dan dilakukan pengobatan sementara pada tahun 2017 banyak
yang menderita penyakit ISPA dengan rata-rata orang yang berobat setiap bulannya sekitar
80 orang. Data tersebut diambil dari bulan Januari sampai dengan bulan Oktober 2017.
Penyakit ISPA rata-rata berada pada 10 besar penyakit yang ada di wilayah Sungai Besar,
Banjarbaru. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran
atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura (Ranuh, 1997; Depkes, 2003).
2. Manfaat Umum
Makalah ini dapat dijadikan bahan referensi dan sumber informasi bagi pembaca,
terutama bagi kalangan pelajar, mahasiswa dan yang lainnya. Pembaca juga
mendapatkan informasi yang berhubungan dengan judul makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
2.1.1 Definisi Epidemiologi
Secara harfiah, epidemiologi berasal dari kata epi (permukaan, diatas, menimpa) , demo
(orang, populasi dan manusia) dan ologi (ilmu tentang). Dengan demikian, istilah
epideemiologi jika di artikan kata perkata memiliki arti ilmu yang mempelajari tentang
sesuatu yang menimpa manusia. Epidemiologi telah di definisikan dengan berbagai cara salah
satu definisinya adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan atau kematian
dalam populasi manusia. (Efendi, 2009).
Epidemiologi digunakan untuk menentukan kebutuhan akan program-program
pengendalian penyakit, mengembangkan program pencegahan dan kegiatan layanan
kesehatan, serta menetapkan pola penyakit endemis, epidemi dan pandemik. Endemi adalah
berlangsungnya suatu penyakit pada tingkatan yang sama atau keberadaanya suatu penyakit
yang terus menerus di dalam populasi atau wilayah tertentu. Studi epidemiologi juga dapat
diklasifikasikan sebagai studi deskriptif dan analitis. Studi deskriptif digunakan jika
pengetahuan tentang suatu penyakit hanya sedikit. Studi analitis digunakan jika tersedia
pengetahuan atau informasi mengenai berbagai aspek penyakit. Studi deskriptif memberikan
pengetahuan, data dan informasi tentang perjalanan atau pola penyakit, kondisi, cedera,
ketidakmampuan dan kematian dalam kelompok atau populasi. Informasi biasanya berasal
dari data yang dikumpulkan secara rutin berdasarkan karakteristik demografi yang biasa
seperti usia, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pendidikan, kelas sosial ekonomi,
pekerjaan, wilayah geografis dan kurun waktu (Efendi, 2009).
Pada saat ini epidemiologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan
penyebaran masalah kesehatan pada sekelompok menusia serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dari batasan yang seperti ini, segera terlihat bahwa dalam pengertian
epidemiologi terdapat tiga hal yang bersifat pokok yakni:
Yang dimaksud dengan penyebaran masalah kesehatan disini ialah menunujuk kepada
pengelompokkan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang
dimaksudkan banyak macamnya, yang dalam epidemiologi dibedakan atas tiga macam yakni
menurut ciri-ciri manusia (man), menurut tempat (place), dan menurut waktu (time).
Yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi disini ialah menunujuk kepada
faktor penyebab dari suatu masalah kesehatan, baik yang menerangkan frekuensi, penyebaran
dan ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah kesehatan itu sendiri.Untuk itu
ada tiga langkah pokok yang lazim dilakukan yakni merumuskan hipotesa tentang penyebab
yang dimaksud, melakukan pengujian terhadap rumusan hipotesa yang telah disusun dan
setelah itu menarik kesimpulan terhadapnya.Dengan diketahuinya penybab suatu masalah
kesehatan, dapatlah disusun langkah-langkah penanggulangan selanjutnya dari masalah
kesehatan tersebut.
Penyebab dari penyakit ISPA tergantung pola hidup dari seseorang. Jika pola hidup yang
dilakukan orang tersebut tidak teratur, misalkan tidak mau menjaga kebersihan rumah/tempat
tinggal maka akan menyebabkan presentasi tingkat penyakit ISPA yang cukup tinggi.
Penyebab penyakit ISPA dapat dialami oleh seseorang yang memiliki rumah yang tidak
sesuai standart rumah pada umumnya. Contohnya tidak ada ventilasi rumah untuk pertukaran
oksigen, kamar yang tidak ada ventilasi udara yang dihuni oleh lebih dari dua orang. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA, yaitu:
a. Faktor Demografi
Faktor demografi terdiri dari 3 aspek yaitu :
1. Jenis kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki-lakilah yang banyak
terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki merupakan perokok dan
sering berkendaraan, sehingga mereka sering terkena polusi udara.
2. Usia
Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang penyakit ISPA.
Hal ini disebabkan karena banyaknmya ibu rumah tangga yang memasak sambil
menggendong anaknya. World Health Organization (WHO) memperkirakan
insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan
angka kematian balita di atas40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15% - 20%
pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO.13 juta anak balita di dunia
meninggal setiap tahun dan sebagian besarkematian tersebut terdapat di Negara
berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian
dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes,2000 dalam
Asrun,2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan
pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga
sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas
yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia
sebagaipenyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30%
dari seluruhkematian balita (Depkes, 2008).
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta
pengetahuan yang kurang di masyarakat akangejala dan upaya
penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPAyang datang kesarana pelayanan
kesehatan sudah dalam keadaanberat karena kurang mengerti bagaimana cara
serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA. (Dharmage,2009)
b. Faktor Biologis
Faktor biologis terdiri dari 2 aspek yaitu :
1. Status gizi
Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau terhindar dari
penyakit terutama penyakit ISPA. Misal dengan mengkonsumsi makanan 4 sehat
5 sempurna dan memperbanyak minum air putih, olah raga yang teratur serta
istirahat yang cukup.Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh akan
semakin menigkat, sehingga dapat mencegah virus ( bakteri) yang akan masuk
kedalam tubuh. (Notoatmodjo, 2007)
2. Faktor rumah
Syarat-syarat rumah yang sehat :
1. Bahan bangunan
a. Lantai
Ubin atau semen adalah baik. Syarat yang penting disini adalah tdak
berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk
memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh
dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda-benda yang
berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu
merupakan sarang penyakit gangguan pernapasan.
b. Dinding
Tembok adalah baik, namun disampingmahal tembok sebenarnya kurang
cocok untuk daerahtropis, lebih-lebih bila ventilasinya tidak cukup.
Dindingrumah di daerah tropis khususnya di pedesaan lebih baik dinding
atau papan. Sebab meskipun jendela tidak cukup,maka lubang-lubang pada
dinding atau papan tersebutdapat merupakan ventilasi, dan dapat
menambahpenerangan alamiah.
c. Atap Genteng
Atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan. Disampingatap genteng cocok untuk daerah tropis, juga
dapatterjangkau oleh masyarakat dan bahkan masyarakatdapat
membuatnya sendiri. Namun demikian, banyakmasyarakat pedesaan yang
tidak mampu untuk itu, makaatap daun rumbai atau daun kelapa pun
dapatdipertahankan. Atap seng ataupun asbes tidak cocokuntuk rumah
pedesaan, di samping mahal jugamenimbulkan suhu panas didalam rumah.
d. Lain-lain (tiang, kaso dan reng)
Kayu untuk tiang, bambu untuk kaso dan reng adalah umum di pedesaan.
Menurut pengalaman bahan-bahanini tahan lama. Tapi perlu diperhatikan
bahwa lubang-lubangbambu merupakan sarang tikus yang baik.Untuk
menghindari ini cara memotongnya harusmenurut ruas-ruas bambu
tersebut, maka lubang padaujung-ujung bambu yang digunakan untuk kaso
tersebutditutup dengan kayu.
2. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumahtersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O2 (oksigen) didalam rumah yang
berarti kadar CO2 (karbondioksida) yang bersifat racun bagi penghuninya
menjadi meningkat. Tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).
3. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yangmasuk kedalam ruangan rumah,
terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media
atau tempatyang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.
Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau,
dan akhirnya dapat merusak mata. (Suhandayani, 2007)
d. Faktor Iklim
Menurut JG Ayres dan kawan-kawan (2009) dalam jurnalnya mengatakan bahwa
peningkatan kasus penyakit infeksi pernafasan kemungkinan dipengaruhi oleh curah
hujan ekstrim yang menyebabkan suatu wilayah menjadi dingin. Musim dingin di
negara-negara tropis diikuti oleh peningkatan kasus infeksi pernafasan.
2. Tingkatan kedua
Upaya penanggulangan ISPA di lakukan dengan upaya pengobatan sedini
mungkin. Upaya pengobatan di lakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu:
a. Untuk kelompok umur <2 bulan , pengobatannya meliputi :
Pneumonia berat : rrawat dirumah sakit, beri oksigen, terapi antibiotic dengan
memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau kanamisin.
b. Untuk kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun . pengobatannya meliputi :
Pneumonia sangat berat : rawat dirumah sakit, berikan oksigen, terapi
antibiotic dengan memberikan kloramfenikol secara intramuscular setiap 6
jam.
3. Tingkat ketiga
Pencegahan ini di tujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak bertambah
parah dan mengakibatkan kematian.
a. Pneuomonia sangat berat : jika anak semakin memburuk setelah pemberian
kloramfenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi danb ganti dengan
kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilakokus.
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penata laksanaan kasus yang benar
merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan 19 program (turunnya kematian
karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat
pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan
memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak
mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi
penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penata laksanaan kasus
mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari
tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA . Penata laksanaan ISPA meliputi
langkah atau tindakan sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2002) :
a. Pemeriksaan
Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan
mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan anak.
Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila menangis akan
meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak tetap dipangku oleh
ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju anak
tebal, mungkin perlu membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat
tarikan dada bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan
auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklassifikasi.
b. Klasifikasi ISPA
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :
1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam
(chest indrawing).
2. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bias disertai demam,
tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis
dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.
BAB III
PEMBAHASAN
Dari table di atas dapat diketahui bahwa jumlah responden atau jumlah orang yang
mengidap penyakit ISPA (bukan pneumonia) yang paling tinggi berada pada usia 1-4 tahun
yang berjenis kelamin perempuan. Menujukan bahwa pada usia tersebut BALITA masih
sangat rentan terhadap penyakit infeksi saluran pernapasan akut. Cara pencegahannya yaitu
pada awal usia, BALITA di wajibkan melakukan imunisasi agar terhindar dari berbagai
penyakit termasuk penyakit ISPA. Untuk pencegahan penyakit ISPA pada orang dewasa
yaitu, memperbaiki perilaku pasien terhadap pola hidup yang tidak sehat dari udaranya.
2. Kepadatan Hunian
Standar ukuran kamar tidur pada umumnya adalah 8 meter per segi. Dengan
demikian, dalam saatu kamar tidur tidak dianjurkan untuk 2 orang sebab semakin
banyak orang yang ada di dalamnya maka semakin bayak karbon dioksida dari hasil
respirasi orang tersebut. Kepadatan hunian yang melebihi batas normal memudahkan
dalam penularan penyakit ISPA. Pada bulan Agustus 2017 terdapat 54 anak BALITA
berumur 1-4 tahun yang mengidap penyakit ISPA. Angka tersebut merupakan angka
yang tinggi dalam kasus ISPA pada anak BALITA. Hal tersebut menunjukkan adanya
determinasi mengenai kepadatan hunian di Puskesmas Sungai Ulin, Banjarbaru.
3. Pencemaran Udara dalam Rumah
Sumber pencemaran udara dalam rumah biasanya berasal dari asap rokot, asap bahan
bakar nyamuk dan asap dari dapur. Cara pencegahannya yaitu, langkah awal yang
utama adalah memahamkan seluruh anggota keluarga tentang bahaya ISPA yang
berasal dari ketiga sumber tersebut. Selanjutnya yaitu meminimalisasi adanya asap
dalam ruangan ataupun menghindari obat nyamuk bakar, merokok di dalam ruangan
dan pemberian ventilasi pada dapur sehingga ada rongga udara.
4. Kebersihan Rumah
Rumah yang bersih dan sehat akan membuat penghumi rumah terjaga dari bahaya
penyakit. Rumah yang kotor menjadi pemicu yang tinggi untuk orang terkena
penyakit ISPA terutama pada anak usia BALITA.
Dari tabel diatas diketahui bahwa hampir setiap bulan penyakit ISPA berada di 6
besar penyakit yang ada di Puskesmas Sungai Ulin, Banjarbaru.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan atas atau
bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang
berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan
mematikan. Gejala penyakit ISPA meliputi demam, batuk dan sering juga nyeri
tenggorokan, coryza (pilek), sesak nafas, atau kesulitan bernafas. Sedangkan tanda-
tanda ISPA meliki tanda klinis tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding
thorak, napas cuping hidung bradycardiam, hypertensi, letih dan berkeringat banyak.
2. Pencegahan penyakit ISPA yaitu menjaga kesehatan gizi agar tetap baik dengan
menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita atau terhindar dari
penyakit ISPA. Pemberian imunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita
supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus
atau bakteri. Serta menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
2.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini yaitu lebih ditingkatkannya
kesadaran dari masyarakat Desa Sungai Ulin dengan cara menjaga lingkungan dan
tempat tinggal serta lebih memperhatikan kondisi dari kesehatan. Juga dengan adanya
sikap menjaga lingkungan agar tetap sehat dapat meningkatkan kesehatan di
masyarakat. Lebih baik mencegah penyakit daripada harus mengobati penyakit
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A.A dkk. 2006. Determinasi Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap
Kejadian ISPA pada Anak BALITA serta Manajement Penanggulangannya di
Puskesmas. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 3, No.501, Juli: 49 – 58
Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teoridan Praktik
dalam Keperawatan. Salemba Medika.
Iqbal, Wahid Mubarak. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Konsep dan Aplikasi dalam Kebidanan.
2012. Jakarta: Penerbit Salemba.
Robiah Hasanah. 2011. Hubungan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada
Balita Dengan Pemukiman di Sekitar Transportasi Tongkang Batubara di Sungai Barito
Kecamatan Tabunganen. Banjarbaru.
Septiawan, H. 2011. Efek dan Penanganan Karbon Dioksida. Retrieved desember 1, 2015,
from Wahyu Rismadi. 2014. Faktor Resiko Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) Pada Balita di Desa Sungai Kitano Kabupaten Banjar. Banjarbaru.
WHO. 2007. Pencegahan dan pengendalian Infeksi Saluran Ppernapasan Akut (ISPA) yang
Cenderung Menjadi Epidemi di Fasilitas Pelayanan Kesehtaan. Janewa: World Health
Organization
Mulyati, Rini. 2004. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Perawatan ISPA di Rumah
Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita di Puskesmas Cimahi Tengah. Jurnal Kesehatan
Kartika.
Hayati, Sri. 2014. Gambaran Faktor Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada
Balita di Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol. 2, No. 1:
62-67.
Supraptini, dkk. 2010. Faktor-Faktor Pencemaran Udara Dalam Rumah Yang Berhubungan
Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Indonesia. Jurnal Ekologi kesehatan. Vol. 9, No.
2: 1238-1247.
Nanas & Tinah. 2012. Hubungan Pendidikan Ibu dan Status Ekonomi Keluarga Dengan
Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal Kebidanan. Vol. 4, No. 1: 1-10.
Trisnawati, Yuli & Juwarni. 2013. Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga 2012.
Jurnal Kesmasindo. Vol. 6, No. 1: 35-42.
Trisnawati, yuli & Kuswatin Khasanah. 2013. Analisis Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik Yang
Berpengaruh Terhadap Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Tahun
2013. Jurnal Kebidanan. Vol. 5, No. 1: 43-53.