Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

Kehamilan dengan HbsAg Reaktif

Disusun Oleh :

Fildzah Fitriyani

1102014100

Dokter Pembimbing :

dr. Utomo Budidarmo, Sp.OG, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RS BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 11 NOVEMBER 2019 – 18 JANUARI 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................1
BAB I .................................................................................................................................2
LAPORAN KASUS ...........................................................................................................2
BAB II .............................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................10
BAB III ............................................................................................................................17
KESIMPULAN ................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 21

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. N
Umur : 33 tahun
Alamat : Cipayung, Jakarta Timur
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Suku : Jawa
Masuk RS : 11 November 2019

Nama Suami : Tn. M


Alamat : Cipayung, Jakarta Timur
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan

2. Anamnesis
A. Keluhan Utama :
Hamil dengan Hbsag positif

B. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke Poli Kandungan RS Polri untuk kontrol dan berkonsultasi


mengenai kehamilannya karena pasien mengaku mempunyai hbsag reaktif
berdasarkan hasil laboratorium. Pasien saat ini sedang hamil anak ketiga. Keluhan
nyeri perut, keluar air-air, dan keluar darah disangkal pasien. Gerakan janin juga
masih dirasakan pasien. Pasien mengatakan dirinya tidak pernah ada keluhan
demam maupun sakit kuning. Pasien baru mengetahui bahwa dirinya memiliki
HbsAg reaktif saat hamil ini. Pasien disarankan oleh dokter untuk dilakukan
operasi.

2
C. Riwayat Obstetri

Jenis
Keadaan
Tahun Tempat Umur Jenis Penolong Kelamin/
No. Penyulit anak
partus Partus kehamilan Persalinan Persalinan Berat
Sekarang
Badan
1 2008 Bidan 39 minggu Normal Bidan Perempuan sehat
/3.200 gr
2 2010 Bidan 39 minggu Normal Bidan Laki- sehat
laki/3.300
gr

D. Riwayat Perkawinan :
Status : Perempuan : Menikah pertama kali
Laki- laki : Menikah pertama kali
Usia saat menikah : Perempuan : 21 tahun,
Laki-laki : 25 tahun
E. Haid
Siklus haid : 28 hari, teratur
Lama haid : 5 hari
Nyeri haid : hari pertama haid

Menarche usia : ± 12 tahun


HPHT : 9 Februari 2019

F. Riwayat kontrasepsi
Kontrasepsi suntik 1 bulan

G. Antenatal Care :

Rutin kontrol setiap bulan ke dokter

3
H. Keluhan selama kehamilan
Tidak ada
I. Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat penyakit jantung, diabetes militus, asma bronchial, dan hipertensi disangkal.
J. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit jantung, diabetes militus, asma bronchial, dan hipertensi disangkal.
3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Composmentis
Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 8 8 x / menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36 C
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Tenggorokkan : tidak ditemukan kelainan
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
tiroid(-)
Thoraks :

 Jantung : S1S2 reguler tunggal, murmur (-), gallop (-)


 Paru-paru : suara napas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen:
 Inspeksi : cembung, linea (-), striae (-)

4
 Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas:

 Superior : edema (-/-), akral hangat


 Inferior : edema (-/-), akral hangat, varises (-/-)

4. Status Obstetrik

1) Pemeriksaan luar
 Inspeksi :
 Leopold I : Tinggi fundus uteri : 37 cm
 Leopold II : punggung kiri
 Leopold III : presentasi kepala
 Leopold IV : hodge 1

5. Status Ginekologik
1) Pemeriksaan dalam : tidak dilakukan

6. Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien ini dilakukan:


1) Hematologi
a. Hemoglobin : 12,7 (12 – 14)
b. Hematokrit : 35% (37 – 43 %)
c. Leukosit : 8.900 (5.000-10.600)

d. Trombosit : 148.000 (150.000-400.000)

e. Masa perdarahan : 1’30” (1-6 menit)


f. Masa pembekuan : 11’ (10-15 menit)
g. GDS : 99 < 200 mg/dl
2) Serologi
HBsAg : reaktif

Anti HCV : non reaktif

5
DIAGNOSIS
G3P2A0 hamil 38 minggu dengan HbsAg reaktif

RENCANA PENGELOLAAN
Rencana SC tanggal 13 November 2019

LAPORAN OPERASI

Laporan Operasi:
1. Pasien berbaring di meja operasi dalam anestesi spinal
2. Asepsis dan antisepsis daerah operasi
3. Insisi pfannenstiel sepanjang 8 cm
4. SBU disayat dan dilebarkan secara tumpul
5. Bayi dilahirkan dengan bantuan forcep, jenis kelamin laki-laki, BB: 3650
gram, PB: 47 cm, A/S: 7/9
6. Air ketuban sedikit
7. Plasenta lahir lengkap
8. SBU dijahit jelujur dengan safyl no. 1
9. Eksplorasi tuba dan uterus normal
10. Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis

6
Instruksi Post Operasi:

1. Realimentasi dini

2. Imobilisasi 24 jam

3. IVFD RL 500 cc + ketorolac + tramadol

4. Cefotaxim 2x1 gr

5. Ketoprofen supp 3x1

6. Asam mefenamat 3x500 mg

7. Amoksiclav 3x625 mg

7
FOLLOW UP

Tanggal SOAP
14/11/2019 S: Nyeri luka operasi.
O: Status Generalis:
TD: 120/70 mmHg S: 36,6˚C
N: 88x/menit P: 20x/menit
Status Lokalis: Luka tertutup kassa, rembesan (-), darah (-)

A: P3A0 post SC hari ke-1 dengan Hbsag reaktif

P:

- Realimentasi dini

- Imobilisasi 24 jam

- IVFD RL 500 cc + ketorolac + tramadol

- Cefotaxim 2x1 gr

- Ketoprofen supp 3x1

- Asam mefenamat 3x500 mg

- Amoksiclav 3x625 mg

8
PROGNOSIS

- Quo ad vitam : ad bonam


- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan karena virus hepatitis B. Penularan infeksi
VHB dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu penularan horizontal (melalui selaput lendir atau mukosa)
dan vertikal (penularan HBV in-utero, penularan perinatal dan penularan post natal).1

2.2. Etiologi

Gambar 1. Virus Hepatitis B

Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh
Blumberg pacta tahun 1965 dan pada awalnya di kenal dengan nama antigen Australia yang
sekarang lebih dikenal dengan HBsAg. Virus ini termasuk anggota famili Hepadnaviridae,
berukuran kecil sekitar 42 nm, mengandung molekul DNA sirkuler yang double-stranded partial,
dengan virion yang juga mengandung polimerase DNA. Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari
dengan rata-rata 60-90 hari (Sudoyo et al, 2009). Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope
lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core.

10
Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200 nukleotida.
Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang
tindih secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs
(LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang merupakan target utama
respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino 100-160.
Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang mengkode enzim
polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X
(HBx), yang memodulasi sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi
ekspresi gen virus ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker
hati.2

2.3. Transmisi
Terdapat empat macam transmisi dalam hepatitis:3
1. Dari ibu ke anak saat lahir (perinatal)
2. Melalui kontak dengan orang yang terinfeksi
3. Melalui kontak seksual
4. Dengan paparan parenteral (darah ke darah) ke darah atau cairan lain yang terinfeksi.
Transmisi infeksi dari ibu ke anak disebut juga sebagai infeksi perinatal. Transmisi ini
merupakan transmisi yang terpenting diantara transmisi vertikal lainnya dalam hal penyebab
terbentuknya penyakit Hepatitis B kronik. Berdasarkan definisinya, periode perinatal yang dimulai
dari usia gestasional 28 minggu-28 hari postpartum maka infeksi diluar masa tersebut tidak
termasuk dalam infeksi perinatal, oleh karena itu saat ini istilah tersebut telah berubah menjadi
transmisi ibu-anak yang mencakup keseluruhan infeksi yang terjadi sebelum, saat dan sesudah
kelahiran, termasuk infeksi yang terjadi pada usia dini. 4
Transmisi ibu-anak secara garis besar dapat dibagi atas :4
1. Transmisi intrauterine (prenatal)
2. Transmisi intrapartum/ saat melahirkan
3. Transmisi postpartum (selama perawatan bayi )

1. Transmisi intrauterin (transmisi prenatal)

Mekanisme pasti terjadinya infeksi prenatal/ intrauterine ini masih belum jelas, namun
demikian terdapat beberapa kemungkinan diantaranya:

11
 Kerusakan sawar plasenta

Kebocoran transplasenta yang terjadi oleh karena kontraksi uterus selama kehamilan
dan adanya robekan pada sawar plasenta merupakan cara yang sering menjadi penyebab
infeksi intrauterine. sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa tindakan amniosisntesis
yang dilakukan pada wanita hamil dengan HBsAg positif dapat menyebabkan darah ibu
yang infeksius terbawa melalui jarum amniosintesis ke dalam rongga intrauterine, namun
demikian transmisi dengan cara ini sangat jarang terjadi.
 Infeksi plasenta dan transmisi transplasenta

Plasenta yang terinfeksi VHB memiliki 2 kemungkinan, yaitu dapat menjadi


“penyebab” terjadinya transmisi VHB dari ibu ke fetus, atau dapat 10 terjadi karena
merupakan “akibat” dari fetus yang terinfeksi VHB melalui rute lain. Untuk
membedakannya, para peneliti telah mengukur gradien infeksi plasenta di sisi maternal dan
fetal, dan disimpulkan bahwa pada sebagian besar kasus, infeksi transplasental merupakan
“penyebab” terjadinya infeksi VHB intrauterin.

 Suatu penelitian mengungkapkan adanya DNA HBV pada oosit dan sperma individu yang
terinfeksi, oleh karena itu infeksi pada fetus dapat terjadi selama masa konsepsi.

 Kemungkinan transmisi VHB intrauterin lainnya dapat terjadi melalui infeksi ascending
dari sekret vagina dari ibu yang mengandung virus.

2. Transmisi intrapartum / saat melahirkan


Transmisi virus Hepatitis B ke bayi saat lahir dimungkinkan oleh adanya beberapa faktor
diantaranya yaitu perpindahan dari ibu ke janin saat kontraksi selama persalinan atau sebagai
konsekuensi dari adanya ruptur membran plasenta yang terjadi, selain itu dapat pula terjadi
melalui cairan amnion, darah maupun sekret yang terdapat sepanjang jalan lahir tertelan oleh
bayi.
Okada dkk menemukan 85% dari infeksi neonatal terjadi selama intrapartum hal ini
disebabkan oleh karena paparan darah dan sekret vagina yang infeksius.
3. Transmisi Postpartum / post natal/ saat perawatan
Meskipun VHB DNA ditemui dalam ASI pada ibu yang terinfeksi, namun pemberian ASI
tidak terbukti meningkatkan risiko transmisi asalkan bayi 11 dibekali dengan imunoprofilaksis
yang tepat saat lahir dan sesuai jadwal.Selain itu, ASI tidak perlu ditunda sampai bayi selesai
divaksin.Menyusui tidak terbukti memberikan efek negatif terhadap respon imun bayi terhadap
vaksin VHB dan tidak meningkatkan angka kegagalan vaksin .
12
Dibawah ini merupakan daftar kelompok orang yang berisiko tertular HBV:3
1. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi
2. Kontak seksual dengan orang yang terinfeksi
3. Pekerja dibidang kesehatan
4. Pasien dan perawat di pusat hemodialisis
5. Pengguna narkoba (menggunakan jarum yang tidak steril)
6. Penggunaan alat yang tidak steril
7. Hubungan sesama jenis

2.4. Manifestasi klinis


Gejala klinis pada pasien yang terinfeksi virus Hepatitis B seperti pada umumnya, tidak
berbeda antara wanita hamil dengan wanita yang tidak hamil. Pada kasus infeksi akut akan timbul
keluhan yang tidak spesifik, termasuk kelemahan, kelelahan, anoreksia, mual, sakit kepala, nyeri
otot dan demam derajat rendah. Gejala seperti mual muntah pada stadium prodromal ini terkadang
dapat membingungkan dengan gejala yang timbul pada wanita hamil muda tanpa penyakit Hepatitis
B. Jika penyakit ini sembuh sebelum terbentuknya kerusakan hati yang menyebabkan disfungsi hati
sekunder maka gejala prodromal seperti diatas akan dianggap seperti suatu sindrom flu biasa akibat
virus atau bahkan akan dianggap sebagai bentuk efek fisiologis normal dari kehamilan itu sendiri.5
Ikterus akan muncul sekitar 2-10 hari setelah gejala prodromal muncul, pasien juga akan
mengeluhkan rasa tidak nyaman di region perut kanan atas dan pada pemeriksaan fisik bisa
ditemukan adanya hepatomegali. Namun pemeriksaan untuk menemukan adanya hepatomegali
tersebut akan sulit dilakukan pada pasien dengan usia kehamilan lanjut. 5
Umumnya ikterus dan gejala penyakit hati lainnya akan sembuh dalam 6 minggu, namun
beberapa diantaranya dapat berlanjut menjadi gagal hati yang fulminant yang ditandai dengan
kegagalan organ multiple, edema cerebri dan koagulopati. Ada pula yang kemudian menetap lebih
dari 6 bulan dan menjadi Hepatitis B kronik.5
Pada sebagian besar individu yang mengalami Hepatitis B kronik tidak akan memberikan
gejala klinis hingga stadium akhir. Infeksi kronik Hepatitis B kadang kala diketahui secara tidak
sengaja saat pasien hamil tersebut memeriksakan kehamilannya. Temuan laboratorium lain
umumnya normal kecuali kadar ALT yang cenderung tidak normal. 3,5
Pemeriksaan fisik wanita hamil dengan infeksi kronik Hepatitis B terkadang tampak normal
oleh karena tanda-tanda sirosis dini seperti eritema palmaris, splenomegali dan ukuran hepar yang
kecil dapat tersamarkan dengan perubahan kondisi fisik akibat kehamilan tersebut. 5
Efek infeksi Hepatitis B pada ibu hamil umumnya tidak bermakna. Namun bagi ibu yang telah
13
mengalami sirosis sebelum kehamilannya akan memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya ruptur
varises esophagus yang menyebabkan perdarahan.5

2.5. Diagnosis
Diagnosis sering berdasarkan pada riwayat klinik, meningkatnya kadar ALT serta
ditemukannya antigen Hepatitis B virus (HBsAg) di serum pasien. Pemeriksaan tambahan seperti
anti-HBe IgM kadang kala dibutuhkan pada beberapa kasus dimana pasien diduga mengalami
infeksi akut dengan kadar HBsAg negatif, pasien pada kasus ini harus dicurigai sedang berada pada
“fase jendela” (window phase).6
Pada pasien dengan dugaan Hepatitis B kronik harus dilakukan pemeriksaan HBsAg dan HBV
DNA guna diagnosis, indikasi terapi dan untuk mengamati perkembangan dari pasien tersebut.6
Beberapa tes serologi penting antara lain HBeAg yang menunjukkan kondisi pasien yang
sangat infeksius, HBV DNA menunjukkan jumlah virus dalam tubuh pasien, anti HBe atau HBAb
yang mengindikasikan bahwa pasien tersebut lebih kurang menular dibandingkan dengan HBeAg
positif.3,6
HBsAg dapat dideteksi dalam serum dari beberapa minggu sebelum timbulnya gejala sampai
beberapa bulan setelah onset. HBsAg terdapat dalam serum selama infeksi akut dan menunjukkan
bahwa orang tersebut berpotensi menular.3
Anti HBc adalah antibodi pertama yang muncul. Adanya anti HBc dalam serum menunjukkan
infeksi hbv yang terjadi saat ini atau masa lalu. Selama masa akut, IgM anti HBc mempunyai titer
tinggi dan biasanya menghilang dalam waktu 6 bulan, meskipun dalam beberapa kasus hepatitis
kronis dapat bertahan lebih lama. Tes tersebut dapat mendiagnosis infeksi HBV akut. Sedangkan
untuk IgG anti HBc umumnya tetap terdeteksi untuk seumur hidup.3
Anti HBe muncul setelah anti HBc dan keberadaannya berkorelasi dengan penurunan
infektivitas. Sedangkan anti HBs menggantikan HBsAg ketika infeksi HBV akut sudah sembuh.
Anti HBs umumnya bertahan seumur hidup di lebih dari 80% pasien dan menunjukkan adanya
kekebalan tubuh.3

2.6. Penatalaksanaan
Infeksi HBV dicegah dengan vaksinasi rekombinan yang aman dalam kehamilan dan harus
ditawarkan kepada pasien dengan faktor risiko yang signifikan, termasuk mereka yang memiliki
riwayat penyakit menular seksual (PMS), pekerja perawatan kesehatan, dan mereka yang memiliki
rumah tangga yang terinfeksi atau kontak seksual.7

14
Pada tatalaksana tidak ada yang membedakan prinsip terhadap hepatitis akut pada kehamilan
dengan tanpa kehamilan. Istirahat yang cukup dan terapi simtomatik tetap menjadi dasarnya.
Terminasi kehamilan hanya dilakukan atas indikasi obstetrik. Aspek yang perlu ditimbangkan ialah
tatalaksana terkait dengan kemungkinan terjadinya transmisi vertikal virus penyebabnya, karena
hal ini dapat berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas anak di hari kehamilan.1,7
Menurut American College of Gastroenterology (ACG) danAmerican Association for the Study
of Liver Disease (AASLD) sangat merekomendasikan inisiasi antivirus pada pasien dengan viremia
yang tinggi pada 28-32 minggu kehamilan untuk mengurangi MTCT. Tenofovir dan telbivudin
tetap menjadi terapi lini pertama. Selain itu, dapat juga diberikan lamivudin kepada ibu sebelum
melahirkan (100 mg/hari dalam trisemester ketiga).1,7
Sebuah percobaan prospektif baru-baru ini melihat tingkat penularan perinatal pada ibu dengan
viremik yang tinggi diberikan telbivudin 600 mg/hari yang dimulai pada 20-32 minggu kehamilan,
dibandingkan denganyang tidak diberikan perawatan. Hasilnya terdapat penurunan yang signifikan
yang berarti bahwa viral load dari kelompok yang mendapatkan pengobatan sebelum melahirkan,
tidak ada transmisi janin yang terdeteksi, sehingga menunjukkan suatu keberhasilan yang sama
untuk telbivudin dalam pencegahan MTCT.1
Wanita hamil yang terinfeksi HBV harus divaksinasi terhadap HAV untuk mencegah
kerusakan pada organ hepar lebih lanjut. Di Amerika Serikat, semua bayi yang baru lahir
divaksinasi HBV untuk mengurangi prevalensi HBV. Bayi yang lahir dari ibu yang positif HBsAg
harus menerima seri vaksin HBV dan HBV imun globulin (HBIG) dalam 12 jam kelahiran.
Imunisasi aktif-pasif gabungan sebanyak 85% hingga 95% efektif dalam mencegah penularan HBV
perinatal.7
Tenofovir oral (300 mg sekali sehari) adalah pengobatan HBV lini pertama sekunder karena
kemanjurannya, profil efek samping yang menguntungkan, dan tingkat yang rendah untuk
pengembangan resistensi obat (dibandingkan dengan lamivudine). Tenofovir juga telah
menunjukkan keamanan pada kehamilan sekunder untuk penggunaannya sebagai terapi lini
pertama untuk infeksi HIV.7
Pada umumnya, persalinan pengidap VHB tanpa infeksi akut tidak berbeda dengan penanganan
persalinan pada umumnya.8
1. Pada infeksi akut VHB dan adanya hepatitis fulminan persalinan pervaginam, usahakan
dengan trauma sekecil mungkin. Gejala hepatitis fulminan antara lain sangat ikterik, nyeri
perut kanan atas, kesadaran menurun dan hasil pemeriksaan urin didapatkan warna seperti
teh pekat, urobilin dan bilirubin positif, sedangkan pada pemeriksaan darah selain urobilin
dan bilirubin positif, SGOT dan SGPT meningkat (> 1000).
15
2. Pada ibu hamil dengan viral load yang tinggi dapat dipertimbangkan pemberian HBIG atau
lamivudin pada 1-2 bulan sebelum persalinan.
3. Persalinan pada ibu hamil dengan titer VHB tinggi atau HbsAg positif lebih baik dilakukan
seksio sesaria.
4. Tetap menyusui bayi.

Banyak penelitian tentang ASI dihubungkan dengan kejadian hepatitis B telah banyak
dilakukan di dunia dan membuktikan bahwa ASI tidak meningkatkan risiko penularan hepatitis B.
Berikut adalah penelitian di Taiwan yang mengikut sertakan 147 bayi baru lahir dari ibu pembawa
virus hepatitis B yang kemudian terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah bayi-bayi
yang minum ASI dan kelompok kedua adalah bayi yang minum susu formula. Hasilnya adalah
bahwa ASI tidak terbukti meningkatkan risiko penularan hepatitis B terbukti dari tidak adanya
perbedaan kejadian hepatitis B pada ke 2 kelompok. Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak
memberikan ASI untuk bayinya bagi ibu penderita hepatitis B. 12
Tindakan SC dapat mencegah penularan MCTC. Tindakan SC lebih efektif dilakukan sebelum
ketuban pecah. Pan et al. menganalisis data dari 1.409 bayi yang lahir melalui persalinan
pervaginam, seksio sesaria elektif atau operasi caesar darurat untuk ibu dengan HBsAg positif.
Infeksi HBV yang ditularkan pada bayi yang lahir dengan operasi caesar memiliki persentase yang
lebih kecil (1,4%), dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3,4%).1
Infeksi akut virus hepatitis B pada ibu hamil tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan
teratogensitas. Infeksi dapat dicegah dengan vaksinasi dan bagi yang diduga telah terpapar
dianjurkan untuk juga diberikan imunoglobulin (HBIG). Apabila ibu mengalami HbeAg positif
(HBV DNA load tinggi) sebaiknya diberikan HBIG dan vaksin untuk bayi. Bagi bayi yang ibunya
HbeAg positif berisiko tinggi menjadi infeksi HBV kronik.1

VAKSIN HEPATITIS B
Imunisasi adalah proses menginduksi imunitas baik secara vaksinasi (imunisasi aktif) atau
pemberian antibodi (imunisasi pasif). Vaksinasi ialah tindakan yang dengan sengaja memaparkan
antigen dari suatu patogen yang akan menstimulasi sistem imun dan menimbulkan kekebalan.
Sedangkan imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan imunoglobulin yang berasal dari plasma
donor yang hanya memberikan kekebalan sementara. Oleh karena itu, imunisasi yang rutin
diberikan yaitu imunisasi aktif (vaksin). Vaksin adalah suatu zat yang merupakan suatu bentuk
produk biologi yang diketahui berasal dari virus, bakteri atau dari kombinasi antara keduanya yang
dilemahkan.10
16
Pengiriman vaksin berbeda-beda setiap vaksin yang diberikan. Pada vaksin hepatitis B
pengirimannya disimpan dalam wadah cold pack. Pada setiap cold box disertakan indikator alat
pemantauan paparan suhu beku (DT, TT, Td, hep B, dan DPT-HB). Untuk sarana penyimpanan,
vaksin hep B, BCG, campak, DPT, TT, DT, dan DPT-HB disimpan dalam suhu 2-8°C. Vaksin
polio disimpan dalan suhu -15 s/d -25°C. 10
Vaksin Hepatitis B pertama paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan
didahului pemberian vit. K minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB
monovalen pada usia 0, 1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu dengan HbsAg positif, diberikan vaksin
HB dan imunoglobulin hep. B (Hbig) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB
kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2,3,4 bulan. Apabila HB kombinasi
dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia, 2,4,6 bulan. 10

Gambar 2. Vaksin hepatitis B


Pemberian vaksinasi Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan
rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Ada dua tipe vaksin Hepatitis
B yang mengandung HbsAg, yaitu: 1) vaksin yang berasal dari plasma, dan (2) vaksin rekombinan.
Kedua vaksin ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir karena antibodi anti
HbsAg tidak mengganggu respons terhadap vaksin.1
Menurut Pedoman Nasional di Indonesia dan WHO merekomendasikan sebaiknya HBIg dan
vaksin Hepatitis B diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambat-lambatnya 24
jam setelah persalinan untuk mendapatkan efektifitas yang lebih tinggi.1
Pemberian profilaksis HBIG memberikan manfaat tambahan terutama pada bayi baru lahir
dengan ibu HbsAg positif dan HbeAg positif. Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status
HbsAg ibu pada saat melahirkan adalah:1
1. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg nya mendapatkan 5 mcg (0,5
ml) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5 ml) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah
lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Kalau

17
kemudian diketahui ibu mengidap HbsAg positif maka segera berikan 0,5 ml HBIg
(sebelum anak berusia satu minggu).
2. Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapatkan 0,5 ml HBIg dalam waktu 12 jam
setelah lahir dan 5 mcg (0,5 ml) vaksin rekombinan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2
bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.
3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25 ml)
vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis
10 mcg (0,5 ml) intramuskular pada saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan
pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18 bulan.

2.7. Pencegahan
Manfaat dalam vaksinasi pada ibu hamil lebih besar dibandingkan risiko yang didapat apabila
ibu hamil terpajan suatu infeksi. Terdapat kategori pemberian yaitu pemberian rutin (hepatitis B,
influenza, tetanus toksoid).13
Salah satu penyebab kematian ibu dan kematian bayi yaitu infeksi tetanus yang disebabkan
oleh bakteri Clostridium tetani sebagai akibat dari proses persalinan yang tidak aman/steril atau
berasal dari luka yang diperoleh ibu hamil sebelum melahirkan. Clostridium Tetani masuk melalui
luka terbuka dan menghasilkan racun yang menyerang sistem saraf pusat.11
Sebagai upaya mengendalikan infeksi tetanus yang merupakan salah satu faktor risiko
kematian ibu dan kematian bayi, maka dilaksanakan program imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bagi
Wanita Usia Subur (WUS) dan ibu hamil. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Imunisasi mengamanatkan bahwa wanita usia subur dan ibu hamil
merupakan salah satu kelompok populasi yang menjadi sasaran imunisasi lanjutan. Imunisasi
lanjutan adalah kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi imunisasi dasar pada bayi yang
diberikan kepada anak Batita, anak usia sekolah, dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. 11
Imunisasi lanjutan pada WUS salah satunya dilaksanakan pada waktu melakukan pelayanan
antenatal. Imunisasi TT pada WUS diberikan sebanyak 5 dosis dengan interval tertentu, dimulai
sebelum dan atau saat hamil yang berguna bagi kekebalan seumur hidup. Interval pemberian
imunisasi TT dan lama masa perlindungan yang diberikan sebagai berikut: 11
a. TT2 memiliki interval minimal 4 minggu setelah TT1 dengan masa perlindungan 3 tahun.
b. TT3 memiliki interval minimal 6 bulan setelah TT2 dengan masa perlindungan 5 tahun.
c. TT4 memiliki interval minimal 1 tahun setelah TT3 dengan masa perlindungan 10 tahun.
d. TT5 memiliki interval minimal 1 tahun setelah TT4 dengan masa perlindungan 25 tahun.
Screening status imunisasi TT harus dilakukan sebelum pemberian vaksin. Pemberian
18
imunisasi TT tidak perlu dilakukan bila hasil screening menunjukkan wanita usia subur telah
mendapatkan imunisasi TT5 yang harus dibuktikan dengan buku KIA, rekam medis, dan atau
kohort. 11
Program skrining pada ibu yang bertujuan mengidentifikasi ibu dengan HBsAg-positif adalah
bagian dari pemeriksaan rutin kehamilan di sebagian besar negara. Setelah ibu dengan HBsAg-
positif diidentifikasi, bayinya akan menerima imunoprofilaksis pasif saat lahir untuk mengurangi
penularan secara vertical. Immunoprofilaksis pasif terdiri dari pemberian immunoglobulin hepatitis
B (HBIG) sedangkan imunoprofilaksis aktif adalah vaksin hepatitis B.8,9
Meskipun profilaksis ini efektif dalam memblokir terjadinya penularan HBV, proporsi anak
yang kecil tetapi tidak dapat diabaikan (3% -13%) yang lahir dari ibu dengan HBsAg-positif,
terutama yang membawa HBeAg. Penjelasan untuk risiko penularan yang lebih tinggi untuk ibu
dengan HBeAg-positif adalah HBeAg ibu dapat melewati plasenta dari ibu ke janin dan
menginduksi toleransi sel-T dalam rahim.9

19
BAB III

KESIMPULAN

Hepatitis B merupakan penyakit infeksi virus pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B.
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui kontak perkutaneus atau permukosal
terhadap cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi HBV, melalui hubungan seksual dan transmisi
perinatal dari seorang ibu yang terinfeksi ke bayinya.
Penularan vertical sebagian besar (95%) terjadi saat persalinan, hanya sebagian kecil saja (5%)
selama bayi didalam kandungan. Sekitar ± 90 % janin yang terinfeksi akan menjadi kronis dan
mempunyai resiko kematian akibat sirosis atau kanker hati sebesar 15-25 % pada usia dewasa
nantinya.
Pada laporan kasus ini didapatkan pasien datang ke Poli Kandungan RS Polri untuk kontrol dan
berkonsultasi tentang kehamilannya karena pasien mengaku memiliki HbsAg reaktif berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium. Keluhan nyeri bawah perut, keluar air-air, keluar darah disangkal
pasien. Gerakan janin masih dirasakan ibu.
Didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium HBsAg reaktif. Pilihan persalinan pada pasien ini
adalah seksio sesaria. Hal itu bertujuan untuk meminimalisir risiko infeksi vertical dari ibu ke bayi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ayu Putu R, Pusparini Ajeng. Tatalaksana Persalinan Pada Kehamilan Dengan Hepatitis
B. Jurnal Medula Unila 2017; 7(2):1-5.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Virologi. Jakarta.
3. World Health Organization. Hepatitis B. Geneva 2002; pp 40-42.
4. Navabakhsh B, Mehrabi N, Estakhri A, Mohamadnejad M, Poustchi H. Hepatitis B Virus
Infection During Pregnancy: Transmission And Prevention. Middle East Journal Of
Digestive Diseases 2011; 3(2):92-102.
5. Bohidar NP. Hepatitis B Virus Infection In Pregnancy. Hepatitis Annual Journal 2012;
199-209.
6. Christensen PB, Clausen MR, Krarup H, Laursen AL, Schlichting P, Weis N. Treatment
For Hepatitis B Virus (HBV) And Hepatitis C Virus (HCV) Infection- Danish National
Guidelines 2011. Danish Medical Journal 2011; 1-11.
7. Gabbe, Niebyl, Simpson, et al. Obstetric Normal And Problems Pregnancies Seventh
Edition. Elsevier: Philadelphia; 2017.
8. Saifuddin, A., Rachimhadhi, T., Wiknjosastro, G. 2016. Penyakit Infeksi. Dalam
Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Kelima. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 906-907.
9. Borgia G, Carleo MA, Gaeta GB, Gentile I. Hepatitis B In Pregnancy. World Journal Of
Gastro Enterology 2012; 18(34):4677-4683.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Vaksin Untuk Pencegahan. Jakarta.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta.
12. Mulyani NS. Menyusui Pada Ibu Penderita Hepatitis B. IDAI. 2013 (cited 05 desember
2019). Available from: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/menyusui-pada-ibu-
penderita-hepatitis-b.
13. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for Vaccinating Pregnant Women.
2016 (cited 06 Desember 2019). Available from:
https://www.cdc.gov/vaccines/pregnancy/hcp-toolkit/guidelines.html#5.

21

Anda mungkin juga menyukai