Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penderita gagal ginjal kronik mengalami beberapa masalah, mereka

mengaku tidak bisa melakukan pekerjaan seperti sediakala karena merasa sering

kelelahan sehingga hanya bisa menghabiskan waktu dirumah saja. Selain itu

mereka juga tidak bisa menafkahi keluarga sehingga merasa dirinya sudah tidak

berarti lagi. Kualitas hidup yang buruk maka akan berdampak dengan tingkat

percaya diri penderita dengan lingkungan sekitar. Hal ini yang membuat

kebanyakan penderita lebih sering menghabiskan waktu dirumah saja daripada

bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Kualitas hidup menjadi sangat penting

karena untuk memberikan motivasi kepada penderita gagal ginjal kronik bahwa

dirinya tidak harus depresi dengan kondisi yang dialami, tetapi mereka harus bisa

memiliki percaya diri untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar (Astrini,

2013).

Global Burden of Disease tahun 2010, penyakit ginjal kronis merupakan

peringkat ke 27 penyebab kematian di dunia pada tahun 1990 dan mengalami

peningkatan menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta penduduk di

dunia mendapatkan perawatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal dan hanya

sekitar 10% yang benar-benar mengalami perawatan tersebut.

Prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan data dari World Health

Organization (WHO, 2012) bahwa terjadi peningkatan pasien gagal ginjal kronik

dari tahun ke tahun, dimana terdapat lebih dari 500 juta orang mengalami

1
2

penyakit gagal ginjal pada seluruh populasi di dunia sampai sekarang. Pada tahun

2012 di Amerika terdapat 26 juta orang dewasa mengalami gagal ginjal kronik

dan jutaan lainnya berisiko meningkat (National Kidneys Foundation, 2015).

Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2013) melaporkan sebanyak

12,5 % dari jumlah total penduduk Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.

Prevalensi pasien gagal ginjal kronik sebanyak 0,1%-0,5% pada seluruh populasi

di Indonesia 248.422.956 jiwa berarti 124.211.478 jiwa yang mengalami gagal

ginjal kronik. Di RSUD Dokter Soedarso Pontianak dari 49 penderita gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa yaitu hanya 9 orang yang memiliki kualitas

hidup baik. Jadi sisanya yaitu sebanyak 40 penderita memiliki kualitas hidup yang

kurang baik. Pada bulan mei sampai juni tahun 2019 di Ruang Hemodialisa

RSUD dr. R. Koesma Tuban untuk reguler ada sejumlah 151 penderita gagal

ginjal kronik. Jumlah tersebut belum termasuk penderita yang memutuskan untuk

tidak melanjutkan hemodialisa lagi dan ada juga penderita yang harus melakukan

hemodialisa di luar Kabupaten Tuban akibat terlalu banyaknya penderita gagal

ginjal kronik. Hal ini menunjukan bahwa penderita gagal ginjal kronik di

Kabupaten Tuban termasuk tinggi. Penderita gagal ginjal kronik di Ruang

Hemodialisa menjalani terapi selama dua kali dalam seminggu. Dalam satu hari

ada sejumlah 30 penderita yang melakukan hemodialisa, untuk rata-rata dalam

satu bulan ada 79 penderita yang menjalani hemodialisa dari bulan mei sampai

juni. Gambaran kualitas hidup dari penderita gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa ada yang berbeda satu sama lain. Sebagian besar penderita gagal

ginjal kronik adalah laki-laki, mereka merasa tidak puas dengan kondisi kesehatan
3

yang mereka rasakan saat ini. Hal ini ditandai dengan tidak banyak aktivitas yang

bisa dilakukan, mengingat kondisi penderita gagal ginjal kronik cenderung

mengalami kelemahan. Banyak yang harus tidak bisa melanjutkan pekerjaan

akibat dari kondisi ini. Dengan segala kondisi kesehatan yang dirasakan dan

ditambah lagi mereka adalah kepala rumah tangga sudah jelas tidak bisa

menikmati hidup yang sedang dijalani.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pada

penderita gagal ginjal kronik seperti IMT, lama menjalani hemodialisa, kondisi

komorbid dan penatalaksanaan medis. Menurut penelitian dari Wan Gisca Ayu

Astrini didapatkan hasil IMT penderita yang menjalani hemodialisa di RSUD

Dokter Soedarso Pontianak dari 49 orang didapatkan sebanyak 43 orang memiliki

IMT kurang dari 23. Menurut Jadeja dan Vijay (2012) dalam Indian Journal of

Endocrinology and Metabolism diagnosis untuk malnutrisi protein energi pada

pasien hemodialisa salah satunya adalah IMT kurang dari 23. Dalam hal ini

menunjukkan bahwa IMT menempati posisi yang paling tinggi. Asupan energi

dan protein berhubungan secara signifikan dengan kualitas hidup penderita gagal

ginjal kronik. Kondisi tersebut dikarenakan banyaknya penderita gagal ginjal

kronik yang mengalami malnutrisi. Penderita gagal ginjal kronik yang mengalami

malnutrisi secara gizi tampak kurang, hal ini dapat mempengaruhi sistem imun,

tingkat kesenangan/ kebahagiaan, dan interaksi sosial dengan sesama penderita

yang dapat menekan nafsu makan. Malnutrisi ini disebabkan oleh beberapa faktor

yaitu, asupan nutrisi yang dibatasi, terjadinya peningkatan hormon leptin yang

akan menyebabkan nafsu makan berkurang, pengaruh obat-obatan yang dapat


4

menghambat nafsu makan, pengambilan sampel darah yang berulang, dan proses

dari dialisis itu sendiri. Salah satu faktor yang menyebabkan malnutrisi ada

asupan nutrisi yang dibatasi. Penderita yang mengalami gagal ginjal kronik sudah

pasti harus membatasi setiap asupan yang masuk agar tidak memberatkan fungsi

dari organ ginjal. Dari berbagai faktor malnutrisi memiliki banyak sekali dampak

yang terjadi seperti, dapat menyebabkan penderita gagal ginjal kronik mengalami

gejala seperti lelah dan malaise, sakit kepala, kehilangan berat badan, kelemahan

otot, infeksi berulang, penyembuhan luka yang lambat, serta gangguan tulang

yang bisa mempengaruhi dari kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik

tersebut.

Untuk meningkatkan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik dapat

dilakukan dengan cara yaitu, mengontrol berat badan untuk mendukung proses

terapi yang berlangsung betul-betul adekuat agar tidak banyak toksik uremi yang

terkumpul dan protein serta glukosa dan vitamin tidak terbuang, memenuhi

asupan makanan yang cukup seperti protein dalam tubuh yang didapat dari telur,

daging, ayam, ikan, susu untuk menjaga status gizi yanng baik.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan IMT dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik di Ruang

Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.

1.2 Identifikasi Masalah

Kualitas hidup menjadi masalah yang sering dijumpai pada penderita

dengan penyakit kronik seperti gagal ginjal. Beberapa penderita gagal ginjal

kronik mengaku tidak bisa melakukan pekerjaan seperti sediakala karena merasa
5

sering kelelahan sehingga hanya bisa menghabiskan waktu dirumah saja. Selain

itu penderita juga tidak bisa menafkahi keluarga sehingga merasa dirinya sudah

tidak berarti lagi. Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2013) melaporkan

sebanyak 12,5 % dari jumlah total penduduk Indonesia mengalami penurunan

fungsi ginjal. Prevalensi pasien gagal ginjal kronik sebanyak 0,1%-0,5% pada

seluruh populasi di Indonesia 248.422.956 jiwa berarti 124.211.478 jiwa yang

mengalami gagal ginjal kronik. Di RSUD Dokter Soedarso Pontianak dari 49

klien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu hanya 9 orang yang

memiliki kualitas hidup baik. Jadi sisanya yaitu sebanyak 40 klien memiliki

kualitas hidup yang kurang baik. Di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma

Tuban pada bulan mei sampai juni tahun 2019 sejumlah 151 penderita gagal ginjal

kronik. Penderita gagal ginjal kronik di Ruang Hemodialisa menjalani terapi

selama dua kali dalam seminggu. Dalam satu hari ada sejumlah 30 penderita gagal

ginjal kronik yang melakukan hemodialisa, kemudian untuk rata-rata dalam satu

bulan ada 75 klien dari bulan mei sampai juni. Sebagian besar penderita gagal

ginjal kronik merasa tidak puas dengan kesahatan yang mereka alami. Hal ini

ditandai dengan tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan bahkan harus berhenti

bekerja mengingat cenderung mengalami kelemahan otot pada penderita gagal

ginjal kronik. Kualitas hidup yang kurang baik disebabkan oleh beberapa faktor

yaitu salah satunya adalah IMT yang kurang baik. IMT yang kurang baik ditandai

dengan adanya malnutrisi. Hal ini disebabkan oleh asupan nutrisi yang dibatasi,

terjadinya peningkatan hormon leptin yang akan menyebabkan nafsu makan

berkurang, pengaruh obat-obatan yang dapat menghambat nafsu makan,


6

pengambilan sampel darah yang berulang, dan proses dari dialisis itu sendiri.

Kondisi inilah yang menyebabkan timbulnya gejala seperti lelah dan malaise,

sakit kepala, kehilangan berat badan, kelemahan otot, infeksi berulang,

penyembuhan luka yang lambat, serta gangguan tulang yang bisa mempengaruhi

dari kualitas hidup klien tersebut. Untuk memperbaiki kualitas hidup penderita

gagal ginjal kronik dapat dilakukan dengan mengontrol berat badan dan

mencukupi asupan makanan yang cukup.

1.3 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan indeks massa tubuh dengan kualitas hidup penderita

gagal ginjal kronik?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan indeks massa tubuh dengan kualitas hidup

penderita gagal ginjal kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik di Ruang

Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.

2. Mengidentifikasi hubungan indeks massa tubuh pada penderita gagal

ginjal kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.

3. Menganalisis hubungan indeks massa tubuh pada penderita gagal ginjal

kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.


7

1.5 Manfaat

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini

diharapkan mempunyai manfaat bagi peneliti selanjutnya. Adapan manfaat

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu:

Sebagai pijakan dan referensi pada peneliti-peneliti selanjutnya yang berkaitan

dengan hubungan indeks massa tubuh dengan kualitas hidup penderita gagal

ginjal kronik serta menjadi bahan kajian lebih lanjut.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu:

1. Bagi penulis

Dapat menambah wawasan tentang hubungan indeks massa tubuh dengan

kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik.

2. Bagi pembaca

Dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan indeks

massa tubuh dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik.


8

1.6 Riset Pendukung

Tabel 1.1 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kualitas Hidup Penderita
Gagal Ginjal Kronik Di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban
Tahun 2019.
Metode
No. Judul Penulis Tahun Penelitian/
Pendekatan
1. Faktor-Faktor yang Handi Rustandi, 2018 Deskriptif dengan
Mempengaruhi Kualitas Hengky Tranado, Cross Sectional
Hidup Pasien Chronic Tinalia Pransasti
Kidney Disease (CKD)
yang Menjalani
Hemodialisa di Ruang
Hemodialisa.
2. Analisa Faktor-Faktor yang Deddy Sepadha Putra 2015 Deskriptif
Mempengaruhi Kualitas Segala Analitik dengan
Hidup Pasien Gagal Ginjal Cross Sectional
Kronik yang Menjalani
Hemodialisa di Rumah
Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan
3. Status Gizi pada Pasien Karsa S. Lajuck, 2016 Analitik
Penyakit Ginjal Kronik Emma S. Moeis, Observasional
Stadium 5 yang Menjalani Maarthen C. P. dengan Croos
Hemodialisis Adekuat dan Wongkar Sectional
Tidak Adekuat
4. Hubungan Indeks Massa Zulkarnain 2017 Survey Analitik
Tubuh (IMT) dengan dengan Croos
Kejadian Carpal Tunnel Sectional
Syndrome (CTS) pada
Penderita CTS di Rs.
Universitas Hasanuddin
dan RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar
Periode 2014-2017
5. Hubungan Adekuasi Dewantari EO, Taruna 2014 Analitik
Hemodialisis dengan A, Angraini DI, Observasional
Asupan Makan dan Dilangga P. dengan Croos
Indeks Massa Tubuh Sectional
Pasien Gagal Ginjal
Kronik yang Menjalani
Hemodialisis di RSUD
Abdul Moeloek Bandar
Lampung
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Ginjal

2.1.1 Anatomi Ginjal

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum,

di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar transversus abdominis, kuadratus

lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh

bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak di atas kutub masing-masing

ginjal. Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung di sebelah posterior

dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan di anterior

dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Bila ginjal mengalami cedera, maka

hampir selalu terjadi akibat kekuatan yang mengenai iga kedua belas, yang

berputar ke dalam dan menjepit ginjal diantara iga itu sendiri dengan korpus

vertebra lumbalis.

Perlindungan yang sempurna terhadap cedera langsung ini menyebabkan

ginjal dengan sendirinya sukar untuk diraba dan juga sulit dicapai sewaktu

pembedahan. Ginjal kiri yang berukuran normal, biasanya tidak teraba pada waktu

pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior ginjal tertutup oleh

limpa. Namun, kutub bawah ginjal kanan yang berukuran normal, dapat diraba

secara bimanual. Kedua ginjal yanng membesar secara mencolok atau tergeser

dari tempatnya dapat diketahui dengan palpasi, walaupun hal ini lebih mudah

dilakukan di sebelah kanan.

9
10

2.1.2 Struktur Makroskopik Ginjal

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7

hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 (1 inci), dan beratnya

sekitar 150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh.

Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan

pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan

tanda yang penting karena sebagian manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan

struktur.

Permukaan anterio dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral

ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena

adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus

adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter. Ginjal

diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan

jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal.

Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda

korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula terbagi-bagi menjadi

baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian

korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak

karena tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.

Papila (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang

terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap

duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk

seperti cawan yang disebut kaliks minnor (L. Calix, cawan). Beberapa kaliks
11

minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga

membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem

pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.

Pengetahuan mengenai anatomi ginjal merupakan dasar untuk memahami

pembentukan urine. Pembentukan urine dimulai dalam korteks dan berlanjut

selama bahan pembentukan urine tersebut mengalir melalui tubulus dan duktus

pengumpul. Urine yang terbentuk kemudian mengalir ke dalam duktus papilaris

Belini, masuk kaliks minor, kaliks mayor, pelvis ginjal, dan akhirnya

meninggalkan ginjal melalui ureter mengandung otot polos yang dapat

berkontraksi secara berirama dan membantu mendorong ureine melalui saluran

kemih dengan gerakan peristaltik.

2.1.3 Suplai Pembuluh Darah Makroskopik Ginjal

Arteria renalis berasal dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra

lumbalis II. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga arteria renalis

kanan lebih panjag dari arteria renalis kiri. Setiap arteria renalis bercabang

sewaktu masuk ke dalam ginjal.

Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena

cava inferior yang terletak di sebelah kanan dari garis tengah. Akibatnya vena

renalis kiri kira-kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan. Gambaran

anatomis ini menyebabkan beberapa ahli bedah transplantasi biasanya lebih suka

memilih ginjal kiri donor yang kemudian diputar dan ditempatkan pada pelvis

kanan resipien. Ada sedikit kesulitan bila arteria renalis pendek dan
12

beranastomosis dengan arteri iliaka interna (hipogastrika). Namun, vena renalis

harus lebih panjang, karena ditanamkan langsung ke dalam vena iliaka eksterna.

Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang

menjadi arteria interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya

membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-

piramid tersebut. Arteria arkuata kemudian membentuk arteriol-arteriol

interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteria interlobularis ini

selanjutnya membentuk arteriola aferen.

Masing-masing arteriola aferen akan menyuplai darah ke rumbai-rumbai

kapiler yanng disebut glomerulus (jam, glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu

membentuk arteriol eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem

jaringan portal yang mengelilingi tubulus dan kadang-kadang disebut kapiler

peritubular. Sirkulasi ginjal tidak seperti biasa yang terbagi menjadi dua bantalan

kapiler yang terpisah, tapi bantalan glomerulus dan bantalan kapiler peritubular

terbentuk menjadi rangkaian sehingga semua darah ginjal melewati keduanya.

Tekanan dalam bantalan kapiler yang pertama (tempat terjadi filtrasi) adalah lebih

tinggi (40 hingga 50 mmHg), sedangkan tekanan dalam kapiler peritubular

(tempat reabsorpsi tubular kembali ke sirkulasi) adalah rendah (5 hingga 10

mmHg) dan menyerupai kapiler di tempat lain dalam tubuh. Darah yang

melewati jaringan portal ini mengalir ke jaringan vena interlobural, arkuata,

interlobar, dan vena ginjal untuk mencapai vena cava inferior.


13

2.1.4 Gambaran Khusus Aliran Darah Ginjal

Ginjal diperfusi oleh sekitar 1.200 ml darah per menit-suatu volume yang

sama dengan 20% sampai 25% curah jantung (5.000 ml per menit). Kenyataan ini

memang sangat menakjubkan, kalau kita pertimbangkan bahwa berat kedua ginjal

kurang dari 1% dari berat seluruh tubuh. Lebih dari 90% darah yang masuk ke

ginjal didistribusikan ke korteks, sedangkan sisanya didistribusikan ke medula.

Sifat khusus aliran darah ginjal yang lain adalah autoregulasi aliran darah

melalui ginjal. Arteriol aferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat

mengubah resistensinya sebagai respons terhadap perubahan tekanan darah

arteria, dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi

glomerulus tetan konstan. Fungsi ini afektif pada tekanan arteria antar 80 sampai

180 mmHg. Hasilnya adalah pencegahan terjadinya perubahan besar dalam

ekskresi zat terlarut dan air. Tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu autoregulasi ini

dapat ditaklukkan, meskipun tekanan arteria masih dalam batas autoregulasi.

Saraf-saraf renal dapat menyebabkan vasokontriksi pada keadaan darurat dan

mengalihkan darah dari ginjal ke jantung, otak, atau otot rangka dengan

mengorbankan ginjal. Gangguan autoregulasi dan distribusi aliran darah intrarenal

mengkin penting dalam patogenesis gagal ginjal oliguria akut.

2.1.5 Variasi Suplai Vaskular Ginjal

Ginjal mendapatkan darah dari banyak arteria atau vena. Anomali arteria

renalis jauh lebih sering ditemukan daripada kelainan vena. Kenyataannya sekitar

25% dari populasi atau lebih memiliki lebih dari satu arteria renalis yang

menyuplai ginjal. Arteria-arteria tambahan ini biasanya berasal dari percabangan


14

kecil-kecil dari aorta dan menyuplai kutub-kutub ginjal. Arteriogram suplai darah

ginjal penting dilakukan pada donor sebelum pelaksanaan transplantasi ginjal,

karena variasi seperti ini secraa teknis dapat menyulitkan ahli bedah.

2.2 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik

2.2.1 Pengertian

Penyakit gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif

dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan

uremia (Smeltzer & Bare, 2008) dalam Supriadi, Dedi, dkk (2018).

2.2.2 Klasifikasi

Menurut (Sudoyo, 2009) klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik

didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar

diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG

yang dihitung dengan mempergunakan rumus Knockcroft-Gault sebagai berikut:

(140−usia)x berat badan


LFG (ml/mnt/1,73m²) = (72 x kreatinin plasma (mg/dl)2 ) x 0,86 jika wanita
15

Tabel 2.1 Klasifikasi National Kidney Foundation tentang Penyakit Gagal


Ginjal Kronik
GFR
Stadium Deskripsi Istilah lain yang digunakan (ml/menit/
1,73 m²)
1 Kerusakan ginjal dengan Berada pada risiko >90
tingkat filtrasi glomerulus
(GFR) normal
2 Kerusakan ginjal dengan GFR Kelainan ginjal kronis 60-89
ringan (chronic renal insufficiency-
CRI)
3 Kerusakan ginjal dengan GFR CRI, gagal ginjal kronik 30-59
sedang (chronic renal failure-CRF)
4 Kerusakan ginjal dengan GFR CRF 15-29
berat
5 Gagal ginjal Pennyakit ginjal stadium <15
akhir (End stage renal
disease-ERDS)
(Sumber: Black, 2005)

2.2.3 Etiologi

Begitu banyak kondisi yanng bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal

kronik, akan tetapi, apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan

fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat

mengakibatkan gagal ginjal kronik bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan diluar

ginjal (Muttaqin, 2012).

1. Penyakit dari ginjal

1) Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonefritis.

2) Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis.

3) Batu ginjal: nefrolitiasis.

4) Kista di ginjal: polcystis kidney.

5) Trauma langsung pada ginjal.

6) Keganasan pada ginjal.

7) Sumbatan: batuu, tumor, penyempitan/ striktur.


16

2. Penyakit umum diluar ginjal

1) Penyakit sistemik: diabetes militus, hipertensi, kolesterol tinggi.

2) Dyslipidemia.

3) SLE.

4) Infeksi dibadan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis.

5) Preeklamsi.

6) Obat-obatan.

7) Kehilangan cairan yang mendadak (luka bakar).

2.2.4 Patofisiologi

Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal

gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa

masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi

ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik

mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi

nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi,

reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi.

Seiring dengan makin banyak nefron yang mati, maka nefron yang tersisa

menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak

dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan

tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsoprsi protein.

Pada saat penyusutann progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan

parut dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan meningkat

bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi.


17

Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi

peningkatan filtrasi protein-protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk

dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan

nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi

penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi

sehingga akan terjadi sindrom uremia yang memberikan banyak manifestasi pada

setiap organ tubuh (Muttaqin, 2012).

2.2.5 Manifestasi Klinis

Menurut perjalanan klinis dari penyakit gagal ginjal kronik adalah :

1. Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat

menurun hingga 25% dari normal.

2. Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami poliuria dan

nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan

BUN sedikit meningkat diatas normal.

3. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah,

letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan,

neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai

koma), yang ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum

kreatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi peubahan biokimia dan

gejala yang komplek.

Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,

kalium, klorida).
18

2.2.6 Komplikasi

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut (Corwin, 2009) adalah

sebagai berikut :

1. Gagal ginjal progresif, terjadi beban volume, ketidakseimbangan elektrolit,

asidosis metabolik, azotemia dan uremia.

2. Gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi azotemia dan

uremia berat, asidosis metabolik memburuk, yanng secara mencolok

merangsang kecepatan pernapasan.

3. Hipertensi, anemia, osteoditrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik, dan

pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi.

4. Penurunn pembentukan eritropoietin dapat menyebabkan sindrom anemia

kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit kardiovaskular, dan

penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan peningkatan morbiditas dan

mortalitas.

5. Gagal jantung kongestif dapat terjadi.

6. Koma dan kematian dapat terjadi apabila tidak mendapat pengobatan.

2.2.7 Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mengembalikan fungsi ginjal

dan mempertahankan homeostasis selama mungkin. Semua faktor yang

menunjang penyakit ginjal tahap akhir dan yang faktor penunjang yang dapat

pulih (misal obstruksi) diidentifikasi dan diatasi.


19

1. Intervensi diet diperlukan dengan pengaturan yang cermat terhadap

masukan protein, masukan cairan untuk menyeimbangkan kehilangan

cairan, masukan natrium, dan pembatasan kalium.

2. Pastikan masukan kalori dan suplemen vitamin yang adekuat.

3. Batasi protein karena kerusakan klirens ginjal terhadap urea, kreatinin,

asam urat, dan asam organik. Masukan protein yang diperbolehkan harus

tinggi kandungan biologisnya : produk yang berasal dari susu, telur, dan

daging.

4. Cairan yang diperbolehkan adalah 500-600 ml atau lebih dari haluaran

urine 24 jam.

5. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalasemia dengan antasid mengandung

alumunium atau kalsium karbonat, keduanya harus diberikan dengan

makanan.

6. Suplai kalori dengan karbohidrat dan lemak untuk mencegah pelisutan

otot.

7. Berikan suplemen vitamin.

8. Tangani hipertensi dengan kontrol volume intravaskular dan obat

antihipertensif.

9. Atasi gagal jantung kongestif dan edema pulmonal dengan pembatasan

cairan, diet rendah natrium, diuretik, preparat inotropik (misal digitalis

atau dobutamin), dan dialisis.

10. Atasi asidosis metabolik jika perlu dengan suplemen natrium bikarbonat

atau dialisis.
20

11. Atasi hiperkalemia dengan dialisis, pantau penngobatan dengan

kandungan kalium, berikan diet pembatasan kalium, berikan Kayexelate

sesuai kebutuhan.

12. Amati terhadap tanda dini abnormalitas neurologis (misal berkedut, sakit

kepala, delirium, atau aktivitas kejang).

13. Lindungi terhadap cidera dengan memberikan bantalan pada pagar tempat

tidur.

14. Catat awitan, tipe, durasi, dan efek umum kejang pada pasien, segera

beritahu dokter.

2.3 Konsep Hemodialisa

2.3.1 Pengertian Hemodialisa

Dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara

pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen

lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua teknik utama yang

digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi

solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan

konsentrasi atau tekanan tertentu.

Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah

pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer

juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan.

Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik

menyebabkan aliran yang besar dari plasma (dengan perbandingan sedikit larutan)

melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulasi


21

telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan

kronik di Amerika Serikat. Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan

sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel)

yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh

penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan

jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan antar arteri dan vena

(fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.

2.3.2 Indikasi

Tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk

menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil

keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat

sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita

sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, mendeirta neuropati perifer atau

memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai

jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria, 4 mg/100 ml pada wanita

dan glomerulo filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh

dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan

sehari-hari tidak dilakukan lagi.

Secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15

ml/menit, LFG kurang dari 10 ml/menit dengan gejala uremia/ malnutrisi dan

LFG kurang dari 5 ml/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.

Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila

terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik


22

berulang, dan nefrootik diabetik. Hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan

kreatinin menurun dibawah 10 ml/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin

serum 8-10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia secara mental dapat

membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selain itu indikasi

relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtosis berupa ensefalopati, dan toksin

yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia,

hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem

pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.

2.3.3 Kontra Indikasi

Kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif

terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik, tidak

didapatkan vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas

hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya

adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis

hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.

2.3.4 Tujuan Hemodialisa

Tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :

1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-

sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa

metabolisme yang lain.

2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang

seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal rusak.


23

3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi

ginjal.

4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang

lain.

2.3.5 Proses Hemodialisa

Suatu mesin hemodialisa yang diguakan untuk tindakan hemodialisa

berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran

darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya

termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi

antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan

untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi

dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan

aliran darah dan larutan yang mempengaruhi pemindahan larutan. Dalam proses

hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodiaisa dan suatu saringan sebagai ginjal

tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan

darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan

oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai

tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa.

Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran

semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain

untuk dialisat. Darah mengalir dari yang berlawanan dengan arah darah ataupun

dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah

hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus
24

yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil

ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan

kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung

kapiler. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter

masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran

semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan

darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehinggga keduanya terjadi difusi.

Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke

dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). Suatu sistem dialisa terdiri

dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah

mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/ blood line), melalui

dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa

membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai

dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaran

pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat

kemudian dimasukan ke dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut

berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan

dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui

proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan

membuat perbedaan tekanan hodrostatik antara darah dengan dialisat.

Perbedaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan

posotif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan

resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam
25

ruangan dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaan tekanan

hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut.

Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl

0,9%, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien

mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstarkorporeal (di luar

tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran

dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran

kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri

melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah

atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan

darah kembal ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien,

maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiki

alarm untuk berbagai parameter.

Waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu.

Tiap hemodialisa dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu.

Hemodialisa idealnya dilakukan 10-15 jam/minggu dengan QB 200-300 ml/menit.

Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3-5 jam dan

dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2-3 hari diantara hemodialisa,

keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut

berperan menyababkan :

1. Anemia

Karena sebagian sel darah merah dalam proses hemodialisa.


26

2. Hipotensi

Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,

rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati

otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.

3. Aritmia

Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,

penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat

berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.

4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa

Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat

diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang curang

cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik

diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini

menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem

serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang

menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.

5. Hipoksemia

Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu

dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

6. Perdarahan

Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat

dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama

hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.


27

7. Gangguan pencernaan

Gangguan urologi yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang

disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan urologi sering disertai dengan

sakit kepala.

8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler

Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang

tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

2.4 Konsep Kualitas Hidup

2.4.1 Pengertian Kualitas Hidup

Kualitas hidup (Quality of Life) merupakan konsep analisis kemampuan

individu untuk mendapatkan hidup yang normal terkait dengan persepsi secara

individu mengenai tujuan, harapan, standar dan perhatian secara spesifik terhadap

kehidupan yang dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada

lingkungan individu tersebut berada (Adam, 2006).

Kualitas hidup memiliki maksud sebagai usaha untuk membawa penilaian

memperoleh kesehatan. Pandang ketentuan klinis, kualitas hidup telah menjadi

pokok bahasan sehubungan dengan penggunaan instrument terkait keadaan

kesehatan yang mengukur kepuasan pasien dan manfaat fisiologis. Suatu konsep

total kesehatan manusia menggabungkan keduanya yakni faktor fisik dan mental

(Nursalam, 2013).

Menurut Netuveli dan Blane (2008) menjelaskan ada 2 dimensi kualitas

hidup yaitu objektif dan subjektif. Kualitas hidup digambarkan dalam rentang dari

unidimensi yang merupakan domain utama yaitu kesehatan atau kebahagiaan


28

sampai pada multidimensi dimana kualitas hidup didasarkan pada sejumlah

domain yang berbeda yaitu domain objektif (pendapatan, kesehatan, lingkungan)

dan subjektif (kepuasaan hidup, kesejahteraan psikologis). Kualitas hidup objektif

yaitu berdasarkan paa penngamatan eksternal individu seperti standar hidup,

pendapatan, pendidikan, status kesehatan, umur panjang dan yang terpenting

adalah bagaimana individu dapat mengontrol dan sadar mengarahkan hidupnya.

Kualitas hidup dari dimensi subjektif didasarkan pada respon psikologis individu

terhadap kepuasan dan kebahagiaan hidup. Jadi kualitas hidup subjektif adalah

sebagai persepsi individu tentang bagaimana suatu hidup yang baik dirasakan oleh

masing-masing individu yang memilikinya.

2.4.2 Domain QOL Menurut WHOQOL-BREF

Menurut (WHO, 1996) dalam (Tinuk, 2015) ada empat domain yang

dijadikan parameter untuk mengetahui kualitas hidup. Setiap domain dijabarkan

dalam beberapa aspek, sebagai berikut :

1. Domain kesehatan fisik

1) Kegiatan kehidupan sehari-hari

2) Ketergantungan pada bahan obat dan bantuan medis

3) Energi dan kelelahan

4) Mobilitas

5) Rasa sakit dan ketidaknyamanan

6) Tidur dan istirahat

7) Kapasitas kerja
29

2. Domain psikologis

1) Bentuk dan tampilan tubuh

2) Perasaan negative

3) Perasaan positif

4) Penghargaan diri

5) Spiritualitas agama atau keyakinan pribadi

6) Berpikir, belajar, memori dan konsentrasi

3. Domain hubungan sosial

1) Hubungan pribadi

2) Dukungan sosial

3) Aktivitas seksual

4. Domain lingkungan

1) Sumber daya keuangan

2) Kebebasan, keamanan dan kenyamanan fisik

3) Kesehatan dan kepedulian social : aksesbilitas dan kualitas

4) Lingkungan rumah

5) Peluang untuk memperoleh informasi dan ketrampilan baru

6) Partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi dan ketrampilan baru

7) Lingkungan fisik (polusi atau kebisingan atau lalu lintas atau iklim)

8) Transportasi

2.4.3 Usulan Penggunaan WHOQOL-100 dan WHOQOL-BREF

Perlu dipahami bahwa penelitian WHOQOL akan digunakan dalam cara

yang berskala luas. Cara-cara tersebut akan digunakan dengan skala cukup besar
30

dalam uji klinis, dalam menetapkan nilai di berbagai bidang, dan alam

mempertimbangkan perubahan kualitas hidup selama intervensi. Penilaian

WHOQOL juga diharapkan akan menjadi nilai dimana prognosis penyakit

cenderung hanya melibatkan pengurangan atau pemulihan parsial, dana dimana

perawatan mungkin lebih pariatif daripada kuratif.

Untuk penelitian epidemiologi, penilaian WHOQOL akan memungkinkan

data rinci mengenai kualitas hidup dikumpulkan pada populasi tertentu,

memfasilitasi pemahaman akan penyakit, dan mengembangkan metode

pengobatan. Penilaian epidemiologi internasional yang akan diaktifkan oleh

instrument seperti WHOQOL-100 dan WHOQOL-BREF memungkinkan untuk

melakukan penelitian multi-field centers tentang kualitas hidup, dan

membandingkan hasil yang diperoleh dari field center yang berbeda. Penelitian

tersebut memiliki manfaat penting, yang memungkinkan pengajuan pertanyaan

yang tidak bias digunakan dalam penelitian situs tunggal (single site) (Sartorius

dan Helmchen, 1981). Sebagai contoh, studi banding dalam dua atau lebih Negara

pada hubungan antara penyediaan layanan kesehatan dan kualitas hidup

memerlukan penilaian yang menghasilkan skor lintas-budaya yang sebanding.

Kadang-kadang akumulasi kasus pada studi kualitas hidup, terutama ketika

mempelajari gangguan yang langka terjadi, dibantu dengan mengumpulkan data

dalam beberapa setting. Studi kolaboratif multi-field centers juga dapat

menyediakan ulangan berganda secara simultan dari temuan yang didapat, yang

memperkuat keyakinan diterimanya temuan tersebut.


31

Dalam praktik klinis, penilaian WHOQOL akan membantu dokter dalam

membuat penilaian mengenai daerah-daerah dimana pasien adalah yang paling

terpengaruh oleh penyakit, dan dalam membuat keputusan pengobatan Di

beberapa Negara berkembang dimana sumber daya untuk perawatan kesehatan

mungkin terbatas, pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup,

misalnya melalui paliasi, yang menjadi efektif dan murah. Bersama dengan

langkah-langkah lain, WHOQOL-BREF akan memungkinkan para professional

kesehatan untuk menilai perubahan kualitas hidup selama pengobatan.

Perlu juga diantisipasi bahwa di masa depan WHOQOL-100 dan

WHOQOL-BREF akan terbukti berguna dalam penelitian kebijakan kesehatan,

dan akan membuat sebuah aspek penting dari audit rutin kesehatan dan pelayanan

sosial. Karena instrument dikembangkan secra lintas-budaya, penyedia layanan

kesehatan, pemerintah dan anggota legislatif di negara-negara di mana tidak ada

kualitas hidup yang dilakukan, bisa memastikan bahwa data yang dihasilkan oleh

kerja yang melibatkan asesmen WHOQOL akan benar-benar sensitif bagi setting

mereka.

2.4.4 Pengukuran QOL (Quality of Life)

The WHOQOL-BREF menghasilkan kualitas profil hidup adalah mungkin

untuk menurunkan empat skor domain. Keempat skor domain menunjukkan

sebuah persepsi individu tetang kualitas kehidupan di setiap domain tertentu.

Domain skor berskalakan kearah yang positif (yaitu skor yang lebih tinggi

menunjukkan kualitas hidup lebih tinggi). Biasanya seperti cakupan index antara

0 (mati) dan 1 (kesehatan sempurna).


32

Semua skala dan faktor tunggal diukur dalam rentang skor 0-100. Nilai

skala yang tinggi mewakili tingkat respon yang lebih tinggi. Jadi nilai tinggi untuk

mewakili skala fungsional tinggi atau tingkat kesehatan yang lebih baik, nilai

yang tinggi untuk status kesehatan umum atau QOL menunjukkn QOL yang

tinggi, tetapi nilai tinggi untuk skala gejala menunjukkan tingginya

symtomatology atau masalah. Dengan menggunakan teknik Tem Trade Off (TTO)

dimana 0 menunjukkan kematian dan 100 menujukkan lebih buruk dari mati.

Rating scale (RS) mengukur QOL dengan cara yang sangat mudah, Rating

scale (RS) menanyakan QOL, secara langsung sebagai sebuah titik dari 0 yang

berhubungan dengan kematian dan kurang dari 100, yang berhubungan dengan

kesehatan yang sempurna.

Tabel 2.2 Nilai Terendah, Tertinggi, Skor Range Domain WHOQOL

No. Domain Nilai Terendah Nilai Tertinggi Skor Range


1. Fisik 7 35 28
2. Psikologi 6 30 24
3. Hubungan sosial 3 15 12
4. Lingkungan 8 40 32
Sumber: (WHO, 1996)

Tabel 2.3 Perhitungan Skor Kualitas Hidup WHOQOL

No. Domain Perhitungan Raw Skor


1. Fisik (6-Q3)+(6-Q4)+Q10+Q15+Q16+Q17+Q18 7-35
2. Psikologi Q5+Q6+Q7+Q11+Q19+(6-Q26) 6-30
3. Hubungan Q20+Q21+Q22 3-15
4. Lingkungan Q8+Q9+Q12+Q13+Q14+Q23+Q24+Q25 8-40
Total raw skor 24-120
Sumber: (WHO, 1996)

Skor domain − skor domain terendah


Skor akhir =
Skor 𝑟𝑎𝑛𝑔𝑒
33

2.4.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Menurut National Kidney Foundation (NKF) terdapat beberapa hal yang

dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien hemodialisa yaitu anemia, hipertensi,

adekuasi hemodialisa, adekuasi nutrisi serta kontrol CA dan P, sehingga

penatalaksanaan yang optimal sangat penting untuk tercapainya kualitas hidup

pasien hemodialisa yang lebih baik.

2.5 Konsep Umum Indeks Massa Tubuh (IMT)

2.5.1 Konsep Dasar Gizi

Gizi berasal dari bahasa arab “Al Gizzai” yang artinya makanan. Jadi kata

gizi artinya makanan. Ilmmu gizi adalah ilmu yang mempelajari hubungan

makanan dengan keseharian. Dikatakan gizi seorang baik, jika kesehatan seorang

baik sehubungan dengan makanan sehari-hari yang dimakannyai baik. Secara

rinci makanan yang kita makan memiliki 3 kelompok besar didasarkan kegunaan

pokok yakni :

1. Membangun, memelihara, dan memperbaiki jaringan yang rusak.

2. Membuat tenaga untuk menggerakkan semua bagian tubuh yang bergerak

dan bekerja, seperti jantung, paru-paru dan lain-lain.

3. Mengatur pekerjaan fisiologi atau kelakuan tubuh yang disebut faal tubuh,

seperti halnya darah yang keluar karena luka, harus berhenti dan membeku

(Agria R, dkk, 2008).

Yang dimaksud dengan kebutuhan zat gizi bagi tubuh adalah jumlah zat

gizi yang harus diperoleh tubuh manusia setiap hari untuk memelihara
34

kesehatannya. Sebagaimana halnya kebutuhan terhadap tenaga, maka kebutuhan

akan zat gizi juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:

1. Umur, sampai batas tertentu, kebutuhan zat gizi makin besar apabila umur

bertambah hal ini disebabkna tubuh manusia berkembang pada umur

tertentu. Kemudian makin tua, mulai dari umur tertentu itu tubuh tidak

berkembang lagi, tapi sebaliknya makin mengecil.

2. Jenis kelamin, pada umumnya kebutuhan zat gizi pada laki-laki lebih besar

daripada wanita, apabila keduanya berumur dan dalam keadaan yang

sama. Hal ini disebabkan kebanyakan laku-laki bergerak dan bekerja lebih

banyak mempergunakan tenaga. Akan tetapi beberapa zat gizi seperti

mineral dan beberapa vitamin, ternyata wanita membutuhkan lebih besar.

Ini mudah dimengerti sebab wanita dalam periode tertentu mengalami

masa haid dapat mengeluarkan banyak darah. Untuk menghasilkan

kembali darah tersebut diperlukan beberapa vitamin dan mineral yang

lebih banyak.

3. Tinggi dan berat badan, makin tinggi atau makin besar berat badan

seseorang makin banyak terdapat jaringan aktif dalam tubuhnya. Untuk

memelihara jaringan-jaringan yang memelihara gerakan otot-otot

dibutuhkan lebih banyak zat gizi. Sebaliknya orang pendek dan kurus

membutuhkan zat gizi lebih sedikit zat gizi dibanding orang tinggi dan

gemuk.
35

4. Kerja otot, makin banyak pergerakan otot, makin banyak dibutuhkan

tenaga, karena itu orang yang bekerja berat membutuhkan zat gizi lebih

banyak daripada yang bekerja ringan.

5. Temperatur, orang yanng berdiam didaerah dingin memerlukan lebih

banyak zat gizi daripada yang berdiam didaerah panas. Untuk mengatasi

temperatur yang rendah penyesuaian dengan suhu tubuh dibutuhkan panas

tubuh yang lebih besar. Hal ini berarti perlu dibakar lebih banyak zat gizi,

karena itu dibutuhkan zat gizi lebih banyak pula.

6. Keadaan tertentu, pada waktu hamil, menyusui atau baru sembuh dari sakit

dibutuhkan lebih banyak zat gizi dibanding dalam keadaan biasa.

7. Faktor lain, banyak lagi faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan zat

gizi, misalnya jenis bahan makanan, ada bahan makanan yang bermutu

tinggi atau rendah (protein), keaktifan kelenjar-kelenjar (tiroid), banyak

tidur dan sebagainya.

2.5.2 Pengertian Indeks Massa Tubuh

IMT merupakan suatu pengukuran yang membandingkan berat badan

dengan tinggi badan.. walaupun dinamakan “indeks”, IMT sebenarnya adalah

rasio atau nisbah yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi

dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter) (Markenson, 2004).

2.5.3 Rumus Indeks Massa Tubuh

Berat badan
IMT =
Tinggi badan (m)²
36

Dengan menggunakan IMT dapat diketahui apakah berat badan seseorang

dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang

dewasa berumur di atas 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, dan

remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Disamping itu pula IMT tidak dapat

diterapkan dalam keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan

hepatomegali (Supariasa et al, 2002). Batas ambang IMT menurut Depkes RI

sebagai berikut:

Tabel 2.4 Klasifikasi IMT

Klasifikasi IMT (Kg/m²)


Kurus <18,5
Normal ≥18,5 - <24,9
Berat Badan Lebih ≥25,0 - <27
Obesitas ≥27
Sumber: Kemenkes, 2013.

2.5.4 Kebihan dan Kekurangan Indeks Massa Tubuh

IMT meerupakan salah satu indikator yang dapat dipercayai untuk

mengukur lemak tubuh, walau bagaimanapun terdapat beberapa kelebihan dan

kekurangan dalam menggunakan IMT sebagai indikator pengukuran lemak

tubuh.

Kelebihan IMT adalah :

1. Biaya yang diperlukan tidak mahal.

2. Untuk mendapat nilai pengukuran, hanya diperlukan data berat badan dan

tinggi badan seseorang.

3. Mudah dikerjakan dan hasil bacaan adalah sesuai nilai standar yang telah

dinyatakan pada tabel IMT.


37

Kekurangan IMT:

1. Pada olahragawan : tidak akurat pada olahragawan (terutama atlet

binaraga) yang cenderung berada pada kategori obesitas dalam IMT

disebabkan mereka mempunyai massa otot yang berlebihan walaupun

presentase lemak tubuh mereka dalam kadar yang rendah. Sedangkan dala

pengukuran berdasarkan berat badan dan tinggi badan, kenaikan nilai IMT

adalah disebabkan oleh lemak tubuh.

2. Pada anak-anak : tidak akurat karena jumlah lemak tubuh akan berubah

seiringan dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuh badan seseorang.

Jumlah lemak tubuh pada laki-laki dan perempuan juga berbeda selama

pertumbuhan. Oleh karena itu, pada anak-anak dianjurkan untuk mengukur

berat badan berdasarkan nilai persentil yang dibedakan atas jenis kelamin

dan usia.

Pada kelompok bangsa : tidak akurat pada kelompok bangsa tertentu

karena harus dimodifikasi mengikut kelompok bangsa tertentu. Sebagai

contoh IMT yang melebihi 23 adalah berada dalam kategori kelebihan

berat badan dan Imt yang melebihi 27,5 berada dalam kategori obesitas

pada kelompok bangsa seperti Cina, India, dan Melayu.

2.6 Teori QOL (Quality of Life)

2.6.1 Menurut Wilson dan Cleary (1995)

Teori kualitas hidup yanng dikembangkan oleh Wilson dan Cleary (1995)

dalam Peterson dan Brewdow (2004), mempresentasikan hubungan kausal

diantara konsep dasar kesehetan berhubungan dengan kualitas hidup (HRQOL).


38

Teori ini terdiri dari 5 determinan yaitu faktor biologis, status gejala, status

fungsional, persepsi terhadap kesehatan dan kualitas hidup secara keseluruhan.

Kelima determinan ini dipengaruhi oleh karakteristik individu dan lingkungan.

Variabel biologis dan fisiologis ditujukan pada gangguan dalam fungsi sel,

organ dan sistem organ. Faktor-faktor tersebut dikaji melalui pemeriksaan

diagnostik yang akan digunakan untuk menentukan perubahan biologis dan

fisiologis yang mempunyai potensi berpengaruh terhadap HRQOL. Gejala

merupakan perubahan keadaan fisik dan psikologis individu. Berkembangnya

gejala sebagai hasil dari hubungan yang kompleks diantara sejumlah variabel

biologis dan fisiologis, dan pengalaman individu tentang gejala yang dialami.

Status gejala merupakan determinan penting dari status fungsional. Status

fungsional adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas spesifik. Empat domain

dari status fungsional yaitu domain fisik (kekuatan, istirahat, tidur & nafsu

makan); sosial (hubungan dengan keluarga dan teman atau tetangga; peran (peran

sebagai murid, orang tua, pekerja); dan psikologis/spiritual (kebahagiaan, pikiran,

keyakinan)

Persepsi tentang kesehatan mempresentasikan integrasi dan ekspresi

subjektif dari semua komponen yang telah diuraikan sebelumnya. Persepsi tentang

kesehatan dipertimbangkan sebagai predikator dari sistem pelayanan kesehatan

dan perilaku kesehatan. Kualitas hidup ditujukan pada kesejahteraan subjektif

individu, kebahagiaan atau kepuasan individu dalam kehidupannya. Karakteristik

individu dan lingkungan berpengaruh terhadap semua komponen dari model,

tetapi khususnya pada persepsi tentang kesehatan dan kualitas hidup.


BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Faktor yang
Mempengaruhi
Kualitas Hidup
- Lama menjalani
hemodialisa
- Kondisi komorbid
- Penatalaksanaan
medis
- Indeks Massa Tubuh Malnutrisi - Lelah dan malaise
- Sakit kepala
- Kehilangan berat
badan
- Kelemahan otot
- Infeksi berulang
- Penyembuhan luka
lambat
- Gangguan tulang

Kualitas Hidup

Sumber : Astrini (2013); Dewantari, Taruna, Angraini, Dilangga (2014); Sagala


(2015)

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT)


dengan Kualitas Hidup Klien Gagal Ginjal Kronik di Ruang
Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.

39
40

3.2 Penjabaran Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah lama menjalani

hemodialisa, kondisi komorbid, penatalaksanaan medis dan IMT. IMT adalah

salah satu dari faktor yang akan diteliti. Untuk mengukur IMT sangat bergantung

oleh berat badan dan tinggi badan dari penderita gagal ginjal kronik. Selanjutnya

pada penderita gagal ginjal kronik yang memiliki berat badan kurang untuk

kategori dalam IMT akan masuk dalam kategori berat badan kurang atau dibawah

dari 18,5. Berat badan kurang tersebut yang akan mempengaruhi terjadinya

malnutrisi. Malnutrisi sendiri bisa terjadi pada penderita gagal ginjal kronik ketika

tidak mendapatkan asupan yang cukup sesuai dengan kebutuhannya. Akan tetapi

hal ini juga bergantung pada kerja ginjal yang harus dibatasi ketika asupan yang

masuk berlebihan juga tidak baik untuk kondisi ginjal tersebut. Kemudian

penderita gagal ginjal kronik yang mengalami malnutrisi akan merasakan

berbagai gangguan yang disebabkan seperti diantaranya lelah dan malaise, sakit

kepala, kehilangan berat badan, kelemahan otot, infeksi berulang, pennyembuhan

luka yang lambat, serta gangguan tulang. Dari berbagai gangguan gejala yang

dialami dapat disimpulkan bahwa kondisi tersebut akan mempengaruhi kualitas

hidup dari penderita gagal ginjal kronik.

3.3 Hipotesis Penelitian

H1 : Ada hubungan indeks massa tubuh (IMT) dengan kualitas hidup klien

gagal ginjal kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.


BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan rancangan korelasional yang mengkaji

antar variabel. Jenis penelitian ini menggunakan analitik observasional yaitu

peneliti akan mengkaji hubungan IMT dengan kualitas hidup penderita gagal

ginjal kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban. Peneliti dapat

mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan

teori yang ada (Nursalam, 2013).

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah setiap subyek yang memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi dari penelitian ini adalah penderita gagal

ginjal kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban yang berjumlah

30 dalam satu hari pada bulan September 2019.

4.2.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subyek penelitian melalui sampling. Sampel yang dipakai pada penelitian

ini yaitu penderita gagal ginjal kronik yang berada di Ruang Hemodialisa RSUD.

dr. R. Koesma Tuban berdasarkan kriterian inklusi dan eksklusi:

1. Kriteria Inklusi

1) Bersedia menjadi responden.

2) Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

41
42

3) Pasien kooperatif

4) Kondisi umum dan tanda-tanda vital sebelum dan selama terapi

hemodialisa menunjukkan kondisi relatif stabil, terutama tekanan

darah tidak menurun drastis.

5) Pendidikan minimal: SD bisa baca dan tulis.

2. Kriteria Eksklusi

1) Penderita gagal ginjal akut.

2) Penderita dengan penyakit komplikasi lain.

4.2.3 Besar Sampel

Besar sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh dari populasi (Nursalam, 2013). Penelitian ini besar

sampel yang diambil sesuai dengan kriteria inklusi yang dikehendaki oleh peneliti

sebanyak 30 responden. Nursalam (2013) menyatakan besar sampel penelitian ini

dihitung dengan rumus: N


n=
1 + N(𝑑)²
Keterangan:

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Tingkat signifikansi (p)

Besar sampel :

N
n=
1 + N(𝑑)²

30
=
1 + 30(0,05)²
43

30
=
1 + 30(0,0025)

30
=
1,075

= 27,9

Dibulatkan menjadi: 28

4.2.4 Teknik Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan

keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2013).

Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan Probability Sampling

yaitu setiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan untuk terpilihh atau

tidak terpilih sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan teknik systematic

random sampling yaitu teknik pemilihan sampel dengan cara mengambil nomor

yang telah ditulis sebanyak 28.

4.3 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan langkah-langkah dalam aktivitas ilmiah, mulai

dari penetapan populasi, sampel, dan seterusnya, yaitu kegiatan sejak awal

dilakukannya penelitian (Nursalam, 2011).


44

Populasi
Seluruh penderita gagal ginjal kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma
Tuban dalam satu hari pada bulan September Tahun 2019 berjumlah 30 orang

Teknik Sampling
Systematic Random Sampling

Sampel
Pada penelitian ini sampel yang digunakan sebanyak 28 responden

Pendekatan Waktu: Cross Sectional

Variabel Independen: Variabel Dependen:


Indeks Massa Tubuh Kualitas Hidup

Pengumpulan dan Pengambilan Data


Dengan menggunakan pembagian kuesioner dan mengukur tinggi badan serta berat
badan

Pengolahan Data: Editing, Coding, Skoring dan Tabulasi

Analisa Data
Spearman rho

Penyajian Data

Kesimpulan
Ada hubungan atau tidak

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian Hubungan Indeks Massa Tubuh


dengan Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Kronik di
Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.
45

4.4 Identifikasi Variabel

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu (Nursalam, 2013).

4.4.1 Variabel Independen

Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel

lain (Nursalam, 2013). Variabel indepeden dalam penelitian ini adalah Indeks

Massa Tubuh (IMT).

4.4.2 Variabel Dependen

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan

oleh variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel dependen dalam penelitian ini

adalah kualitas hidup.

4.5 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari suatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2013). Penelitian ini akan

mendefinisikan variabel indeks massa tubuh dengan kualitas hidup.


46

Tabel 4.1 Definisi Operasional Hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT)


dengan Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Kronik di Ruang
Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban Tahum 2019
Skor/
Variabel Definisi Indikator Alat Ukur Skala
Kode
Variabel Nilai yang 1) Kurus (<18,5) Timbangan Ordinal Kurus
Independe diambil 2) Normal (≥18,5 - dan Stature Kode 1
n: dari 24,9) Meter
IMT perhitungan 3) Berat badan lebih Normal
hasil bagi (≥25,0 - <27) Kode 2
antara berat 4) Obesitas (≥27)
badan (BB) Berat
dalam badan
kilogram lebih
dengan Kode 3
kuadrat dari
tinggi Obesitas
badan (TB) Kode 4
dalam
meter.
Variabel Persepsi 1) Domain kesehatan WHOQOL- Ordinal Kesehatan
Dependen individu fisik : BREF prima jika
: terhadap Kegiatan skor
Kualitas kehidupann kehidupan sehari- (91-100)
Hidup ya di hari, Kode 1
masyarakat ketergantungan
berdasarka pada bahan obat Kesehatan
n kesehatan dan bantuan baik jika
fisik, medis, energi dan skor
psikologis, kelelahan, (76-90)
hubungan mobilitas, rasa Kode 2
sosial, dan sakit dan
lingkungan. ketidaknyamanan, Kesehatan
tidur dan istirahat, sedang
kapasitas kerja. jika skor
2) Domain (66-75)
psikologis : Kode 3
Bentuk dan
tampilan tubuh, Kesehatan
perasaan negatif, buruk jika
perasaan positif, (16-65)
penghargaan diri, Kode 4
spiritualitas
agama atau
keyakinan pribadi,
berpikir, belajar,
memori dan
konsentrasi.
3) Domain hubungan
47

sosial :
Hubungan
pribadi, dukungan
sosial, aktivitas
sosial.
4) Domain
lingkungan :
Sumber daya
keuangan,
kebebasan,
keamanan dan
kenyamanan fisik,
kesehatan dan
kepedulian sosial,
lingkungan
rumah, peluang
untuk
memperoleh
informasi dan
keterampilan
baru, lingkungan
fisik, transportasi.

4.6 Instrumen Penelitian

Pengumpulan data penelitian ini menggunakan:

1. Kuesioner WHOQOL-BREF

WHOQOL-BREF digunakan untuk melakukan penelitian tentang kualitas

hidup dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan cara menghitung

skor kualitas hidup berdasarkan empat domain yaitu:

1) Domain kesehatan fisik

(1) Kegiatan kehidupan sehari-hari

(2) Ketergantungan pada bahan obat dan bantuan medis

(3) Energi dan kelelahan

(4) Mobilitas

(5) Rasa sakit dan ketidaknyamanan


48

(6) Tidur dan istirahat

(7) Kapasitas kerja

2) Domain psikologis

(1) Bentuk dan tampilan tubuh

(2) Perasaan negative

(3) Perasaan positif

(4) Penghargaan diri

(5) Spiritualitas agama atau keyakinan pribadi

(6) Berpikir, belajar, memori dan konsentrasi

3) Domain hubungan sosial

(1) Hubungan pribadi

(2) Dukungan sosial

(3) Aktivitas seksual

4) Domain lingkungan

(1) Sumber daya keuangan

(2) Kebebasan, keamanan dan kenyamanan fisik

(3) Kesehatan dan kepedulian social : aksesbilitas dan kualitas

(4) Lingkungan rumah

(5) Peluang untuk memperoleh informasi dan ketrampilan baru

(6) Partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi dan ketrampilan baru

(7) Lingkungan fisik (polusi atau kebisingan atau lalu lintas atau

iklim)

(8) Transportasi
49

Tabel 4.2 Perhitungan Skor Kualitas Hidup WHOQOL

No. Domain Perhitungan Raw Skor


1. Fisik (6-Q3)+(6-Q4)+Q10+Q15+Q16+Q17+Q18 7-35
2. Psikologi Q5+Q6+Q7+Q11+Q19+(6-Q26) 6-30
3. Hubungan Q20+Q21+Q22 3-15
4. Lingkungan Q8+Q9+Q12+Q13+Q14+Q23+Q24+Q25 8-40
Total raw skor 24-120
Sumber: (WHO, 1996)

Skor domain − skor domain terendah


Skor akhir =
Skor 𝑟𝑎𝑛𝑔𝑒

1) IMT (BB+TB)

IMT merupakan suatu pengukuran yang digunakan untuk membandingkan


Berat badan
berat badan dengan tinggi badan dengan rumus: IMT =
Tinggi badan (m)²

Tabel 4.3 Klasifikasi IMT

Klasifikasi IMT (Kg/m²)


Kurus <18,5
Normal ≥18,5 - <24,9
Berat Badan Lebih ≥25,0 - <27
Obesitas ≥27
Sumber: Kemenkes, 2013.

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma Tuban.

Alasan pemilihan lokasi penelitian dikarenakan kondisi nutrisi penderita gagal

ginjal kronik banyak yang kurang baik. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Oktober 2019.
50

4.8 Prosedur Pengambilan Data

Proses pengumpulan data penelitian ini, dilakukan setelah mendapat surat

keterangan melakukan penelitian dari pendidikan kemudian diajukan kepada

RSUD dr. R. Koesma Tuban untuk ditindak lanjuti. Setelah mendapat

persetujuann dari Ruang Hemodialisa RSUD dr. R. Koesma, peneliti meminta

kepada kepala ruangan untuk mendampingi saat pengumpulan data. Kemudian

peneliti menemui calon responden dengan ketentuan dari kepala ruang

hemodialisa responden yang akan diteliti adalah responden yang melewati fase

awal saat pemasangan alat hemodialisa selama 1 jam, jika pasien sudah dalam

keadaan tenang baru dilakukan penelitian dan membina hubungan saling percaya,

serta melakukan inform consent, kemudian meminta calon responden untuk

menandatangani surat pernyataan awal jika calon responden setuju untuk menjadi

responden penelitian. Selanjutnya peneliti membagikan lembar kuesioner kualitas

hidup untuk diisi oleh responden. Responden adalah penderita gagal ginjal kronik

yang memenuhi kriteria inklusi. Setelah kuesioner diisi semua oleh responden

dikembalikan kepada peneliti. Sebelum meninggalkan ruangan pasien diukur

tinggi badan dan berat badannya terlebih dahulu untuk didata peneliti dan

dianalisa.

4.9 Analisa Data

Analisa data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai

tujuan pokok penelitian, yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang

mengungkap fenomena (Nursalam, 2013).


51

Setelah data terkumpul, data ini diperiksa kelengkapannya, kemudian

ditabulasi serta memberikan kode, memilih atau mengelompokan data sesuai jenis

data yang dikehendaki, memasukan data kedalam lembar pengumpulan data

sesuai kelompok data masing-masing, memeriksa kembali kelengkapan data, dan

menganalisis data sesuai dengan hasil penelitian yang diinginkan, pengolahan

data meliputi:

1. Editing

Memeriksa kembali semua hasil pengisian kuesioner, apabila ada

kesalahan dalam pengisian atau ketidaklengkapan pengisian kuesioner

maka akan dilakukan ulang untuk melengkapi.

2. Coding

Memberikan kode pada data dengan merubah kata-kata menjadi angka, hal

ini dilakukan untuk mempemudah pengolahan data.

Data kualitas hidup

1) Kesehatan prima : Kode 1

2) Kesehatan baik : Kode 2

3) Kesehatan sedang : Kode 3

4) Kesehatan buruk : Kode 4

Data indeks massa tubuh

1) Kurus : Kode 1

2) Normal : Kode 2

3) Berat badan lebih : Kode 3

4) Obesitas : Kode 4
52

3. Scoring

Variabel kualitas hidup

1) Kesehatan prima : (91-100)

2) Kesehatan baik : (76-90)

3) Kesehatan sedang : (66-75)

4) Kesehatan buruk : (16-65)

Variabel indeks massa tubuh (IMT)

1) Berat badan normal : (<18,5)

2) Berat badan normal : (≥18,5-24,9)

3) Berat badan lebih : ( ≥25 - <27)

4) Obesitas : (≥27)

4. Tabulating

Teknik mentabulasi hasil data yang diperoleh sesuai dengan item

pertanyaan, setelah editing, coding, dan skoring selesai dilakukan

kemudian data tersebut dimasukan ke dalam tabel tabulasi untuk analisa

lebih lanjut.

5. Uji Statistik

Dalam penelitian ini menggunakan uji spearman rho dengan excel. Setelah

data diperoleh kemudian meranking hasil observasinya pada dua variabel

yang diukur dan kemudian menentukan tingkat hubungan antara dua

variabel tersebut.
53

4.10 Etika Penelitian

4.10.1 Informed consent

Informed consent lembar persetujuan untuk menjadi responden, bertujuan

agar subjek mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak menjadi

responden. Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti

dan memenuhi kriterian inklusi. Apabila responden menolak maka peneliti tidak

boleh memaksa dan harus menghormati hak-hak responden.

4.10.2 Anonymity

Nama dari subjek tidak perlu dicantumkan pada lembar pengumpulan data,

untuk mengetahui keikut sertaan, peneliti cukup dengan menuliskan nomor kode

pada masing-masing lembar pengumpulan data.

4.10.3 Confidentiality

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpukan dari subjek dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti. Hanya kelompok data tertentu saja yang akan

disajikan atau dilaporkan pada hasil riset.


54

DAFTAR PUSTAKA

Astrini. 2013. Hubungan Kadar Hemoglobin (Hb), Indeks Masaa Tubuh (IMT)
dan Tekanan Darah dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisa di RSUD Dokter Soedarso Pontianak Bulan
April 2013. Naskah Publikasi: hlm. 5-10.
Basir, Herlina, Amirullah. 2018. Gambaran Karakteristik Pasien Gagal Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Universitas
Hasanuddin. Jurnal Mitrasehat. 8(1): hlm. 82-83.
Brunner & Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku. Jakarta:
EGC.
Dempsey, Patricia Ann, Dempsey, Arthur D. 2002. Riset Keperawatan: Buku Ajar
Dan Latihan Edisi 4. Jakarta: EGC
Ekasari, F. M, Riasmini, M. N, Hartini, T. 2018. Meningkatkan Kualitas Hidup
Lansia Konsep dan Berbagai Strategi Intervensi. Malang: WINEKA
MEDIA.
Eo. Dewantari, A. Taruna, P. Dilangga. 2014. Hubungan Adekuasi Hemodialisis
dengan Asupan Makan dan Indeks Massa Tubuh Pasien Gagal Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Abdul Moeloek Bandar
Lampung. Hlm. 65-66.
Fahmia, Mulyati, Handarsari. 2012. Hubungan Asupan Energi dan Protein dengan
Status Gizi pada Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisa Rawat Jalan di RSUD Tugurejo Semarang.. Jurnal Gizi
Universitas Muhammadiyah Semarang. 1(1): hlm. 6-9.
Kurniasari, Surono, Pangastuti. 2015. Status Gizi sebagai Predikator Kualitas
Hidup Pasien Kanker Kepala dan Leher. Indonesian Journal of Human
Nutrition. 2(1): hlm. 64-65.
Kurniawan, Andini, Agustin. 2019. Hubungan Self Efficacy dengan Kualitas
Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik yanng Menjalani Terapi Hemodialisa di
RSUD Sukoharjo. Jurnal Kesehatan Kusuma Husada. Hlm. 1.
Nuari, A. N, Widayati, D. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan Edisi 2. Yogyakarta: CV BUDI UTAMA
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian: Pendeketan Praktis Edisi 4. Jakarta:
Salemba Medika
55

Price, S. A, Wilson, L. M. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC
Rustandi, Tranado, Pransasti. 2018. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas
Hidup Pasien Chronic Disease (CKD) yang Menjalani Hemodialisa di
Ruang Hemodialisa. Jurnal Keperawatan Silampari (JKS). 1(2): hlm. 33-
34.
Segala, Pasaribu. 2018. Hubungan Strategi Koping dengan Kualitas Hidup pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di RSU
IMELDA Medan. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA. 4(2): hlm. 453.
Segala. 2015. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien
Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA.
1(1): hlm. 8-9.
Setyawati, V. A, Hartini, E. 2018. Buku Ajar Dasar Ilmu Gizi Kesehatan
Masyarakat. Yogyakarta: CV BUDI UTAMA.
Suntika, A. 2015. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Umur Terhadap
Daya Tahan Umum (Kardiovaskuler) Mahasiswa Putra Semester II Kelas
A Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP PGRI Bali Tahun
2014. Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi. 1: hlm. 43.
Supriadi, Hutabarat, Airifin. 2018. Hubungan Lama Menjalani Hemodialisa dan
Anemia dengan Kualitas Hidup pada Pasien GGK yang Menjalani
Hemodialisa di Unit Hemodialisa Rumah Sakit TK. II 03.05.01 Dustira.
Jurnal Skolastik Keperawatan. 4(1): hlm. 11.
Widyastuti, Butar, Bebasari. 2014. Korelasi Lama Menjalani Hemodialisis
dengan Indeks Massa Tubuh Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD Arifin
Achamad Provinsi Riau Pada Bulan Mei Tahun 2014. 1(2): hlm. 6.
Wongkar, Moeis, Lajuck. 2016. Status Gizi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Stadium 5 yang Menjalani Hemodialisis Adekuat dan Tidak Adekuat.
Jurnal e-Clinic (eCl). 4(2): hlm. 4-5.
Zulkarnain. 2017. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Kejadian Carpal
Tunnel Syndrome (CTS) pada Penderita CTS di Rs. Universitas
Hasanuddin dan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode
2014-2017. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai