Anda di halaman 1dari 6

BAB II

DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN

2.1 Kondisi Fisik Daerah


Kondisi fisik pada daerah perencanaan, yaitu Desa Tanjungsari diperlukan
untuk sistem penyaluran air limpasan yang berawal dari elevasi yang paling tinggi
ke elevasi terendah dan berakhir di badan air. Kondisi fisik ini meliputi beberapa
aspek, yaitu :

2.1.1 Administratif dan Geografis


Menurut Kec.Tanjungsari (2018), daerah perencanaan terletak di Desa
Tanjungsari dengan luas wilayah 74,75 hektar. Desa ini berada pada koordinat
6°50’40,21” Lintang Selatan dan 107°47’35,63” Bujur Timur (Google Earth,
2018). Batas Desa Tanjungsari dengan daerah sekitarnya adalah sebelah utara
berbatasan dengan Desa Gudang, sebelah timur dengan Desa Marga Jaya, sebelah
barat dengan Desa Jatisari, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cinanjung
(Sumedang Tandang, 2018). Batas wilayah Desa Tanjungsari terdapat pada Gambar
2.1

Gambar 2.1 Batas Administratif Desa Tanjungsari


Sumber : Google Maps, 2018
2.1.2 Topografi
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kec. Tanjungsari (2018), Desa
Tanjungsari termasuk dalam Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.
Bentuk topografi yang sebagian besar didominasi perumahan dan industri
merupakan dataran dengan ketinggian 863 meter di atas permukaan laut. Desa ini
pun memiliki elevasi 3981 ft (Google Earth, 2018).

2.1.3 Hidrologi
Kecamatan Tanjungsari memiliki curah hujan yang beragam. Curah hujan
diperlukan data nya untuk memprediksi berapa besar tingkat curah hujan maksimal,
sehingga sistem drainase dapat dibuat lebih optimal. Pada tahun 2017, curah hujan
tertera pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Curah Hujan Kecamatan Tanjungsari 2018

Rata-Rata Curah Hari


Bulan
Hujan (mm3) Hujan

Januari 449 20
Februari 269 17
Maret 386 22
April 322 17
Mei 137 8
Juni 110 5
Juli 5 1
Agustus 2
September 20 3
Oktober 218 11
November 424 28
Desember 433 21
Sumber: Kab. Sumedang, 2018

2.1.4 Tata Guna Lahan


Lahan di Desa Tanjungsari dibutuhkan agar jenis dari sistem drainase
diketahui. Tutupan lahan dan perubahan tata guna lahan pun prlu diketahui agar
saluran dapat direncanakan dengan matang. Lahan di Desa Tanjungsari yang
sebesar 74,75 Ha dengan persentase sawah 8,03%, non-sawah 23,75%, dan non-
pertanian 68,23% dan tertera pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Tata Guna Lahan Desa Tanjungsari 2018

Persentase Persentase
Luas (ha) Kegunaan Kegunaan kegunaan
(%) (ha)

Sawah 8,03 6
74,75 Non-sawah 23,75 17,75
Non-Pertanian 68,22 51
Sumber: Kec. Tanjungsari, 2018

2.2 Demografi dan Kependudukan


Demografi dan kependudukan diperlukan dalam perencanaan sistem drainase
perkotaan yang bertujuan untuk mengetahui ukuran saluran drainase yang sesuai
dengan jumlah penduduk di Desa Tanjungsari. Aspek-aspek dari demografi dan
kependudukan ini, yaitu :

2.2.1 Jumlah Penduduk


Semakin hari, jumlah penduduk dapat semakin bertambah. Semakin
bertambah nya jumlah penduduk ini mempengaruhi tata guna lahan serta
penggunaan air, terutama dari sisi domestik. Jumlah penduduk Desa Tanjungsari
pada 10 tahun terakhir terdapat pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Desa Tanjungsari 2008-2017


Tahun Jumlah Penduduk
2008 -
2009 -
2010 6206
2011 6206
2012 6376
Tabel 2.3 (Lanjutan) Jumlah Penduduk Desa Tanjungsari 2008-2017
Tahun Jumlah Penduduk

2013 6078

2014 5893
2015 6586
2016 6087

2017 6559
Sumber: Kec. Tanjungsari, 2009-2018

2.2.2 Kepadatan Penduduk


Semakin padat jumlah penduduk, maka semakin padat juga perumahan di
Desa Tanjungsari. Dengan bertambahnya perumahan, maka perubahan tata guna
lahan pun semakin besar. Kepadatan penduduk Desa Tanjungsari pada 10 tahun
terakhir terdapat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Kepadatan Penduduk Desa Tanjungsari 2008-2017


Kepadatan Penduduk
Tahun
(orang/km2)
2008 -
2009 -
2010 9271
2011 9271
2012 9271
2013 9351
2014 9066
2015 102
2016 9365
2017 2836
Sumber: Kec. Tanjungsari, 2018

2.3 Rencana Tata Ruang dan Wilayah


RTRW Kabupaten Sumedang terdapat di lampiran
2.4 Kondisi Sistem Drainase Lingkungan Wilayah
Kabupaten Sumedang pada umumnya menggunakan sistem drainase alami
atau makro. Hal ini terjadi karena wilayah ini dialiri beberapa sungai dan anak
sungai yang termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarik, DAS Cipeles,
DAS Cipunagara, DAS Cipelang, DAS Cimanuk Hilir dan DAS Cilutung. Untuk
sistem drainase mikro di Kabupaten Sumedang, pada umumnya mengikuti
kemiringan tanah, sehingga memudahkan pengaliran aliran air hujan sampai ke
badan air penerima. Sistem ini dipergunakan untuk kawasan perkotaan seperti di
Kota Sumedang, Cimalaka, Tanjungsari, Jatinangor, Wado dan beberapa ibukota
kecamatan lainnya. Saluran drainase ini akan mengikuti pola jaringan jalan yang
ada dan berakhir di sungai (Kab. Sumedang, 2011)
Adapun permasalahan umum drainase saat ini di dalam Kab. Sumedang
(2011), antara lain adalah sebagai berikut :
1. Luapan saluran drainase yang menyebabkan genangan air yang terjadi
pada hampir setiap kejadian hujan. Kondisi ini berpotensi merusak atau
mempercepat kerusakan sarana dan prasarana perkotaan, memberikan
ketidaknyamanan bagi warga, dan berpotensi sebagai sumber penyakit;
2. Kapasitas saluran yang sudah tidak memadai. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh desain yang tidak memadai atau karena volume
limpasan permukaan yang sudah jauh meningkat dibanding ketika
saluran drainase didesain/ dibangun;
3. Sulitnya akses pada drainase yang menyebabkan beberapa pertokoan di
perkotaan Sumedang membuang langsung limpasan ke badan jalan
bukan ke saluran;
4. Pertumbuhan kawasan kota yang cepat, alih fungsi lahan, pembangunan
kawasan pemukiman baru, berkurangnya kawasan retensi dan resapan,
dan kurangnya upaya pengendalian limpasan di tingkat lokal,
memberikan andil signifkan terhadap pertambahan volume limpasan;
5. Pendangkalan outpole sungai yang menyebabkan drainase tidak dapat
membuang limpasan hujan bahkan menyebabkan backwater;
6. Integrasi dan konsistensi sistem jaringan drainase yang belum
memadai. Dalam hal ini terkait belum terciptanya satuan sistem
drainase yang saling terkait, saling mendukung dan terintegrasi, mulai
dari tersier, sekunder hingga primer. Sistem drainase eksisting, masih
bersifat spot-spot (setempat) baik dilihat dari aspek sistem jaringan
maupun dimensinya;
7. Sangat terbatasnya upaya pembangunan dan operasi serta
pemeliharaan. Pembangunan saluran atau sistem drainase baru
cenderung lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan fasilitas
dan penduduk kota. Di sisi lain, operasi dan pemeliharaan pada jaringan
yang ada, tidak bisa mengimbangi penurunan fungsi dan laju kerusakan
jaringan drainase yang ada;
8. Rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat terkait dengan
optimalisasi fungsi saluran atau sistem drainase. Terdapat di hampir
setiap lokasi prioritas, saluran drainase yang ada tidak dapat berfungsi
atau bahkan saluran sudah tidak tampak lagi karena sedimentasi dan
sampah.

Anda mungkin juga menyukai