Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

CYSTOID MACULAR EDEMA

Pembimbing :
dr. Yulia Fitriani, Sp. M.

Disusun Oleh:
Agustia Arjuna Wiwaha G1A015095

SMF ILMU KESEHATAN MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS REFERAT

CYSTOID MACULAR EDEMA

diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti blok 7.4 Rotasi Klinik pada SMF Ilmu
Kesehatan Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:

Agustia Arjuna Wiwaha G1A015095

Purwokerto, Desember 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Yulia Fitriani, Sp. M


NIP. 19820730 201412 2 001

I
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut setianya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF
Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Yulia Fitriani, Sp.M, selaku pembimbing penulis. Penulis
menyadari referat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi
yang membacanya.

Purwokerto, Desember 2018

Penulis

Agustia Arjuna Wiwaha

II
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. I


KATA PENGANTAR ........................................................................................... II
DAFTAR ISI........................................................................................................ .III
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Histologi Makula .................................................................. 2
B. Fisiologi Makula ......................................................................................... 4
C. Definisi Cystoid Macular Edema (CME) ................................................... 5
D. Epidemiologi Cystoid Macular Edema (CME)........................................... 5
E. Etiologi Cystoid Macular Edema (CME) ................................................... 6
F. Patogenesis Cystoid Macular Edema (CME) ............................................. 6
G. Manifestasi Klinis Cystoid Macular Edema (CME) ................................... 7
H. Penegakan Diagnosis Cystoid Macular Edema (CME) .............................. 7
I. Tatalaksana Cystoid Macular Edema (CME) ............................................. 10
J. Prognosis Cystoid Macular Edema (CME)................................................. 11
III. KESIMPULAN ............................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 13

III
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata sering dibandingkan dengan sebuah kamera. Bagian depan mata memiliki
lensa yang berguna untuk memfokuskan suatu gambar atau objek pada bagian
belakang mata yang disebut retina. Retina terdiri dari saraf-saraf khusus yang dapat
bereaksi terhadap rangsang cahaya. Di tengah retina adalah makula. Makula termasuk
pusat dari pengelihatan kita dan merupakan area penting untuk ketajaman visual
terbaik. Ketika jaringan dalam tubuh menjadi membengkak terisi oleh cairan, kondisi
ini dinamakan edema. Ketika hal ini terjadi pada makula, cairan edema tersebut
biasanya bergabung dengan pola seperti kista atau cyst like patterns. Kondisi ini
dinamakan Cystoid macular edema (CME) (Cleveland Clinic, 2015).
Cystoid macular edema (CME) dapat timbul dalam berbagai penyebab dimana
penyebab paling sering ada pada pasien yang telah dilakukan operasi mata. Contoh
penyebab tersering adalah operasi katarak. Edema pada makula bisa timbul dalam
beberapa bulan sampai tahun pasca operasi. Hal yang paling sering dikeluhkan dari
pasien yang menderita CME adalah penglihatan kabur (Eye Care Institute, 2018).
Penglihatan kabur ini timbul karena penebalan pada bagian macula dan akumulasi
cairan yang mengganggu arsitektur dari fotoreseptor. CME merupakan salah satu
penyebab terbanyak penurunan penglihatan di negara berkembang (Hogan, 2012).

1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Histologi Makula
Retina mempunyai ketebalan 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula. Makula merupakan area
yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal yang terletak di
posterior retina dengan diameter 5,5-6 mm dan secara klinis dinyatakan sebagai area
centralis yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan sel
ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea mengandung pigmen luteal kuning-
xantofil. Fovea yang berdiameter 1,5 mm merupakan daerah avaskular retina pada
angografi fluoresens. Di tengah makula, lateral dari diskus optikus, terdapat foveola
yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai cekungan yang
menimbulkan pantulan khusus. Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis
dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut. Fovea seluruhnya diperdarahi oleh
koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila terjadi
ablasi (Eva, 2012).

Gambar 1. Struktur Mata.

2
Gambar 2. Struktur fovea

Secara histologis, makula terdiri dari 5 lapisan, yaitu membran limitan interna,
lapisan fleksiformis luar (lapisan ini lebih tebal dan padat didaerah makula karena
akson sel batang dan sel kerucut menjadi lebih oblik saat meninggalkan fovea dan
dikenal sebagai lapisan serabut Henle), lapisan nukleus luar, membran limitan
eksterna, dan sel-sel fotoreseptor (Erry, 2012).

3
Gambar 3. Histologi Makula
B. Fisiologi Makula
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus
berfungsi sebagai alat optik, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu
tranduser yang elektif. Sel – sel batang dan kerucut di lapisan foto reseptor mampu
mengubah rangsang cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan
serat saraf retina melalui saraf optikus dan pada akhirnya ke korteks penglihatan
(Ilyas, 2012).
Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik, untuk
penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis
terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya serta serat
saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina
perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan
sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa
makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan
fototopik), sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari
fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam
(skotopik) (Ilyas, 2012).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak dilapisan terluar yang avaskular pada
retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif. Rodopsin adalah
suatu glukolipid membran yang separuh terbenam di lempeng membran lapis ganda
pada segmen paling luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak pada rodopsin

4
terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang terletak di daerah biru – hijau
spektrum cahaya (Ilyas, 2012).
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada
bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam – macam nuansa abu-abu,
tetapi warna tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah berdapatasi sepenuhnya,
sensitivitas spektral retina bergeser dari puncak dominasi rodopsi 500 nm ke sekitar
560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu benda akan berwarna bila benda tersebut
mengandung fotopigmen yang menyerap panjang gelombang tertentu dan secara
selektif memantulkan atau menyalurkan panjang gelombang tertentu di dalam
spektrum sinar tampak (400 – 700 nm). Penglihatan siang hari terutama oleh
fotoreseptor kerucut, sore atau senja diperantarai oleh kombinasi sel batang dan
kerucut, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang. Warna retina biasanya
jingga (Ilyas, 2012).

C. Definisi
Cystoid Macular Edema (CME) adalah suatu penyakit pada mata yang
mengenai bagian makula atau retina sentral yang kadang tidak terasa adanya rasa nyeri
dan terdapat area kista multipel yang berisi cairan di dalam macula yang menyebabkan
pembengkakan atau edema (Comer, 2018).
Cystoid Macular Edema (CME) adalah penebalan retina pada makula yang
disebabkan oleh gangguan dari blood-retinal barrier (BRB) normal yang
menyebabkan kebocoran dari perifoveal kapiler retina dan akumulasi cairan dalam
ruang intraseluler retina, yang pada umumnya di lapisan plexiform luar (Shah, 2014).

D. Epidemiologi
Cystoid macular edema (CME) dilaporkan pertama kali oleh Irvine pada tahun
1953 post operasi katarak dan diperlihatkan melalui pemeriksaan angiografi oleh Gass
dan Norton tahun 1996. CME dibedakan atas angiografi CME (tanpa gejala) dan
clinical CME (disertai dengan penurunan penglihatan). Angiografi CME terdapat
pada 40-70% setelah operasi ekstraksi katarak intra kapsuler (ICCE) dan sekitar 1-
19% setelah operasi ekstraksi katarak ekstra kapsuler (ECCE). Sementara clinical
CME, insidensinya 2-10% setelah ICCE dan 1-2% setelah ECCE (Lobo, 2014 dan
American Academy of Ophthalmology, 2012).

5
E. Etiologi
Penyebab dari CME adalah (Master Eye Associates, 2018):
1. Post operasi mata (operasi katarak)
2. Diabetes
3. Oklusi vena retina centralis
4. Vitreo-macular traction
5. Drug Reactions

F. Patogenesis
Ada beberapa teori mengenai patogenesis dari CME, yaitu:
1. Post operasi mata
Sering dikenal sebagai Irvine Gass Syndrome, insidensinya cukup tinggi yaitu
20% setelah operasi katarak. Pathogenesis dari CME masih dalam penelitian lebih
lanjut namun diyakini jika melibatkan sitokin inflamasi seperti prostaglandin dan
leukotrien yang meningkatkan permeabilitas vaskular yang menyebabkan
akumulasi cairan di dalam kista yang akan terbentuk atau perubahan komposisi
protein dari humor vitreous akibat dari trauma operasi. Kejadian dari CME post
operasi katarak bervariasi bergantung pada tipe prosedur, pengalaman dari
pengoperasi, dan profil dari pasien yang meliputi penyakit sistemik dan penyakit
mata lain. (Kessel, et al., 2014).
2. Diabetes
CME diabetikum merupakan salah satu penyebab dari penurunan penglihatan
pasien diabetes. Pathogenesis berkaitan dengan peningkatan aliran darah retina
yang menyebabkan ekstravasasi dari cairan ke parenkim, tetapi ruptur blood retinal
barrier (BRB) mungkin lebih krusial. Hal ini terjadi karena dipicu oleh
hiperglikemia kronik yang mempengaruhi pembuluh darah pasien yang memicu
kejadian metabolic yang berujung dengan peningkatan ekspresi sitokin inflamasi
seperti VEGF yang dapat merubah permeabilitas vaskular (Johnson, 2009).
3. Oklusi Vena Retina
Pathogenesis dari teori ini belum sepenuhnya jelas. Beberapa peneliti
mendukung penjelasan atas adanya oklusi trombotik dari vena retina menyebabkan
inflamasi yang menyebabkan CME. Awalnya oklusi vena tersebut menyebabkan
peningkatan dari tekanan intravascular di dalam vena retina yang letaknya distal
dari tempat oklusi yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik sehingga
6
terjadi transudasi dari cairan ke dalam ruang ekstravaskular. Selain itu rupture dari
BRB yang dimediasi oleh sitokin menyebabkan retina menjadi hipoksia (VEGF,
IL6, atau factor yang diturunkan dari Retinal Pigment Epithelium (RPE)
menyebabkan ekstravasasi cairan.
4. Vitreo-macular traction
Vitreo-macular traction sindrom dicirikan dengan separasi parsial dari
vitreous perifer dengan perlekatan pada macula. Sindrom ini meliputi adanya kista
foveal, epiretinal membrane, macular holes, dan CME traksional (Charalampidou,
2012). Vitreo-macular traction menyebabkan stress pada ujung sel Muller
mengerahkan kekuatan daya tarik yang menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi
seperti basic Fibroblastic Grown Factors (bFGF), Vascular Endotheliat Growth
Factor (VEGF), dan Platelet Derived Growth Factor (PDFGF). Sitokin tersebut
berdampak pada kerusakan dari BRB dari pemisahan retina dengan RPE, lisis dari
sel muller, dan edema (Shah, 2014)
5. Drug Reactions
CME bias disebabkan oleh obat seperti adrenalin, asam nikotinik, dan
latanoprost topical (analog prostaglandin). Adrenalin topical 2% bias
menyebabkan produksi atau timbulnya kista dengan menurunkan aliran darah ke
retina dan koroid. Asam nikotinik digunakan untuk pengobatan
hiperkolesterolemia yang berujung pada formasi dari ruang kista di dalam lapisan
pleksiform dalam dan luar yang bias dihentikan prosesnya dengan menagkhiri
pengobatan (Charalampidou, 2012).

G. Manifestasi Klinis
Gejala dari CME tergantung dari keparahannya, jika ringan biasanya tidak ada
gejala seperti tidak adanya keluhan penglihatan. Jika edema makula meningkat dapat
menyebabkan penglihatan buram atau menurun, dimana keluhan ini merupakan gejala
tersering (CNYPRCS, 2018).

H. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan pasien kadang asimptomatik, tetapi kadang mengeluh adanya
penurunan penglihatan mata yang dapat disertai adanya rasa iritatif (Shah, 2014).
2. Pemeriksaan Fisik
7
Pada pemeriksaan lokalis pada mata penderita CME dapat ditemukan adanya
tanda iritasi, kemerahan, berair, dan cenderung lunak serta edema walau pada
umumnya hanya bias dideteksi oleh uji diagnostic imaging (Eye Care Institute,
2018).
3. Pemeriksaan Penunjang
CME berhubungan dengan 2 proses yaitu akumulasi dari cairan ekstraseluler
abnormal dan formasi dari ruang kista. Ada beberapa uji diagnostic untuk
mengonfirmasi temuan seperti Fundus Fluorescein Angiography (FA) untuk
mendeteksi adanya abnormalitas di BRB. Selain itu ada Optical Coherence
Tomography (OCT) untuk mendeteksi adanya penebalan pada retina (Zur, 2013).
a. Fundus Fluorescein Angiography (FA)
Ketika FA digunakan untuk memeriksa fundus, sirkulasi di retina dan
koroid dapat diamati dengan menyuntikkan kontras yang bersinar ketika
dirangsang dengan cahaya dalam rentang panjang gelombang biru antara 265
sampai 490nm (fluorescein). Ini memberikan informasi fungsional dan
kualitatif yang memungkinkan dokter untuk menemukan dan menggambarkan
pola kebocoran vaskular. FA menunjukkan ekstravasasi cairan dari kapiler
perifoveal pada tahap awal dan akumulasi kontras dalam pola petaloid, honey-
comb, atau diffuse-pattern pada tahap selanjutnya. Namun, metode ini memiliki
kelemahan karena invasif dan interpretasinya subjektif (Zur, 2013).
Diagnosis juga dapat sulit dalam kasus di mana tidak mungkin untuk
membedakan apakah cairan yang diamati milik kista di retina atau kondisi
patologis lain dari retina di mana terjadi ekstravasasi kontras (seperti perubahan
neovasculariza koroidal atau RPE). Tes ini digunakan untuk diagnosis klinis
CME serta melakukan perawatan. Suatu hubungan telah diamati antara
hilangnya Visual Acuity (VA) dan keberadaan kista, meskipun tidak ada
hubungan yang terbukti antara VA dan jarak kista dari fovea (Zur, 2013).

8
Gambar 4. Hiperfluoresence macular dengan FA.
b. Optical Coherence Tomography (OCT)
OCT merupakan uji objektif yang sensitivitasnya tinggi untuk CME (95%
sensitivitas untuk deteksi CME dibangingkan dengan sensitivitas FA 44%).
Keuntungan dari OCT adalah cepat, non invasif, dan tidak menimbulkan rasa
tidak nyaman pada pasien. OCT dipertimbangkan sebagai gold standart terkini
untuk mendiagnosis CME dan untuk memonitoring pengobatan. OCT sendiri
merupakan interferometri gelombang pendek seperti sinar infrared. Cahaya
tersebut dapat penetrasi ke bagian retina yang akan menggambarkan kondisi
atau informasi jika terdapat CME dengan adanya penampakan seperti kista
multipel di bagian makula (Bravo, 2015).

Gambar 5. Penampakan OCT pada makula.

9
I. Tatalaksana
1. Anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
NSAIDs menghambat pembentukan asam arakhidonat menjadi endoperoksida
dan menghambat sintesis prostaglandin yang mengurangi kebocoran cairan dari
kapiler. Beberapa NSAID seperti diklofenak menghambat formasi dari produk
lipooksigenase yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Penggunaan
NSAID lebih efektif jika digunakan secara topical daripada sistemik, contoh obat-
obatan yang biasa digunakan adalah ketorolac 0,5%, indometrasin 1%, dan
diklofenak 1%. Efek samping dari penggunaan obat tersebut adalah rasa iritasi,
terbakar, tidak nyaman, injeksi konjugtiva, midriasis, dan reaksi hipersensitivitas
(Shelsta, 2010).
2. Glukokortikoid
Glukokortikoid menghambat produksi dari prostaglandin dan leukotriene
dengan menghambat enzim phospholipase A2. Selain sifat vasokonstriktor, steroid
juga mengurangi intraselular dan ekstraselular edema dan menghambat aktivitas
lifosit T dari sirkulasi yang mencegah aktivitas sitotoksik. Selain itu juga mesupresi
aktivitas makrofag dan sel polimorfonuklear dan mengurangi produksi limfokin
(Shelsta, 2010).
Kortikosteroid dapat digunakan melalui rute, (Shelsta, 2010):
a. Steroid topical: suspense prednisolone asetat lipfilik mudah penetrasi melalui
epitel kornea sampai COA. Obat yang paling sering digunakan diurutkan
berdasarkan efektivitasnya adalah deksametason 0,1%, prednisolon 1%,
fluorometholon 0,1%
b. Steroid sistemik: perlu dilakukan monitoring selama 2 minggu pertama
karena bias menyebabkan ulser peptikum, insomnia, psikosis, osteoporosis,
myopati, dan tuberculosis dalam pemakaian jangka Panjang
c. Intravitreal injeksi: Triamnisolon aseton meningkatkan ketajaman
penglihatan dengan menipiskan ketebalan retina.
3. Carbonic Andhyrase Inhibitor: Asetazolamid
Obat golongan ini meningkatkan trasportasi cairan melalui RPE dari ruang
subretinal ke koroid mengurangi edema, biasanya obat ini digunakan pada CME
post operasi. 80% pasien yang diobati dengan asetazolamid menunjukkan
peningkatan ketajaman penglihatan. Efek samping dari penggunaan obat ini adalah
baal, lemah lesu, depresi dan penurunan libido (Zur, 2013).
10
4. Anti-VEGF
Obat golongan anti VEGF memblokade efek dari sitokin inflamasi dengan
menghambat atau mengurangi permeabilitas vaskular dan kebocoran cairan ke
dalam makula. Contoh obat VEGF adalah pegaptanib, rabinizumab, dan
bevacizumab. Selain itu ranibizumab telah terbukti aman untuk peningkatan
ketajaman penglihatan dengan mengurangi ketebalan retina (Ghasemi, 2012).
5. Vitrectomy

J. Prognosis
CME pada umumnya bersifat self-limiting dan spontan penyembuhannya
setelah 3-4 bulan. Bergantung pada etiologic resolusi dari edema bisa dipercepat
dengan terapi obat atau operasi. Jika edema kronik (6-9 bulan) kerusakan permanen
pada fotoreseptor dengan penipisan retina dan fibrosis bisa muncul (Shah, 2014).

11
IV. KESIMPULAN
A. Cystoid Macular Edema (CME) adalah suatu penyakit pada mata yang
mengenai bagian makula atau retina sentral yang kadang tidak terasa adanya
rasa nyeri dan terdapat area kista multipel yang berisi cairan di dalam macula
yang menyebabkan pembengkakan atau edema
B. Etiologi dari Cystoid Macular Edema (CME) adalah post operasi mata terutama
operasi katarak, diabetes, drug reactions, vitreo-macular traction, dan oklusi
vena retina sentralis.
C. Gejala Cystoid Macular Edema (CME) dapat asimptomatik atau adanya
penurunan penglihatan.
D. Penegakan diagnosis didapat dari anamnesis berupa keluhan penglihatan kabur,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa FA dan OCT sebagai
gold standart.
E. Terapi dari Cystoid Macular Edema (CME) meliputi obat-obatan golongan
NSAID, Glukokortikoid, Carbonic Anhydrase Inhibitor, anti VGEF, dan
vitrectomy.
F. Prognosis Cystoid Macular Edema (CME) pada umumnya bersifat self-limiting
dan spontan penyembuhannya setelah 3-4 bulan.

12
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2012. Fundamental and Principles of Ophthalmology.


United State of America: American Academy of Ophthalmology. 79-81.
Bravo, A. 2015. Cystoid Macular Edema: Causes, Diagnosis, and Treatment. International
Journal of Medical Students. 3(3). 132-139.
Central New York’s Premier Retinal Care Specialists. 2018. Cystoid Macular Edema. Diakses
di http://www.rvscny.com/cystoidmacularedema.html pada 18 Desember pukul 8.43
WIB.
Charalampidou, S., Nolan, S., Beatty, S. 2012. The Natural History of Tractional CME. Retina.
32. 10. 917-923
Cleveland Clinic. 2015. Cystoid Macular Edema. Cleveland Clinic. Ohio. Diakses di
https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/14417-cystoid-macular-edema pada 18
Desember 2018 pukul 18.28 WIB.
Comer, G. M. 2018. Cystoid Macular Edema (CME). Kellogg Eye Center Michigan Medicine.
Diakses di https://www.umkelloggeye.org/conditions-treatments/cystoid-macular-
edema-cme pada 18 Desember 2018 pukul 18.00 WIB.
Eye Care Institute. 2018. Cystoid Macular Edema. The Eye Care Institue. Diakses di
https://eyecareinstitute.com/eye-conditions/cystoid-macular-edema/ pada 18 Desember
2018 pukul 17.00 WIB.
Ghasemi, F. 2012. Intravitreal Bevacizumab For Pseudophakic cystoid Macular Edema. J
Ophtalmic. 7. 3. 235-239.
Hogan, P., Dall, T., Nikolov, P. 2012. Economic Costs of Diabetes In The US. Diabetes Care.
26. 917-923.
Johnson, M. W. 2009. Etiology and Treatment of Macular Edema. Am J Ophthalmol. 14. 1.
11-21. E1.
Kessel, L. Tendal B, Jørgensen KJ, Erngaard D, Flesner P, Andresen JL, et al. 2014. Post-
cataract prevention of inflammation and macular edema by steroid and nonsteroidal anti-
inflammatory eye drops: A systematic review. Ophthalmology. 121(10):1915-24.
Lobo, C. L. 2014. Pseudophakic Cystoid Macular Edema. Ophthalmologica. 10. 1-7.
Master Eye Associates. 2018. Description of Cystoid Macular Edema (CME). Master Eye
Associates. Diakses di http://www.mastereyeassociates.com/cystoid-macular-edema
pada 18 December 2018 pukul 19.50 WIB.
Shah, V. A. 2014. Cystoid Macular Edema. American Academy of Ophthalmology. San
Francisco United States Of America.
Sheslsta, H. N. 2010. Pharmacologic Theraphy of Pseudophakic Cystoid Macular Edema.
Retina. 31. 1. 4-12.
Zur, D. Fischer, N., Tufail, A., Mones, J., Lowenstein, A. 2011. Postsurgical Cystoid Macular
Edema. Eur J Ophthalmol. 6. 562-568.

13

Anda mungkin juga menyukai