Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT


HISPRUNG DI INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh
Intan Maulidia Yolandasari, S.Kep
NIM 192311101142

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT.......................................................... 1
1.1 Anatomi Fisiologi ………................................................................... 1
1.2 Definisi Penyakit.................................................................................. 7
1.3 Epidemiologi........................................................................................ 8
1.4 Etiologi................................................................................................. 8
1.5 Klasifikasi............................................................................................. 9
1.6 Patofisiologi/Patologi........................................................................... 9
1.7 Manifestasi Klinis................................................................................ 10
1.8 Pemeriksaan Penunjang................................................................... 11
1.9 Penatalaksanaan.................................................................................. 12
1.10 Clinical Pathway................................................................................ 14
BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN…………..............................................15
2.1 Pengkajian........................................................................................... 15
2.2 Diagnosa..............................................................................................16
2.3 Intervensi.............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................19

............................................................................
.............

ii
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Anatomi Fisiologi

1. Anatomi
Menurut Syaifuddin, (2003), susunan pencernaan terdiri dari :

a. Mulut
Terdiri dari 2 bagian :
1) Bagian luar yang sempit / vestibula yaitu ruang diantara gusi,
gigi, bibir, dan pipi.
a) Bibir
Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam
di tutupi oleh selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris
menutupi bibir. Levator anguli oris mengakat dan depresor
anguli oris menekan ujung mulut.
b) Pipi
Di lapisi dari dalam oleh mukosa yang mengandung papila, otot

1
yang terdapat pada pipi adalah otot buksinator.
c) Gigi

2) Bagian rongga mulut atau bagian dalam yaitu rongga mulut


yang di batasi sisinya oleh tulang maksilaris palatum dan
mandibularis di sebelah belakang bersambung dengan faring.
a) Palatum
Terdiri atas 2 bagian yaitu palatum durum (palatum keras) yang
tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah tulang maksilaris dan
lebih kebelakang yang terdiri dari 2 palatum. Palatum mole
(palatum lunak) terletak dibelakang yang merupakan lipatan
menggantung yang dapat bergerak, terdiri atas jaringan fibrosa
dan selaput lendir.
b) Lidah
Terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir,
kerja otot lidah ini dapat digerakkan ke segala arah. Lidah dibagi
atas 3 bagian yaitu: Radiks Lingua = pangkal lidah, Dorsum
Lingua = punggung lidah dan Apek Lingua + ujung lidah. Pada
pangkal lidah yang kebelakang terdapat epligotis. Punggung lidah
(dorsum lingua) terdapat puting- puting pengecapatau ujung saraf
pengecap. Fenukun Lingua merupakan selaput lendir yang terdapat
pada bagian bawah kira-kira ditengah-tengah, jika tidak digerakkan
ke atas nampak selaput lendir.
c) Kelenjar Ludah
Merupakan kelenjar yang mempunyai ductus bernama ductus
wartoni dan duktus stansoni. Kelenjar ludah ada 2 yaitu kelenjar
ludah bawah rahang (kelenjar submaksilaris) yang terdapat di
bawah tulang rahang atas bagian tengah, kelenjar ludah bawah
lidah (kelenjar sublingualis) yang terdapat di sebelah depan di
bawah lidah.
Di bawah kelenjar ludah bawah rahang dan kelenjar ludah bawah

2
lidah di sebut koronkula sublingualis serta hasil sekresinya berupa
kelenjar ludah (saliva). Di sekitar rongga mulut terdapat 3 buah
kelenjar ludah yaitu kelenjar parotis yang letaknya dibawah depan
dari telinga di antara prosesus mastoid kiri dan kanan os
mandibular, duktusnya duktus stensoni, duktus ini keluar dari
glandula parotis menuju ke rongga mulut melalui pipi (muskulus
buksinator). Kelenjar submaksilaris terletak di bawah rongga mulut
bagian belakang, duktusnya duktus watoni bermuara di rongga
mulut bermuara di dasar rongga mulut. Kelenjar ludah didasari
oleh saraf-saraf tak sadar.
d) Otot Lidah
Otot intrinsik lidah berasal dari rahang bawah (m mandibularis,
oshitoid dan prosesus steloid) menyebar kedalam lidah membentuk
anyaman bergabung dengan otot instrinsik yang terdapat pada
lidah. M genioglosus merupakan otot lidah yang terkuat berasal
dari permukaan tengah bagian dalam yang menyebar sampai radiks
lingua.
a. Faring (tekak)
Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
kerongkongan (esofagus), didalam lengkung faring terdapat tonsil
(amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung
limfosit.
b. Esofagus
Panjang esofagus sekitar 25 cm dan menjalar melalui dada dekat
dengan kolumna vertebralis, dibelakang trakea dan jantung. Esofagus
melengkung kedepan, menembus diafragma dan menghubungkan
lambung. Jalan masuk esofagus ke dalam lambung adalah kardia.
c. Gaster ( Lambung )
Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling
banyak terutama didaerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas
fundus uteri berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik,

3
terletak dibawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di
sebelah kiri fudus uteri.

d. Intestinum minor ( usus halus )


Adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada
pylorus dan berakhir pada seikum, panjang + 6 meter. Lapisan
usus halus terdiri dari :
1) Lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar
(m.sirkuler)
2) Otot memanjang (m. Longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah
luar).
Pergerakan usus halus ada 2, yaitu:
1) Kontraksi pencampur (segmentasi)
Kontraksi ini dirangsang oleh peregangan usus halus yaitu.desakan
kimus
2) Kontraksi Pendorong
Kimus didorong melalui usus halus oleh gelombang
peristaltik. Aktifitas peristaltik usus halus sebagian disebabkan oleh
masuknya kimus ke dalam duodenum, tetapi juga oleh yang
dinamakan gastroenterik yang ditimbulkan oleh peregangan
lambung terutama di hancurkan melalui pleksus mientertus dari
lambung turun sepanjang dinding usus halus.
Perbatasan usus halus dan kolon terdapat katup ileosekalis
yang berfungsi mencegah aliran feses ke dalam usus halus. Derajat
kontraksi sfingter iliosekal terutama diatur oleh refleks yang berasal
dari sekum. Refleksi dari sekum ke sfingter iliosekal ini di
perantarai oleh pleksus mienterikus. Dinding usus kaya akan
pembuluh darah yang mengangkut zat-zat diserap ke hati melalui
vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi usus)
dan air (yang membantu melarutkan pecahan- pecahan makanan
yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim

4
yang mencerna protein, gula, dan lemak. Iritasi yang sangat kuat
pada mukosa usus,seperti terjadi pada beberapa infeksi dapat
menimbulkan apa yang dinamakan ”peristaltic rusrf”
merupakan peristaltik sangat kuat yang berjalan jauh pada
usus halus dalam beberapa menit. Intesinum minor terdiri dari :
a) Duodenum ( usus 12 jari )
Panjang + 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiru.
Pada lengkungan ini terdapat pankreas. Dan bagian kanan
duodenum ini terdapat selaput lendir yang membuktikan di sebut
papila vateri. Pada papila veteri ini bermuara saluran empedu
(duktus koledukus ) dan saluran pankreas ( duktus pankreatikus ).
b) Yeyenum dan ileum
Mempunyai panjang sekitar + 6 meter. Dua perlima bagian atas
adalah yeyenum dengan panjang ± 2-3 meter dan ileum dengan
panjang ± 4 – 5 meter. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada
dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan
peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.
Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-
cabang arteri dan vena mesentrika superior, pembuluh limfe dan
saraf ke ruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk
mesenterium. Sambungan antara yeyenum dan ileum tidak
mempunyai batas yang tegas. Ujung bawah ileum berhubungan
dengan seikum dengan seikum dengan perataraan lubang yang
bernama orifisium ileoseikalis, orifisium ini diperkuat dengan
sfingter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula
seikalis atau valvula baukini. Mukosa usus halus. Permukaan epitel
yang sangat luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili
memudahkan pencernaan dan absorbsi. Lipatan ini dibentuk oleh
mukosa dan submukosa yang dapat memperbesar permukaan usus.
Pada penampangan melintang vili di lapisi oleh epiel dan kripta
yang menghasilkan bermacam-macam hormon jaringan dan enzim

5
yang memegang peranan aktif dalam pencernaan.

e. Intestinium Mayor ( Usus besar )


Panjang ± 1,5 meter lebarnya 5 – 6 cm. Lapisan–lapisan usus
besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar,
lapisan otot memanjang, dan jaringan ikat. Lapisan usus besar
terdiri dari :
1) Seikum
Di bawah seikum terdapat appendiks vermiformis yang
berbentuk seperti cacing sehingga di sebut juga umbai cacing,
panjang 6 cm.
2) Kolon asendens
Panjang 13 cm terletak di bawah abdomen sebelah kanan
membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati
membengkak ke kiri, lengkungan ini di sebut Fleksura hepatika,
di lanjutkan sebagai kolon transversum.
3) Appendiks ( usus buntu )
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari akhir
seikum.
4) Kolon transversum
Panjang ± 38 cm, membunjur dari kolon asendens sampai ke
kolon desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan
terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura
linealis.
5) Kolon desendens
Panjang ± 25 cm, terletak dibawah abdomen bagian kiri
membunjur dari atas ke bawah dari fleksura linealis sampai ke
depan ileum kiri, bersambung dengan kolon sigmoid.
6) Kolon sigmoid
Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring dalam

6
rongga pelvis sebelah kiri, bentuk menyerupai huruf S. Ujung
bawahnya berhubung dengan rectum.
Fungsi kolon: Mengabsorsi air dan elektrolit serta kimus dan
menyimpan feses sampai dapat dikeluarkan. Pergerakan kolon
ada 2 macam:
1. Pergerakan pencampur (Haustrasi) yaitu kontraksi gabungan
otot polos dan longitudinal namun bagian luar usus besar
yang tidak terangsang menonjol keluar menjadi seperti
kantong.
2. Pergarakan pendorong ”Mass Movement”, yaitu kontraksi
usus besar yang mendorong feses ke arah anus.
f. Rektum dan Anus
Terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os
sakrum dan os koksigis.
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan
rectum dengan dunia luar (udara luar). Terletak di antara pelvis,
dindingnya di perkuat oleh 3 sfingter:
1) Sfingter Ani Internus
2) Sfingter Levator Ani
3) Sfingter Ani Eksternus
Di sini di mulailah proses devekasi akibat adanya mass movement.
Mekanisme :
1) Kontraksi kolon desenden
2) Kontraksi reflek rectum
3) Kontraksi reflek sigmoid
4) Relaksasi sfingter ani

1.2 Definisi Penyaki

7
Penyakit Hirschsprung adalah gangguan pada usus besar yang
menyebabkan feses atau tinja terjebak di dalam usus. Penyakit bawaan
lahir yang tergolong langka ini bisa mengakibatkan bayi tidak buang air besar
(BAB) sejak dilahirkan. Bayi baru lahir yang memiliki penyakit
Hirschsprung biasanya tidak dapat buang air besar beberapa hari setelah
persalinan. Pada kasus yang ringan, kondisi ini mungkin tidak terdeteksi
hingga kemudian hari di masa kanak-kanak. Penyakit Hirschsprung terjadi
karena kelainan saraf yang mengontrol pergerakan usus besar. Hal ini
menyebabkan usus besar tidak dapat mendorong feses keluar, sehingga
menumpuk di usus besar dan bayi tidak bisa BAB. (Willy, 2019)

1.3 Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 per 5000 kelahiran hidup.
Prevalensi dapat bervariasi berdasarkan wilayah dan telah ditunjukkan
setinggi 1 per 3000 kelahiran hidup di Negara Federasi Mikronesia. Di
Taiwan ada total 629 kejadian Hirschsprung , termasuk 458 anak laki-laki dan
171 perempuan, dengan keseluruhan kejadian 1,3 per 10.000 kelahiran hidup.
Rasio kejadian pria-wanita adalah 2,38, 72% kasus menerima perawatan
bedah sebelum usia 1 tahun. Kasus yang lebih muda memiliki pengeluaran
medis terkait operasi yang lebih tinggi. Pasien-pasien dengan enterocolitis pra
operasi memiliki kemungkinan lebih tinggi pasca operasi dibandingkan
pasien tanpa pra operasi (Chia, Chen, Lu, Sheu, & Kuo, 2015)

1.4 Etiologi
Penyakit Hirschsprung terjadi ketika saraf di usus besar tidak terbentuk
dengan sempurna. Saraf ini berfungsi untuk mengontrol pergerakan usus
besar. Oleh karena itu, jika saraf usus besar tidak terbentuk dengan sempurna,
usus besar tidak dapat mendorong feses keluar. Akibatnya, feses akan
menumpuk di usus besar (Willy, 2019)

8
a. Penyebab masalah pada saraf tersebut belum diketahui secara pasti.
Namun, ada beberapa kondisi yang diduga dapat meningkatkan risiko
ketidaksempurnaan pembentukan saraf usus besar, antara lain:
b. Berjenis kelamin laki-laki.
c. Memiliki saudara yang menderita penyakit Hirschsprung.
d. Memiliki orang tua, terutama ibu, yang pernah menderita penyakit
Hirschsprung.
e. Menderita penyakit bawaaan lainnya yang diturunkan, seperti Down
syndrome dan penyakit jantung bawaan.

1.5 Klasifikasi
Menurut (Granéli, Dahlin, Börjesson, Arnbjörnsson, & Stenström, 2017)
berdasarkan panjang segmen yang terkena, Hirschprung dapat dibagi menjadi
dua, yaitu :
a. Penyakit hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70%
dari kasus penyakit hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-
laki dibanding anak perempuan.
a. Penyakit hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau
usus halus. Ditemukan sama banyak baik laki – laki maupun perempuan.

1.6 Patofisiologi/Patologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa
kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian
proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi
usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah
keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus

9
dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak
pada Mega Colon (Cecily Betz & Sowden, 2002:196).

Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah


tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah
itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar (
Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).

Aganglionic mega colon atau hirschprung dikarenakan karena tidak adanya


ganglion parasimpatik disubmukosa (meissher) dan mienterik (aurbach) tidak
ditemukan pada satu atau lebih bagian dari kolon menyebabkan peristaltik usus
abnormal. Peristaltik usus abnormal menyebabkan konstipasi dan akumulasi sisa
pencernaan di kolon yang berakibat timbulnya dilatasi usus sehingga terjadi
megakolon dan pasien mengalami distensi abdomen. Aganglionosis
mempengaruhi dilatasi sfingter ani interna menjadi tidak berfungsi lagi,
mengakibatkan pengeluaran feses, gas dan cairan terhambat. Penumpukan sisa
pencernaan yang semakin banyak merupakan media utama berkembangnya
bakteri. Iskemia saluran cerna berhubungan dengan peristaltik yang abnormal
mempermudah infeksi kuman ke lumen usus dan terjadilah enterocolitis. Apabila
tidak segera ditangani anak yang mengalami hal tersebut dapat mengalami
kematian (kirscher dikutip oleh Dona L.Wong,1999:2000)

1.7 Manifestasi Klinis


Menurut (Granéli et al., 2017) tanda-tanda dan gejala dari penyakit
Hirschsprung bervariasi pada tingkat keparahan kondisi. Biasanya tanda-tanda dan
gejala muncul setelah persalinan, namun kadang tidak terlihat hingga kemudian
hari.
Umumnya, tanda yang paling jelas adalah gagalnya bayi untuk buang air besar
dalam 48 jam setelah persalinan. Tanda-tanda dan gejala pada bayi yang baru
lahir meliputi:
a. Perut bengkak
b. Muntah, termasuk memuntahkan zat berwarna hijau atau cokelat

10
c. Sembelit atau gas, yang dapat menyebabkan bayi rewel
d. Diare
e. Kesulitan dalam buang air kecil
f. Gagal untuk mengeluarkan mekonium setelah kelahiran
g. Jarang dan buang air yang meledak-ledak
h. Penyakit kuning
i. Menyusui dengan buruk
j. Kenaikan berat badan yang buruk
Pada anak-anak yang lebih besar, tanda-tanda dan gejala dapat meliputi:
a. Perut membengkak
b. Sembelit kronis
c. Gas
d. Sulit untuk bertumbuh
e. Kelelahan
f. Impaksi tinja
g. Malnutrisi
h. Perkembangan yang lambat

1.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut (Willy, 2019) pemeriksaan penunjang terdiri dari :


1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa
ditemukan:
a Daerah transisi
b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
c Entrokolitis padasegmen yang melebar
d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam
Pada bayi baru lahir, barium enema tidak selalu memperlihatkan
gambaran yang jelas dari penyakit apabila seluruh kolon tidak mempunyai
sel ganglion. Hal ini terjadi meskipun pengeluaran barium terlambat 24

11
jam setelah pemeriksaan diagnostik.
2. Biopsi isap rektum
Hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentata untuk
menghindari daerah normal hipogang lionosis dipinggir anus. Biopsi ini
dilakukan untuk memperlihatkan tidak adanya sel – sel ganglion di sub
mukosa atau pleksus saraf intermuskular.
3. Biopsi rektum
Biopsi rektum dilakukan dengan cara tusukan atau punch atau sedotan 2
cm diatas garis pektinatus memperlihatkan tidak adanya sel – sel ganglion
di sub mukosa atau pleksus saraf intermuskular.
4. Biopsi otot rektum
Pengambilan otot rektum, dilakukan bersifat traumatik, menunjukan
aganglionosis otot rektum.
5. Manometri anorektal
Dilakukan dengan distensi balon yang diletakan di dalam ampula rektum.
Balon akan mengalami penurunan tekanan di dalam sfingter ani interna
pada pasien yang normal. Sedangkan pada pasien yang megacolon akan
mengalami tekanan yang luar biasa.
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja
yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja,
kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan
akan terjadi pembusukan.
7. Foto rontgen abdomen
Didasarkan pada adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang
melebar normal dan colon distal tersumbat dengan diameter yang lebih
kecil karena usus besar yang tanpa ganglion tidak berelaksasi. Pada
pemeriksaan foto polos abdomen akan ditemukan usus melebar / gambaran
obstruksi usus letak rendah.
1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi medis dan perawatan yaitu :

12
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus
besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a. Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus
besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat
anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah
operasi pertama
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson,
Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang
paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian
akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah.
2. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama
antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada
anak secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang
( FKUI, 2000 : 1135 )

13
1.10 Clinical Pathway

Aganglionik
saluran cerna

Peristaltik menurun

Perubahan pola eliminasi


(konstipasi)

Akumulasi isi usus

Proliferasi bakteri Dilatasi usus

Pengeluaran endotoksin Feses membusuk produks gas meningkat

inflamasi diare
Mual & muntah Distensi abdomen

Enterokolitis Penekanan pada diafragma


Anoreksia Drainase gaster

Ekspansi paru
Prosedur
Ketidakseimban Resiko menurun
operasi
gan nutrisi < kekurangan
dari kebutuhan volume cairan Pola nafas tidak efektif
Nyeri akut tubuh

Imunitas menurun

Perubahan Resiko infeksi


tumbuh
kembang

14
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian

A. Pengkajian Umum
1. Identitas klien
2. Riwayat pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama setelah lahir,
biasanya ada keterlambatan
3. Riwayat tinja seperti pita dan bau busuk.
Pengkajian status nutrisi dan status hidrasi.
Adanya mual, muntah, anoreksia, mencret
Keadaan turgor kulit biasanya menurun
Peningkatan atau penurunan berat badan.
Penggunaan nutrisi dan rehidrasi parenteral
4. Pengkajian status bising usus untuk melihat pola bunyi hiperaktif pada
bagian proximal karena obstruksi, biasanya terjadi hiperperistaltik usus.
5. Pengkajian psikososial keluarga berkaitan dengan
Anak : Kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme koping yang
digunakan.
Keluarga : Respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga,
penyesuaian keluarga terhadap stress menghadapi penyakit anaknya.
6. Pemeriksaan laboratorium darah hemoglobin, leukosit dan albumin juga
perlu dilakukan untuk mengkaji indikasi terjadinya anemia, infeksi dan
kurangnya asupan protein.
7. Ukur lingkar abdomen untuk mengkaji distensi abdomen, lingkar abdomen
semakin besar seiring dengan pertambahan besarnya distensi abdomen.
8. Lakukan pemeriksaan TTV, perubahan tanda viatal mempengaruhi
keadaan umum klien.
9. Observasi manifestasi penyakit hirschprung
a. Periode bayi baru lahir

15
b. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 -48 jam setelah lahir
c. Menolak untuk minum air
d. Muntah berwarna empedu
e. Distensi abdomen
f. Masa bayi
g. Ketidakadekuatan penembahan berta badan
h. Konstipasi
i. Distensi abdomen
j. Episode diare dan muntah
k. Tanda – tanda ominous (sering menandakan adanya enterokolitis :
diare berdarah, letargi berat)
10. Masa kanak –kanak
a. Konstipasi
b. Feses berbau menyengat dan seperti karbon
c. Distensi abdomen
d. Anak biasanya tidak mempunyai nafsu makan dan pertumbuhan yang
buruk
2.2 Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
2. Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan
makanan tak adekuat dan rangsangan muntah.
4. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) b.d defek persyarafan terhadap
aganglion usus.
5. Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah, diare dan pemasukan
terbatas karena mual.
6. Resiko tinggi infeksi b.d imunitas menurun dan proses penyakit

16
2.3 Intervensi
Diagnosa NOC NIC
Pola nafas tidak efektif NOC : Respiratory status Respiratory monitoring
b.d penurunan Kriteria Hasil : a. Monitor frekuensi, ritme,
ekspansi paru a. Frekuensi pernafasan kedalamam pernafasan.
dalam batas normal b. Catat pergerakan dada,
b. Irama nafas sesuai yang kesimetrisan, penggunaan
diharapkan otot tambahan.
c. Ekspansi dada simetris c. Monitor pola nafas
d. Bernafas mudah bradipnea , takipnea,
e. Keadaan inspirasi hiperventilasi.
d. Palpasi ekspansi paru
e. Auskultasi suara
pernafasan
Oxygen therapy
a. Atur peralatan oksigenasi
b. Monitor aliran oksigen
c. Pertahankan jalan nafas
yang paten
d. Pertahankan posisi pasien
Nyeri akut b.d NOC : Pain level Pain management
inkontinuitas jaringan Kriteria hasil : a. Kaji secara komprehensif
a. Mengenali faktor tentang nyeri meliputi :
penyebab lokasi , karakteristik dan
b. Menggunakan metode onset, durasi, frekuensi,
pencegahan kualitas, intensitas atau
c. Menggunakan metode beratnya nyeri dan faktor
pencegahan non – faktor presipitasi
analgetik untuk b. Kontrol faktor – faktor
mengurangi nyeri. lingkungan yang dapat
d. Menggunakan mempengaruhi respon
analgetik sesuai pasien terhadap
kebutuhan ketidaknyamanan (ex :
e. Mengenali gejala – temperatur ruangan ,
gejala nyeri penyinaran)
c. Ajarkan penggunaan
teknik nonfarmakologi
(misalnya : relaksasi,
guided imagery, distraksi,

17
terapi bermain, terapi
aktivitas)
Analgetik administration
a. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
b. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis
dan frekuensi
Ketidakseimbangan Stamina Manajemen nutrisi
nutrisi kurang dari a. Tenaga a. Timbang Berat badan
kebutuhan tubuh b.d b. Kekuatan b. Anjurkan pada keluarga
masukan makanan tak menggenggam pasien untuk memberikan
adekuat dan c. Penyembuhan ASI
rangsangan muntah. jaringan c. Anjurkan pasien untuk
d. Daya tahan tubuh meningkatkan protein dan
e. Pertumbuhan vit C
d. Kolaborasikan dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.
Monitoring nutrisi
a. Monitor turgor kulit
b. Monitor mual dan muntah
c. Monitor intake nutrisi
d. Monitor pertumbuhan
dan perkembangan

18
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Chia, S., Chen, S. C., Lu, C., Sheu, S., & Kuo, H. (2015). ScienceDirect
Epidemiology of Hirschsprung ’ s Disease in Taiwanese Children : A 13-year
Nationwide Population-based Study. Pediatrics and Neonatology, (539).
https://doi.org/10.1016/j.pedneo.2015.04.016

Granéli, C., Dahlin, E., Börjesson, A., Arnbjörnsson, E., & Stenström, P. (2017).
Diagnosis , Symptoms , and Outcomes of Hirschsprung ’ s Disease from the
Perspective of Gender, 2017. https://doi.org/10.1155/2017/9274940

Hidayat, Alimul Aziz. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, buku 2. Jakarta :
Salemba Medika
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta : EGC
Sacharin, Rosa M. 1993. Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. Jakarta : EGC
Suriadi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 7. Jakarta : PT. Fajar
Interpratama
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta :
EGC
Willy, T. (2019). Penyakit Hirschsprung.

19

Anda mungkin juga menyukai