Anda di halaman 1dari 131

BUKU AJAR

TINDAK PIDANA TERTENTU DALAM KUHP


Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2017
1
BUKU AJAR
TINDAK PIDANA TERTENTU DALAM KUHP
Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda

PLANNING GROUP
A.A Ngurah Wirasila, SH.,MH
A.A Ngurah Yusa Darmadi, SH.,MH
Sagung Putri M.E. Purwani, SH.,MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
2
SEKAPUR SIRIH DARI PENULIS

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida


Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmatNYA, penyusun dapat
menyelesaikan diktat kuliah / bahan ajar mata kuliah Tindak Pidana Tertentu
Dalam KUHP Terhadap Harta Benda, untuk ikut membantu menyediakan dan
memenuhi kebutuhan bahan hukum sebagai referensi bagi para mahasiswa/siswi
Fakultas Hukum UNUD.
Disusunnya Buku ajar ini yang merupakan bagian dari materi Mata Kuliah
Tindak Pidana Tertentu ( Tentang Harta Benda ), yang diasuh oleh Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, disamping membantu para
mahasiswa/siswi, juga untuk menambah dan mengembangkan pola pikir penyusun
dibidang ilmu hukum, khususnya hukum pidana. Dalam diktat kuliah / bahan ajar
ini akan dibahas masalah-masalah pokok saja dari tindak pidana yang menyangkut
harta benda beserta dengan beberapa contoh perbuatan, yang pengembangan lebih
lanjut akan dibahas dalam pertemuan perkuliahan reguler atau dalam tatap muka
dengan para mahasiswa/siswi .
Materi diktat kuliah / bahan ajar ini telah disesuaikan dengan silabus Mata
Kuliah Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP, Buku ajar ini hanya diperuntukan
dikalangan intern Civitas Akademika Fakultas Hukum UNUD, agar
mahasiswa/siswi dapat mempelajari dan memahami tindak pidana terhadap harta
benda. Penyusun juga telah menyadari bahwa penyusun memiliki keterbatasan-
keterbatasan, baik itu menyangkut materi, kemampuan / intelektualitas maupun
hal-hal lain yang menyangkut penyusunan ini, maka untuk kesempurnaannya
diktat kuliah / bahan ajar ini, besar harapan penyusun kepada semua pihak untuk
memberikan masukkan, kritik dan saran.
Akhir kata, bagi semua pihak yang telah membantu dan memberikan
dorongan moril dalam penyusunan diktat kuliah / bahan ajar ini, dengan
kerendahan dan ketulusan hati, penyusun menyampaikan ucapan terima kasih
Denpasar, Maret 2017
Penyusun
3
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..............................................................................................


KATA PENGANTAR ................................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
I. IDENTITAS MATA KULIAH .......... ................................................................
II. DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN ......................................................
III. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP) .................................................................
IV. MANFAAT MATA KULIAH ...........................................................................
V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ............................................
VI. ORGANISASI MATERI ....................................................................................
VII. METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES
PEMBELAJARAN ..............................................................................................
VIII. TUGAS-TUGAS ................................................................................................
IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN ....................................................................
X. BAHAN PUSTAKA ..........................................................................................
XI. JADWAL PERKULIAHAN ...............................................................................
BAB I Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta
Penggelapan........................................................................ .............................
PERTEMUAN I : PERKULIAHAAN I) .................................................
PERTEMUAN II : TUTORIAL I ....................................................

BAB II Tindak Pidana Penipuan ..................................................................................


PERTEMUAN III : PERKULIAHAAN II ..................................................
PERTEMUAN IV : TUTORIAL II .. .........................................................

BAB III Tindak Pidana Penadahan ......................................................................


PERTEMUAN V : PERKULIAHAAN III…………………………
PERTEMUAN VI : TUTORIAL III .............................................................

5
PERTEMUAN IV : UJIAN AKHIR SEMESTER .................................... .................

LAMPIRAN ...................................................................................................... ...........


Lampiran 1. Silabus
Lampiran 2. RPP
Lampiran 3. Kontrak Kuliah

6
TINDAK PIDANA TERTENTU DALAM KUHP
(Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda)

1. Identifikasi Mata Kuliah


Mata Kuliah : Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP ( Kejahatan
dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda )
Kode Mata Kuliah : BII4231
SKS :2
Prasyarat : PHI, PIH, Hukum Pidana, Pidana Lanjutan
Pengajar : Team Pengajar Hukum Pidana
Semester :V
Status Mata Kuliah : Wajib Institusional ( Universitas/Fakultas )
Tim Pengajar :
1. A.A Ngurah Wirasila, SH.,MH
2. A.A Ngurah Yusa Darmadi, SH.,MH
3. Sagung Putri M.E. Purwani, SH.,MH

2. Deskripsi Mata Kuliah.


Mata kuliah ini merupakan sub bagian dari mata kuliah Tindak Pidana
Tertentu Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) untuk
mengetahui tentang kejahatan-kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran
terhadap harta benda seperti “ Pencurian, Pemerasan, Penggelapan,
Penadahan “ dan sebagainya yang meresahkan dan menimbulkan kerugian
material bagi masyarakat, dimana materi ini terdapat dan diatur didalam
KUHP. Dalam diktat / Buku Ajar ini berisi pelajaran dan pengetahuan
hukum yang bersifat khusus, oleh karena hanya membicarakan dan
membahas tentang kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang
mengatur atau menyangkut harta benda. Materi perkuliahan yang
menyangkut kejahatan dan pelanggaran terhadap harta benda sangat perlu
diberikan kepada mahasiswa / siswi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
mengingat materi ini berhubungan erat dengan peristiwa atau kejadian-
7
kejadian dalam kehidupan manusia bermasyarakat sehari-hari. Demikian
juga pengaruh dan akibat negatif dalam penguasaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dapat mempengaruhi fikiran dan tingkah laku
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang nantinya atau pada
akhirnya akan dapat menimbulkan kriminalitas-kriminalitas yang lain.

3. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP)


Dengan mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami
mengenai : . 1.) Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman
serta Penggelapan, 2.) Tindak Pidana Penipuan, 3.) Tindak Pidana
Penadahan, 4.) Pidana Tambahan terhadap harta benda.
Dengan pemahaman mengenai 4 (empat) substansi pokok dalam mata
kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami secara utuh
mengenai Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda sebagai sub
materi dari mata kuliah Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP, yang
menjadi fokus utama dari mata kuliah ini. Dengan demikian, mahasiswa
diharapkan mampu menganalisa berbagai kasus-kasus pidana yang terjadi
dalam prakteknya.

4. Tujuan Mata Kuliah


Agar mereka, khususnya para mahasiswa / siswi Fakultas Hukum
Universitas Udayana dapat mengetahui, memahami dan mengerti tentang
pasal-pasal yang mengatur tentang harta benda yang terdapat didalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), khusus yang mengatur
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran tentang tindak pidana
pencurian, pemerasan, penggelapan, penadahan dan sebagainya. Juga agar
dapat memahami dan mengerti akan arti setiap pasal yang akan dibahas
serta dapat menggunakan interpretasi atau penafsiran-penafsiran yang
terdapat dalam hukum pidana.

8
4. Prasyarat Mata Kuliah
Bagi mahasiswa / siswi yang makan menempuh mata kuliah ini, harus
sudah menempuh dan lulus dalam mata kuliah :
a. Pengantar Ilmu Hukum (Wajib Nasional/Kode Mata Kuliah BNI1301)
b. Pengantar Hukum Indonesia (Wajib Nasional/Kode Mata Kuliah
BNI1302)
c. Hukum Pidana ( Wajib Nasional / Kode Mata Kuliah BNI2309 )
d. Hukum Pidana Lanjutan (Wajib Institusional/Kode Mata Kuliah
BII3217)

5. Metode dan Strategi Proses Pembelajaran


a. Metode Peerkuliahan :
Metode perkuliahann adalah Problem Based Learning ( PBL ), dimana
pusat pembelajaran ada pada mahasiswa / siswi. Metode yang
diterapkan adalah “ belajar“ ( Learning ) bukan “mengajar“(Teaching)
b. Strategi Pembelajaran
Strateginya adalah kombinasi 50 % ( 6 kali pertemuan perkuliahan )
dan tutorial 50 % ( 6 kali pertemuan tutorial ). Satu kali untuk
pertemuan Tes Tengah Semester / Ujian Tengah Semester ( UTS ) dan
satu kali pertemuan untuk Tes Akhir Semester / Ujian Akhir Semester
( UAS )
c. Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial
Perkuliahan dan tutorial dalam mata kuliah Tindak Pidana Tertentu
Dalam KUHP ini, masing-masing direncanakan berlangsung sebanyak
6 kali pertemuan dan 6 kali tutorial, yaitu 3 kali pertemuan perkuliahan
yaitu pertemuan ke 1, ke 3, ke 5, kemudian pertemuan turorial yaitu
pertemuan ke 2, ke 4, ke 6 dan dilanjutkan dengan satu (1) kali Tes
Tengah Semester / Ujian Tengah Semester ( TTS / UTS ) yang
merupakan pertemuan ke 7. Setelah itu dilanjutkan lagi dengan 6 kali
pertemuan, dimana 3 kali pertemuan perkuliahan yaitu pertemuan ke 8,
ke 10, ke 12 dan 3 kali pertemuan tutorial yaitu pertemuan 9, 11, 13,
9
kemudian dilanjutkan dengan satu (1) kali Tes Akhir Semester / Ujian
Akhir Semester ( TAS / UTS ) yang merupakan pertemuan ke 14
d. Strategi Perkuliahan
Strategi perkuliahan dilakukan dengan perkuliahan tentang sub-sub
pokok bahasan dipaparkan yang dibantu dengan alat bantu berupa
media papan tulis, power point slide. Disamping itu menyiapkan
bahan-bahan bacaan tertentu yang dianggap / dipandang sulit / susah
untuk didapatkan atau diakses oleh mahasiswa / siswi. Sebelum
mengikuti perkuliahan, mahasiswa / siswi sudah mempersiapkan diri
( self study ) mencari bahan-bahan / materi, membaca dan memahami
pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai dengan arahan atau
guidance dalam diktat ini atau literatur yang diwajibkan. Teknik
perkuliahan adalah : pemaparan materi, tanya jawab dan diskusi atau
proses pembelajaran dua arah
e. Strategi Tutorial
1. Dalam kelas tutorial, mahasiswa / siswi akan dibagi dalam group-
group kecil, dengan jumlah maximum 20 orang
2. Mahasiswa / siswi mengerjakan tugas-tugas (TT), discussion task,
study task dan problem task sebagai bagian dari self study,
kemudian diskusi dikelas, tutorial, presentasi power point.
3. Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa / siswi diwajibkan
menyetor karya tulis berupa paper dan/atau tugas-tugas lain sesuai
dengan topik tutorial. Kemudian mempresentasikan tugas tutorial
dalam bentuk power point presentation atau slide head projector
untuk tugas topik tutorial pada saat itu.

6. Ujian dan Penilaian


a. Ujian : akan dilaksanakan 2 ( dua ) kali dalam bentuk tertulis yaitu Test
Tengah Semester / Ujian Tengah Semester ( UTS ) dan Test Akhir
Semester / Ujian Akhir Semester ( UAS )

10
b. Penilaian : penilaian akhir dan proses pembelajaran ini berdasarkan
Rumus Niali Akhir sesuai dengan Buku Pedoman Fakultas Hukum
Universitas Udayana, sebagai berikut :
(TT + UTS)
2 + 2 X UAS = Nilai Akhir
3

Skala Penilaian Penguasaan Kompetensi Ket. Dgn Skala Nilai

Huruf Angka 0 – 10 0 - 100


A 4 Sangat Baik 8,0-10,0 80-100
B+ 3,5 Antara sangat baik dgn baik 7,0-7,9 70-79
B 3 Baik 6,5-6,9 65-69
C+ 2,5 Antara baik dan cukup 6,0-6,4 60-64
C 2 Cukup 5,5-5,9 55-59
D+ 1,5 Kurang 5,0-5,4 50-54
D 1 Sangat kurang 4,0-4,9 40-49
E 0 Gagal 0,0-3,9 0-39

7. Materi / Organisasi Perkuliahan


1. Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta
Penggelapan
2. Tindak Pidana Penipuan
3. Tindak Pidana Penadahan
4. Pidana Tambahan terhadap harta benda

8. Daftar Bacaan :
Anwar. H.A.K. Moch, 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku
II), Jilid I, Alumni, Bandung

Bawengan. Gerson W, 1983 : Hukum Pidana Didalam Teori dan Praktek,


Pradnya Paramita, Jakarta

Chazawi. Adami, 2002 : Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja


Grafindo Perkasa, Jakarta

11
Lamintang. P.A.F (1), 1997 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung

---------------------- (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru,
Bandung

---------------------- (3), 1984 : Hukum Penitensier Indonesia, CV Armico,


Bandung

Lamintang. P.A.F, dan C. Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik


Khusus, kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan
Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito,
Bandung

Moeljatno, 1985 (1) : Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta

-------------, 2008 (2) : K.U.H.P. (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),


Cetakan 27, Bumi Aksara, Jakarta

Prodjodikoro. Wirjono, 1986 : Tindak-Tindak Pidana Tertentu di


Indonesia, Edisi 2, PT Eresco, Bandung

Saleh. Roeslan, 1983 : Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban


Pidana, Aksara Baru, Jakarta

Sianturi. SR, 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit


Alumni AHM-PTHM, Jakarta

Sugandhi. R, 1981: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya –
Indonesia

Utrecht. E, 1986 : Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas - Surabaya

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

12
XI JADWAL PERKULIAHAN

Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:

NO PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN


1 I Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan Perkuliahan 1
dan Pengancaman serta Penggelapan

2 II Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan Tutorial 1


dan Pengancaman serta Penggelapan

3 III Tindak Pidana Penipuan Perkuliahan 2

4 IV Tindak Pidana Penipuan Tutorial 2

5 V Tindak Pidana Penadahan Perkuliahan 3

6 VI Tindak Pidana Penadahan Tutorial 3

7 VII Pidana Tambahan terhadap harta benda Perkuliahan 4

8 VIII Pidana Tambahan terhadap harta benda Tutorial 4

9 IX UJIAN AKHIR SEMESTER Terstruktur

13
POKOK BAHASAN I
Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta Penggelapan
PERTEMUAN I: PERKULIAHAN

BAB: I
Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta Penggelapan

A. P E N D A H U L U A N
Didalam kehidupan manusia bermasyarakat, seringkali mendengar dan
melihat terjadinya suatu tindak pidana yang menyangkut harta benda. Tindak
pidana yang berhubungan dengan harta benda termasuk didalam Buku II KUHP,
yang terdiri dari Tindak Pidana Pencurian BAB XXII), Tindak Pidana Pemerasan
dan Pengancaman (BAB XXIII), Tindak Pidana Penggelapan (BAB XXIV),
Tindak Pidana Penipuan (BAB XXV), Tindak Pidana Yang Merugikan Orang
Yang Berpiutang dan Yang Berhak (BAB XXVI), (Tindak Pidana Perusakan
Barang (BAB XVII), Tindak Pidana Penadahan (BAB XXX). Tindak Pidana
Curang Dalam Perjanijian, Tindak Pidana Bangkrut (Pasal 396 s/d 403, 405, 520),
Tindak Pidana Terhadap Penerbitan dan Percetakan (Pasal 483 s/d 485), dan
Pelanggaran Terhadap Tanah Hak Milik (Pasal 548 / 551). ( HAK Moch. Anwar, 1982 : 16
dan SR. Sianturi, 1983 : 590 )

Tindak Pidana tersebut di atas akan dibahas satu persatu dalam buku ajar
ini. Dimulai dari Tindak Pidana Pencurian, Tindak pidana pencurian diatur dalam
BAB XXII, buku II adalah tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok, misalnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP. Pada umumnya memiliki unsur-unsur
yang bersifat subjektif dan bersifat objektif dan perbuatan itu dilakukan dengan
sengaja, meskipun tidak dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang, akan
tetapi tidak dapat disangkal lagi kebenarannya bahwa tindak pidana pencurian
tersebut harus dilakukan dengan sengaja, yakni karena undang-undang pidana
yang berlaku tidak mengenal lembaga tindak pidana pencurian yang dilakukan
dengan tidak sengaja atau culpoos diefstal (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 2).

14
3.1. Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHP)
“ Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memiliki secara
melawan hukum, diancam dengan pidana karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp. 60.00,- “ (lihat KUHP – Moeljatno (2), Cetakan 27, 2008)

Pasal ini merupakan bentuk pokok dari pada tindak pidana pencurian, yang
untuk dapat memasukan atau mengatakan perbuatan seseorang kedalam rumusan
pasal ini, harus melihat unsur-unsur yang terkandung didalam rumusan pasal itu
sendiri. Adapun unsur-unsur nya adalah sebagai berikut :
1).Unsur Objektif : terlihat dari kalimat : barang siapa / hij, mengambil /
wegnemen, barang atau sesuatu benda / eenig goed, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain / dat geheel of gedeeltelijk aan een ander
toebehoort.
2).Unsur Subjektif : terlihat dari kalimat : dengan maksud untuk memiliki /
menguasai secara melawan hukum / met het ogmerk om het zich
wederrechtelijk toe te eigenen. (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 17 dan P.A.F. Lamintang (2), 1989 :

1-2).

Kalimat “ barang siapa “ dalam rumusan pasal itu, berarti siapa saja atau
setiap orang atau bagi siapa saja yang dapat dianggap sebagai pelaku / dader suatu
tindak pidana, yang melakukan perbuatan sebagaimana yang dilarang untuk
dilakukan yang dinyatakan dalam undang-undang. Kalimat “ mengambil “ /
wegnemen oleh Lamintang menyatakan bahwa karena yang dilarang untuk
dilakukan oleh orang dalam pasal ini sebenarnya perbuatan “mengambil “, yaitu
mengambil sesuatu benda yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan kepunyaan
orang lain, dengan maksud menguasai benda tersebut secara melawan hukum.
Unsur ini mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan jaman,
yang semula diartikan memindahkan sesuatu barang dari tempat semula ke tempat
lain. Hal ini berarti membawa barang tersebut berada dibawah kekuasaannya
yang nyata. Kalimat perbuatan mengambil disini berarti perbuatan yang
mengakibatkan barang dibawah kekuasaan yang melakukan atau mengakibatkan

15
barang tersebut berada diluar kekuasaan pemilik yang syah. Dimana perbuatan
mengambil sudah dimulai saat seseorang berusaha melepaskan kekuasaan atas
suatu benda dari pemiliknya, sehingga perbuatan mengambil dianggap selesai
apabila benda tersebut sudah berpindah dari tempat asalnya. Dengan demikian,
perbuatan mengambil itu berarti (1) mengambil dari tempat dimana suatu benda
itu semula berada,( 2) mengambil suatu benda dari penguasaan orang lain (P.A.F.

Lamintang (2), 1989 : 11-14).

Oleh karena itu, unsur kesalahan di sini adalah berbentuk “ kesengajaan “


yang tersirat dari kata-kata “ mengambil “, yang dipertegas lagi dengan kata-kata
“ dengan maksud untuk memiliki “. Kata-kata dengan maksud disini berfungsi
ganda, yaitu disatu pihak menguatkan unsur sengaja pada delik ini dan dilain
pihak untuk menonjolkan peran sebagai tujuan si pelaku (SR. Sianturi, 1983 : 591)
Sedangkan pengertian mengambil dikalangan sarjana hukum barat seperti
yang dikemukakan oleh :
1). Mr. Blok mengatakan bahwa arti “ mengambil “ itu adalah suatu
prilaku yang membuat yang membuat benda berada dalam
penguasaannya yang nyata atau berada dibawah kekuasaannya atau
didalam detensinya, terlepas dari maksudnya tentang apa yang ia
inginkan dengan benda tersebut
2). Prof. Noyon – Langemeijer, mengambil adalah : selalu merupakan
suatu tindakan sepihak untuk membuat suatu benda berada dalam
penguasaannya.
3). Prof. Simon, mengambil adalah membawa sesuatu benda menjadi
berada dalam pengusaannya atau membawa benda tersebut secara
mutlak berada dibawah penguasaannya yang nyata, dengan kata lain
pada waktu melakukan perbuatannya, benda tersebut harus belum
berada dalam penguasaannya.
4). Prof. van Bemmelen – van Hattum, mengambil itu adalah setiap
tindakan yang membuat sebagian harta kekayaan orang lain menjadi
berada dalam pengusaannya tanpa bantuan atau tanpa seizin orang lain

16
tersebut, ataupun untuk memutuskan hubungan yang masih ada antara
orang lain itu dengan bagian harta kekayaan yang dimaksud.
5). Arrest HR tanggal 12 Nopember 1894, W.6578 dan Arrest tanggal
1935, NJ. 1935 halaman 681, W. 12932 memutuskan bahwa perbuatan
mengambil itu telah selesai, jika benda tersebut sudah berada ditangan
pelaku, walaupun benar bahwa ia kemudian telah melepaskan kembali
benda yang bersangkutan karena ketahuan oleh orang lain.

Didalam doktrin terdapat sejumlah teori tentang bilamana suatu perbuatan


“ mengambil “ / wegnemen itu dapat dipandang sebagai terjadi, yaitu :
a). Teori Kontrektasi atau Contrectatie Theorie yaitu : untuk adanya suatu
perbuatan mengambil itu, disyaratkan bahwa dengan sentuhan
badaniah, pelaku telah memindahkan benda yang bersangkutan dari
tempatnya semula.
b). Teori Ablasi atau Ablatie Theorie yaitu : untuk selesainya perbuatan
mengambil itu disayaratkan bahwa benda yang bersangkutan harus
telah diamankan oleh pelaku.
c). Teori Aprehensi atau Apprehensie Theorie yaitu : untuk adanya
perbuatan mengambil itu disyaratkan bahwa pelaku harus membuat
benda yang bersangkutan berada dalam penguasaan yang nyata. (P.A.F.

Lamintang (2), 1989 : 11-15).

Mengenai cara-cara pengambilan atau pemindahan kekuasaan – nyata ini,


secara garis besarnya dapat dibagi :
1). Memindahkan suatu barang dari suatu tempat ketempat lain. Dengan
berpindahnya barang itu, berarti berpindah pula penguasaan yang
nyata terhadap barang itu. Misalnya A mengambil sebuah TV milik B
dengan memindahkannya dari rumah B kerumah A, bahkan bisa
langsung menjual ke tukang tadah. Dengan berpindahnya TV itu dari
rumah B kerumah A atau dengan dijualnya kepada tukang tadah, maka
itu berarti kekuasaanbarang itu telah berpindah secara nyata kepada A.
17
2). Memindahkan suatu barang dengan atau melalui suatu penyaluran,
misalnya pencurian aliran listrik atau gas ( Arrest HR tanggal 23 Mei
1921 dan Arrest HR tanggal 9 September 1931. Ini melalui penafsiran
analogi. (lebih lanjut lihat Adami Chazawi, 2002 : 11 – 12 dan PAF. Lamintang (2), 1989 : 19 -
20)

3). Pelaku hanya melalui memegang atau menunggui suatu barang saja,
akan tetapi dengan ucapan atau gerakan mengisyaratkan bahwa barang
itu adalah kepunyaannya atau setidak-tidaknya orang menyangka
demikian dalam arti barang tidak dipindahkan ( SR. Sianturi, 1983 : 592 ).

Jika suatu benda / barang diambil oleh seseorang yang merupakan


kepunyaan orang lain, tidak untuk dimiliki, tetapi untuk dihancurkan atau dirusak,
maka itu bukan merupakan tindak pidana pencurian, sebagaimana dikatakan oleh
Prof. Simon. Demikian pula perbuatan mengambil suatu benda / barang dengan
maksud untuk memakainya sementara atau untuk memakainya sebagai penyewa,
juga bukan merupakan suatu tindak pidana pencurian,karena tidak terdapat unsur
dengan maksud untuk menguasai benda / barang itu
Sedangkan unsur barang yang dimaksudkan disini adalah pada dasarnya
setiap benda bergerak yang memiliki nilai ekonomis. Suatu pengertian yang wajar,
karena apabila barang itu tidak memiliki nilai ekonomis, tidak mungkin orang
akan membentuk kehendak untuk mengambil barang itu, sehingga dapat dikatakan
bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum ( SR. Sianturi, 1983 : 593 ).
Sedangkan R. Soesilo mengatakan bahwa barang itu tidak perlu
mempunyai nilai ekonomis (Gerson W. Bawengan, 1983 : 148). Akan tetapi pengertian
barang / benda ini lebih lanjut mengalami perkembangan yang cukup pesat,
bukan saja terhadap benda-benda baik bergerak maupun tidak bergerak, tetapi
juga terhadap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, demikian juga
terhadap benda yang dapat dipindah maupun yang tidak dapat dipindahkan.
Sebelum tahun 1921 pengertian barang hanya sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 362 KUHP saja, yaitu hanya benda yang berwujud dan menurut
sifatnya dapat dipindahkan. Tetapi setelah adanya keputusan Hoge Raad (HR)
18
tentang “ electriciteits-arrest atau “ arrest listrik “, tanggal 23 Mei 1921, NJ.
1921, halaman 564, W. 10728 terjadi perkembangan tentang pengertian barang,
yaitu telah memasukkan benda yang tidak berwujud. Mr. Taverna, Prof. Van
Bemmelen – van Hattum dan Pompe mengatakan bahwa putusan HR itu
menggunakan analogische interpretatie, yang dilarang dugunakan didalam hukum
pidana. Langemeijer dan Rolling mengatakan bahwa ptusan HR itu menggunakan
extensive interpretaie, yaitu menafsirkan pengertian benda / barang itu diperluas,
sehingga menyimpang dari dari maksud yang sebenarnya. Sedangkan Mr.
Hazewinkel-Suringa, dalam hal ini mengatakan bahwa HR telah menggunakan
atau memakai teleologische interpretatie yang memang tidak dilarang dan dipakai
dalam bidang hukum pidana. Prof. Van Bemmelen pada kesempatan lain
mengatakan bahwa putusan HR tersebut diatas menggunakan kombinasi dari 3
(tiga) metode penafsiran undang-undang, yaitu : 1). Anticiperende interpretatie,
2). Grammaticale interpretatie dan 3). Teleologische interpretatie. Beberapa
tahun kemudian, HR kembali membuat suatu keputusan tentang “ pencurian gas “,
dengan putusan HR, tanggal 9 Nopember 1931, NJ 1932, halaman 270, W. 12409.
Dimana putusan HR itu menganggap bahwa gas adalah merupakan benda-benda
yang tidak berwujud kedalam pengertian benda seperti yang dimaksudkan dalam
Pasal 362 KUHP tersebut diatas. (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 18-20)
Didalam pengertian barang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, disini tidak harus sepenuhnya menjadi milik seseorang, dalam arti bahwa
barang tersebut dapat sebagian menjadi milik orang lain. Sebagai suatu contoh
adalah : (1) Petani penggarap dan pemilik tanah pertanian/perkebunan atau (2)
Mengambil benda milik bersama seperti warisan. Sedangkan dalam kalimat
dengan maksud berfungsi ganda, yaitu disatu pihak berperan menguatkan unsur
kesengajaan dalam tindak pidana ini dan dilain pihak unsur ini berperan untuk
menonjolkan (memperlihatkan) sebagai tujuan dari sipelaku, tetapi kalimat
dengan maksud itu tidak selalu/kadangkala merupakan istilah lain dari kata-kata
sengaja (SR. Sianturi, 1983 : 591). Sehingga kata dengan maksud terwujud dalam
kehendak, keinginan atau tujuan dari si pelaku, dengan demikian bahwa
mempunyai maksud atau kehendak berarti dianggap memiliki kesengajaan. Unsur
19
“ memiliki “ disini berarti merupakan suatu usaha agar suatu barang / benda
berada dalam kekuasaannya atau dipindahkan dari suatu yang bukan menjadi
kekuasaannya. Dengan kata lain memindahkan kekuasaan suatu barang / benda
yang awalnya ada pada orang lain, kemudian menjadi dibawah kekuasaan si
pelaku. Dalam hal memiliki barang / benda bagi diri sendiri terwujud dalam
berbagai jenis tindak pidana, seperti menjual, memakai, memberikan pada orang,
menggadaikan, menukarkan, merubah dan sebagainya. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa si pelaku menggunakan suatu barang / benda yang seolah-olah
miliknya sendiri. Untuk memiliki suatu barang tidak perlu harus terwujud atau
terlaksana, artinya belum diwujudkan menjadi perbuatan yang nyata, akan tetapi
cukup si pelaku itu telah mempunyai maksud yang ada dalam dirinya si pelaku,
misalnya dalam hal tertangkap tangan.
Didalam unsur melawan hukum itu adalah suatu perbuatan yang
dikehendaki itu merupakan tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari si pelaku,
dimana si pelaku harus sadar bahwa yang diambil itu adalah milik orang lain
(H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 19). Kata melawan hukum itu mempunyai arti lebih luas dari
pada sekedar kalimat yang disebut memiliki, karena termasuk dalam pengertian
bagaimana caranya untuk memilik suatu barang / benda dan bertentangan dengan
kewajiban si pelaku. Mengenai unsur bersifat melawan hukum ini dapat ditinjau
dari :
1) Dengan mendasarkan pada ajaran bersifat melawan hukum material,
maka tindakan mengambil itu harus bersifat melawan hukum.
Mengingat unsur bersifat melawan hukum dalam pasal ini tidak
tersurat, melainkan hanya tersirat dan oleh karena menganut ajaran
yang material, maka bersifat melawan hukumnya tindakan itu harus
selalu dapat dibuktikan apabila dipersoalkan.
2) Dengan mendasarkan pada ajaran bersifat melawan hukum formal,
yang berarti apabila unsur bersifat melawan hukum ini tidak
dirumuskan dalam perundang-undangan, maka tidak ada keharusan
untuk membuktikannya. Lebih jauh ajaran ini berpendapat bahwa
sebenarnya dengan dirumuskannya suatu larangan dalam undang-
20
undang dan kendati tidak dirumuskan / dicantumkan secara tegas unsur
bersifat melawan hukumnya, maka dengan sendirinya tindakan
terlarang itu sudah bersifat melawan hukum (SR. Sianturi, 1983 : 591).
Unsur subjektif dengan maksud untuk menguasai / memiliki secara
melawan hukum, dalam arti bahwa si pelaku ingin menguasai seolah-olah si
pelaku itu adalah pemiliknya suatu benda / barang dan telah menunjukkan suatu
kehendak / niat atau tujuan dilakukan suatu tindak pidana.

3.2. Pencurian Gequalificeerde Diefstal (Pasal 363 KUHP)


Tindak pidana ini merupakan suatu tindak pidana pencurian yang
dikualifisir oleh keadaan-keadaan tertentu, sehingga merupakan hal-hal yang
memberatkan dalam pemidanaannya. Pasal 363 KUHP dalam :
Ayat (1) menyatakan bahwa : Diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun :
ke 1 : Pencurian ternak.
Ke 2 : Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa
bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampat, kecelakaan kereta api, huru-hara, pembrontakan
atau bahaya perang.
Ke 3 : Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan
oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh orang yang berhak.
ke 4 : Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu.
ke 5 : Pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan
atau sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan
dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
Ayat (2) menyatakan bahwa :Jika pencurian yang diterangkan dalam ke 3
disertai dengan salah satu hal tersebut ke 4 dan ke 5, maka
dikenakan pidana paling lama sembilan tahun (lihat KUHP - Moeljatno
(2), Cetakan 27, 2008)

Tindak pidana pencurian ini harus dibedakan dari tindak pidana pencurian
yang lain, oleh karena ada hal-hal yang bersifat khusus yang dipandang sebagai
harus dinilai sebagai yang memberatkan kualitas dari pencurian. Dengan demikian

21
tindak pidana ini disebut pula sebagai “ pencurian dengan keadaan yang
memberatkan atau sebagai pencurian yang dikualifikasikan atau strafverzwarende
omstandigheden ”
Pencurian ternak dalam ayat (1) ke 1 adalah merupakan unsur yang
bersifat objektif tambahan dalam pasal ini, dimana dimasukkannya pencurian
masalah ternak dalam KUHP tidak dapat dilepaskan dari sejarah terbentuknya
KUHP itu sendiri. Pada saat terbentuknya KUHP di negara Belanda, ternak ini
dianggap oleh bangsa Belanda memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan dapat
membantu pekerjaan manusia, sehingga dianggap sebagai hal yang memberatkan
sanksi pidananya (lihat Pasal 101 KUHP) (SR. Sianturi, 1983 : 601).
Seseorang agar dapat didakwa atau dimasukan kedalam rumusan Pasal 363
ayat (1) ke 1 KUHP ini, maka harus dibuktikan bahwa sipelaku (a). telah
menghendaki atau bermaksud untuk melakukan perbuatan mengambil, (b).
mengetahui bahwa yang diambil itu adalah ternak, (c). mengetahui bahwa ternak
itu sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain dan (d). bermaksud untuk
menguasai ternak tersebut secara melawan hukum ( PAF. Lamintang (2), 1989 : 34 – 35 ).
Dalam ayat (1) ke 2 terdapat keadaan yang memberatkan lainnya, yaitu
berbagai keadaan atau kejadian yang membuat setiap orang yang tertimpa
peristiwa sebagaimana rumusan kalimat dalam pasal, maka orang-orang tersebut
tidak akan pernah memikirkan tentang harta bendanya, karena lebih
mengutamakan keselamatan jiwa dan keluarganya. Keadaan-keadaan yang
demikian itu sudah tentu akan menimbulkan kecemasan dan kepanikan bagi setiap
orang yang tertimpa masalah itu, tetapi agaknya keadaan yang demikian itu
dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk melakukan tindak pidana, padahal
seharusnya ikut prihatin atau membantu untuk menyelamatkan benda/barang
berharga maupun manusianya.
Pengertian malam hari itu dalam ayat (1) ke 3 adalah waktu diantara
matahari terbenam dan matahari terbit sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 98
KUHP. Sedangkan pengertian rumah adalah suatu bangunan sebagai tempat
tinggal tetap atau sementara bagi manusia dan pekarangan tertutup adalah
sebidang tanah yang memiliki batas-batas / tanda-tanda tertentu untuk
22
membedakan dengan sebidang tanah lainnya yang ada disekelilingnya. Dimana
batas-batas / tanda-tanda itu tidak perlu harus dibuat permanen, yang penting ada
suatu tanda-tanda tertentu yang dapat menunjukan batas luas dan lebar sebidang
tanah tersebut. Juga pekarangan tertutup ini disyaratkan harus terdapat sebuah
rumah sebagai tempat tinggal / kediaman seseorang, yang memiliki batas-batas
tertentu dengan pekarangan orang lain yang ada disekitarnya (R. Sugandhi, 1980 : 379)
Dalam ayat (1) ke 4 disebutkan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh dua
orang atau lebih dengan bersekutu. Keadaan yang demikian ini tidak
dipersyaratkan harus telah ada pembicaraan terlebih dahulu sebagai suatu rencana
diantara mereka sebelum perbuatan itu dilakukan. Yang terpenting disini adalah
pada saat perbuatan itu dilakukan terdapat saling pengertian secara phsikis /
kejiwaan dan secara pisik / jasmani diantara mereka, meskipun pengertian itu
tidak secara detail atau terperinci, dianggap telah terjadi suatu kerjasama. Dengan
demikian, bersekutu atau bekerjasama dalam hal melakukan tindak pidana yang
bersifat spontan ini, telah dianggap melakukan perbuatan dengan sengaja,
meskipun tidak didahului dengan perundingan sebagai perencanaan terhadap
perbuatan yang akan dilakukan. Mereka yang terlibat dalam tindak pidana ini,
juga dapat dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, meskipun harus melalui
pembuktian dalam proses persidangan di Pengadilan.
Sedangkan didalam ayat (1) ke 5 juga merupakan suatu keadaan
memberatkan, dimana hal ini mengenai cara-cara perbuatan / tindak pidana itu
dilakukan yang dapat menimbulkan suatu akibat lain. Dimana perbuatan yang
dilakukan dapat berupa pembongkaran, pengerusakan, memanjat ( Pasal 99
KUHP ), menggunakan kunci palsu ( Pasal 100 KUHP ) dan perintah palsu serta
pakaian palsu.
Ancaman sanksi pidana dapat diperberat lagi, apabila perbuatan/tindak
pidana itu sebagaimana diterangkan dalam ke 3, yang disertai dengan salah satu
hal tersebut pada ke 4 dan ke 5, dimana ancaman sanksi pidananya menjadi 9
(sembilan) tahun (Pasal 363 ayat (2) KUHP).

23
3.3 Pencurian Ringan / Geprivilegeerd (Pasal 364 KUHP)
Perbuatan yang diterangkan dan diterapkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363
butir 4 dan butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah atau pekarangan tertutup
yang ada rumahnya, jika harga barang tidak lebih dari Rp. 25,- (Dua Puluh Lima
Rupiah), diancam dengan pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 250,- (Dua Ratus Lima Puluh
Rupiah). Perbuatan ini adalah merupakan pencurian ringan, oleh karena objek atau
nilai benda / barang yang dicuri tidak lebih dari Rp.25,- (Dua Puluh Lima
Rupiah), demikian juga terhadap ancaman pidana penjara hanya 3 (tiga) bulan dan
pidana denda hanya Rp. 250,- (Dua Ratus Lima Puluh Rupiah).

3.4 Pencurian Dengan Kekerasan (Pasal 365 KUHP)


Perbuatan pidana/tindak pidana ini merupakan suatu “ Gequalificeerde
Diefstal “ atau suatu “pencurian dengan kualifikasi “ ataupun merupakan suatu “
pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan “. Dimana rumusan Pasal 365
KUHP adalah :
-Ayat (1) : Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan
maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian,
atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan
melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap
menguasai barang yang dicuri.

-Ayat (2) : Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
Ke 1. : Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan
umum atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
Ke 2.: Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu.
Ke 3. : Jika masuknya ketempat melakukan kejahatan, dengan
merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci
palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Ke 4. : Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

-Ayat (3) : Jika perbuatannya mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana


penjara paling lama lima belas tahun.

24
-Ayat (4) : Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan
oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh
satu hal yang diterangkan dalam no.1 dan 3 (lihat Moeljatno (2),
KUHP – Cetakan 27, 2008).

Pasal 365 ayat (1) KUHP ini, yang dinyatakan dapat dipidana adalah suatu
kejahatan yang berdiri sendiri, yaitu pencurian yang dilakukan dalam suatu
keadaan yang memberatkan, oleh karena pelaksanaan perbuatan / tindakan itu
telah dilakukan dengan kekerasan / ancaman kekerasan terhadap orang. Pengertian
ini juga dapat disamakan sebagaimana yang terihat dalam rumusan Pasal 89
KUHP, yaitu : yang disamakan dengan melakukan kekerasan yaitu membuat
orang pingsan atau tidak berdaya. Simon menyatakan yang dapat dimasukkan
dalam pengertian “ kekerasan “ yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak
terlalu ringan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa kekerasan itu tidak perlu
merupakan sarana atau cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika
kekerasan itu dilakukan atau terjadi sebelum, selama dan sesudah pencurian itu
dilakukan, dengan maksud : (a). untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan
pencurian yang akan dilakukan, (b). jika kejahatan yang mereka lakukan itu
diketahui pada waktu sedang dilakukan ( op heterdaad betrape / tertangkap
tangan ),untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan
dapat melarikan diri dan (c). untuk menjamin tetap mereka kuasainya benda yang
telah mereka curi.(P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 53 – 55).
Penggunaan perbuatan / tindakan kekerasan ini dapat berwujud dengan
memukul, mengikat, menahan, mencekik, menjambak dsb.nya. Sedangkan “
ancaman kekerasan” adalah setiap perbuatan yang sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan akibat rasa takut atau cemas pada orang yang diancamnya (H.A.K.

Moch. Anwar, 1982 : 26).

Unsur-unsur yang terlihat didalam rumusan Pasal 365 KUHP itu adalah :
a). Unsur Objektif, terlihat dari kalimat : didahului, disertai, diikuti dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, dimana perbuatan itu dilakukan
terhadap seseorang.

25
b). Unsur Subjektif, terlihat dari kalimat : 1). dengan maksud untuk
mempersiapkan / mempermudah pencurian, 2). atau jika tertangkap
tangan, memberi kesempatan bagi diri sendiri atau peserta lainnya
untuk melarikan diri, 3). dengan maksud untuk mempertahankan/tetap
menguasai barang yang dicuri tersebut.(H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 25)
Didahului dengan kekerasan / ancaman kekerasan berarti sebelum
perbuatan pencurian itu dilakukan, dengan maksud adalah untuk mempersiapkan
segala sesuatu tentang / mengenai perbuatan-perbuatan yang akan dilaksanakan /
dilakukan. Disertai dengan kekerasan / ancaman kekerasan berarti penggunaan
perbuatan ini dilakukan, dengan maksud dan tujuan untuk mempermudah
dilaksanakannya perbuatan pencurian itu, misalnya dengan mengikat mulut dan
tangan pemilik rumah / penghuni rumah / orang lain yang ada dalam rumuh itu,
dimana perbuatan itu dilakukan. Sedangkan diikuti dengan kekerasan / ancaman
kekerasan berarti perbuatan itu dilakukan segera setelah perbuatan pencurian
selesai dilakukan, dengan maksud dan tujuan untuk memberi kesempatan bagi diri
sendiri untuk melarikan diri, atau peserta lainnya juga untuk melarikan diri atau
menjamin barang-barang yang telah dicuri itu tetap berada dalam penguasaan si
pelaku atau bila tertangkap tangan (Penjelasan Pasal 365 ayat (1) KUHP).
Penjelasan Pasal 365 ayat (2) ke 1 sama dengan Pasal 363 ayat (1) ke 3,
ayat (2) ke 2 sama dengan Pasal 363 ayat (1) ke 4, ayat (2) ke 3 sama dengan
Pasal 363 ayat (1) ke 5. Sedangkan Pasal 365 ayat (2) ke 4 yang mengakibatkan
timbulnya luka-luka berat, dapat dilihat hubungannya dengan Pasal 90 KUHP.
Demikian juga penjelasan Pasal 365 ayat (3) yang memperberat ancaman
pidananya sampai dengan 15 (lima belas) tahun, oleh karena akibat perbuatan itu
dapat menimbulkan kematian bagi seseorang, yang nantinya dapat dihubungkan
pasal-pasal tentang pembunuhan. Sedangkan penjelasan Pasal 365 ayat (4) hanya
memperberat ancaman pidananya mulai dari pidana penjara seumur hidup, pidana
mati atau selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun, jika : a).
Menimbulkan luka-luka berat atau matinya korban (ayat 2 ke 3 dan ayat 3), b).
Perbuatan tersebut seperti dalam ayat (2) ke 3 atau disertai pula oleh salah satu
sebagaimana diterangkan dalam ayat (2) ke 1 dan 3 KUHP.
26
3.5 Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Pencurian(Pasal 366 KUHP)
Didalam hal pemidanaan sebagaimana atau didasarkan salah satu
perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 362, Pasal 363 dan Pasal 365, dapat
dijatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu berdasarkan Pasal 35 No. 1 – 4
KUHP.

3.6 Pencurian Dalam Kalangan Keluarga (Pasal 367 KUHP)


Ayat (1) : Jika pembuat atau pembantu dari alah satu kejahatan dalam bab
ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan, dan
tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta
kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak
mungkin diadakan tuntutan pidana.
Ayat (2) : Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan tempat tidur
yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta
kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda,
baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat
kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan
penututan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
Ayat (3) : Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan
oleh orang lain daripada bapak kandungnya, maka aturan
tersebut ayat diatas, berlaku juga bagi orang itu (lihat KUHP –
Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Apabila kita melihat rumusan pasal tersebut diatas, maka ada 2 (dua)
ketentuan utama yang diatur, yaitu :
1). Ditiadakannya tuntutan pidana, jika sipelaku adalah suami yang masih
terikat sepenuhnya dalam perkawinan yang syah dengan kehilangan
atau sebaliknya. Sehingga dari sudut dari teori hukum, perbuatan itu
dipandang tidak bersifat melawan hukum dan perbuatan itu dipandang
ditiadakan. Disamping itu, harta kekayaan suami – istri adalah milik
bersama yang bersifat khusus selama mereka terikat dalam suatu
perkawinan yang syah dan sepenuhnya. Oleh karena itu, apabila salah
satu pihak melakukan perbuatan hukum (misalnya menjual), itu artinya
sama saja mereka menjual sendiri barang / bendanya.
2). Ketentuan dalam rumusan pasal ini merupakan delik aduan relatif, jika
sipelaku adalah :a). Suami/istri yang sudah terpisah meja dan ranjang

27
atau terpisah harta kekayaan, b). Keluarga sedarah dalam garis lurus
atau garis menyimpang 2 (dua) derajat, c). Keluarga semenda dalam
garis lurus atau menyimpang 2 (dua) derajat.
Di Indonesia, untuk melihat dan mengetahui bahwa mereka memiliki
hubungan suami – istri sebagai suatu ikatan perkawinan yang syah adalah dalam :
1). Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2). Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.
3). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
4). Ordonantie Perkawinan Indonesia Kristen ( Hoci S. 1933/74).
5). Peraturan Perkawinan Campuran ( S. 1933/74 tersebut No. 3, 4, dan 5
sejauh belum diatur pada No. 1 dan 2.
6). Berbagai perundang-undangan, Keputusan Mentri Agama, Surat
Edaran dsb (SR. Sianturi, 1983 : 612 – 613)
Apabila dalam delik aduan relatif tersebut terdapat peserta lain, maka tiap-
tiap peserta itu tidak dapat dituntut, jika nama mereka masing-masing tidak
disebutkan oleh pengadu didalam pengaduannya. Kecuali sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 72 dan Pasal 73 KUHP, pada umumnya yang berwenang mengajukan
pengaduan itu adalah orang yang menurut sifat dari kejahatannya, merupakan
orang yang secara langsung telah menjadi korban atau merupakan orang yang
secara langsung telah dirugikan oleh kejahatan yang telah dilakukan oleh orang
lain (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 61)

3.7 Tindak Pidana Pemerasan / Afpersing (Pasal 368 KUHP)


Ayat (1) : Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan
barang sesuatu, atau yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya memberi
hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Ayat (2) : Ketentuan Pasal 365 ayat (2), (3) dan (4) berlaku bagi kejahatan
ini. (lihat KUHP - Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

28
Didalam rumusan pasal ini, terlihat unsur-unsurnya untuk menentukan
atau dapat dipakai sebagai pedoman dalam penuntutan dan penjatuhan pidana,
yaitu :
1). Dalam ayat (1) ada : (a) unsur yang bersifat subjektif, terlihat dari
kalimat : dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum. (b) unsur yang bersifat objektif, terlihat
dari kalimat : perbuatan memaksa orang, dilakukan dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan sesuatu barang
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu / orang lain atau
membuat hutang atau menghapuskan / meniadakan pihutang.
2). Dalam ayat (2) terdapat unsur yang memberlakukan ketentuan Pasal
365 ayat (2), (3) dan (4) KUHP terhadap ketentuan Pasal 368 KUHP
ini.(P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 65 dan H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 31)
Pasal 368 KUHP ini tidak menyatakan secara tegas tentang adanya unsur
“ kesengajaan “ dalam melakukan suatu tindak pidana, Unsur opzet atau sengaja
dapat dilihat dari kalimat “ memakas dengan kekerasan “. Sehingga dapat
dikatakan bahwa perbuatan / tindak pidana ini merupakan suatu “ opzettelijk
misdriif “ atau : suatu kejahatan yang harus dilakukan dengan sengaja. Untuk
dapat menyatakan bahwa terdakwa memang terbukti memiliki kesengajaan, maka
harus dapat dibuktikan : (a). mempunyai makdsud atau kehendak untuk memakai
kekerasan atau ancaman kekerasan, (b). mempunyai maksud atau kehendak untuk
memaksa, (c). mengehatahui bahwa perbuatannya memaksa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan itu telah ia tujukan kepada orang lain tersebut, (d).
mengetahui bahwa perbuatannya memaksa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan itu telah ia lakukan agar orang lain tersebut : (1). menyerahkan sesuatu
benda yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain, (2).
menyatakan dirinya mempunyai hutang atau meniadakan utang, (e). mempunyai
maksud atau kehendak untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (P.A.F.

Lamintang (2), 1989 : 65-66).

29
Tentang bagaimana ancaman kekerasan itu harus dilakukan, Hoge Raad
dalam Arrest tanggal 5 Januari 1914, NJ. 1914, halaman 397, W. 9604, telah
mensyaratkan bahwa :
1. Ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa,
sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa
yang diancamkan itu benar-benar dapat merugikan kebebasan
pribadinya.
2. Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan
kesan seperti itu (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 68)
Didalam tindak pidana pemerasan sebenarnya tidak berdiri sendiri,
sipelaku perbuatan biasanya menggunakan 2 (dua) buah alat pelanggar atau
mungkin pula terjadi penggunaan lebih dari 2 (dua) buah alat pelanggar.
Ancaman kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 368 KUHP ini, tidak
selalu harus berhadapan secara langsung antara pemeras dengan orang yang
diperas, tetapi mungkin dapat dilakukan melalui suatu surat yang disebut dengan “
Black Mail “, telepon, atau pesanan lewat pihak lain atau pihak ke 3 (ketiga) (Gerson
W. Bawengan, 1983 : 153 – 155). Dalam pasal ini kesalahannya berbentuk kesengajaan,
yang tampak dalam kalimat “ dengan maksud “, dalam hal ini memperlihatkan
kehendak dari si pelaku bahwa perbuatan untuk menguntungkan diri sendiri dan
dilain pihak memperlihatkan pengetahuan atau kesadarannya serta keinsyafan,
bahwa si pelaku telah melakukan perbuatan memaksa. Apabila si pelaku tidak ada
niat / kehendak untuk menguntungkan diri sendiri / orang lain, maka pasal yang
lebih tepat diterapkan adalah Pasal 335 KUHP yang menentukan :
Ayat (1) : Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah :
Ke 1 : barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain
supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan
sesuatu, dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain
maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau
dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan
lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik
terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

30
Ke 2 : barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman
pencemaran atau pencemaran tertulis.

Ayat (2) : Dalam hal diterangkan ke 2, kejahatan hanya dituntut atas


pengaduan orang yang terkena (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27,
2008).

Seseorang dalam menyerahkan / memberikan sesuatu barangnya kepada si


pelaku, sudah tentu sebagai akibat dipaksa melalui kekerasan atau ancaman
kekerasan oleh si pelaku, yang mungkin juga menggunakan alat-alat kekerasan,
sehingga akan terlihat adanya hubungan kausal antara penyerahan barang itu dan
kekerasan. Masalah barang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain adalah
seluruhnya milik yang diperas atau sebagian milik orang yang diperas itu.
Sedangkan sebagian lagi kemungkinan kepunyaan si pelaku atau pihak ke III atau
seluruhnya kepunyaan orang lain / pihak ke III yang berada dalam kekuasaan
orang yang diperas. Bilamanakah tindak pidana pemerasan dalam arti memmakai
/ menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa orang lain untuk
menyerahkan / memberikan sesuatu benda yang sebagian atau seluruhnya
kepunyaan orang itu atau kepunyaan pihak ketiga itu, dapat dipandang sebagai
telah selesai dilakukan oleh pelakunya ? Untuk menjawab hal ini, HR dalam
arrestnya tanggal 17 Januari 1921, NJ. 1921, halaman 315, W. 10697 telah
memutuskan bahwa “ penyerahan sesuatu benda itu merupakan suatu unsur
kejahatan ini, dimana penyerahan itu dipandang selesaai dilakukan, yakni
bilaman orang yang menjadi korban kekerasan atau orang yang diancam dengan
kekerasan itu telah kehilangan penguasaannya atas benda yang bersangkutan “
(P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 70-71).

Membuat pihutang berarti orang yang diperas itu mengakui bahwa


memang benar berhutang kepada si pelaku pemeras, baik yang dilakukan secara
tertulis maupun secara lisan. Membuat hutang disini tidak saja dapat dilakukan
oleh si pelaku kepada korban, tetapi dapat juga dilakukan kepada orang lain untuk
membuat hutang. Sedangkan menghapuskan pihutang baik tertulis maupun secara
lisan, disini mengandung arti bahwa orang yang diperas itu menganggap
pihutangnya sudah lunas atau telah diselesaikan kepada si pelaku, atau segala
31
pihutang si pelaku dianggap sudah lunas / diselesaikan dengan dilakukan
perbuatan pidana itu oleh si pelaku kepada orang yang diperas, Akan tetapi
apabila pemaksaan pemerasan yang dilakukan dengan kekerasan / ancaman
kekerasan oleh si pelaku sudah terjadi, namun orang yang diperas itu tetap
bertahan dan mengadakan perlawanan dengan tetap mempertahankan sesuatu serta
tidak bersedia memenuhi semua permintaan si pelaku, maka disini terjadi suatu
percobaan pemerasan, maka Pasal yang tepat untuk diterapkan adalah Pasal 53
KUHP jo.Pasal 368 KUHP. Pasal 368 ayat (1) KUHP ini memiliki persamaan
dengan Pasal 365 ayat (1) KUHP, yaitu sama-sama menggunakan sarana
kekerasan/ancaman kekerasan. Sedangkan perbedaannya adalah dalam Pasal 365
ayat (1) KUHP : si pelaku merebut atau mengambil sendiri barang dari kekuasaan
korban dan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP si pelaku menerima penyerahan
barang dari korban.
Apabila diperhatikan ketentuan Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP tersebut
diatas, ternyata memiliki unsur subjektif yang sama, yaitu “ dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum “ Sedangkan
perbedaannya adalah terletak pada cara tentang bagaimana pemaksaan itu
dilakukan oleh si pelaku. Dalam tindak pidana pengancaman, pemaksaan
dilakukan dengan ancaman akan menfitnah dengan lisan atau tilisan atau akan
mengumumkan suatu rahasia, sedangkan dalam tindak pidana pemerasan,
pemaksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan

3.8 Tindak Pidana Pengancaman / Afdreiging (Pasal 369 KUHP)


Ayat (1) : Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman
pencemaran baik dengan lisan maupun tertulis, atau dengan
ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya
memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat
hutang atau menghapuskan pihutang, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
Ayat (2) : Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang
terkena kejahatan (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

32
Dengan melihat dan memperhatikan rumusan pasal tersebut diatas, maka
dapat ditarik unsur-unsurnya sebagai berikut :
1).Unsur Subjektif : terlihat dari kalimat “ dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum “.
2). Unsur Objektif : terlihat dari kalimat :
a). Barang siapa.
b). Dengan ancaman : (1). Akan menista / mencemarkan, (2). Akan
menista / mencemarkan dengan tulisan atau lisan, (3). Akan
mengumumkan / membuka suatu rahasia.
c). Memaksa seseorang untuk : (1). Menyerahkan sesuatu benda /
barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu /
orang lain / pihak III, (2) Menghapuskan hutang atau membuat
pihutang.(H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 31 dan P.A.F. Lamintang (2,) 1989 : 83)
Dalam rumusan pasal ini, meskipun unsur kesengajan atau opzet tidak
disyaratkan dengan tegas sebagai salah satu unsur dalam rumusan perundang-
undangan, akan tetapi harus dianggap si pelaku telah melakukan perbuatan/tindak
pidana dengan sengaja dan harus dibuktikan. Oleh karena itu, agar sipelaku dapat
dinyatakan terbukti memenuhi unsur kesengajaan, maka harus dibuktikan : (a).
telah mempunyai kehendak / maksud untuk melakukan perbuatan pengancaman,
(b). memang mengetahui bahwa ancamannya itu telah ditujukan pada orang lain,
(c). memang mengetahui bahwa ancaman itu merupakan ancaman (1). akan
menista dengan tulisan atau (2). akan mengumumkan suatu rahasia, (d). telah
mempunyai kehendak / maksud untuk melakukan perbuatan memaksa orang lain,
(e). memang mengetahui bahwa pemaksaan yang ia lakukan itu bertujuan untuk
memaksa orang lain (1). menyerahkan sesuatu benda yang sebagian atau
seluruhnya merupakan benda kepunyaan orang tersebut atau kepunyaan pihak
ketiga, (2). mengadakan perikatan utang atau meniadakan suatu piutang dan (f).
telah mempunyai kehendak / maksud untuk menguntungkan dir sendiri atau orang
lain secara melawan hukum (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 84-85).
Pengancaman / Afdreging ini didalam doktrin disebut dengan “ Chantage “
(istilah Perancis), “ Black Mail “ (istilah Inggris), yaitu mengancam atau meminta
33
dengan tulisan atau mengumumkan / membuka rahasia (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 34).
Dengan mencermati dan rumusan pasal tersebut diatas, bahwa perbuatan /
tindakan yang dilakukan adalah dengan memaksa dan mengancam. Maka itu itu
mencerminkan bahwa perbuatan / tindak itu dilakukan dengan sengaja ( opzettelijk
misdrif ), meskipun unsur kesengajaan atau opzet itu tidak disyaratkan dengan
tegas sebagai unsur tindak pidana ini, sehingga harus dibuktikan dalam proses
lebih lanjut. Jika maksud / kehendak / pengetahuan pelaku tidak dapat dibuktikan,
maka dengan sendirinya tidak dapat dikatakan bahwa “ kesengajaan “ pelaku
untuk melakukan tindak pidana ini sebagaimana diatur dalam pasal tersebut di
atas.
Oleh karena itu, orang yang disangka / didakwa melakukan tindak pidana
ini, oleh aparat penegak hukum harus diberikan putusan bebas dari tuntutan
hukum atau ontslag van rechtsvervolging. Oleh karena itu, agar pelaku dapat
dinyatakan terbukti memenuhi unsur kesengajaan itu, maka aparat penegak hukum
yang memeriksa perkara pelaku harus dapat membuktikan bahwa pelaku :
1. Telah mempunyai kehendak atau maksud untuk melakukan perbuatan
mengancam.
2. Memang mengetahui bahwa ancamannya itu telah ditujukan pada orang
lain.
3. Memang mengetahui bahwa ancaman itu merupakan ancaman akan
menista, akan menista dengan tulisan atau mengumumkan suatu
rahasia.
4. Telah mepunyai kehendak atau maksud melakukan perbuatan memaksa
orang lain
5. Memang mengetahui bahwa pemaksaan yang ia lakukan itu bertujuan
untuk memaksa orang lain : menyerahkan sesuatu benda yang sebagian
atau seluruhnya merupakan benda kepunyaan orang tersebut atau
kepunyaan pihak ketiga atau mengadakan perkiraan utang atau
meniadakan pihutang (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 84).
Kalimat “ barangsiapa “ artinya menunjuk pada orang yang memenuhi
semua unsur dari tindak pidana ini, sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut
34
Umum ( JPU ), maka orang itu harus dipandang / dianggap sebagai pelaku / dader
dari tindak pidana ini. Pengertian rahasia yang dimaksud oleh Pasal 369 KUHP
ini, oleh Hoge Raad dalam Arestnya tertanggal 17 Juli 1931 NJ. 1932, hal. 340 W.
12367 menyatakan : “ sesuatu yang hanya diketahui oleh beberapa orang saja,
yang ingin dirahasiakan oleh orang yang mendapat ancaman dan mengenai
pengumuman dari rahasia tersebut, yang dimaksudkan bukan hanya agar umum
menjadi tahu, melainkan juga memberitahukan dengan maksud agar orang atau
orang-orang yang oleh orang yang mendapat ancaman diharapkan tidak
mengetahui tentang rahasia tersebut, menjadi mengetahuinya “.
Sedangkan menurut Simon, rahasia sebagaimana yang dimaksudkan diatas
tersebut, dapat merupakan suatu rahasia yang dipercayakan kepada pelaku
ataupun yang secara kebetulan diketahui oleh pelaku (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 88 – 89).
Perbuatan pengancaman yang memaksa seseorang untuk melakukan
sesuatu (dalam poin c) tersebut diatas, adalah perbuatan memaksa itu dipandang
telah selessai dilakukan oleh si pelaku, apabila orang yang mendapat paksaan
untuk menyerahkan sesuatu benda tersebut telah kehilangan penguasaan atas
benda yang bersangkutan, akan tetapi tidak berarti bahwa pada saat yang sama
benda tersebut jatuh dalam pengusaan si pelaku.
Unsur subjektif dari ketentuan Pasal 369 ayat (1) KUHP, menurut Prof.
van Bemmelen – Van Hattum bahwa yang dimaksud dengan “ maksud “ itu
adalah maksud selanjutnya dari si pelaku tindak pidana. Maksud seperti itu tidak
tercapai pada waktu si pelaku selesai melakukan tindak pidananya, melainkan
cukup jika terbukti bahwa si pelaku bermaksud seperti itu (menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum).
Dengan demikian akan timbul pertanyaan yaitu : apakah maksud si pelaku
itu selalu harus ditujukan pada sifatnya melawan hukum dari keuntungannya
yang ia harapkan ?.(P.A.F. Lamintang (2), 1989). Sebagaimana kita ketahui bahwa kata
melawan hukum dalam rumusan Pasal 369 ayat (1) KUHP ini, sebenarnya telah
dimaksud untuk menunjukkan sifatnya yang melawan hukum. Dari maksud
pelaku dan bukan untuk menunjukan sifatnya yang melawan hukum dari
kemungkinan yang diharapkan akan diperoleh oleh si pelaku. Sehingga menurut
35
van Bemmelen – van Hattum menyatakan bahwa tindak pidana pengancaman itu
merupakan suatu delik aduan absolut / Absolute Klachtdelict dan pada saat yang
sama juga merupakan suatu delik aduan relatif. Demikian juga pendapat Prof.
Pompe yang menyatakan bahwa tindak pidana pengancaman itu sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 369 ayat (2) adalah merupakan suatu delik
aduan absolut, termasuk ketentuan Pasal 367 ayat (2) KUHP (P.A.F. Lamintang (1) : 1997 :
97) Didalam ketentuan ayat (2) nya adalah merupakan delik aduan murni, oleh
karena si pelaku baru dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang
terkena kejahatan.

3.9. Ketentuan Pasal 370 KUHP


“ Ketentuan Pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang
dirumuskan dalam bab ini “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Sebagaimana kita ketahui, bahwa ketentuan Pasal 367 KUHP merupakan


tindak pidana pencurian dikalangan keluarga, namun diberlakukan juga terhadap
kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam bab ini (Pasal 370). Sebenarnya
ketentuan Pasal 370 KUHP ini dapat menimbulkan berbagai pertanyaan dan
persepsi, karena tidak memberikan keterangan/penjelasan tentang kejahatan-
kejahatan mana saja yang dimaksud untuk dapat memberlakukan ketetentuan
Pasal 367 KUHP. Memang bila dilihat dari kalimat ” kejahatan-kejahatan yang
dirumuskan dalam bab ini “, berarti semua ketentuan mulai dari Pasal 362 KUHP
sampai dengan Pasal 369 KUHP. Apabila hal itu yang dimaksudkan, timbul
pertanyaan yaitu : mengapa membuat Pasal yang tidak memiliki norma dan sanksi
pidana didalam KUHP, sehingga terkesan Pasal ini hanya merupakan penegasan
bahwa ketentuan Pasal 367 KUHP tentang tindak pidana pencurian dalam
keluarga berlaku bagi suatu kejahatan yang dirumuskan dalam bab tentang
kejahatan terhadap harta benda.

3.10 Pidana Tambahan (Pasal 371 KUHP)


Ketentuan dalam Pasal ini hanya merupakan pidana tambahan bagi
si pelaku kejahatan-kejahatan sebagaimana diterangkan dalam bab ini (Ketentuan
36
dari Pasal 362 KUHP sampai dengan Pasal 369 KUHP). Pidana tambahan itu
misalnya dapat berupa salah satu pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) ke 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan ayat (2) KUHP.

3.11 Tindak Pidana Penggelapan


Tindak pidana ini berasal dari hukum Jerman, yang membuat perbedaan
antara yang disebut dengan pencurian seperti yang kita kenal saat ini dengan apa
yang disebut dengan “ diebische behalten “ atau “ diefactige behouden “ atau “
menguasai secara tidak syah “. Kemudian dibuat lagi perbedaan berdasarkan
kenyataan yaitu apakah benda yang dikuasai itu memang telah dipercayakan
kepadanya atau karena benda tersebut secara kebetulan berada didalam
penguasaannya. Atas dasar itulah orang-orang Jerman kemudian memasukkan
kedalam undang-undang mereka apa yang disebut “ Unterslagung “ atau “
Verduistering “ atau “ Penggelapan “ sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri
(P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 104) Masalah tindak pidana penggelapan diatur dalam Bab
XXIV dari Pasal 372 KUHP sampai dengan Pasal 377 KUHP, yang akan dibahas
satu demi satu yaitu :
3.12 Penggelapan Biasa (Pasal 372 KUHP)
“ Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku
sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi
yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah “ (lihat KUHP –
Morljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Pasal 372 KUHP ini memiliki unsur-unsur sebagai berikut :


a). Unsur Subjektif, terlihat dari kalimat : dengan sengaja dan dengan
melawan hukum
b). Unsur Objektif, terlihat dari kalimat :
- memiliki / menguasai secara melawan hukum atau zich
wederrechtelijk toeeigenen
- barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.

37
- barang itu ada padanya atau dikuasai bukan karena kejahatan
(H.A.K. Moch. Anwar, 1982 dan P.A.F. Lamintang (2), 1989 :105)

Kejahatan ini dinamakan “ penggelapan biasa “, dimana penggelapan


adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP,
hanya bedanya kalau dalam pencurian bahwa barang yang diambil untuk dimiliki
itu belum berada ditangannya si pelaku, sedangkan dalam penggelapan barang
yang diambil untuk dimiliki itu sudah berada di tangannya si pelaku tidak dengan
jalan kejahatan atau sudah dipercayakan kepadanya (R. Sugandhi, 1980 : 390).
Memiliki adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang atau lebih tegas
lagi setiap tindakan yang mewujudkan suatu kehendak untuk melakukan
kekuasaan yang nyata dan mutlak atas barang itu, sehingga tindakan itu
merupakan perbuatan sebagai pemilik atas barang itu. Pengertian memiliki dengan
melawan hukum berarti bertindak seakan-akan pemilik atau bertindak sebagai
pemilik, sedangkan si pelaku bukan pemilik atau si pelaku tidak mempunyai hak
milik atas barang itu. Dengan memperhatikan unsur dengan melawan hukum,
terlihat adanya perbedaan antara pasal 362 KUHP dan Pasal 372 KUHP, dimana
dalam Pasal 362 KUHP unsur ini merupakan unsur yang subjektif yang
dirumuskan dengan maksud memiliki dengan melawan hukum, sedangkan dalam
pasal 372 KUHP unsur ini adalah bersifat objektif yang merupakan perbuatan
yang dilarang. Barang yang dikuasai bukan karena kejahatan artinya, sipelaku
sudah menguasai barang dan barang itu oleh pemiliknya dipercayakan kepada
pelaku, sehingga barang yang ada pada si pelaku secara syah (bukan karena
kejahatan). Dengan dilakukannya perbuatan memiliki barang itu dengan melawan
hukum, si pelaku telah melanggar kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh
pemilik.
Juga dinyatakan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan sengaja, hal ini
berarti bahwa pelaku mengetahui dan sadar, sehingga si pelaku dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Dengan demikian unsur sengaja itu
meliputi atau mempengaruhi semua unsur yang letaknya dibelakang dan ini berarti
bahwa :

38
(a). Dengan melawan hukum, harus diketahui oleh si pelaku, dimana si
pelaku harus mengetahui bahwa perbuatannya melawan hukum,
(b). Barang diketahui oleh si pelaku dan perbuatan yang dilakukan itu
ditujukan kepada barang,
(c). Seluruhnya atau sebagian barang milik orang lain harus diketahui oleh
si pelaku, dan
(d). Dikuasainya barang itu bukan karena kejahatan juga harus diketahui
dan disadari oleh si pelaku (H.A.K, Moch. Anwar, 1982 : 35 – 37)
Bila kita berbicara dengan bertitik tolak dari pengertian opzet /
kesengajaan, itu berarti sebagai “Willens en Weten “ atau “menghendaki dan
mengetahui“. Dimana yang dapat “gewild“ atau beoogt atau dikehendaki itu
hanyalah perbuatan - perbuatan saja, sedangkan keadaan-keadaan itu hanya dapat
“geweten” atau diketahui. Oleh karena itu, agar orang dapat menyatakan
seseorang terdakwa itu telah memenuhi unsur kesengajaan / opzet seperti
disyaratkan dalam Pasal 372 KUHP, maka sidang pengadilan yang memeriksa
terdakwa harus dapat membuktikan bahwa pelaku memang benar-benar :
1). Telah menghendaki / bermaksud untuk menguasai suatu benda secara
melawan hukum.
2). Mengetahui bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda.
3). Mengetahui bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah
kepunyaan orang lain.
4). Mengetahui bahwa benda tersebut berada padanya bukan karena
kejahatan.(P.A.F.Lamintang (2), 1989 : 106)
Didalam beberapa keputusan arrestnya Hoge Raad mengartikan kata-kata
“ yang ada padanya bukan karena kejahatan” menunjukan adanya suatu keharusan
adanya hubungan langsung yang sifatnya nyata, antara pelaku dengan suatu benda
tertentu. Orang tidak dapat mengatakan adanya hubungan semacam itu antara
pelaku dengan benda-benda yang berada didalam suatu peti yang terkunci.
Sehingga baru dapat dikatakan bahwa perbuatan itu melawan hukum, setelah
sebelumnya harus membuka peti tersebut dengan paksa itu bukan merupakan
suatu penggelapan melainkan karena suatu pencurian. van Bemmelen – van
39
Hattum mengartikan kata “ barang yang ada padanya “ itu tidak perlu bahwa
orang harus menguasai sendiri benda tersebut secara nyata. Dapat saja orang
mendapat penguasaan atas suatu benda melalui orang lain. Lebih lanjut keduanya
menyatakan bahwa : barangsiapa harus menyimpan suatu benda, ia dapat
menyerahkannya kepada orang lain untuk menyimpan benda tersebut. Jika ia
kemudian telah memerintahkan orang lain itu untuk menjualnya, maka ia telah
melakukan suatu pengelapan. Pernyataan kedua Profesor tersebut diatas, ternyata
sesuai dengan pendapatnya Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 14 April 1913, NJ
1913 halaman 913, W. 9497 yang antara lain menyatakan bahwa : yang dimaksud
dengan “ benda yang ada padanya “ itu ialah benda, atas benda mana pelaku
mempunyai penguasaan, tidak menjadi soal apakah penguasaan tersebut
dilakukan secara pribadi oleh pelaku tersebut atau dilakukan oleh orang lain.
Dapat dimasukkan dalam pengertian orang lain seperti itu, yakni pihak ketiga
yang menyimpan benda tersebut untuk kepentingan pelaku. Ternyata Hoge Raad
telah memberikan suatu pengertian yang demikian luas tentang unsur yang ada
padanya dalam rumusan Pasal 372 KUHP (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 106 dan 122 – 123).
Unsur menguasai secara “ melawan hukum atau zich wederrhtelijk to
eeigenen “ oleh Prof. Simon dikatakan sebagai “ suatu tindakan yang sedemikian
rupa, yang membuat pelaku memperoleh suatu kekuasaan yang nyata atas suatu
benda seperti yang dimiliki oleh pemiliknya dan pada saat yang sama telah
membuat kekuasaan tersebut diambil dari pemiliknya “. Sedangkan Prof. van
Bemmelen – van Hattum menyatakan bahwa menguasai secara melawan hukum
atau “ zich wederrehtelijk to eeigenen “ adalah : “ melakukan suatu prilaku yang
mencerminkan putusan pelaku untuk secara mutlak melaksanakan kekuasaan yang
nyata atas suatu benda “. Sedangkan Noyon – Langemeijer menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan “ secara melawan hukum atau zich wederrechtelijk to
eeigenen “ adalah : membuat suatu putusan untuk memanfaatkan suatu benda
seperti yang dikehendaki menjadi tindakan-tindakan (P.A.F. Lamintang 92), 1989 : 108-109).
Hal yang penting untuk diketahui dari beberapa putusan kasasi, baik dari
Arest HR maupun Mahkamah Agung RI yang mengatakan bahwa :

40
1). Kata “ memiliki “ didalam Pasal 372 KUHP itu berarti menguasai
suatu benda bertentang dengan sifat dari hak yang dimiliki atas benda
itu, dalam Putusan MA 11 Agustus 1959 No. 69 K/Kr/1959.

2). Kata-kata “ memiliki “ dan “ menggelapkan “ dalam Pasal 372 KUHP


dan Pasal 415 KUHP itu tidak selalu mengandung sifat bermanfaat
bagi diri pribadi, dalam Putusan MA 7 April 1956 No. 92 K/Kr/1955.

3). Mengenai masalah apakah perbuatan penuntut kasasi ini menimbulkan


kerugian atau tidak, bukanlah merupakan unsur dari tindak pidana
penggelapan, dalam Putusan MA 3 Desember 1963 No. 101
K/Kr1963.

4). Dalam hal seseorang diwajibkan menjual barang-barang pada pihak-


pihak tertentu saja, ia dapat diangap telah melakukan tindak pidana
penggelapan, jika ia ternyata telah menjual barang-barang tersebut
pada orang lain, dalam Putusan MA 22 September 1956 No. 33
K/Kr/1956.

5). Dengan diterimanya kembali sebagian dari uang yang digelapkan oleh
orang yang dirugikan, sifat kepidanaan dari perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa tidak berubah menjadi sifat keperdataan, dalam Putusan
MA 8 Februari 1958 No. 242 K/Kr/1957.

6). Terdakwa sebagai seorang penyelenggara arisan dalam perkara ini,


karena tidak menyerahkan uang arisan yang telah terkumpul kepada
orang yang berhak menerimanya, telah melakukan tindak pidana
penggelapan dan tidak tepat jika arisan dianggap sebagai hubungan
pinjam-meminjam tanpa bunga, dalam Putusan MA 19 Nopember
1973 No. 106/K/Kr/1973.

41
7). Bahwa kuasa direksi tidak menganggap perlu untuk mengadukan
penuntut kasasi kepada pihak kepolisian, tidaklah menutup
kemungkinan bagi penuntut umum untuk menuntut penuntut kasasi
dimuka hakim karena tindak pidana itu bukan merupakan suatu delik
aduan, dalam Putusan MA 18 Oktober 1967 No. 129/K/Kr/1966.

8). Seorang bendahara yang dengan syarat-syarat tertentu hanya boleh


membayar uang gajinya dari uang kas, telah menggelapkan uang
sebesar uang gajinya jika ia telah mengeluarkan uang dari kas bagi
dirinya sendiri tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan
itu, dalam Putusan HR 21 Maret 1927, NJ 1927 halaman 450,
W.11660.

9). Barangsiapa tidak mengembalikan uang yang terlalu banyak telah


diterimanya, melainkan merahasiakan hal tersebut bahkan tidak
mengakui pada waktu ditanya oleh orang yang membayarkan uang
tersebut telah menguasai uang tersebut secara sepihak dan memiliki
secara melawan hukum , dalam Putusan HR 16 April 1895, W. 6652.
( PAF. Lamintang (2), 1989 :116 – 117 dan SR. Sianturi, 1983 : 622 )

Tentang penguasaan suatu benda / barang yang berada padanya bukan


karena kejahatan, dalam berbagai arrestnya seperti arrestnya HR tanggal 25 Juni
1946, W. 1947, No. 131, arrest HR tanggal 8 Juni 1914, NJ. 1914, halaman 947,
W. 9662 telah mengatakan bahwa “ kata-kata yang ada padanya “ atau onder zich
hebben itu menunjukkan keharuskan adanya suatu hubungan langsung yang
sifatnya nyata atau suatu onmiddelijke feiteljkenverhouding antara pelaku dengan
suatu benda / barang, yaitu perbuatannya menguasai secara melawan hukum atas
benda tersebut, dapat dipandang sebagai suatu tindak pidana penggelapan dan
bukan sebagai tindak pidana pencurian.
Oleh karena itu, muncul suatu pertanyaan yaitu : apakah orang dapat
mempunyai kesengajaan untuk “ menguasai secara melawan hukum “ benda-
42
benda yang secara nyata tidak langsung dikuasai oleh orang tersebut atau tidak ?.
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, Prof. van Bemmelen – van Hattum
menyatakan bahwa : “ untuk dapat disebut “ yang ada padanya “ itu tidak perlu
bahwa orang harus menguasai sendiri benda / barang itu secara nyata. Dapat
saja orang mendapat penguasaan atas suatu benda / barang melalui orang lain.
Barangsiapa menyimpan suatu benda / barang, ia dapat menyerahkan kepada
orang lain untuk menyimpan benda / barang tersebut. Jika ia kemudian telah
memerintahkan orang lain itu untuk menjualnya,maka ia melakukan suatu
penggelapan “. (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 121-122)
Pernyataan kedua sarjana tersebut diatas, ternyata sesuai dengan pendapat
HR dalam arrestnya tanggal 14 April 1913, NJ 1913 halaman 913, W. 9497, yang
mengatakan : “ yang dimaksud dengan “ benda yang ada padanya “ itu ialah
benda, atas benda mana pelaku mempunya kekuasaan, tidak menjadi soal apakah
penguasaan tersebut dilakukan secara pribadi oleh pelaku tersebut atau
dilakukan oleh orang lain. Dapat dimasukkan kedalam pengertian orang lain
seperti itu, yakni yang menyimpan benda tersebut untuk kepentingan pelaku “.
Dari keputusan arrest HR tersebut, orang dapat mengetui bahwa HR telah
mengartikan unsur “ yang ada padanya “ didalam rumusan Pasal 372 KUHP itu
sedemikian luas, sehingga yang termasuk dalam pengertian itu bukan hanya jika
suatu benda ternyata secara nyata berada langsung dalam penguasaan pelaku
secara pribadi saja, melainkan juga jika benda tersebut berada pada orang lain.
( PAF. Lamintang (2), 1989 : 122 – 123 )

3.13 Penggelapan Ringan / Gepriviligigieerde (Pasal 373 KUHP)


“Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372, apabila yang
digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh
lima rupiah, dikenai sebagai penggelapan ringan, pidana penjara
paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah “
(lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Tindak pidana penggelapan ini juga sering disebut dengan tindak pidana
penggelapan biasa. Tidak dimasukkannya masalah ternak sebagai suatu keadaan
yang dapat memberatkan si pelaku, sebagaimana dalam rumusan Pasal 363

43
KUHP, kiranya dikalangan para ahli atau sarjana hukum dapat diterima dan sangat
tepat. Oleh karena hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada umumnya dalam
masyarakat (terutama didaerah pedesaan), orang yang lebih kaya dan memiliki
ternak menitipkan ternaknya pada orang yang lebih miskin, untuk dipelihara
dengan perjanjian bagi hasil diantara mereka, sehingga si penerima ternak seolah-
olah sebagai pemilik. Kemudian si penerima itu melakukan penggelapan ternak
tersebut, maka tidak mungkin melakukan tuntutan dan ancaman pidana berat
terhadap orang miskin tersebut, oleh karena hal itu sangat memberatkan bagi
orang-orang miskin dan tidak begitu banyak manfaat yang didapat dengan
tuntutan dan ancaman pidana berat itu.

3.14 Penggelapan Berat / Gequalifiseerd Verduistering (Pasal 374 KUHP)


“ Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya
terhadap barang, disebabkan karena ada hubungan kerja atau
karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun “ (lihat
KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008 )

Dikalangan sarjana hukum, penggelapan ini sering dinamakan dengan


penggelapan yang bersifat khusus, oleh karena ada hal-hal yang bersifat khusus.
Jika memperhatikan ketentuan rumusan pasal tersebut diatas, maka unsur-
unsurnya :
1). Semua unsur penggelapan pada Pasal 372 KUHP.
2). Ditambah dengan unsur yang memberatkan pidana, yaitu (a). oleh
seseorang. (b). barang dibawah kekuasaannya karena : 1). hubungan
kerja secara pribadi, 2). Hubungan kerja dalam mata pencaharian atau
profesi dan c). Hubungan itu memperolah upah.
Hal-hal tersebut diatas merupakan hubungan kerja yang bersifat sosial,
akan tetapi dapat memberatkan pidananya terhadap para pelaku. Oleh karena si
pelaku tersebut sebenarnya telah diserahkan suatu tanggung jawab dan
kepercayaan terhadap suatu barang, tetapi justru si pelaku itu sendiri yang
melakukan tindak pidana. Sehingga H.A.K. Moch. Anwar mengatakan bahwa
akan terlihat adanya hubungan sosial yang menyangkut status / kedudukan antara
44
2 (dua) orang yang berbeda karena pekerjaan, yaitu antara si pelaku dalam status /
kedudukan sosial yang lemah dan orang yang memberikan tanggung jawab dan
kekuasaan/kepercayaan berada dalam status / kedudukan sosial yang kuat (H.A.K.

Moch. Anwar, 1982 : 37).

Menurut HR tanggal 23 Juni 1930, NJ. 1930, halaman 1532, W. 12176


telah mengatakan bahwa “ hubungan kerja secara pribadi “ adalah hubungan kerja
yang timbul karena diadakannya suatu perjanjian kerja. Suatu benda / barang yang
digelapkan itu tidak perlu merupakan kepunyaan orang, dengan orang dimana
pelaku mempunyai hubungan kerja secara pribadi. Tentang siapa yang dapat
disebut sebagai orang yang telah menggelapkan suatu benda / barang yang berada
padanya “ karena pekerjaan “, HR juga telah menyebutkan antara lain adalah
seorang wali yang sebelum melakukan tindak pidana ini telah kehilangan haknya
sebagai seorang wali karena kesalahannya sendiri (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 126).

Sedangkan orang yang memegang / menguasai suatu benda / barang karena


memperoleh / menerima upah atau tegen geldelijke vergoeding misalnya seorang
penjaga sepeda motor yang diserahkan oleh seseorang untuk ditipkan atau dijaga,
itu artinya benda ada pada pelaku penjaga sepeda motor karena pekerjaannya
Pemberian arti pada kata-kata “ uit hoofde van zijne persoonlijke
dienstbetrekking “ didalam rumusan tindak pidana penggelapan sebagaimana
diatur dalam Pasal 374 KUHP sebagai “ karena jabatannya “ sudah jelas tidak
benar, oleh karena yang diatur bukan masalah tindak penggelapan jabatan, dimana
yang yang disebut “ penggelapan jabatan “ itu sendiri oleh pembentuk undang-
undang telah diatur didalam Pasal 415 KUHP. Sehingga yang diatur oleh Pasal
374 KUHP ini bukan merupakan tindak pidana penggelapan yang dilakukan
“ dalam jabatan “, tetapi hanya tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh
pelaku dalam fungsi-fungsinya yang tertentu. Kata fungsi itu sendiri biasanya
dipakai orang untuk menunjukkan suatu “ lingkungan kerja tertentu “ yang tidak
ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan atau tugas-tugas
kepemerintahan sebagaimana yang dimaksud diatas. Penafsiran kata-kata “ dalam
jabatan “ untuk adanya suatu kepastian hukum, maka Mahkamah Agung Republik
Indonesia (MARI) dalam Putusan Kasasinya tanggal 8 Mei 1957, No. 83
45
K/Kr/1956 telah memutuskan bahwa : “ yang diartikan dengan perkataan memliki
(toeeigenen) sebagai termaksud dalam Pasal 374 KUHP ialah menguasai barang
bertentangan denga hak yang dipunyai seseorang atas barang tersebut (toeeigenen
is een “ beschikken “ over het goed in strijd met de aard van het recht, dat men
over dat goed uittoefent), maka penggunaan uang oleh seorang pegawai negeri
untuk keperluan lain ( meskipun untuk dibuatkan bon ) daripada yang telah
ditentukan, merupakan kejahatan termaksud dalam Pasal 374 KUHP “. Oleh
karena itu, putusan MARI itu telah mengartikan tindak penggelapan yang diatur
dalam Pasal 374 KUHP itu sebagai tindak pidana penggelapan jabatan (P.A.F.

Lamintang (2), 1989 : 127-128)

3.15 Penggelapan Dengan Pemberatan (Pasal 375 KUHP)


“ Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa
diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali,
pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus
lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang
dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Unsur-unsur yang terlihat didalam rumusan pasal itu :


1) Semua unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP.
2) Ditambah dengan unsur yang memberatkan dalam Pasal 374
KUHP, yaitu : a). Oleh orang yang kepadanya terpaksa barang
itu diberikan untuk disimpan, b). Terhadap barang yang ada
pada orang tersebut karena jabatan sebagai wali, pengampu,
kuasa atas harta kekayaan yang ditinggalkan pemiliknya,
pengurus yang menjalankan wasiat dan pengurus lembaga
sosial atau yayasan (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 133, H.A.K. Moch. Anwar, 1982
: 38-39).

Penggelapan dalam pasal diatas dilakukan oleh orang-orang tertentu ini


dalam kewajibannya sebagai akibat dari hubungan orang itu dengan barang-
barang yang harus diurusnya. Menurut Simon, kalimat / kata orang yang
diserahkan (diberi barang) untuk disimpan karena terpaksa itu, harus diartikan

46
menurut pengertian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1703 BW/KUHPer, yang
berbunyi :
“ Penyimpanan karena terpaksa itu merupakan yang terpaksa dilakukan
orang karena adanya sesuatu peristiwa, seperti kebakaran, robohnya
sebuah bangunan, perampokan, bencana tenggelamnya sebuah kapal,
banjir dan lain-lain peristiwa yang tidak diduga sebelumnya akan terjadi
“ (lihat juga Pasal 1706 dan 1709 BW/KUHPer).
Voogd atau “ Wali “ adalah : orang yang dengan suatu penetapan hakim
telah diberi kepercayaan untuk melakukan pengawasan terhadap anak-anak yang
belum dewasa berikut harta kekayaan mereka. Pengertian “ pengampu “ atau
“ curator “ adalah : orang yang dengan suatu penetapan hakim telah mendapat
kepercayaan untuk melakukan pengawasan terhadap orang- orang yang telah
dewasa berikut harta kekayaan mereka, yaitu karena mereka itu misalnya
memerlukan orang-orang yang mempunyai penyakit jiwa atau orang-orang yang
dipandang tidak mengurus harta kekayaan mereka sendiri. Didalam pengertian
“ menjalankan / melaksanakan wasiat “ adalah orang yang ditunjuk oleh orang
lain didalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki dalam
surat wasiat tersebut, apabila ia kemudian meninggal dunia. Sedangkan pengurus
lembaga sosial atau yayasan adalah mereka yang mempunyai kewajiban mengurus
dan mengamankan harta kekayaan lembaga sosial atau yayasan tersebut, serta
bertanggung jawab terhadap harta kekayaan lembaga dan yayasan sosial tersebut
(P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 134 – 135).

3.16 Penggelapan Dalam Keluarga (Pasal 376 KUHP)


“ Ketentuan Pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang
dirumuskan dalam bab ini “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Dikalangan para sarjana hukum / ahli hukum, ketentuan pasal ini adalah
merupakan delik aduan relatif, oleh karena memerlukan adanya suatu pengaduan
dari orang yang terkena kejahatan dan merupakan syarat mutlak untuk melakukan
penuntutan pidana bila telah ada pengaduan dari pihak korban kejahatan sebagai
yang mengadukan tindak pidana ini. ( Lihat Pasal 367 KUHP diatas )
47
3.17 Pidana Tambahan Dalam Penggelapan (Pasal 377 KUHP)
- Ayat (1) : Pada waktu pemidanaan karena salah satu kejahatan yang
dirumuskan dalam Pasal 372, 374 dan 375, hakim dapat
memerintahkan supaya putusan diumumkan dan dicabutnya
hak-hak tersebut Pasal 35 No. 1 – 4.
- Ayat (2) : Jika kejahatan dilakukan dalam menjalankan pencahariannya,
maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencahariannya
(lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim itu dirumuskan


dalam Pasal 10 huruf b angka 3 KUHP itu, mempunyai maksud adalah agar
putusan yang berisi suatu penjatuhan pidana bagi seseorang terpidana, menjadi
diketahui orang secara lebih luas dengan tujuan-tujuan tertentu. van Hammel
mengatakan tujuan dari pengumuman putusan hakim itu adalah “ sebagai
peringatan bagi kaumnya yang didalam pekerjaan mereka telah melakukan
penipuan atau hal-hal yang tidak baik “.
Sedangkan Noyon – Langemeijer mengatakan bahwa tujuan pengumuman
putusan hakim itu adalah “ untuk memberikan peringatan kepada mereka yang
kemudian akan mengadakan hubungan dengan terpidana “. Demikian juga
Simon, yang mengatakan bahwa tujuan pengumuman putusan hakim itu adalah “
untuk mencegah agar orang-orang yang segolongan dengan terpidana, jangan
melakukan tindak pidana yang sama “. Dimanaa pidana itu adalah merupakan
suatu penderitaan bagi terpidana, karena nama baiknya telah dicemarkan didepan
orang banyak, tetapi dilain pihak adalah menyelamatkan masyarakat. Mengingat
bahwa pidana tambahan tersebut telah dibenarkan untuk diperintahkan oleh hakim
bagi beberapa tindak pidana, dimana pelakunya ternyata telah menyalahgunakan
kepercayaan yang telah diberikan oleh orang kepadanya, atau setidak-tidaknya
karena pelakunya itu telah melakukan tindakan-tindakan, yang menunjukkan
bahwa ia bukanlah merupakan orang yang dapat dipercaya. Sekarang bagaimana
caranya hakim akan mengumumkan putusannya, termasuk bagaimana masalah
beayanya, semua itu tergantung dari pertimbangan hakim itu sendiri (P.A.F. Lamintang
(3), 1984 : 129 – 131).

48
RANGKUMAN PERKULIAHAAN:
Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana, dinamakan perbuatan pidana, tindak
pidana atau delik atau peristiwa pidana. Menurut ujud dan sifatnya, perbuatan
pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawa / bertentangan dengan hukum
atau bertentangan dengan hak seseorang dan hak si pelaku perbuatan pidana /
tindak pidana / delik dan yang dapat merugikan seseorang atau masyarakat, dalam
arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata tertib dalam
pergaulan yang dianggap baik dan adil, juga dapat dikatakan bahwa perbuatan
pidana itu adalah perbuatan yang anti sosial. Akan tetapi tidak semua perbuatan-
perbuatan yang melawan hukum atau yang bersifat merugikan masyarakat dapat
disebut dengan perbuatan pidana, termasuk pemberian sanksi pidana.
Oleh karena harus ada syarat-syarat sebagai unsur utama untuk adanya
perbuatan pidana, yaitu secara kenyataan harus ada aturan yang melarang dan
mengancam dengan pidana barangsiapa yang melanggar larangan tersebut (Roeslan
Saleh, 1983 :13-14). Seperti dikatakan diatas bahwa tidak semua perbuatan yang
dianggap bersifat melawan hukum atau merugikan masyarakat harus diberi sanksi
pidana, misalnya perbuatan pelacuran, disini tidak dijadikan perbuatan pidana,
dalam arti bahwa perbuatan pelacurannya sendiri tidak dilarang dan diancam
dengan pidana. Perbuatan pelacuran tidak dijadikan larangan pidana, janganlah
diartikan bahwa hal ini tidak dianggap merugikan masyarakat, tetapi karena
sukarnya untuk mengadakan rumusan / formula yang tepat tentang norma dan
sanksinya, sehingga dalam praktek dapat dilaksanakan diterapkan tentang
perbuatan dan sanksinya.
Dalam hal ini yang dapat dituntut adalah hanya orang yang menyediakan
tempat untuk pelacuran dan menjadikan hal itu sebagai pencaharian atau
kebiasaan (lihat Pasal 296 KUHP). Tentang penentuan perbuatan mana yang
dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut azas legalitas / principle of
legality, yaitu azas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus
ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (Pasal 1 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, selanjutnya disingkat KUHP). Didalam
49
aturan hukum pidana kita dapat melihat suatu kalimat “ Barang siapa melakukan
perbuatan pidana, diancam dengan pidana “. Akan tetapi belum berarti bahwa
tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana. Sebab
untuk memidana seseorang, disamping melakukan perbuatan yang dilarang, juga
dikenal asas yang berbunyi “ Tiada Dipidana Jika Tidak Ada Kesalahan “ atau
“Green Straf Zonder Schuld ”.(Moeljatno (1), 1985 : 3-5)
Dikalangan sarjana hukum semua mengetahui bahwa hukum pidana
mengandung suatu norma yaitu berupa larangan atau suruhan / kaidah dan adanya
sanksi atas pelanggarann norma itu berupa ancaman dengan sanksi / hukuman /
pidana. Dengan demikian setiap orang harus mentaati dan menghormati norma
berupa larangan atau suruhan / kaidah yang terdapat dalam suatu aturan hukum,
agar tidak memperoleh / mendapat sanksi akibat perbuatan yang melanggar norma
larangan atau suruhan / kaidah tersebut. Hukum pidana memberikan suatu sanksi
yang bersifat istimewa atas terjadinya pelanggaran kaidah hukum privat maupun
atas pelanggaran kaidah hukum publik yang telah ada. Hukum pidana itu
melindungi, baik kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan hukum privat
maupun oleh peraturan hukum publik.
Dengan demikian hukum pidana melindungi ke 2 (kedua) macam
kepentingan itu, dengan membuat/memberikan suatu sanksi istimewa, dimana
sanksi yang cukup keras dan tajam itu diberikan kepada pelanggar-pelanggar
aturan, untuk terciptanya keamanan, ketertiban dan kedamaian serta keadilan bagi
orang yang dirugikan.
Dikalangan sarjana hukum pidana barat seperti. Simons mengatakan,
bahwa kata tindak pidana menggunakan istilah Strafbaar feit, yaitu “ sebagai
suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum “. Alasan Simons merumuskan strafbaar feit
demikian adalah (1) untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu
harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh
undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam
50
itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum, (2) agar sesuatu
tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur
dari delik seperti yang dirumuskan didalam undang-undang dan (3) setiap
strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut
undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum
atau merupakan suatu “ onrechtmatige handeling “.(P.A.F. Lamintang (1), 1997 : 185)

Sedangkan Moeljatno menggunakan istilah “ perbuatan pidana “, yaitu perbuatan


yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman / sanksi
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
(Moeljatno (1), 1985 : 54).

Dengan demikian unsur-unsur perbuatan pidana tersebut adalah a).


kelakuan dan akibat (= perbuatan ), b). hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
perbuatan, c). keadaan tambahan yang memberatkan pidana, d). unsur melawan
hukum yang objektif dan e). unsur melawan hukum yang subjektif (Moeljatno (1), 1985 :
61) Ternyata didalam kenyataan hidup manusia sehari-hari, masih sering dan
banyak kita jumpai perbuatan-perbuatan yang melanggar atau menyimpang dari
ketentuan-ketentuan aturan hukum yang berlaku, seolah-olah manusia itu tidak
takut akan akibat dan ancaman sanksi pidana yang akan diterima, dengan
melakukan perbuatan negatif tersebut. Sehingga dengan demikian, apabila
ternyata sanksi-sanksi yang ada didalam hukum privat ataupun hukum publik itu
kurang keras dan tajam, maka terpaksa membuat sanksi-sanksi yang lebih keras,
yang lebih dapat memaksa yaitu dengan membuat hukum pidana khusus (Utrecht. E,

1986 : 67-68).

Daftar Bacaan
Anwar. H.A.K. Moch. 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II),
Jilid I, Alumni – Bandung

Bawengan. Gerson W, 1983 : Hukum Pidana Didalam Teori dan Prakek,


Pradnya paramita – Jakarta

Chazawi. Adami, 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja Grafindo


Perkasa – Jakarta

51
Lamintang. P.A.F, (1), 1979 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra
Aditya Bakti – Bandung

-------------------- , (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru –
Bandung

-------------------- , (3), 1984 : Hukum Penitensier Indonesia, Armico – Bandung

Lamintang. P.A.F dan Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik Khusus,


Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain Hak
Yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito – Bandung

Moeljatno (1), 1985 : Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara – Jakarta

------------ (2), 2008 : KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ), Cetakan


27, Bumi Aksara – Jakarta

Saleh, Roeslan, 1983 : Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana,


Aksara Baru – Jakarta

Sianturi. SR, 1983 : Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit


Alumni AHM-PTHM – Jakarta

Sugandhi.R, 1980 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan


Penjelasannya, Usaha Nasional – Surabaya – Indonesia

52
2. Latihan :

PERTEMUAN II: TUTORIAL 1


TINDAK PIDANA PENCURIAN, PEMERASAN DAN PENGANCAMAN
SERTA PENGGELAPAN

Kasus: 1

Ahmad berteman dengan Bejo, suatu malam Ahmad menginap dirumah


Bejo, pada saat Bejo tidur dengan nyenyak, Ahmad ingin memiliki HPnya Bejo
yang tersimpan dalam almari. Tanpa sepengetahuan Bejo, Ahmad merusak pintu
almari Bejo untuk mengambil HP. Besok paginya Ahmad mendahului bagun dan
langsung pergi membawa HP Benjo yang kemudian ditengan jalan bertemu
dengan Cupil,Ahmad langsung menjual HP tersebut kepadanya Cupil yang sudah
biasa membeli barang-barang hasil kejahatan dan akhirnya Ahmad dan Cupil
ditangkap Polisi setelah dilaporkan oleh Bejo.

Pertanyaan :

1. Tindak pidana apa saja yang dilakukan oleh Ahmad serta jelaskan unsur pasal

yang dapat dikenakan kepadanya.

2. Bagaimana kalau seandainya Bejo sedang menggunakan HP kemudian Ahmad

mengancam dengan pisau Bejo untuk menyerahkan HPnya ?

3. Apakah Cupil dapat pula ditangkap oleh Polisi serta tindak pidana apa yang

dapat diancamkan kepada Cupil tersebut ?

53
Kasus: 2
Ardy seorang makelar mobil, menyewa sebuah mobil avanza pada sebuah
perusahan penyewa mobil dengan menggunakan KTP orang lain yang diganti
fotonya dengan fotonya sendiri, setelah mobil tersebut ada padanya kemudian
mobil tersebut dibawa pulang ke Jawa mengunjungi keluarganya dengan cara
mengganti surat kendaraan tersebut atas namanya sendiri. Setelah sampai di Jawa
kendaraan tersebut digadaikan/dijual Ardy pada orang lain karena kehabisan uang.
Setelah beberapa lama penyewa mobil melaporkan kepada Polisi bahwa mobilnya
sewaannya hilang dibawa kabur oleh penyewa. Tertangkaplah Ardy oleh polisi
yang dituduh melakukan tindak pidana.

Pertanyaan :
1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan oleh Ardy, jelaskan pendapat saudara
sesuai dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh Ardy
2. Bedakan antara tindak pidana pencurian dengan tindak pidana penggelapan

Kasus: 3
Albet sorang pecandu narkoba, ia ingin membeli narkoba namun tidak
mempunyai uang, kemudian timbul niatnya untuk melakukan pencurian dirumah
Dina yang sering kosong. Pada saat Albet masuk kerumah si Dina ternyata Dina
hanya sendirian dirumahnya. Albet meminta uang kepada Dina Dina tidak mau,
kemudian Albet menodongkan pisau kepada Dina kalau ia tidak memberinya.
Karena Dina takut akhirnya dina menyerahkan uangnya kemudian ia juga diminta
melepaskan dan menyerahkan kalung, jam dan sebagainya kepada Albet, Dina
berikan semuanya. Setelah itu Dina melaporkan perbuatan Albet ke Polisi.

Pertanyaan :
1. Unsur-unsur objektif dan subjektif apa yang ada pada Albet untuk
dapat diancam tindak pidana pemerasan dan pengancaman (ps 368
KUHP).
54
2. Jelaskan perbedaan ketentua tersebut diatas dengan pencurian dengan
ancaman kekerasan dalam Pasal 365 KUHP
3.
Daftar Bacaan
Anwar. H.A.K. Moch. 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II),
Jilid I, Alumni – Bandung

Bawengan. Gerson W, 1983 : Hukum Pidana Didalam Teori dan Prakek,


Pradnya paramita – Jakarta

Chazawi. Adami, 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja Grafindo


Perkasa – Jakarta

Lamintang. P.A.F, (1), 1979 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra


Aditya Bakti – Bandung

-------------------- , (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru –
Bandung

-------------------- , (3), 1984 : Hukum Penitensier Indonesia, Armico – Bandung

Lamintang. P.A.F dan Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik Khusus,


Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain Hak
Yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito – Bandung

Moeljatno (1), 1985 : Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara – Jakarta

------------ (2), 2008 : KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ), Cetakan


27, Bumi Aksara – Jakarta

Saleh, Roeslan, 1983 : Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana,


Aksara Baru – Jakarta

Sianturi. SR, 1983 : Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit


Alumni AHM-PTHM – Jakarta

Sugandhi.R, 1980 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan


Penjelasannya, Usaha Nasional – Surabaya – Indonesia

55
POKOK BAHASAN II
TINDAK PIDANA PENIPUAN/BEDROG
PERTEMUAN KE III: PERKULIAHAN II

BAB: II
TINDAK PIDANA PENIPUAN/BEDROG

A. Pendahuluan
Tindak pidana penipuan / bedrog dewasa ini demikian marak dan sering
terjadi dalam kehidupan masyarakat, dengan berbagai modus operandi, objek atau
alat yang digunakan dan tujuan yang ingin dicapai oleh si pelaku kejahatan.
Sehingga sering kita dengar dan lihat melalui berbagai pemberitaan, baik media
massa cetak maupun elektronik, telah banyak korban dan kerugian yang
ditimbulkan dari tindak pidana ini, untuk itulah akan dibahas satu demi satu pasal-
pasal yang mengatur tentang tindak pidana penipuan dalam KUHP, seperti :

4.1 Tindak Pidana Dalam Bentuk Pokok (Pasal 378 KUHP)


“ Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama
palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi
hutang maupun menghapuskan pihutang, diancaman kerena
penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun “(lihat
KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Dengan memperhatikan dan melihat rumusan pasal tersebut diatas, maka


unsur-unsur yang terkandung didalamnya adalah :
1). Unsur Subjektif : dengan maksud / met het oogmerk, (a).
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, (b). dengan melawan
hukum.
2). Unsur Objektif :

56
a). Membujuk / menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk
penggerak : memakai nama palsu, memakai martabat / keadaan /
sifat palsu, rangkaian kata-kata bohong dan tipu muslihat.
b). Agar : orang menyerahkan sesuatu barang, membuat pihutang atau
menghapuskan pihutang (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 40 – 41, P.A.F. Lamintang (2),
1989 : 142)

P.A.F. Lamintang mengatakan bahwa walaupun pembentuk undang-


undang tidak mensyaratkan unsur “ kesengajaan “ bagi pelaku untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang terlarang sebagaimana rumusal pasal, akan tetapi
dengan melihat pada syarat tentang keharusan adanya suatu maksud selanjutnya
( Bijkomen Oomerk atau naaste doel ) dari si pelaku untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka sudah dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa perbuatan penipuan Pasal 378 KUHP ini merupakan suatu
kejahatan / Opzettelijk Misdrif atau merupakan suatu kejahatan yang harus
dilakukan dengan kesengajaan (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 141 – 142).
Kalimat dengan maksud itu dalam rumusan pasal adalah merupakan unsur
kesalahan dalam bentuk kesengajaan / dolus yang ditempatkan di awal
perumusan, dalam hal ini berfungsi ganda / rangkap yaitu : baik berfungsi sebagai
kesengajaan maupun sebagai tujuan dilakukan perbuatan tersebut. Sebagai unsur
kesengajaan, maka si pelaku harus menyadari / menghendaki suatu keuntungan
untuk diri sendiri atau orang lain, termasuk ke tidak berhak-kan atas suatu
keuntungan dengan menggunakan sarana kebohongan yang merupakan alat untuk
memperdaya. Pembuktian tentang “ maksud, kehendak dan pengetahuan “
terdakwa dalam praktek mengalami kesulitan, terutama apbila terdakwa
menyangkal segala tuduhan dari jaksa Penuntut Umum. Oleh karena itu, bila tidak
dapat dibuktikan dalam persidangan, maka terdakwa harus dibebaskan dari segala
dakwaan dan tunututan hukum ( P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 143). Sedangkan fungsinya
sebagai tujuan berarti tidak harus selalu menjadi kenyataan keuntungan yang
diharapkan (SR. Sianturi, 1983 : 632)
Pengertian menguntungkan (Bevoordelen) menurut Prof, van Bemmelen
– van Hattum mengartikan bahwa “ setiap perbaikan keadaan yang dicapai orang
57
atau yang secara pantas dapat diharapkan akan dicapai orang. Perbaikan
tersebut hampir selalu bersifat hukum kekayaan, setidak-tidaknya mempunyai
akibat-akibat yang bersifat hukum keharta kekayaan “.
Akan tetapi menurut P.A.F. Lamintang, hal tersebut tidaklah selalu harus
demikian, beliau lebih setuju dengan pendapat Noyon – Lange Meijer, bahwa
keuntungan tersebut adalah merupakan keuntungan yang sifatnya dibidang
kehidupan ekonomi. Kemudian yang dimaksud dengan keuntungan yang bersifat
melawan hukum, dapat diartikan bahwa suatu keuntungan yang dapat juga disebut
dengan bertentangan dengan kepatutan didalam suatu pergaulan bermasyarakat.
Jika pada keuntungan itu masih terdapat cacat tentang bagaimana caranya
keuntungan itu dapat diperoleh dan juga sampai saat orang menikmatinya atau
jika keuntungan itu sendiri sifatnya bertentangan dengan kepatutan dalam
pergaulan bermasyarakat, tanpa perlu memperhatikan bagaimana caranya
keuntungan itu dapat diperoleh, maka hal ini harus dilihat dalam konteks teori
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan.
Dengan demikian orang akan dapat mengetahui bahwa untuk dapat disebut
bersifat melawan hukum disini adalah bukan hanya apabila keuntungannya itu
sendiri bersifat bertentangan dengan kepatutan didalam pergaulan bermasyarakat,
melainkan juga cara memperoleh keuntungan tersebut ternyata bertentangan
dengan kepatutan didalam pergaulan bermasyarakat (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 145 – 148).
Bewegen tot afgifte atau “ menggerakan / membujuk “ disini berarti :
tergeraknya hati sikorban agar bersedia melakukan sesuatu perbuatan dengan
suatu permintaan tanpa tekanan, meskipun kadang kala menghadapi suatu sikap
ragu-ragu dari si korban. Dalam praktek kehidupan manusia sehari-hari, mungkin
hal ini lebih cenderung merupakan bujuk rayu, yaitu siskorban melakukan suatu
perbuatan, yang sebenarnya justru merugikan diri sendiri tanpa paksaan.
Perbuatan membujuk itu adalah menanamkan pengaruh demikian rupa terhadap
orang, sehingga orang yang dipengaruhinya mau berbuat sesuatu sesuai dengan
kehendaknya, padahal apabila orang itu mengetetahui duduk yang sebenarnya,
tidak akan mau melakukan perbuatan itu (R.Sugandhi, 1980 “ 396). Menyerahkan suatu
benda dalam rumusan Pasal 378 KUHP merupakan : “ setiap tindakan
58
memisahkan suatu benda dengan cara yang bagaimanapun dan dalam keadaan
yang bagaimanapun dari orang yang menguasai benda tersebut untuk diserahkan
kepada siapapun “.
Menurut HR, “ penyerahan atau afgifte “ itu merupakan unsur konstitutif
dari tindak pidana penipuan, sehingga penyerahkan tersebut tidak perlu dilakukan
secara langsung kepada pelaku. Hal ini berarti bahwa pelaku dapat menyuruh
orang yang ditipu untuk menyerahkan benda tersebut kepada seorang perantara
atau kepada beberapa orang perantara yang dikirim oleh pelaku untuk menerima
penyerahan benda yang bersangkutan. Pengertian ini sejalan dengan pendapat HR
dalam Arrestnya tanggal 27 Maret 1933, NJ. 1933, halaman 902, W. 12604 yang
memutuskan bahwa : “ termasuk dalam pengertian penyerahkan adalah juga
menyuruh menyerahkan, yaitu perbuatan menyerahkan oleh orang yang dirugikan
kepada seorang perantara dengan perintah untuk menyerahkan benda yang harus
diserahkan kepada orang yang disuruh oleh pelaku “. Sedangkan “ perbuatan
menggerakkan “ orang lain “ untuk menyerahkan suatu benda “ itu juga dapat
dilakukan melalui seorang perantara, yakni tidak dilakukan terhadap orang yang
diharapkan akan melakukan “ penyerahan “ tersebut, melainkan terhadap orang
ketiga, akan tetapi harus terdapat kepastian bahwa maksudnya ialah untuk
memperoleh “ penyerahan “ dan terdapat hubungan sebab-akibat antara upaya
dipakai oleh pelaku dengan penyerahan benda yang bersangkutan.(P.A.F. Lamintang (2),
1989 : 150-151).

Terhadap pengertian “ nama palsu “ menurut Satochid Kartanegara


adalah suatu nama palsu itu harus merupakan nama seseorang, dimana nama
tersebut dapat merupakan nama sebenarnya, tetapi bukan merupakan nama si
pelaku itu sendiri atau memang merupakan nama si pelaku, akan tetapi tidak
diketahui oleh umum atau merupakan nama yang tidak digunakan oleh seseorang /
orang lain (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 155). Pengertian tentang martabat / keadaan / sifat
palsu atau hoedanigheid yang dalam istilah Belandanya disebut “ Hoedanigheid “,
menurut Prof van Bememlen – van Hattum adalah : “ setiap ciri pribadi yang
membuat orang yang menyerahkan suatu benda menjadi lebih percaya, bahwa
orang lain itu berwenang meminta penyerahan benda yang bersangkutan. Dengan
59
kata lain orang yang menyerahkan benda itu harus menjadi tergerak oleh sifat
tersebut “.
Sedangkan rangkaian kata-kata bohong itu di isyaratkan bahwa harus
terdapat beberapa kata-kata bohong yang harus diucapkan. Satu kata bohong saja
tidak cukup sebagai alat penggerak ataupun alat bujuk. Rangkaian kata-kata
bohong yang diucapkan secara tersembunyi, sehingga merupakan suatu ceritra
kata yang dapat diterima sebagai suatu yang logis dan benar. Jadi kata-kata itu
tersusun, sehingga kata yang satu membenarkan atau memperkuat kata yang lain
(H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 41).

Sedangkan Satauchid Kartanegara memberikan pengertian “ rangkaian


kata-kata bohong “ atau samenweefsel van verdichtsels adalah : “ rangkaian kata-
kata yang terjalin demikian rupa, hingga kata-kata tersebut mempunyai hubungan
antara yang satu dengan yang lain dan dapat menimbulkan kessan seolah-olah,
kata-kata yang satu itu membenarkan kata-kata yang lain, padahal semuanya itu
sesungguhnya tidak sesuai dengan kebenaran” (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 159).
R. Sugandhi menafsiran kata “ rangkaian kebohongan “ itu adalah :
susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun demikian rupa, sehingga
kebohongan yang satunditutup dengan kebohongan-kebohongan yang lain,
sehingga keseluruhannya merupakan cerita tentang sesuatu yang seakan-akan
benar (R. Sugandhi, 1980 : 397). Sedangkan HR dalam berbagai arrestnya seperti Arest
HR tanggal 8 Maret 1926, NJ. 1926 halaman 368. W. 11502, Arrest HR tanggal
28 Juli 1916, NJ 1916 halaman 919, W. 9987 dan Arrest HR tanggal 11 Maret
1929, NJ. 1929 halaman 855, W. 11995 telah memberikan arti “ rangkaian kata-
kata bohong “ adalah : “ dapat dikatakan terdapat suatu susunan kata-kata bohong
bilamana antara beberapa kebohongan itu terdapat hubungan yang demikian rupa,
dan kebohongan yang satu dengan kebohongan yang lainnya itu keadaannya
adalah demikian rupa, sehingga semua kata-kata bohong itu secara timbal balik
memberikan kesn seolah-olah apa yang dikatakan itu sesuai dengan kebenaran,
padahal yang sebenarnya adalah tidak demikian “. ( PAF. Lamintang (2), 1989 : 158 -159 ).
SR. Sianturi, menyatakan bahwa rangkaian kebohongan adalah “
keterangan yang saling mengisi, yang seakan-akan benar isi keterangan itu,
60
padahal tidak lain dari pada kebohongan “. Isi masing-masing keterangan itu,
tidak harus seluruhnya berisi kebohongan, tetapi orang akan berkesimpulan dari
keterkaitan satu sama lainnya sebagai sesuatu yang benar. Lebih lanjut SR
Sianturi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “ tipu muslihat “ atau listige
kunstgrepen adalah : “ suatu tindakan yang dapat disaksikan oleh orang lain, baik
disertai maupun tidak disertai dengan suatu ucapan, yang dengan tindakan itu si
penindak menimbulkan suatu kepercayaan akan sesuatu atau penghargaan bagi
orang lain, padahal ia sadari bahwa hal itu tidak ada “. Sebagai suatu contoh
misalnya : penjual obat bersekongkol / bersekutu dengan kawannya berpura-pura
sakit, begitu memakai obat itu terasa seketika pulih kesehatannya. Sedangkan
Satauchid Kartanegara menyatakan bahwa “ tipu muslihat “ / Listige Kunstgrepen
adalah : “ tindakan-tindakan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan
kepercayaan orang atau memberikan kesan pada orang yang digerakkan seolah-
olah keadaannya sesuai dengan kebenaran “. (SR. Sianturi, 1983 : 634 dan PAF. Lamintang (2),

1989 : 157).

Disamping itu H.A.K. Moch. Anwar juga menyatakan “ tipu muslihat “


adalah : “ perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga
perbuatan-perbuatan itu menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas
kebenaran dari sesuatu dari orang lain, jadi tidak terdiri dari ucapan, tetapi atas
perbuatan atau tindakan “. Satu perbuatan saja sudah dianggap sebagai tipu
mislihat, misalnya menunjukkan surat-surat palsu atau memperlihatkan barang-
barang palsu (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 42).
Sedangkan R. Sugandhi menyatakan bahwa “ tipu muslihat “ itu
merupakan suatu tipu yang diatur sedemikin rapinya, sehingga orang yang
berfikiran normalpun dapat mempercayainya akan kebenaran hal yang ditipukan
itu (R. Sugandhi, 1980 : 397)
Beberapa contoh perbuatan - perbuatan yang telah dipandang sebagai
suatu “ tipu muslihat “ adalah :
1). Membubuhkan tanda palsu pada sebuah keterangan untuk
menggerakkan seorang pegawai negeri memberikan sumbangan,
dengan Putusan HR 24 Juli 1936, W. 1937 No. 80
61
2). Menyerahkan sebuah cek yang diketahuinya bahwa cek tersebut
tidak dapat diuangkan karena tidak ada dananya, dengan Putusan HR
1 Nopember 1920, NJ. 1920 halaman 1215, W. 10650 dan Putusan
MA 16 September 1975 No. 133/K/Kr/1973.

3). Menandatangani sebuah daftar permintaan derma untuk mencegah


seorang peminta derma tidak mempunyai kesibukkan dalam satu
minggu, dengan Putusan HR 15 Juni 1936, W. 1936 No. 967.

4). Melakukan pemesanan barang-barang dengan mempergunakan nama


perusahan yang dicetak, hingga menimbulkan kesan yang
bertentangan dengan kebenaran seolah-olah pemesan mengusahakan
sesuatu perusahan yang berjalan baik, dengan Putusan HR 26
Agusutus 1912, W. 9376, HR 28 Oktober 1912, NJ. 1913, halaman
112, W. 9405, HR 7 Nopember 1921, NJ. 1922 halaman 183, W.
10837.

5). Membayar dengan lembaran uang lima franc ditempat gelap, yang
ukuran dan warnanya sama dengan lembaran uang satu ringgit,
dengan Putusan HR 4 Mei 1936, W. 1936 No. 774. ( PAF. Lamintang (2),

1989 : 158 )

“ Menyerahkan suatu benda / barang “ adalah merupakan setiap tindakan


memisahkan suatu benda/berang dengan cara bagaimanapun, dalam keadaan yang
bagaimana dari orang yang menguasai benda / barang tersebut untuk diserahkan
kepada siapapun. Hal ini berarti bahwa si pelaku dapat menyuruh orang yang
ditipu untuk menyerahkan benda / barang tersebut kepada seorang perantara atau
kepada beberapa orang perantara yang dikirim oleh si pelaku untuk menerima
penyerahan yang bersangkutan. Sehingga penyerahan / Afgifte menurut HR
merupakan suatu unsur konstitutif dari tindak pidana penipuan dan penyerahan
tersebut tidak perlu dilakukan secara langsung kepada si pelaku. Hal ini dapat
62
dilihat dalam Arrestnya Hoge Raad tanggal 27 maret 1933, NJ, hal.902, W.
12602, memberikan pengertian menyerahkan adalah “ juga menyuruh
menyerahkan yakni perbuatan menyerahkan oleh orang dirugikan kepada
seorang perantara dengan perintah untuk menyerahkan benda yang harus
diserahkan kepada orang yang disuruh oleh pelaku “.
Dengan demikian, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu
benda, juga dapat dilakukan oleh seorang perantara, yakni tidak dilakukan
terhadap orang yang diharapkan akan melakukan penyerahan tersebut, melainkan
terhadap orang ketiga. Akan tetapi harus mendapat kepastian bahwa maksud
adalah untuk memperoleh penyerahan dan terdapat hubungan sebab-akibat antara
upaya yang dipakai oleh pelaku dengan penyerahan benda / barang yang
bersangkutan. Yang penting disini adalah bahwa benda / barang yang diminta oleh
pelaku untuk diserahkan kepadanya itu harus terlepas dari penguasaan orang yang
diminta untuk menyerahkan, akan tetapi tidak perlu bahwa pada saat yang sama
benda / barang tersebut jatuh dalam penguasaan orang yang lain (P.A.F. Lamintang (2),

1989 : 150-151).
Membuat hutang / membuat perikatan hutang / supaya memberikan hutang
berarti mengakui seseorang itu berhutang kepada si pelaku, tetapi tidak harus
tepat dan sesuai dengan yang diatur dalam hukum perdata, melainkan pengakuan
berhutang sejumlah uang diatas secarik kertas atau secara lisan yang disaksikan
orang lain. Sedangkan menghapuskan pihutang, disini tidak terbatas kepada
pihutang karena pinjaman, melainkan juga piutang karena pegadaian atau
sebagai hasil suatu keuntungan dengan cara merobek surat-surat pihutang atau
mengucapkan dengan lisan yang disaksikan oleh orang lain.

4.2 Penipuan Ringan / Gepriviligieerde oplichting ( Pasal 379 KUHP)


“ Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika
barang yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada
barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima
rupiah, dikenai sebagai penipuan ringan, pidana penjara paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah “
(lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

63
Dengan melihat dan memperhatikan rumusan pasal tersebut diatas, maka
unsur-unsurnya adalah :
- Semua unsur penipuan dalam Pasal 378 KUHP.
- Barang yang diberikan bukan ternak
- Harga barang, hutang atau pihutang itu tidak melebihi dari dua
puluh lima rupiah

4.3 Tindak Pidana Pengebonan / Flessentrekkerij (Pasal 379 a KUHP)


“ Barangsiapa menjadikan mata pencaharian atau kebiasaan untuk
membeli barang-barang, dengan maksud tanpa pembayaran
seluruhnya, memastikan penguasaannya terhadap barang-barang itu
untuk diri sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27,
2008).

Tindak pidana ini mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :


1). Unsur Subjektif : terlihat dari kalimat “ dengan maksud “ untuk tanpa
membayar lunas harganya dan menjamin penguasaan / mendapatkan
atas barang-barang yang dibeli untuk diri sendiri atau orang lain.
2). Unsur Objektif : terlihat dari kalimat “ barang siapa untuk “
menjadikan sebagai pekerjaan atau sebagai suatu kebiasaan dan
membeli barang-barang (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 1662, H.A.K. Moch. Anwar, 1982 :
44)

Tanpa membayar lunas harganya, berarti barang-barang itu tidak dabayar


sepenuhnya, hanya sebagian, mungkin si pelaku tanpa niat untuk membayar yang
sebagian lagi. Tetapi si pelaku tetap menguasai / mendapatkan barang-barang itu
untuk dirinya atau orang lain, mungkin ini sebagai akibat sebelumnya yaitu
adanya perjanjian pembelian barang yang akan dibayar sisanya kemudian dalam
tenggang waktu tertentu.
SR. Sianturi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan suatu pekerjaaan
disini, tidak harus sudah berbulan-bulan atau tahunan melakukan “ pengebonan “
dan kemudian tidak melunasi. Tetapi cukup apabila dari suatu rangkaian
perbuatannya mengindikasikan bahwa yang dilakukan itu adalah suatu pekerjaan
64
pengebonan yang nantinya tidak akan dilunasinya. Prof. Satochid Kartanegara
menyatakan bahwa “ untuk dapat disebut telah membuat sebagai kebiasaan itu,
sekurang-kurangnya pelaku harus telah dua kali melakukan tindak pidana yang
sama “ (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 164).
Sarjana lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suatu
kebiasaan adalah bahwa si pelaku itu sudah sering disuatu tempat atau disana-sini
melakukan perbuatan pengebonan. Jika nantinya timbul suatu perkara bahwa si
pelaku baik sebagai suatu pekerjaan maupun sebagai suatu kebiasaan, meskipun
si pelaku bersumpah dengan ucapan yang meyakinan akan melunasi / membayar
lunas hutang-hutangnya, sehingga terkesan masuk dalam lingkup perkara perdata,
akan tetapi dikalangan sarjana hukum (hukum pidana) menganggap bahwa tidak
tertutup kemungkinan penerapan pasal ini (SR. Sianturi, 1983 : 637).
Menurut Satochid Kartanegara kalimat “ membuat sebagai pekerjaan “
atau een beroup maken tidak mutlak perlu bahwa pelaku telah dua kali melakukan
tindak yang sama, sedangkan kalimat “ membuat sebagai kebiasaan “ atau een
gewoonte maken, sekurang-kurangnya pelaku harus telah dua kali melakukan
tindak pidana yang sama. Pembelian barang-barang disini yang dimaksud adalah
pembelian kredit, tidak pembelian barang-barang tunai dengan tunai.(P.A.F. Lamintang
(2), 1989 : 164)

4.4 Pemalsuan Hasil Karya (Pasal 380 KUHP)


Ayat (1) : Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah :
ke 1 : Barangsiapa menaruh suatu nama atau tanda secara
palsu atau didalam buah suatu hasil kesusastraan,
keilmuan, kesenian atau kerajinan atau memalsu
nama atau tanda yang asli yang dimaksud supaya
karenanya orang mengira bahwa itu benar-benar
buah hasil orang yang nama atau tandannya,
olehnya ditaruh diatas atau didalamnya tadi.
ke 2 : Barangsiapa sengaja menjual, menawarkan,
menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual
atau dimasukkan ke Indonesia, buah hasil
kesusastraan, keilmuan, kesenian atau kerajinan,
yang didalam atau diatasnya telah ditaruh nama atau
tanda yang palsu atau nama atau tandanya yang
65
palsu atau yang nama atau tandanya yang asli telah
dipalsu, seakan-akan itu benar-benar buah hasil
orang yang nama atau tandanya telah ditaruh secara
palsu tadi.
Ayat (2) : Jika buah hasil itu kepunyaan terpidana, boleh dirampas
(lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Pasal ini untuk mencegah kesalah pahaman / penafsiran bahwa ketentuan-


ketenutan pidana dalam pasal ini seakan-akan melindungi hak cipta seseorang atau
bukan untuk melindungi hak cipta seseorang. Ketentuan ini hanya melarang
kebohongan-kebohongan / kepalsuan-kepalsuan / penipuan yang sudah dianggap
keterlaluan mengenai hasil karya sastra, ilmiah, seni dan kerajinan yang seolah-
olah hasil karya tersebut berasal dari penciptanya, padahal nama atau tanda
pencipta-pencipta itu telah dibubuhkan secara palsu atau nama atau tanda
mereka/pencipta yang sebenarnya atau asli telah dipalsukan dengan sengaja oleh
si pelaku. Demikian dinyatakan dalam Areest HR tanggal 19 Januari 1914, NJ.
1914, hal. 540, W. 9613 (Lihat H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 45 – 47 dan P.A.F. Lamintang (2), 1989 :

167).

Dengan demikian, unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 380 KUHP


ini adalah :
1). Dalam ayat (1) ke 1 :
a). Unsur Subjektif, terlihat dari kalimat “ barangsiapa
menaruh ”, yang dapat diartikan melakukan perbuatan
“dengan maksud“ bahwa hasil karya itu seakan-akan
berasal dari mereka, yang namanya atau tandanya telah si
pelaku bubuhkan dalam karya itu.
b). Unsur Objektif, terlihat dari kalimat “ barang siapa “
membubuhkan / melekatkan nama dan tanda palsu,
memalsukan nama atau tanda yang asli, pada hasil karya
kesusastraan, keilmuan, kesenian atau kerajinan.
2). Dalam ayat (1) ke 2 :
a). Unsur Subjektif, terlihat dari kalimat “barang siapa
menaruh“, yang dapat diartikan melakukan suatu
“perbuatan dengan sengaja”
66
b). Unsur Objektif, terlihat dari kalimat barang siapa menjual,
menyerahkan / menawarkan atau menyimpan untuk dijual
atau memasukkan ke wilayah Indonesia, hasil karya sastra,
keilmuan, kesenian atau kerajinan, dipasang / dilekatkan
atau dibubuhkan nama dan tanda palsu atau nama dan tanda
asli yang dipalsukan, seakan-akan hasil karya itu berasal
dari mereka / si pelaku yang nama atau tandanya secara
palsu dipasang atau dilekatkan pada hasil karya itu (H.A.K.

Moch. Anwar, 1982 : 46-47, P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 168)

Dengan melihat ketentuan pasal ini, bahwa hampir setiap orang yang
melihat hasil karya itu akan terperdaya dan tertipu karena ketidak benaran dari
pada nama dan tanda yang dilekatkan pada hasil karya itu. Kejahatan ini sudah
terlaksana dengan perbuatan melekatkan / membubuhkan atau memalsukan nama
dan tanda asli itu yang yang tidak memerlukan timbulnya akibat kerugian, baik
bagi si pelaku maupun bagi orang lain yang melihatnya. Makna dari perbuatan itu
adalah agar menimbulkan kepercayaan bagi orang yang melihatnya, bahwa hasil
karya itu berasal dari orang yang nama atau tandanya dilekatkan / dibubuhkan
pada hasil karya tersebut (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 46).
Unsur subjektif dengan maksud dalam Pasal 380 ayat (1) ke 1 KUHP ini
merupakan unsur yang harus dibuktikan jika dipersoalkan. Akan tetapi untuk
memandang sebagai suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan ini, sebagai
telah selesai dilakukan oleh si pelaku, tidak perlu tercapai pada si pelaku selesai
melakukan perbuatannya yang dilarang sebagaimana ketentuan ini, yaitu
membubuhkan/melekatkan secara palsu suatu nama atau tanda atau memalsukan
nama atau tanda sebenarnya / asli didalam suatu hasil karya kesusastraan,
keilmuan, kesenian atau kerajinan.
Dengan demikian, nama atau tanda sebagaimana tersebut diatas itu, tidak
perlu merupakan nama atau tanda yang palsu atau yang dipalsukan, melainkan
juga dapat merupakan nama atau tanda yang sebenarnya/ asli dari orang yang
telah menghasilkan suatu karya tertentu, akan tetapi oleh si pelaku ternyata telah

67
dibubuhkan pada suatu karya orang lain tanpa seizin / tanpa sepengetahuan orang
tersebut. (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 171)
Sedangkan unsur memalsukan nama atau tanda yang asli / sebenarnya,
bahwa perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan mencantumkan nama orang lain
atau tanda yang yang lain pada / didalam suatu karya, yang sebenarnya merupakan
hasil karya orang tertentu ataupun merupakan tanda yang biasa dipakai oleh orang
tersebut pada / didalam hasil karyanya. Unsur pada hasil karya tersebut diatas,
ternyata pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan secara limitatif
tentang hal ini. Pembahasan unsur ini erat kaitannya dengan hasil ciptaan yang
dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta (lihat UU No. 6/1982 – UU No.
7/1987 – UU No. 12/1997 dan UU No. 19/2002).
Unsur dengan sengaja / opzettelijk dalam Pasal 380 ayat (1) ke 2 KUHP
ini, berarti bahwa si pelaku melakukan perbuatannya memang disengaja / dengan
sengaja. Unsur kesengajaan ini meliputi semua unsur objektif yang oleh
pembentuk undang-undang telah ditempatkan dibelakang unsur subjektif. Dengan
demikian, yang dilarang dalam ketentuan ini adalah perbuatan menjual,
menawarkan untuk dijual, menyerahkan, menyediakan untuk dijual dan
memasukkan ke wilayah Indonesia dari luar negara. Sedangkan Pasal 380 ayat (2)
adalah merupakan perampasan hasil-hasil karya tersebut diatas yang merupakan
milik terpidana, setelah melalui atau adanya putusan pengadilan yang memiliki
kekuatan hukum tetap.

4.5 Penipuan Terhadap Asuransi (Pasal 381 KUHP)


“ Barangsiapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan
penanggungan asuransi mengenai keadaan-keadaan yang
berhubungan dengan pertanggungan, sehingga menyetujui
perjanjian, yang tentu tidak akan disetujui atau setidak-tidaknya
tidak dengan syarat-syarat yang demikian, jika diketahui keadaan-
keadaan sebenarnya, diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan “ (lihat KUHP Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Terlihat unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini adalah :


1. Barang siapa.
68
2. Menyesatkan penanggung / assurador.
3. Dengan cara tipu muslihat / door listige kunstgrepen.
4. Terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan
pertanggungan.
5. Sehingga ia membuat / mengadakan suatu perjanjian
pertanggungan, yang ia tidak akan menyetujui atau tidak dalam
syarat-syarat yang sama dan tidak akan melakukannya, apabila
ia mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Perbuatan ini merupakan suatu kejahatan yang harus dilakukan dengan


sengaja / opzettelijk misdriif, dimana kejahatan ini sering terjadi dalam bidang
asuransi / pertanggungan. Dalam pembuatan perjanjian asuransi ini, si
penanggung jawab disesatkan oleh seseorang yang akan meminta ditanggung atas
sesuatu dengan menggunakan tipu muslihat. Didalam surat perjanjian terdapat
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang memintanya.
Dengan keterangan-keterangan yang sebenarnya adalah tidak benar,
syarat-syarat itu seakan-akan terpenuhi dan oleh karena itu si penanggung
menuntut perjanjian tersebut dengan memberikan keterangan yang sesungguhnya
tidak benar itu, maka terdapat unsur tipu muslihat, dengan demikian akibat dari
penggunaan tipu muslihat itu si penanggung terpercaya dan tersesat (H.A.K. Moch.

Anwar, 1982 : 48). Unsur “ menyesatkan “ itu adalah membuat orang mempunyai salah
paham atau menyesatkan orang, mengenai keadaan-keadaan yang ada
hubungannya dengan suatu pertanggungan itu, misalnya tentang syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh tertanggung, tentang sifat-sifat dari benda-benda yang
dipertanggungkan, tentang keadaan kesehatan dari orang-orang yang
dipertanggungan.
Unsur dengan tipu muslihat / doorlistige kunstgrepen ini bukan merupakan
ucapan-ucapan, melainkan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan
sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kepercayaan pada orang atau
memberikan pada orang lain, seakan-akan keadaannya sesuai dengan
kebenarannya. Hoge Raad dalam beberapa Arrestnya tanggal 30 Januari 1911, W.
69
9145, tanggal 1 Nopember 1920, NJ halaman 1213, W. 10650 dan tangga 24 Juli
1937 No 80 menyatakan, bahwa tipu muslihat itu adalah : “ tindakan-tindakan
yang sifatnya menipu, yang dapat dipakai sebagai sarana untuk membuka jalan
bagi adanya kesan-kesan dan gambaran-gambaran yang sebenarnya tidak benar,
untuk meyakinkan orang lain tentang kebenaran dari apa yang telah dikatakan “.
( PAF. Lamintang (2), 1989 : 176 ).

Sedangkan unsur yang keempat tersebut itu merupakan masalah-masalah


apa yang disebutkan perjanjian pertanggungan antara orang / pihak yang
mengikatkan diri pada seorang tertanggung untuk menjamin tertanggung terbebas
dari kerugian-kerugian yang disebabkan karena suatu kehilangan, kerugian atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan sebagai akibat dari suatu kejadian yang
tidak pasti, dengan menikmati suatu premi/jasa. Didalam unsur yang kelima ini
maksudnya adalah mengadakan suatu pertanggungan, yang tidak atau tidak akan
ia adakan, jika ia mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Dengan demikian Pasal 381 KUHP ini (ketentuan pidananya) bukan
merupakan suatu spesialis dari ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 378
KUHP, melainkan merupakan suatu ketentuan pidana yang berdiri sendiri. Hal ini
ditegaskan dalam Arrestnya Hoge Raad tanggal 2 April 1918, W. 10270 yang
menyatakan, bahwa Pasal 378 KUHP itu mempunyai suatu unsur yang ternyata
tidak dipunyai oleh Pasal 381 KUHP, yakni maksud untuk menguntungkan secara
melawan hukum. Itu sebabnya Pasal ini bukan merupakan suatu ketentuan pidana
yang bersifat khusus dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP (P.A.F.
Lamintang (2), 1989 : 176 – 178)

4.6 Tindak Pidana Asuransi / Merugikan Penanggung (Pasal 382 KUHP)


“ Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atas kerugian penanggung
asuransi atau pemegang surat bodemerij yang syah, menimbulkan
kebakaran atau ledakan pada suatu barang yang dipertanggungkan
terhadap bahaya kebakaran atau mengaramkan, mendamparkan,
menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai, perahu
yang dipertanggungan, atau yang muatannya maupun upah yang akan
diterima untuk pengangkutan muatannya yang dipertanggungkan
ataupun yang atasnya telah diterima uang bodemerij, diancam dengan

70
pidana penjara paling lama lima tahun “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan
27, 2008)

Bordemerij (kalimat bagian atas pasal) itu merupakan lembaga utang –


piutang dengan jaminan alat pelayaran atau muatannya yang diatur dalam “
Wetboek Van Koophandel / Kitab Undang-Undang Hukum Dagang “, namun telah
dicabut dengan Staatsblad Tahun 1933 No.47 jo Staatsblad Tahun 1938 No. 2,
terhitung mulai tanggal 1 April 1938. Dengan demikian, maka kata bordemerij itu
harus dibaca “ dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum dengan merugikan penanggung “, sedangkan kata
bordemerij (kalimat bagian bawah pasal) harus dianggap sebagai tidak ada.
Didalam pasal ini sebenarnya diatur 2 (dua) macam tindak pidana yang merugikan
si penanggung, yaitu :
1).Membakar atau menimbulkan ledakan pada benda-benda yang
dipertanggungkan atau diasuransikan terhadap kebakaran.
2). Menenggelamkan, membuat terdampar, mengancurkan, membuat
sehingga tidak dapat dipakai lagi atau merusakkan : (a). sebuah alat
pelayaran yang dipertanggungkan / diasuransikan, (b). sebuah alat
pelayaran yang beaya pengangkutannya yang akan diterima telah
dipertanggungkan / diasuransikan.
Dengan demikian akan terlihat unsur-unsur dalam Pasal itu, yaitu :
1). Unsur Subjektif : terlihat dari kalimat “ dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum “,
dengan merugikan si penanggung atau pemegang syah suatu akte
utang-piutang dengan jaminan alat pelayaran atau muatannya.
2). Unsur Objektif : a). barangsiapa, b). membakar atau menimbulkan
ledakan pada benda yang dipertanggungkan terhadap bahaya
kebakaran, c). menenggelamkan atau membuat terdampar, d).
menghacurkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau
merusakan, e). sebuah alat pelayaran yang beaya pengangkutan yang
akan diterima setelah dipertanggungkan, g). sebuah alat pelayaran
yang dipakai sebagai jaminan utang yang uangnya telah diterima.
71
Pengertian “ maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan merugikan penanggung “, dalam arrest HR tanggal 8 Mei 1922, NJ 1922
halaman 755, W.10910 telah mengatakan bahwa : “ maksud pelaku untuk
mendapatkan upah yang dijanjikan oleh orang lain dengan cara menenggelamkan
kapal itu, pengertiannya tidaklah sama dengan maksud untuk menguntungkan
orang lain tersebut secara melawan hukum dengan merugikan penanggung.
Maksud sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal ini bukan hanya ada, jika
menurut anggapan pelaku nilai dari benda yang diasuransikan itu lebih rendah dari
jumlah uang untuk jumlah mana barang-barang itu telah diasuransikan. Sudah
sejak saat tertanggung memperoleh kesempatan utnuk menguasai uang asuransi, ia
dapat memperoleh keuntungan “

4.7 Tindak Pidana Persaingan Curang / Oneerlijke Medidinging (Pasal 382


bis KUHP)
“ Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas
debit perdagangan atau perusahan kepunyaan sendiri atau orang lain,
melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum
atau seorang tertentu, diancam jika karenanya dapat timbul kerugian
bagi konkiren-konkirennya atau konkiren-konren orang lain itu,
karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah “
(lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Unsur-unsur Pasal 382 bis KUHP ini adalah :


1). Unsur Subjektif : terlihat dari kalimat dengan maksud untuk
menetapkan, memelihara atau menambah hasil
perdagangan sendiri atau orang lain.
2). Unsur Objektif : a). melakukan perbuatan yang bersifat menipu, b).
untuk memperdaya khalayak umum / publik/
masyarakat atau seseorang, c). Apabila perbuatan itu
dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya atau
saingan orang lain.

72
Pasal ini disisipkan / ditambahkan pada tahun 1920 (S.20 – 556) dengan
tujuan untuk melindungi kepentingan kebendaan dari pedagang dan pengusaha
dari persaingan curang / konkurensi curang. Disamping itu juga bertujuan untuk
dapat menjangkau secara umum dari segi hukum pidana, agar dapat untuk
mengatasi bila timbul perkara semacam ini, selain usaha mengatasi melalui
hukum perdata secara ganti rugi. Tindakan yang dilarang disini adalah “
melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang
tertentu, untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil
perdagangan atau hasil perusahan sendiri atau orang lain ” . “ Melakukan
perbuatan curang itu “ adalah melakukan suatu perbuatan sedemikian rupa yang
dapat menyesatkan manusia yang normal, kendati ia dalam keadaan waspada
sebagaimana wajarnya. (SR. Sianturi, 1983 : 638)
Unsur subjektif untuk menetapkan produksi perusahannya dapat dilakukan
pada saat dimulainya perusahan itu berjalan, agar dapat memperoleh hasil.
Memelihara hasil produksi dapat dilakukan sesudah berjalan. Si pelaku ingin
mempertahankan jumlah langganan yang dimiliki perusahan, sehingga hasil
produksi dapat dipertahankan dalam jumlah yang sama. Sedangkan menambah
hasil perusahan, dilakukan untuk memperluas daerah pamasarannya, sehingga
perusahan harus meningkatkan hasil produksinya dan dengan demikian hasil yang
diperoleh perusahan itu akan bertambah.
Unsur objektif perbuatan yang bersifat menipu itu maksudnya adalah
menggambarkan / menjelaskan keadaan hasil produksi perusahan yang
bertentangan dengan kebenaran, dimana perbuatan tipu muslihat dianggap sama /
identik dengan Pasal 378 KUHP. Unsur memperdaya masyarakat, maksud adalah
perbuatan tersebut menimbulkan kepercayaan kepada masyarakat atau orang
tertentu dalam masyarakat atau orang-orang tertentu menaruh kepercayaan, karena
perbuatan tersebut diatas terletak pada hasil perusahannya ( termasuk mutu /
kualitas hasil perusahan ), yang digambarkan dengan keadaan yang sesungguhnya
tidak benar, dengan jalan tipu muslihat. Sedangkan perbuatan itu dapat
menimbulkan kerugian bagi saingan sendiri atau saingan orang lain, maksudnya
bahwa perbuatan yang bersifat menipu itu memberikan kemungkinan timbulnya
73
kerugian pada saingan sendiri atau saingan dari orang lain, sehingga kerugian
tersebut tidak perlu terjadi.

4.8 Tindak Pidana Penipuan Dalam Jual beli (Pasal 383 KUHP)
“ Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli :
ke 1 : karena sengaja menyerahkan barang lain dari
pada yang ditunjuk untuk dibeli
ke 2 ; mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang
yang diserahkan, dengan menggunakan tipu
muslihat “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Unsur-unsurnya yang terlihat dalam Pasal 383 KUHP ini adalah


1). Adanya penjual / Verkoper.
2). Adanya pembeli / Koper.
3). Adanya penipuan dengan cara : ke 1) penjual menyerahkan
barang lain dari pada barang yang ditunjuk oleh pembeli,
bahwa penyerahan barang itu dilakukan dengan sengaja, ke 2)
penjual mempergunakan tipu muslihat terhadap sifat, keadaan,
jumlah dan barang.
Dalam pasal ini, penipuan yang dilakukan oleh penjual sebagaimana
terlihat dalam ke 1 adalah mengenai barang yang diserahkan, bukan terhadap
barang yang dijual. Tipu muslihat dalam pasal ini adalah merupakan tindakan-
tindakan yang biasa dipakai orang dalam perdagangan, yang bagi seorang pembeli
yang kurang memperhatikannya, akan menjadi korban dari tipu muslihat itu.
Berdasarkan Arrestnya Hoge Raad tanggal 20 Februarin1928, NJ. 1928, hal. 423,
W. 11810, menyatakan bahwa tipu muslihat tentang sifat benda yang harus
diserahkan itu ditentukan dalam persetujuan antara pihak-pihak yang
bersangkutan. Sudah barang tentu dapat juga ditentukan persyaratan lain selain
dari persyaratan mengenai jenis, keadaan atau banyaknya benda yang harus
diserahkan. Jika orang menjual benda “ shell “ dan ternyata ia telah menyerahkan
bensin “ toneline “, maka dalam hal tersebut terdapat suatu penipuan, sungguhpun

74
benar yang disebutkan terakhir ini mempunyai sifat-sifat kebendaan yang sama
dengan yang disebutkan terdahulu (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 187).
Dalam perbuatan pada umumnya terjadi pada barang-barang dalam jumlah
besar dan berlainan dalam mutu / kualitas. Sebagai suatu contoh : misalnya
penjual mengirim dan menyerahkan jenis keramik yang nomer 2 (dua), padahal
pembeli menunjuk untuk dibeli jenis keramik nomer 1 (satu) dan minta diantar ke
tempat pembeli.
Sedangkan perbuatan yang ke 2 (kedua), sering terjadi pada took/warung-
warung yang menjual makanan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Tipu
muslihat yang digunakan merupakan pemanfaatan sifat kelicikan dari penjual
terhadap kekurang waspadaan pembeli. Sebagai suatu contoh : (1). Misalnya
dalam penjualan beras yang mempergunakan timbangan, yang telah diletakan
sebuah benda pada tempat barang, sehingga memberikan hasil seimbang, padahal
tidak sesuai dengan berat barang. (2). Penjual beras menakar beras dengan
takaran, dimana ibu jari penjual dimasukan kedalam takaran itu sewaktu menakar
beras.
Adanya unsur pembeli disini, maksudnya adalah perbuatan seorang
pembeli barang yang sudah sejak semula berniat : a) tidak membayar sepenuhnya
barang yang dibeli dan tidak diserahkan, b) dimana pembeli membayar penuh
pembelian barang tersebut dengan jumlah uang yang didalamnya terdapat uang
palsu atau jumlah bendel uangnya kurang (Wirjono Prodjodikoro, 1986 : 42)

4.9 Penipuan Dengan Menggunakan Barang Salinan Cognosement (Pasal 383


bis KUHP)
“ Seseorang Kognosement yang sengaja mempergunakan beberapa
eksemplar dari surat tersebut dengan titel yang memberatkan dan
untuk beberapa orang penerima, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan
27, 2008)

Kognosement asli / lembar pertama merupakan surat berharga yang dapat


dijual - belikan / negotiable, sedangkan salinannya tidak dapat diperjual - belikan
dan apabila dijual kepada orang lain, maka orang lain itu tidak akan memperoleh
75
barang-barangnya. Hanya kognosement asli / lembar pertama dapat ditukar
dengan jenis barang yang tercantum dalam kognosement tersebut. Dengan
demikian kognosement asli ini dapat dibebani dengan segala hal atas benda,
seperti digadaikan, dijual, dipinjamkan atau ditukar. Suatu kognosement itu adalah
: “ suatu surat yang bertanggal dan ditanda tangani oleh si pengangkut, yang
dalam surat itu diterangkan bahwa ia / pengangkut telah menerima barang-
barang untuk diangkut kesuatu tempat tujuan tertentu dan akan menyerahkan
barang-barang itu ditempat tujuan kepada seseorang tertentu yang namanya
terdapat dalam kognosement tersebut “. Didalam kognosement itu juga
diterangkan syarat-syarat apa barang-barang itu akan diserahkan dan dengan alat
apa barang itu diangkut. (masalah kognosement ini erat kaitannya dengan Pasal
506 dan Pasal 507 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Yang dimaksud
dengan titel yang memberatkan adalah : “ si pengangkut menerima pembayaran
dari si penerima atau mengadakan perjanjian tentang serah terima barang dari
cognosement tersebut” (SR. Sianturi, 1983 : 654)

4.10 Penipuan Ringan Dalam Jual Beli/Geprivilgegeerd (Pasal 384 KUHP)


“ Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 383, dikenai pidana
penjara paling lama tiga bulan atau dendan paling banyak enam
puluh rupiah, jika jumlah keuntungan yang diperoleh tidak lebih
dari pada dua puluh lima rupiah “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27,
2008)

Tindak pidana ini adalah merupakan tindak pidana penipuan yang bersifat
ringan, meskipun memiliki unsur-unsur sebagaimana yang dirumuskan dalam
Pasal 383 KUHP. Namun pasal ini memiliki hal-hal yang dapat meringankan
pidananya, yaitu terlihat dari kalimat “ jika jumlah keuntungan yang diperolah
tidak lebih dari dua puluh lima rupiah “.

4.11 Tindak Pidana Stellionaat/T.P.Menyangkut Tanah (Pasal 385 KUHP)


“ Diancam dengan pidana paling lama empat tahun :
ke 1 : barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan
atau membebani dengan credietverband/piutang suatu hak
76
tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, penanaman
atau pembenihan diatas tanah dengan hak Indonesia,
padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut
mempunyai hak atasnya adalah orang lain,
ke 2 : barangsiapa maksud sama, menjual, menukarkan atau
membebani dengan credietverband, sesuatu hak tanah
Indonesia yang telah dibebani dengan credietverband atau
suatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan
diatas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa
memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak
yang lain,
ke 3 : barangsiapa dengan maksud yang sama, mengadakan
credietverband, mengenai hak tanah Indonesia, dengan
menyembunyikan kepada pihak lain, bahwa tanah yang
berhubungan dengan hak tanah tadi sudah digadaikan,
ke 4 : barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau
menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui
bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai
hak atas tanah itu,
ke 5 : barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau
menukarkan tanah dengan hak Indonesia yang telah
digadaikan, padahal tidak diberitahukan kepada pihak yang
lain, bahwa tanah itu telah difadaikan,
ke 6 : barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau
menukarkan tanah dengan hak Indonesia suatu masa,
padahal diketahui, bahwa tanah itu telah disewakan kepada
orang lain untuk masa itu juga “. (lihat KUHP – Moeljatno (2) –
Cetakan 27, 2008).

Dimasukkannya pasal ini kedalam KUHP adalah memiliki atau dengan


maksud dan tujuan untuk melindungi hak atas tanah yang dimiliki oleh pendudk
asli berdasarkan hukum adat, serta melindungi tanaman-tanaman dan bangunan-
bangunan diatas tanah tersebut (P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir (4), 1979 : 307). Tindak
pidana ini disebut dengan “ stellionaat “ yang berasal dari bahasa latin, yang
artinya “ kebohongan dalam perdagangan, pembebanan, penghipotikan dan
sebagainya, yang diberlakukan di indonesia sejak tahun 1918. ketentuan pasal ini
bertujuan untuk melindungi hak atas tanah yang dimiliki oleh penduduk asli
(Indonesia) yang didasarkan atas hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum
adat).
Subjek dari ke 1 sampai dengan ke 6 adalah barangsiapa, yang dalam hal
ini hanyalah orang Indonesia, oleh karena sangat erat kaitannya dengan Pasal 9
77
UUPA No.5/1960, LN. No. 104 tahun 1960. Tindak pidana secara keseluruhan
adalah merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, yang terlihat dari
dicantumkannya kalimat “ dengan maksud “ didepan kalimat yang lain.
Ditentukannya unsur bersifat melawan hukum suatu perbuatan, bila dilihat secara
formal, berarti si pelaku tidak punya hak untuk menguntungkan diri sendiri/ orang
lain dengan cara yang terdapat dalam rumusan pasal. Sedangkan bila dilihat secara
material, berarti si pelaku tidak punya hak melakukan tindakan menjual, menukar,
membebani dengan suatu pinjaman / credietverband, menyewakan atau
menggadaikan tenah tersebut. Sejak diundangkannya UUPA No. 5/1960 itu,
semua jenis berdasarkan hukum adat dan KUHD dihapuskan, kemudian diganti
dengan 4 (empat) macam hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh WNI serta
badan-badan hukum Indonesia, yaitu : hak milik atas tanah, hak guna bangunan
atas tanah, hak guna usaha atas tanah dan hak pakai atas tanah (H.A.K. Moch. Anwar,
1982 : 55 – 56)

4.12 Penipuan Dalam Penjual Bahan Makanan, Minuman dan Obat-Obatan


Yang Dipalsukan (Pasal 386 KUHP)
Ayat (1): Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang
makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu
dipalsu dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun,
Ayat (2): Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu palsu, jika
nilainya atau faedahnya menjadi kurang, karena sudah
dicampur dengan sesuatu bahan lain (lihat KUHP – Moeljatno (2) –
Cetakan 27, 2008)

Unsur-unsur yang terlihat dalam rumusan pasal tersebut diatas adalah :


1). Unsur subjektif : dapat dilihat dari kalimat “ yang diketahui bahwa
benda-benda itu telah dipalsukan dan pemalsuan itu disembunyikan “.
2). Unsur objektif : barangsiapa “ menjual, menawarkan untuk dijual atau
menyerahkan bahan makan, minuman atau obat-obatan “.
Pasal 386 ayat (1) KUHP ini merupakan suatu opzettelijk misdrijf atau
suatu kejahatan yang harus dilakukan dengan sengaja, untuk membuktikan
perbuatan si pelaku itu dengan sengaja, maka kita harus berpegang pada inti

78
pengertian “ Opzet / Kesengajaan “, yaitu “ Willens en wettens “ atau “
Menghendaki dan Mengetahui “. Kalimat menghendaki dan mengetahui dapat
dibuktikan sebagaiamana suatu contoh didasarkan atas Arrestnya Hoge Raad
tanggal 19 Desember 1921, NJ.1922, hal. 310, W. 10857 dan tanggal 28 April
1924, NJ. 1924, hal. 723, W. 11209, yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan bahan-bahan makanan adalah : “ bahan-bahan makanan yang diperlukan
oleh manusia, termasuk didalamnya bahan-bahan yang tidak secara langsung
dapat dipergunakan, melainkan yang harus dimasak atau diolah lebih dahulu “
(P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir (4), 1979 : 314).

Kalimat barangsiapa itu menunjukkan orang, yang apabila terbukti


perbuatannya telah memenuhi semua unnsur tindak pidana yang diatur dalam
pasal ini, maka orang itu dapat diketahui sebagai “ dader / pelaku “. Kalimat “
menjual ” yang dimaksud disini adalah apabila masing-masing pihak sepeakat
mengenai barang yang akan diserahkan dan harga yang akan dibayarkan. Dalam
hal ini, meskipun belum / tidak terjadi penyerahan dan pembayaran, tetapi
penjualan sudah dianggap terjadi. Yang dimaksud dengan “ menawarkan ” adalah
suatu tindakan berupa rangkaian kata-kata yang dilakukan, baik secara lisan
maupun secara tertulis dengan tujuan agar yang mendengarkan mau membeli.
Penyerahan / aflevering adalah suatu tindakan nyata dari kedua belah pihak untuk
mewujudkan tindakan penjualan, dimana penjual memberikan / menyerahkan
secara nyata barang yang disepakati bersama dan pembeli menerimanya, termasuk
pihak ketiga yang mengantarkan barang tersebut ( SR. Sianturi, 1983 : 656).
Hoge Raad dalam berbagai arrestnya antara lain menyatakan bahwa : “
menyerahkan itu artinya membawa kebawah kekuasaan orang lain atau membuat
orang lain dapat memanfaatkannya. Tidak menjadi soal apakah penyerahan itu
telah dilakukan berdasarkan suatu titel yang sifatnya mengharuskan atau tidak.
Seorang pengangkut barang dapat melakukan perbuatan penyerahkan menurut
Pasal 368 KUHP ( HR tanggal 30 Nopember 1914, NJ. 1915, halaman 145, W.
91718 dan HR tanggal 22 Nopember 1920, NJ. 1921, halaman 50, W. 10664 ) “.
Sedangkan dalam arrest HR tanggal 3 Januari 1922, W. 10866, arrest HR tanggal
16 November 1907, W. 8620 dan arrest HR tanggal 15 Januari 1912, W. 9280
79
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan : menyerahkan adalah keseluruhan
tindakkan-tindakkan yang harus dilakukan oleh seorang penjual untuk membuat
benda-benda beralih dibawah kekuasaan seorang pembeli. Seorang penjual dapat
disebut telah menyerahkan benda-benda tersebut, jika atas perintahnya seorang
bawahannya telah melakukan salah satu tindakkan seperti yang dimaksudkan
diatas (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 195)
Tentang bahan makanan dan minuman berdasarkan sejarah terbentuknya
Pasal 386 ayat (1) KUHP ini, bermaksud untun mengartikan hal inin sebagai
segala bahan-bahan yang diperuntukan untuk dimakan dan diminum, termasuk
pula kedalam pengertian ini adalah : barang-barang pemanas / barang-barang
kenikmatan, seperti kopi, teh, tembakau dsb. Menurut Dr. Van Haeringen
menyatakan bahwa barang-barang ini tidak membuat orang-orang menjadi
kenyang atau hilang dahaga sama sekali bila dikonsumsinya. Dalam Arrest HR
tanggal 19 Desember 1921, NJ 1922, hal. 310, W. 10857, yang dimaksud dengan
bahan makanan adalah : bahan makanan yang diperuntukan bagi manusia,
termasuk juga dalam pengertiannya yakni bahan-bahan makanan yang tidak
langsung dapat dimakan, melainkan harus dimasak atau diolah terlebih dahulu.
Sedangkan yang dimaksud dengan bahan / barang obat-obatan adalah
bahan/barang-barang yang diperuntukan bagi penyembuhan suatu penyakit
manusia (P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir (4), 1979 : 314 dan SR. Sianturi, 1983 : 656).

Pengertian dipalsukan adalah tidak sesuai dengan yang sebenarnya / yang asli
atau jika yang asli dicampur dengan suatu bahan lain, sehingga nilainya atau
kegunaannya menjadi berkurang. Perbuatan menyembunyikan kepalsuan agar
terpenuh unsur pasal ini, maka si pelaku tidaklah harus / perlu melakukan suatu
perbuatan tertentu, melainkan cukup jika si pelaku telah membiarkan dijual,
ditawarkan atau diserahkan bahan-bahan tersebut kepada orang lain, padahal si
pelaku mengetahui bahwa bahan-bahan tersebut telah dipalsukan.

4.13 Penipuan Dalam Pemborongan (Pasal 387 KUHP)


Ayat (1) : Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun,
seorang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-
80
bahan bangunan, yang pada waktu membuat bangunan atau
pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan melakukan
suatu perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang,
Ayat (2) Di ancam dengan pidana yang sama, barangsiapa yang
tugasnya mengawasi penyerahan barang-barang itu, sengaja
membiarkan perbuatan curang (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan
XX, 2008)

Dari rumusan Pasal 387 ayat (1) ini terlihat unsur yang hanya bersifat
objektif saja yaitu : “ melakukan suatu tindakan yang sifatnya menipu / curang “
dari : a). seorang pemborong sebuah bangunan, b). seorang ahli pembuatan
bangunan, c) seorang penjual bahan-bahan bangunan, d). pada waktu pembuatan
sebuah bangunan, e). pada waktu penyerahan bahan-bahan bangunan, f). Yang
dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan orang / manusia, barang-barang dan
keselamatan negara dalam keadaan perang (lihat Pasal 96 KUHP).
Dengan melihat rumusan pasal dan unsur-unsurnya, maka tindak pidana ini
merupakan suatu Opzattelijk Misdrijf atau suatu tindak pidana yang dilakukan
dengan sengaja dalam arti luas, yaitu apakah kesengajaan itu sebagai maksud /
tujuan, sebagai suatu kemungkinan atau sebagai suatu kepastian/keharusan.
Sehingga untuk memenuhi unsur kesengajaan yaitu “ willens en wettens /
menghendaki dan mengetahui “ dalam pasal ini, maka : 1). Mengetahui bahwa ia
merupakan seorang pemborong / seorang ahli pembuat bangunan atau seorang
penjual bahan-bahan bangunan, 2). Menghendaki untuk melakukan suatu tindakan
yang sifatnya menipu atau suatu kecurangan diatas telah ia lakukan : (a). pada
waktu melaksanakan pembuatan sebuah bangunan, (b). pada waktu melaksanakan
penyerahan bahan-bahan bangunan tersebut.
Sedangkan unsur ayat (2) nya adalah : (1). unsur bersifat subjektif, terlihat
dari kalimat dengan sengaja telah membiarkan dilakukannya tindakan yang
sifatnya menipu / membiarkan dilakukan kecurangan (harus juga diartikan secara
luas), (2). unsur bersifat objektif, terlihat dari orang yang ditugaskan untuk
melakukan pengawasan dan terhadap pelaksanaan pembuatan bangunan atau
penyerahan bahan-bahan bangunan.
81
Kalimat telah membiarkan dilakukan tindakan yang sifatnya menipu itu,
artinya orang yang menerima tugas pengawasan itu tidak melakukan dengan baik,
seperti tidak memberikan teguran atau peringatan terhadap pelaksana pemborong
atau penjual bahan-bahan bangunan yang perbuatannya tidak sesuai dengan surat
perjanjian kerja. Pengawasan atau orang yang diberi tugas itu dapat saja seorang
swasta atau pegawai negeri, yang mempunyai tugas untuk mengawasi pembuatan
sebuah bangunan atau penyerahan bahan-bahan bangunan. Terjadinya
pelanggaran pidana ini, mungkin sebagai akibat adanya suatu kerja sama antara si
pelaku yang menerima premi / hadiah oleh si pemborong / ahli atau penjual
bahan-bahan bangunan atau si pemberi pekerjaan. Sehingga ketentuan Pasal 387
ayat (2) ini, dapat dikatakan identik dengan / dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi ( SR. Sianturi, 1983 : 658).

4.14 Penipuan Penyerahan Barang Untuk Angkatan Darat


Pasal 388 KUHP :
Ayat (1) : Barangsiapa pada waktu menyerahkan perlengkapan
untuk keperluan angkatan laut atau angkatan darat,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun,
Ayat (2) : Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa yang
tugasnya mengawasi penyerahan barang-barang itu,
sengaja membiarkan perbuatan yang curang itu (lihat KUHP –
Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Unsur-unsur yang terlihat dalam ayat (1) rumusan pasal ini adalah :
a). Seseorang yang sedang melakukan penyerahan kebutuhan angkatan
laut dan angkatan darat.
b). Melakukan perbuatan yang bersifat curang / menipu.
c). Yang menimbulkan bahaya bagi keselamatan negara dalam keadaan
perang.
Sedangkan unsur-unsurnya dalam ayat (2) adalah :

82
1). Unsur bersifat objektif terlihat dari kalimat : a). seorang yang sedang
melakukan kewajiban pengawasan terhadap penyerahan barang, b).
membiarkan perbuatan yang bersifat curang / menipu.
2). Unsur bersifat subjektif terlihat dari kalimat : “ dengan sengaja “.
Didalam Pasal 383 Ayat (2) ini merupakan suatu perbuatan membantu
yang bersifat pasief terhadap Pasal 56 KUHP, yang dijadikan kejahatan yang
berdiri sendiri (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 58).

4.15 Tindak Pidana Penipuan Terhadap Batas Pekarangan


Pasal 389 KUHP :
“ Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, menghancurkan,
memindahkan atau membikin tak dapat dipakai sesuatu yang
digunakan untuk menentukan batas pekarangan, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan “ (lihat KUHP –
Moeljatno (2) – cetakan 27, 2008)

Dengan memperhatikan kalimat dalam rumusan pasal tersebut diatas,


maka akan terlihat unsur-unsurnya, yaitu :
1). Unsur subjektif, terlihat dari kalimat “ dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum “.
2). Unsur objektif, terlihat dari kalimat : (a). barangsiapa, (b).
menghancurkan, memindahkan, menghilangkan / membuang /
menyingkirkan atau membuat sehingga tidak dapat dipergunakan /
dipakai lagi, (c). Sesuatu yang diperuntukan / dipakai untuk
menunjukan batas-batas dari suatu pekarangan.
Apabila kita cermati kalimat dalam rumusan pasal ini, ternyata tidak
terdapat unsur menipu atau yang bersifat menipu. Sehingga H.A.K. Moch. Anwar
menyatakan : ditempatkannya Pasal 389 KUHP dalam Bab ini didasarkan atas
anggapan, bahwa perbuatan yang dilakukan ditujukan guna memperdaya
masyarakat atau orang yang memiliki pekarangan, terhadap siapa kejahatan itu
dilakukan. Dengan demikian, perbuatan itu memang sengaja dilakukan, untuk
membuat batas-batas suatu pekarangan menjadi kabur / meragukan / tidak pasti

83
terhadap pekarangan-pekarangan yang ada disekitar pekarangan dimana kejahatan
itu dilakukan (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 58 – 59).
Dalam Arrest HR tanggal 21 Februari 1938, W. 1938 No. 929 menyatakan
bahwa : “ sifat melawan hukum itu tidak selalu harus dikaitkan dengan
keuntungan yang diperoleh oleh seorang tersangka atau seorang terdakwa,
melainkan juga dapat dikaitkan dengan dengan maksud pelaku untuk memperoleh
keuntungan yang bersangkutan atau dengan cara pelaku untuk memperoleh
keuntungan tersebut “. Misalnya seseorang memang merasa berhak atas sebagian
tanah pekarangan yang dikuasai oleh orang lain, karena orang lain tersebut telah
keliru menempatkan pagar pembatas halamannya dengan pekarangannya ( PAF.

Lamintang (2), 1989 : 208 )

4.16 Penyiaran Kabar Bohong Dalam Perdagangan (Pasal 390 KUHP)


“ Barangsipa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar
bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-
dana atau surat-surat berharga menjadi turun atau naik, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan “ (lihat
KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Unsur-unsur yang terlihat dalam rumusan Pasal tersebut diatas adalah :


1). Unsur objektif, terlihat dari kalimat : barangsiapa, menyiarkan kabar
bohong dan yang mengakibatkan naik turunnya barang-barang
dagangan, dana-dana serta surat-surat berharga,
2). Unsur subjektif, terlihat dari kalimat “ dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
Didalam unsur yang objektif, kalimat barangsiapa disini berarti, bahwa
itu menunjukan orang siapa saja yang terbukti memenuhi semua unsur-unsur dari
tindak pidana ini, maka orang itulah yang dianggap sebagai pelaku. Menyiarkan
kabar bohong, menurut Noyon – Lange Meyer menandakan bahwa tindak pidana
ini belum diperbuat, apabila kabar bohong itu hanya diberitahukan kepada satu
orang saja, sebab harus diberitahukan kepada sekurang-kurangnya dua orang.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyiarkan kabar bohong itu tergantung kepada
siapa yang mendengar dan diberitahu, apabila misalnya orang yang mendengar
84
berita bohong itu adalah seorang wartawan / jurnalis, maka kemungkinan besar
bahwa kabar bohong / berita bohong itu akan termuat dalam surat kabar / media
cetak dan dalam hal ini sudah masuk dalam pengertian “ menyiarkan “ (Wirjono
Prodjodikoro, 1986 : 49).

Sedangkan dalam unsur subjektif dengan maksud untuk menguntungkan


diri sendiri secara melawan hukum, artinya untuk selesainya tindak pidana yang
diatur dalam pasal ini, tidaklah perlu bahwa maksud si pelaku ini tercapai waktu si
pelaku telah selesai melakukan perbuatannya yang terlarang dalam pasal ini.
Perbuatan yang terlarang itu, misalnya perbuatan menyiarkan / menyebar luaskan
berita / kabar bohong yang menyebabkan atau mengakibatkan naik turunnya harga
barang-barang dagangan, dana-dana atau surat berharga.

4.17 Tindak Pidana Terhadap Surat Berharga (Pasal 391 KUHP)


“ Barangsiapa menerima kewajiban atau memberi potongan pada
penempatan surat hutang suatu negara atau bagiannya atau suatu
lembaga umum, sero atau surat hutang suatu perkumpulan, yayasan
atau perseroan, mencoba menggerakkan khalayak umum untuk
pendaftarannya atau penyertaannya, dengan sengaja
menyembunyikan atau mengurangkan keadaan yang sebenarnya
atau dengan membayang-bayangkan keadaan palsu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun “ (lihat KUHP –
Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Unsur-unsur Pasal ini adalah :


1). Unsur bersifat objektif, terlihat dari kalimat :
Seseorang yang diberikan kewajiban atau memberi pertolongan /
bantuan dalam penempatan : (a). surat-surat hutang atas nama suatu
negara atau bagian dari suatu negara atau suatu lembaga umum, (b).
surat-surat hutang / saham-saham atas nama suatu perkumpulan,
yayasan atau perseroan (bentuk kerjasama), (c). mencoba
menggerakkan / membujuk khalayal umum atau publik untuk : 1).
mendaftarkan diri atau turut serta, 2). dengan
menyembunyikan/mendiamkan atau mengurangi keadaan sebenarnya,
3) dengan memberikan gambaran perbuatan-perbuatan / bayangan
perbuatan atau masalah-masalah yang palsu.
85
2). Unsur bersifat subjektif, terlihat dari kalimat “ dengan maksud “.
Perbuatan si pelaku dalam hal ini akan menimbulkan banyak orang yang
akan mendaftarkan diri atau turut serta dalam ussaha yang terdiri atas berbagai
macam bentuk kerjasama tersebut. Dengan menyembunyikan atau mengurangi
keadaan yang sebenarnya, atau memberikan gambaran tentang perbuatan-
perbuatan yang tidak sebenarnya. Sehingga dengan demikian, semakin banyak
orang yang akan terperdaya dan menjadi korban perbuatan si pelaku. Dikatakan
menerima kewajiban, jika ia adalah pegawai / karyawan dari negara / lembaga
yang mengeluarkan surat-surat hutang negara Indonesia, tetapi mungkin juga
negara asing.
Oleh karena itu, tindak pidana ini merupakan tindak pidana yang dilakukan
dengan sengaja, yang tersirat dari kalimat “ berusaha menggerakan “ dan yang
menjadi sasaran adalah khalayak ramai. Berusaha menggerakkan khalayak umum
adalah tindakan yang dilarang dalam rumusan pasal ini, apalagi menyembunyikan
atau mengurangi keadaan yang sebenarnya, sehingga khalayak umum berniat
untuk membeli surat-surat berharga tersebut.

4.18 Penipuan Penyusunan Neraca Palsu Perusahan (Pasal 392 KUHP)


“ Seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan
terbatas, maskapai andil Indonesia atau koperasi, yang sengaja
mengumumkan keadaan atau neraca yang tidak benar, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan “ (lihat
KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Unsur-unsur yang terlihat dalam rumusan pasal ini adalah :


1). Unsur objektif, terlihat dari kalimat a). pengusaha, pengurus atau
komisaris dari (1). Suatu perseroan terbatas, (2) Maskapai Andil
Indonesia dan (3). Koperasi, b). mengumumkan suatu daftar atau
neraca yang palsu atau tidak benar.
2). Unsur subjektif, terlihat dari kalimat “ dengan sengaja “.
Kata pengusaha merupakan terjemahan dari kata “ koopman “, yaitu tiap-
tiap orang yang menjalankan perusahan (lihat Pasal 92 bis KUHP), lihat Pasal
36 Kitab Uundang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang Perseroan
86
Terbatas, Staatsblad 1939 No. 569 jo. No. 717 tentang Maskapai Andil Indonesia
dan Undang-Undang Koperasi.
Unsur mengumumkan suatu daftar atau neraca yang tidak benar
merupakan suatu perbuatan “ mengumumkan yang sifatnya ditujukan kepada
publik“, yang didalam Arrest Hoge Raad tanggal 19 Nopember 1923, NJ. 1924,
hal. 149, W. 11143, antara lain mengatakan bahwa : “ kemungkinan timbulnya
kerugian atau adanya sifat yang memperdayakan orang lain itu tidaklah perlu “,
sedangkan yang dimaksud dengan mengumumkan itu adalah : menyebarluaskan
neraca suatu lembaga bank dikalangan nasabah, para pemegang saham dan
lembaga-lembaga sahabat (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 216).

4.19 Penipuan / Pemalsuan Nama Firma atau Merek (Pasal 393 KUHP)
Ayat (1) : Barangsiapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan terang
untuk dikeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menawar,
menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan
untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa pada
barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya, dipakaikan
secara palsu nama, firma atau mereka yang menjadi hak
orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama
sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau
firma yang khayal, ataupun bahwa pada barangnya sendiri
atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek
yang demikian, sekalipun dengan sedikit percobaan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu atau denda paling banyak enam ratus rupiah,
Ayat (2) : Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima
tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena
kejahatan semacam itu juga, dapat dijatuhkan pidana
penjara paling lama sembilan bulan (lihat KUHP – Moeljatno (2) –
Cetakan 27, 2008).

Unsur-unsur yang terlihat dalam rumusan pasal tersebut diatas adalah :


1). Unsur objektif : (a). memasukkan dan mengeluarkan lagi ke dan dari
wilayah Indonesia tanpa tujuan yang jelas, (b). menjual, (c).
menawarkan untuk dijual, (d). Menyerahkan / membagikan, (e).

87
mempunyai persediaan untuk : 1). dijual, 2) dibagikan sesuatu
barang

2). Unsur subjektif : (a). diketahui atau patut disangka / patut diduga : pada
barangnya sendiri atau pada bungkusnya diberi nama firma atau
merek secara palsu, yang menjadi hak orang lain dan dengan
menambahkan nama atau firma palsu untuk menunjukkan nama
sesuatu tempat asal barang, (b). pada barangnya sendiri atau pada
bungkusnya diberi nama, firma atau merek yang sedemikian rupa
ditiru, meskipun dengan perbedaan sedikit (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 62).

Unsur opzet / kesengajaan disini haruslah ditafsirkan sebagai dolus dan


culpa yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan itu memang disengaja maupun tidak
disengaja, yang sudah dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan ketentuan aturan
yang berlaku. Oleh karena pembentuk undang-undang memakai kata-kata seperti
1). “ waarvan hij weet yang artinya : yang ia ketahui dan 2). waarvan hij
redelijkerwijs moet vermoeden yang artinya : yang secara patut dapat diduga “.
Kata-kata pertama didalam rumusan tindak pidana dalam pasal ini telah
dipakai oleh pembentuk undang-undang untuk mensyaratkan keharusan adanya
unsur kesengajaan pada pelaku berupa mengetahui / wettens. Sedangkan kata-kata
kedua (yang artinya adalah secara patut harus dapat diduga) didalam rumusan
tindak pidana dalam pasal ini dipakai oleh pembentuk undang-undang untuk
mensyaratkan keharusan adanya unsur ketidak sengajaan / culpa, oleh karena
menurut P.A.F. Lamintang, bahwa kata-kata vermoeden artinya “ menduga “ dan
tidak sama artinya dengan “ mengetahui / wettens “. Mengenai unsur objektif dari
a s/d d, jika terdapat petunjuk yang jelas bahwa barang-barang yang dimasukkan
ke Indonesia, akan segera dibawa lagi keluar Indonesia, maka perbuatan
memasukkan itu bukanlah merupakan perbuatan terlarang. Unsur pada barangnya
sendiri atau pada bungkusannya telah diberi nama, firma atau merek secara palsu,
yang menjadi hak orang, kita juga harus berpatokan pada Arrestnya Hoge Raad
tanggal 20 Februari 1928, NJ. 1928, hal. 421, W. 11809, yang telah menentukan
88
mengenai perbuatan melengkapi barang-barang dengan sebuah meek secara palsu
adalah : “ Pasal ini melarang orang memperdagangkan barang-barang yang
bersumber dari sebuah sertifikat yang isinya tidak benar “. Oleh karena dalam
peradilan, jaksa harus mendakwakan dan dapat membuktikan kecurangan tersebut,
dengan kata-kata bahwa barang-barang tersebut, sebenarnya berasal dari orang
lain daripada yang berhak atas merek yang bersangkutan “ (P.A.F. Lamintang (2), 1989 :

218 – 222).

Unsur dengan menambahkan nama atau firma palsu untuk menunjukkan


nama sesuatu tempat asal barang, sebenarnya merupakan suatu rangkaian yakni
untuk menunjukkan asal-usul atas nama dari suatu tempat dibuatnya barang yang
diperdagangkan itu, sehingga dalam hal ini si pelaku telah : (a). mencantumkan
pada barang itu sendiri atau pada pembungkusnya suatu nama atau suatu firma
atau merek yang dibuat-buat, (b). mencantumkan pada barang itu sendiri atau
pada pembungkusnya sesuatu nama, firma atau merek yang ditiru dari nama,
firma atau merek yang asli walaupun dengan sedikit perbedaan. Unsur pada
barangnya sendiri atau pada pembungkusnya diberi nama, firma atau merek yang
sedemikian rupa ditiru, meskipun dengan perbedaan sedikit. Perbuatan yang
demikian ini sudah jelas dapat merugikan orang yang berhak atas firma atau
meek-merek tersebut. Dengan melihat unsur-unsur yang terkandung dalam
rumusan pasal ini, yaitu bukan saja unsur kesengajaan, tetapi juga unsur dapat
menduga atau patut disangka yang harus mendapat perhatian dan perbuatan yang
demikian sudah sepatutnya dilarang serta diancam dengan pidana.

4.20 Penipuan Dalam Lingkungan Pengacara (Pasal 393 bis KUHP)


Ayat (1) : Seorang pengacara yang sengaja memasukkan atau menyuruh
masukkan dalam surat permohonan cerai atau pisah meja dan
tempat tidur, atau dalam surat permohonan pailit, keterangan-
keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau
penghutang, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga,
bahwa keterangan-keterangan itu bertentangan dengan yang
sebenarnya, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun,

89
Ayat (2) : Diancam dengan pidana yang sama ialah si suami (istri) yang
mengajukan gugatan atau si pemihutang yang memasukkan
permintaan pailit, yang sengaja memberikan keterangan palsu
kepada pengacara yang dimaksudkan dalam ayat pertama (lihat KUHP
– Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Unsur-unsur pasal ini adalah :

1). Bersifat subjektif, terlihat dari kalimat “ dengan sengaja “, yang ia ketahui
atau patut dapat diduga, bahwa keterangan-keterangan itu
bertentangan dengan kebenaran,
2). Bersifat objektif, terlihat dari kalimat seorang pengacara menyuruh
memasukkan a). keterangan-keterangan tentang tempat tinggal
atau tempat kediaman dari tergugat ataupun yang berpihutang, b).
didalam gugatan-gugatan yang berisi tuntutan atas perceraian,
perkawinan dan pembebasan dari kewajiban untuk diam / tinggal
bersama diantara suami – istri, c). Didalam permintaan akan
pernyataan akan pailit.

Semua unsur objektif tersebut yang oleh pembentuk undang-undang telah


dipandang perlu, bahwa perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana,
karena mengandung ketidak benaran. Dimana mungkin saja salah satu pihak
(suami – istri atau tergugat atau yang berpihutang) dalam masalah ini tidak hadir
didepan sidang pengadilan untuk memberikan suatu jawaban, duplik-replik atau
kesimpulan, akibat dimasukkan keterangan-keterangan yang tidak benar.
Sehingga pengadilan akan menjatuhkan pidana diluar hadirnya tergugat atau yang
berpihutang (verstek). Sudah tentu hal ini berdampak negatif / buruk terhadap
harta benda / harta kekayaan orang lain, dalam hal ini yang diperlukan adalah
tentang kebenaran yang sesungguhnya.
Oleh karena itu beberapa sarjana hukum beranggapan, bahwa tindak
pidana ini mengandung unsur ketidak sengajaan / culpa. Dimana si pelaku tidak
perlu harus memiliki kesengajaan untuk memberikan keterangan yang tidak benar,
tetapi cukup bila si pelaku dapat menduga, bahwa dengan memberikan keterangan
seperti itu, yaitu keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
90
4.21 Penipuan Dalam Keluarga (Pasal 394 KUHP)
“ Ketentuan Pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang
diterangkan dalam bab ini, kecuali yang diterangkan dalam ayat
kedua Pasal 393 bis, sepanjang kejahatan dilakukan mengenai
keterangan untuk mohon cerai atau pisah meja dan tempat tidur “
(lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Apabila kita lihat ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP itu, maka ternyata
ketentuan Pasal 367 ayat (1) itu telah membuat suatu keadaan suami – istri itu
tidak bercerai, pisah meja makan, pisah tempat tidur dan pisah harta kekayaan,
sehingga menjadi dasar untuk meniadakan tuntutan pidana kepada salah satu
pihak, jika melakukan tindak pidana penipuan dalam keluarga (rumah tangga),
oleh karena perbuatannya dianggap tidak bersifat melawan hukum. Sedangkan
dalam Pasal 367 ayat (2) KUHP itu merupakan delik aduan yang bersifat
relatif/relative klachtdelicten, yang kemungkinan juga tidak dilakukan penuntutan
oleh salah satu pihak, demi nama baik, derajat atau martabat keluarga dari masing-
masing pihak (suami – istri atau pelaku masih memiliki hubungan darah dengan
korban). Dalam ketentuan pasal ini, yang boleh diadukan kepada aparat penegak
hukum hanyalah nama orang-orang yang disebutkan dalam pengaduan.

4.22 Pidana Tambahan (Pasal 395 KUHP)


Ayat (1) : Dalam pemidanaan karena salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam bab ini, hakim dapat memerintahkan
pemidanaan putusannya dan dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan
dilakukan,
Ayat (2) : Dalam pemidanaan karena salah satu kejahatan yang
diterangkan pada pasal 378, 382, 385, 287, 393 bis, dapat
dinyatakan dicabutnya hak-hak tersebut dalam Pasal 35
no. 1 – 4 (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Mengenai perintah hakim untuk mengumumkan putusannya itu sangat erat


kaitannya dengan ketentuan Pasal 43 KUHP. Apabila hakim menginginkan agar
putusannya diumumkan, maka dalam putusannya itu harus disebutkan tentang
bagaimana caranya melakukan pengumuman tersebut dan harus pula menentukan
berapa besar beaya pengumuman yang harus ditanggung oleh terpidana. Didalam
91
ayat (2)nya, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 (1 – 4) KUHP, jika si pelaku melakukan salah satu kejahatan
sebagaimana disebutkan dalam rumusan Pasal diatas.

RANGKUMAN PERKULIAHAN:
P.A.F. Lamintang mengatakan bahwa walaupun pembentuk undang-
undang tidak mensyaratkan unsur “ kesengajaan “ bagi pelaku untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang terlarang sebagaimana rumusal pasal, akan tetapi
dengan melihat pada syarat tentang keharusan adanya suatu maksud selanjutnya
( Bijkomen Oomerk atau naaste doel ) dari si pelaku untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka sudah dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa perbuatan penipuan Pasal 378 KUHP ini merupakan suatu
kejahatan / Opzettelijk Misdrif atau merupakan suatu kejahatan yang harus
dilakukan dengan kesengajaan (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 141 – 142).
Pada keuntungan itu masih terdapat cacat tentang bagaimana caranya
keuntungan itu dapat diperoleh dan juga sampai saat orang menikmatinya atau
jika keuntungan itu sendiri sifatnya bertentangan dengan kepatutan dalam
pergaulan bermasyarakat, tanpa perlu memperhatikan bagaimana caranya
keuntungan itu dapat diperoleh, maka hal ini harus dilihat dalam konteks teori
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Praktek kehidupan manusia sehari-hari,
mungkin hal ini lebih cenderung merupakan bujuk rayu, yaitu siskorban
melakukan suatu perbuatan, yang sebenarnya justru merugikan diri sendiri tanpa
paksaan.
Sedangkan rangkaian kata-kata bohong itu di isyaratkan bahwa harus
terdapat beberapa kata-kata bohong yang harus diucapkan. Satu kata bohong saja
tidak cukup sebagai alat penggerak ataupun alat bujuk. Rangkaian kata-kata
bohong yang diucapkan secara tersembunyi, sehingga merupakan suatu ceritra
kata yang dapat diterima sebagai suatu yang logis dan benar. Jadi kata-kata itu
tersusun, sehingga kata yang satu membenarkan atau memperkuat kata yang lain
(H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 41).

92
Daftar Bacaan
Anwar. H.A.K. Moch, 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II),
Jilid I, Alumni – Bandung

Lamintang. P.A.F (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar – Bandung

Lamintang. P.A.F. dan Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik Khusus,


Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain Hak
Yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito – Bandung

Moeljatno (2), 2008 : KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ), Cetakan


27, Bumi Aksara – Jakarta

Prodjodikoro, Wirjono, 1986 : Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,


Edisi 2, Eresco – Bandung

Sianturi. SR. 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit


Alumni AHM-HMPT – Jakarta

Sugandhi. R, 1980 : KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional - Surabaya

93
3. Latihan

Pertemuan IV: Tutorial II


TINDAK PIDANA PENIPUAN/BEDROG

Contoh Kasus :
A membeli sebuah sepeda motor pada B dengan cara mencicil, setelah B
menguasai sepeda motor tersebut, ia tidak pernah membayar uang cicilannya. A
berulang kali menagih cicilannya kepada B, B selalu menghindar dan tidak mau
membayar karena B memang berniat tidak membayar dan perbuatan tersebut
sudah sering dilakukan oleh B, kemudian perbuatan B tersebut dilaporkan kepada
polisi sebagai tindak pidana.

Pertanyaan :
1. Dapatkah perbuatan B diancam dengan tindak pidana penipuan dan
Pasal berapa yang dapat diancamkan kepada B ?
2. Unsur-unsur pokok apa yang harus ada dalam tindak pidana penipuan
dalam Pasal 372 KUHP.
3. Bagimana kalau motor yang dibeli oleh A setelah lunas dibayarnya,
ternyata motor tersebut tidak jelas pemiliknya. Dapatkah A diancam
dengan tindak paidana penipuan ?

Daftar Bacaan
Anwar. H.A.K. Moch, 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II),
Jilid I, Alumni – Bandung

Lamintang. P.A.F (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar – Bandung

Lamintang. P.A.F. dan Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik Khusus,


Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain Hak
Yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito – Bandung

94
Moeljatno (2), 2008 : KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ), Cetakan
27, Bumi Aksara – Jakarta

Prodjodikoro, Wirjono, 1986 : Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,


Edisi 2, Eresco – Bandung

Sianturi. SR. 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit


Alumni AHM-HMPT – Jakarta

Sugandhi. R, 1980 : KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional - Surabaya

95
Pertemuan V: Perkuliahan III

BAB V
TINDAK PIDANA PENADAHAN ( Begunstiging )

A. PENDAHULUAN
Menurut Satauchid Kartanegara menyatakan bahwa tindak pidana
penadahan itu disebut sebagai tindak pidana pemudahan, yaitu karena perbuatan
menadah itu telah mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan,
yang mungkin saja tidak ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia
menerima hasil kejahatan itu. Akan tetapi Simon pun mengakui bahwa pengaturan
tindak pidana ini dalam bab tersebut diatas sebenarnya kurang tepat, sebab
perbuatan menadah yang didorong oleh hasrat untuk memperoleh keuntungan itu
sebenarnya tidak dapat disebut “ sebagai telah dilakukan dengan maksud “ untuk
memudahkan orang lain melakukan kejahatan. (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 337).
Dalam tindak pidana / perbuatan pidana ini terdapat 2 ( dua ) kejahatan
yang diatur, yaitu :
1. Penadahan yang mempermudah kejahatan lain, sekedar tentang
penampungan dari barang-barang yang diperoleh dari kejahatan lain
yang telah dilakukan.
2. Kejahatan dengan alat cetak yang mempermudah kejahatan yang terdiri
atas penghinaan dan penghasutan (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 80)

5.1 Penadahan Dalam Bentuk Pokok (Pasal 480 KUHP


Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda
paling banyak enam puluh rupiah, karena penadahan :
ke 1 : barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai,
menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut,
menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari
kejahatan.

96
ke 2 : barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda,
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
diperoleh dari kejahatan (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).
Dalam rumusan pasal tersebut di atas, terlihat unsur-unsurnya untuk dapat
memasukkan perbuatan seseorang dalam tindak pidana ini, yaitu :
1). Bersifat subjektif : (a). yang ia ketahui / waarvan hij weet, (b). yang
secara patut harus dapat ia duga / waarvan hij redelijkerwijs
moet vermoeden.
2). Bersifat objekif : membeli / kopen, menyewa / huren, menukar /
inruilen, menggadai / in pand nemen, menerima sebagai hadiah
/ sebagai pemberian / als geschenk aannemen, didorong oleh
maksud untuk memperoleh keuntungan / uit winstbejag,
menjual / verkopen, menyewakan / verhuren, menggadaikan /
in pand geven, mengangkut / vervoeren, menyimpan / bevaren,
menyembunyikan / verbergen. (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 339, H.A.K.

Moch. Anwar, 1982 : 81 dan P.A.F. Lamintang (4), 1979 : 372-373)

Apabila kita amati rumusan Pasal 480 ke 1 tersebut diatas, terlihat adanya
2 (dua) kelompok perbuatan pidana dalam penadahan, yaitu :
a). Penerimaan barang yang berwujud : perbuatan membeli, menyewa,
menukar, menerima gadai atau menerima sebagai hadiah.
b). Penyerahan barang yang terdiri atas perbuatan menjual,
mempersewakan, menukarkan dan menggadaikan.(H.A.K. Moch. Anwar, 1982 :
81)

Menarik / mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, sebenarnya


perbuatan ini bukan merupakan penadahan, tetapi disamakan dengan penadahan.
Di sini hasil pendapatan dihadapkan dengan barangnya, sehingga mengambil
keuntungan dari membeli barang itu sendiri, tidak termasuk kedalam pengertian
mengambil keuntungan dari hasil barang itu. Sesuatu hasil itu adalah merupakan
apa yang dihasilkan dari pada barang yang berasal dari suatu kejahatan untuk
seseorang yang menerimanya. Kalimat “ yang diketahui “ dapat disamakan
dengan pengertian “ kesengajaan “ dan itu berarti bahwa si pelaku benar-benar
97
mengetahui bahwa barang itu berasal dari suatu kejahatan. Sedangkan kalimat
“yang patut diduga” mengandung pengertian culpa, yang sebenarnya dapat
memperkirakan atau memperhitungkan, bahwa barang itu berasal dari suatu
kejahatan. Sebagai suatu contoh : A mencuri sebuah TV yang kemudian dijual
kepada B dengan harga Rp. 200.000,-. C mengetahui penjualan itu dan
mengetahui asal TV itu, kemudian A memberi C uang sebesar Rp. 20.000,-
dengan maksud agar C tidak membuka rahasia dan C pun mengetahui asal uang
yang Rp. 20.000,- itu adalah hasil penjualan TV, sehingga C dapat dikatakan juga
mengambil keuntungan dari hasil barang asal kejahatan.
Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan hal ini, harus diteliti masalah-
masalah yang dapat memberikan petunjuk akan adanya unsur kesengajaan atau
culpa yaitu : (1). Cara membeli barang ( tidak menanyakan darimana asal barang
itu terlebih dahulu, (2). Cara penjualan barang ( barang seperti TV atau Radio
dibawa kerumah pelaku, sedangkan penjual dan pembeli tidak saling kenal atau
diadakan jual beli pada malam hari ini pada saat sepi), (3). Harga barang yang
ditawarkan harga terlalu jauh daibawa harga pasaran dan (4). Keadaan penjual
(sikap bathin penjual – memperlihatkan rasa takut dan berpakaian kurang
baik).(H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 82-83).
Oleh karena itu, dalam pasal ini yang perbuatan-perbuatan atau tindakan-
tindakan yang dilarang adalah :
1. Membeli, menyewa, menukar, menerima gadai sebagai hadiah sesuatu
barang yang diperoleh dari kejahatan
2. Untuk meraih keuntungan / uit winstbejag : menjual, menukarkan,
membawa atau menyimpan / menyembunyikan sesuatu barang yang
diperoleh dari kejahatan
3. Menarik keuntungan / voordeel trekken dari hasil sesuatu barang yang
diperoleh dari kejahatan (SR. Sianturi, 1983 : 682)

Oleh karena itu, aparat penegak hukum bila memeriksa atau mengadili
masalah penadahan untuk membuktikan bahwa tersangka / terdakwa memiliki
unsur “ yang ia ketahui “ adalah :
98
1).Bahwa terdakwa mengetahui yakni bahwa benda itu telah diperoleh
karena kejahatan
2.)Bahwa terddakwa menghendaki atau mempunyai maksud untuk
melakukan perbuatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum, seperti
membeli, menyewa, menukar, menggadai atau menerima sebagai hadiah
atau pemberian
3.)Bahwa terdakwa menghendaki atau mempunyai maksud untuk
melakukan perbuatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum, seperti
menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut,
menyimpan / menyembunyikan karena didorong oleh maksud untuk
memperoleh keuntungan atau setidak-tidaknya mengetahui
perbuatannya itu telah ia lakukan karena terdorong oleh maksud atau
hasrat untuk memperoleh keuntungan (P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 341)

5.2 Kebiasaan Menadah / Gewoonte-heling / Gequalifeceerde-heling (Pasal


481 KUHP)
Ayat 1 : Barangsiapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja
membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan atau
menyembunyikan barang, yang diperoleh dari kejahatan,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun,
Ayat 2 : Yang bersalah dapat dicabut haknya tersebut dalam Pasal 35 no.
1 – 4 dan haknya untuk melakukan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Terlihat unsur-unsur yang terkandung didalam rumusan Pasal 481 KUHP


ini adalah :
1). Unsur subjektif : terlihat dari kalimat “ dengan sengaja “ atau
opzettelijk dan sebagai “ kebiasaan “ atau
gewoonte maken.
2). Unsur objektif : terlihat dari kalimat : barangsiapa dan menjadikan
sebegai suatu kebiasaan untuk membeli, menukar, menerima
(sebagai ) gadai, menyimpan atau menyembunyikan ( kopen,
inruilen, in pand nemen, bewaren of verbergen ) suatu barang

99
(voorwaren ) hasil kejahatan ( door misdrijf verkregen ). (H.A.K. Moch.
Anwar, 1982 : 83-84, P.A.F. Lamintang (2), 1989 : 363 dan P.A.F. Lamintang (4), 1979 : 382).

Unsur dengan sengaja dalam rumusan pasal ini, oleh pembentuk undang-
undang ditempatkan didepan unsur-unsur yang objektif, sehingga unsur objektif
tersebut merupakan unsur yang telah disyaratkan harus diliputi oleh unsur
kesengajaan bagi si pelaku perbuatan, oleh karena si pelaku memang
menghendaki dan mengetahui dilakukannya perbuatan tersebut (P.A.F. Lamintang (2),

1989 : 364). Didalam ayat (2) dari rumusan pasal ini, hanya merupakan pidana
tambahan bagi si pelaku, sebagaimana yang terlihat dan tercantum dalam Pasal
35 no 1 – 4 KUHP. Suatu “ kebiasaan / membuat sebagai kebiasaan “ itu
berdasarkan keputusan HR tanggal 27 Juli 1895, W. 6711 adalah “ kata-kata
membuat sebagai suatu kebiasaan itu dengan sendirinya menunjukkan adanya
tindakan-tindakan sejenis yang dilakukan beberapa kali “. Akan tetapi tidak
adanya pembuktian adanya kalimat “ membuat sebagai kebiasaan “ itu, bahwa
pelaku telah mempunyai niat untuk melakukan tindak pidana yang sama. (P.A.F.

Lamintang (2), 1989 : 366-367). Dengan demikian dapat dikatakan merupakan suatu
pekerjaan yang dilakukan oleh si pelaku secara berulang-ulang atau beberapa /
seringkali atau lebih dari satu kali.

5.3 Penadahan Ringan / Lichte begunstiging (Pasal 482 KUHP)


“ Perbuatan diterangkan dalam Pasal 480, diancam karena penadahan
ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda
paling banyak enam puluh rupiah, jika kejahatan dari mana benda
diperoleh adalah salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
364, 373 dan 379 “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).
Dalam tindak pidana penadahan ini, juga memperhatikan semua unsur-
unsur yang terkandung dalam Pasal 480 KUHP, namun dalam penerapan atau
pelaksanaannya dibatasi oleh atau dengan adanya ketentuan Pasal 364, 373 dan
379 KUHP.

5.4 Kejahatan Dengan Alat Cetak (Pasal 483 KUHP)


“ Barangsiapa menerbitkan tulisan atau gambaran yang meruptakan
perbuatan pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
100
tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah, jika :
ke 1 : pembuatnya tidak diketahui dan setelah ditentukan
penuntutan, pada tegoran pertama tidak dapat dituntut
atau menetap diluar Indonesia,
ke 2 : penerbit mengerti atau seharusnya menduga, bahwa
pembuatnya pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut
atau menetap diluar Indonesia “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) –
Cetakan 27, 2008).

Yang dapat diancam dengan pidana dalam pasal ini adalah orang yang
menerbitkan sesuatu tulisan atau gambar, yang karena sifatnya dapat dikenakan
pidana, jika : a). Si pembuat itu tidak diketahui namanya dan tidak diberi tahukan
oleh penerbit siapa orangnya pada peringatan pertama sesudah penuntutan
berjalan terhadapnya, b). Si penerbit itu sudah mengetahui sebelumnya atau dapat
menduga, bahwa si pembuat itu tidak dapat dituntut dimuka hakim menurut
hukum pidana, atau akan tinggal diluar negeri ketika tulisan atau gambar itu
diterbitkan. Dimana tulisan atau gambar yang karena sifatnya dapat dikenakan
pidana misalnya : menghina Presiden dan Wakilnya, menghina Kepala Negara
Asing, menghina seseorang atau menghasut dan sebagainya.
Kejahatan ini merupakan kejahatan yang bersifat khusus dan hanya
diperlakukan bagi orang-orang tertentu yaitu “ penerbit “. Sedangkan unsur-unsur
yang terlihat didalam rumusan pasal ini adalah : 1). Menerbitkan suatu tulisan atau
gambar yang bersifat dapat dihukum, 2). Jika pelaku tidak dikenal maupun
dumumkan pada peringatan pertama setelah penuntutan berjalan terhadapnya,
3).jika penerbit sudah atau dapat menduga bahwa pelaku pada saat penerbitan
tidak dapat dituntut berdasarkan hukum pidana atau akan menetap ( berkediaman )
diluar wilayah Indonesia. Perbuatan yang dilarang adalah menerbitkan tulisan atau
gambar yang bersifat tindak pidana, dimana penerbit dapat dipidana apabila
memenuhi 2 (dua) syarat yaitu sebagaimana diatur didalam ke- 1 dan ke- 2 dari
pasal ini.
Unsur kesengajaan di sini terlihat dari kata “ perbuatan penerbitan “, bukan
pada isi tulisan, disini penerbit tidak perlu tahu bahwa isi tulisan atau karangan
atau gambar mempunyai sifat dapat dihukum, sebab cukup sulit dibuktikan unsur

101
sengaja terhadap isinya, sehubungan penerbitan karangan atau tulisan atau gambar
yang menimbulkan mencari sensasi demi merangsang pembeli. Syarat yang harus
dipenuhi oleh penerbit untuk dapat dipidana adalah : (1). Ke-1 : Penerbit tidak
mengenal nama pelaku / pengarang dan tidak memberitahukan siapa
pengarangnya pada saat peringatan pertama setelah tuntutan berlangsung
terhadapnya, (2). Ke-2 : Penerbit adalah tahu atau dapat menduga bahwa pada saat
penerbitan pelaku / pengarang tidak dapat dituntut dimuka pengadilan berdasarkan
hukum pidana dan pelaku / pengarang akan menetap diluar Indonesia (H.A.K. Moch.

Anwar, 1982 : 85-86)

5.5 Ancaman Pidana Bagi Penerbit ( Pasal 484 KUHP )


“ Barangsiapa mencetak tulisan atau gambaran yang merupakan
perbuatan pidana, diancam dengan pidana paling lama satu tahun
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika :
ke 1 : orang yang menyuruh cetak barang tidak diketahui
dan setelah ditentukan penuntutan, pada teguran
pertama tidak diberitahukan olehnya,
ke 2 : pencetak mengerti atau seharusnya menduga, bahwa
orang yang menyuruh cetak pada saat penerbitan,
tidak dapat dituntut atau menetap diluar Indonesia “
(lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008).

Ketentuan pasal ini hampir sama dengan ketentuan Pasal 483 KUHP,
namun memiliki perbedaan yaitu : “ dalam Pasal 483 KUHP mengancam pidana
pada penerbit yang melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan pers,
sedangkan Pasal 484 KUHP, mengancam pidana kepada penguasa percetakan
yang melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan percetakkan “. Dalam
hal ini perlu juga diketahui unsur-unsur dari pasal ini yaitu : a). mencetak tulisan
atau gambar yang sifatnya dapat dipidana, b) didalam ke 1,.dimana pencetak itu
tidak mengetahui / mengenal nama orang yang menyuruh mencetak / menggambar
/ mengarang, tidak memberitahukan siapa yang menyuruh mencetak /
menggambar / mengarang pada peringatang pertama sesudah penuntutan
berlangsung terhadapnya, sedangkan didalam ke 2, tidak mengetahui atau dapat
menduga bahwa pada saat penerbitan itu, orang yang menyuruh mencetak /
menggambar tidak dapat dituntut didepan pengadilan berdasarkan hukum pidana

102
dan orang yang menyuruh mencetak/menggambar itu akan menetap diluar
Indonesia.

5.6 Ancaman Pidana Bagi Pengusaha Percetakan ( Pasal 485 KUHP )


“ Jika sifat tulisan atau gambaran merupakan kejahatan yang hanya
dapat dituntut atas pengaduan, maka penerbit atau pencetak
dalam kedua pasal diatas, hanya dituntut atas pengaduan orang
yang terkenan kejahatan itu “ (lihat KUHP – Moeljatno (2) – Cetakan 27, 2008)

Didalam pasal ini nampak jelas, bahwa untuk dapat menuntut dan
menjatuhkan pidana terhadap kedua ketentuan Pasal 483 dan 484 KUHP, hanya
semata-mata didasarkan atas pengaduan, sehingga dengan demikian, tindak pidana
ini merupakan delik aduan relatif / Relative Klachtdelict. Dimana unsur-unsurnya
adalah bahwa sifat tulisan / gambaran itu merupakan kejahatan berdasarkan
pengaduan, sifat tulisan / gambaran itu telah dianggap merugikan bagi yang
terkena secara langsung suatu kejahatan (H.A.K. Moch. Anwar, 1982 : 86-87)

RANGKUMAN PERKULIAHAN:
Kejahatan penadahan ini diatur didalam Buku II title XXX yang dapat
dibagi menjadi dua jenis tindak pidana penadahan yaitu :

1. Penadahan yang diatur dalam Pasal 480-482 KUHP


2. Tindak pidana oleh penerbit/percetakan yang diatur dalam pasal 483 – 484
KUHP
Dari rumusan pasal 480 ayat 1 KUHP ini dapat ditarik unsur-unsurnya sebagai
berikut :

1. Unsur-unsur objektif :
a. membeli, menyewa, menukar, menerima, sebagai gadai,
menerima sebagai hadiah,
b. karena ingin mendapatkan keuntungan menjual, menyewakan,
menukarkan, memberikan sebagai gadai, mengangkut,
menyimpan atau menyembunyikan,
c. sebuah benda, yang diperoleh karena kejahatan,
103
d. penadahan.

2. Unsur-unsur Subjektif :
a. yang ia ketahui
b. yang ia patut dapat menduga

Unsur yang terdapat dari pasal 480 ayat 2 KUHP :


1. Unsur-unsur Objektif :
a. mengambil keuntunga,
b. pendapat dari suatu benda,
c. sebuah benda yang diperoleh karena kejahatan.
2. Unsur Subjektif :
a. yang ia ketahui,
b. yang ia patut menduga.

Perbuatan si penadah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :


1. Menerima barang dalam tangannya, yaitu membeli, menyewa, menukar,
menerima gadai, dan menerima sebagai hadiah.
2. Melepaskan barang dari tangannya yaitu menjual, menyewakan,
menukarkan, mengdaikan, mengangkut, menyembunyikan dengan maksud
mendapat untung.

Penadah sebagai kebiasaan.


Mengenai kebiasan menadah diatur didalam pasal 481 KUHP,
Unsur-unsur pasal 481(1) KUHP dikatakan sebagai berikut :
Unsur Objektif :
1. menyimpan, menukar, menerima sebagai gadai, menyimpan atau
menyembunyikan.
2. benda-benda.
3. yang diperoleh dari kejahatan.
Unsur Subjektif :

104
1. membuat sebagai kebiasaan
2. dengan sengaja.

Penadahan Ringan.

Penadahan ringan diatur dalam pasal 482 KUHP

Jadi disebut sebagai penadahan ringan, jika perbuatan-perbuatan yang


disebutkan dalam pasal 480 KUHP dilakukan terhadap benda-benda hasil
kejahatan pencurian ringan (pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373
KUHP) atau penipuan ringan (pasal 379 KUHP).

Berdasarkan Code Penal Perancis dan beberapa KUHP di beberapa negara


Eropah pada masa lalu, perbuatan penadahan suatu benda-benda hasil kejahatan
tidak dipandang sebagai suatu kejahatan yang berdiri sendiri / Zelfstanding
Misdrijf. Tetapi dianggap sebagai suatu perbuatan membantu melakukan suatu
kejahatan / medeplichtigheid, beberapa waktu kemudian anggapan itu saat ini
telah ditinggalkan dan perbuatan penadahan dimasukan kedalam bab tersendiri
yaitu BAB XXX – Buku II KUHP, dari Pasal 480 sampai dengan Pasal 485.
Masalah-masalah yang dapat memberikan petunjuk akan adanya unsur
kesengajaan atau culpa yaitu : (1). Cara membeli barang ( tidak menanyakan
darimana asal barang itu terlebih dahulu, (2). Cara penjualan barang ( barang
seperti TV atau Radio dibawa kerumah pelaku, sedangkan penjual dan pembeli
tidak saling kenal atau diadakan jual beli pada malam hari ini pada saat sepi), (3).
Harga barang yang ditawarkan harga terlalu jauh daibawa harga pasaran dan (4).
Keadaan penjual (sikap bathin penjual – memperlihatkan rasa takut dan
berpakaian kurang baik)
Unsur kesengajaan di sini terlihat dari kata “ perbuatan penerbitan “, bukan
pada isi tulisan, disini penerbit tidak perlu tahu bahwa isi tulisan atau karangan
atau gambar mempunyai sifat dapat dihukum, sebab cukup sulit dibuktikan unsur
sengaja terhadap isinya, sehubungan penerbitan karangan atau tulisan atau gambar
yang menimbulkan mencari sensasi demi merangsang pembeli. Syarat yang harus
dipenuhi oleh penerbit untuk dapat dipidana adalah : (1). Ke-1 : Penerbit tidak
105
mengenal nama pelaku / pengarang dan tidak memberitahukan siapa
pengarangnya pada saat peringatan pertama setelah tuntutan berlangsung
terhadapnya, (2). Ke-2 : Penerbit adalah tahu atau dapat menduga bahwa pada saat
penerbitan pelaku / pengarang tidak dapat dituntut dimuka pengadilan berdasarkan
hukum pidana dan pelaku / pengarang akan menetap diluar Indonesia

Daftar Bacaan
Anwar. H.A.K. Moch, 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II),
Jilid I, Alumni – Bandung

Lamintang. P.A.F (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru –
Bandung
Lamintang. P.A.F dan C. Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik Khusus,
Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain hak
yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito - Bandung

Moeljatno, 2008 : KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ), Cetakan 27,


Bumi Aksara – Jakarta

Siantur. SR, 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit


Alumni AHM-PTHM - Jakarta

106
PERTEMUAN XIV
UJIAN AKHIR SEMESTER

107
LAMPIRAN

108
LAMPIRAN 1

SILABUS

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (
Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda )
3. Kode MK : BII4231
4. Semester : IV
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, Hukum Pidana, Pidana Lanjutan
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Mata kuliah ini merupakan sub bagian dari mata kuliah Tindak Pidana
Tertentu Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) untuk
mengetahui tentang kejahatan-kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran
terhadap harta benda seperti “ Pencurian, Pemerasan, Penggelapan,
Penadahan “ dan sebagainya yang meresahkan dan menimbulkan kerugian
material bagi masyarakat, dimana materi ini terdapat dan diatur didalam
KUHP. Dalam diktat / Buku Ajar ini berisi pelajaran dan pengetahuan
hukum yang bersifat khusus, oleh karena hanya membicarakan dan
membahas tentang kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang
mengatur atau menyangkut harta benda. Materi perkuliahan yang
menyangkut kejahatan dan pelanggaran terhadap harta benda sangat perlu
diberikan kepada mahasiswa / siswi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
mengingat materi ini berhubungan erat dengan peristiwa atau kejadian-
kejadian dalam kehidupan manusia bermasyarakat sehari-hari. Demikian
juga pengaruh dan akibat negatif dalam penguasaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dapat mempengaruhi fikiran dan tingkah laku
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang nantinya atau pada
akhirnya akan dapat menimbulkan kriminalitas-kriminalitas yang lain..

109
8. CapaianPembelajaran :

Dengan mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami


mengenai : . 1.) Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta
Penggelapan, 2.) Tindak Pidana Penipuan, 3.) Tindak Pidana Penadahan, 4.)
Pidana Tambahan terhadap harta benda

Dengan pemahaman mengenai 4 (empat) substansi pokok dalam mata


kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami secara utuh mengenai
Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda sebagai sub materi dari
mata kuliah Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP, yang menjadi fokus utama
dari mata kuliah ini. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan mampu
menganalisa berbagai kasus-kasus pidana yang terjadi dalam prakteknya

9. Bahan Kajian

Bahan Kajian mata kuliah terdiri dari: 1.) Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan
dan Pengancaman serta Penggelapan, 2.) Tindak Pidana Penipuan, 3.) Tindak
Pidana Penadahan, 4.) Pidana Tambahan terhadap harta benda meliputi : :
A. Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta Penggelapan:
1. Pencurian Biasa.
2. Pencurian Gequalificeerde Diefstal
3. Pencurian Ringan
4. Pencurian Dengan Kekerasan
5. Pidana Tambahan
6. Pencurian Dalam Keluarga
7. Tindak Pidana Pemerasan
8. Tindak Pidana Pengancaman
9. Ketentuan Pasal 370 KUHP
10. Pidana Tambahan Pasal 371 KUHP
11. Tindak Pidana Penggelapan
12. Penggelapan Biasa.
13. Penggelapan Ringan

110
14. Penggelapan Berat
15. Penggelapan Dengan Pemberatan
16. Penggelapan Dalam Keluarga
17. Pidana Tambahan

B. Tindak Pidana Penipuan/Bedrog:


1. Tindak Pidana Dalam Bentuk Pokok
2. Penipuan Ringan
3. Tindak Pidana Pengebonan
4. Pemalsuan Hasil Karya
5. Penipuan Terhadap Asuransi
6. Tindak Pidana Asuransi
7. Tindak Pidana Persaingan Curang
8. Tindak Pidana Penipuan Dalam Jual Beli
9. Penipuan Dengan Menggunakan Barang Salinan
10. Penipuan Ringan
11. Tindak Pidana Sellionaat
12. Penipuan Dalam Penjual Makanan, Minuman dan Obat
13. Penipuan Dalam Pemborongan
14. Penipuan Penyerahan Barang Untuk Angkatan Darat
15. Tindak Pidana Terhadap Batas Pekarangan
16. Penyiaran Kabar Bohong Dalam Perdagangan
17. Tindak Pidana Terhadap Surat Berharga
18. Penipuan Penyusunan Neraca Palsu Perusahan
19. Penipuan/Pemalsuan Nama, Firma atau Merek
20. Penipuan Dalam Lingkungan Pengacara
21. Penipuan Dalam Keluarga
22. Pidana Tambahan (Pasal 395 KUHP) .

C. Tindak Pidana Penadahan :


1. Penadahan Dalam Bentuk Pokok

111
2. Kebiasaan Menadah
3. Penadahan Ringan
4. Kejahatan Dengan Alat Cetak
5. Ancaman Pidana Bagi Penerbit (Pasal 484 KUHP)
6. Ancaman Pidana Bagi Pengusaha Percetakan

10. Referensi

I. BUKU
Anwar. H.A.K. Moch, 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II),
Jilid I, Alumni – Bandung

Bawengan. Gerson W, 1983 : Hukum Pidana Didalam Teori dan Praktek,


Pradnya Paramita – Jakarta

Chazawi. Adami, 2002 : Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo


Perkasa – Jakarta
Lamintang. P.A.F. (1), 1997 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti – Bandung

----------------------- (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru –
Bandung

---------------------- (3), 1984 : Hukum Penitensier Indonesia, CV. Armico –


Bandung

--------------------- dan C. Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik Khusus,


Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain Hak
Yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito – Bandung

Moeljatno (1), 1985 : Asas-Asas Hukum Pidana, PT Bina Aksasar – Jakarta

------------ (2), 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan


27, Bumi Aksara – Bandung

Prodjodikoro. Wirjono, 1986 : Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Edisi


2, PT Eresco – Bandung

Saleh. Roeslan, 1983 : Perbuatan Pidana dan pertanggungjawaban Pidana,


Aksara Baru – Jakarta

112
Sianturi. SR, 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit AHM-
PTHM – Jakarta

Sugandhi. R, 1980 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan


Penjelasannya, Usaha Nasional – Surabaya – Indonesia

Utrecht. E, 1986 : Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas - Surabaya

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Pengampu Mata Kuliah

113
LAMPIRAN II: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RPP PERTEMUAN KE I DAN II

Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta Penggelapan

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (
Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda )
3. Kode MK : BII4231
4. Semester : IV
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI,PIH,Hukum Pidana,Pidana Lanjutan
7. Capaian Pembelajaran :

Memahami pengertian tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap harta


benda tentang Pencurian, Pengancaman, Pemerasan, Penggelapan dan
Penipuan serta penadahan.

8. Indikator Pencapaian
Menjelaskan pengertian umum, unsur-unsur subyektif, obyektif tentang
kejahatan dan pelanggaran harta benda tentang Pencurian, Pengancaman,
Pemerasan, Penggelapan dan Penipuan serta Penadahan.

9. Materi Pokok

A. Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta Penggelapan:


1. Pencurian Biasa.
2. Pencurian Gequalificeerde Diefstal
3. Pencurian Ringan
4. Pencurian Dengan Kekerasan
5. Pidana Tambahan
6. Pencurian Dalam Keluarga

114
7. Tindak Pidana Pemerasan
8. Tindak Pidana Pengancaman
9. Ketentuan Pasal 370 KUHP
10. Pidana Tambahan Pasal 371 KUHP
11. . Tindak Pidana Penggelapan
12. Penggelapan Biasa.
13. Penggelapan Ringan
14. . Penggelapan Berat
15. Penggelapan Dengan Pemberatan
16. . Penggelapan Dalam Keluarga
17. Pidana Tambahan

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.


b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa untuk 20 menit
siap menerima perkuliahan, menemukan
perilaku awal mahasiswa, menjelaskan RPS,
RPP, Silabus, dan Kontrak Perkuliahan.
Memberikan ulasan umum isi Block Book

115
dan materi Tindak Pidana Pencurian,
Pemerasan dan Pengancaman serta
Penggelapan. Memfasilitasi pembentukan
kelompok diskusi (FGD) untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai Tindak Pidana
Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman
serta Penggelapan Mahasiswa dengan rasa
ingin tahu, tangung jawab dan jujur
menganalisis, mendeskripsikan dalam bentuk
catatan serta menambahkan informasi
pelengkap dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas dan


tanggun jawab menyajikan secara lisan
mengenai hasil analisis terkait dengan Tindak
Pidana Pencurian, Pemerasan dan
Pengancaman serta Penggelapan

Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit


bertanggung jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi, dan


tugas untuk mempelajari lebih mendalam
Percobaan ( Poging ) untuk memahami
materi dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus dalam tutorial

14. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indikator
jawaban dosen.

116
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator
yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


Lamintang. P.A.F. (1), 1997 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT
Citra Aditya Bakti – Bandung
Moeljatno (1), 1985 : Asas-Asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara – Jakarta

Saleh. Roeslan, 1983 : Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban


Pidana, Aksara Baru – Jakarta

Utrecht. E, 1986 : Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas – Surabaya

Pengampu Mata Kuliah

117
RPP PERTEMUAN KE III dan IV

TINDAK PIDANA PENIPUAN/BEDROG

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (
Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda )
3. Kode MK : BII4231
4. Semester : IV
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, Hukum Pidana dan Pidana
Lanjutan
7. Capaian Pembelajaran :

Mengetahui dan mengerti adanya unsur-unsur, jenis dan bentuk penipuan


yang terkandung didalam setiap rumusan pasal-pasal dari tindak pidana
penipuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian unsur-unsur dan jenis-jenis penipuan dalam
hukum pidana. Serta pada tutorial mahasiswa mampu menganalisa Tindak
Pidana Penipuan

9. Materi Pokok

Tindak Pidana Penipuan/Bedrog:


1. Tindak Pidana Dalam Bentuk Pokok
2. Penipuan Ringan
3. Tindak Pidana Pengebonan
4. Pemalsuan Hasil Karya
5. Penipuan Terhadap Asuransi
6. Tindak Pidana Asuransi

118
7. Tindak Pidana Persaingan Curang
8. Tindak Pidana Penipuan Dalam Jual Beli
9. Penipuan Dengan Menggunakan Barang Salinan
10. Penipuan Ringan
11. Tindak Pidana Sellionaat
12. Penipuan Dalam Penjual Makanan, Minuman dan Obat
13. Penipuan Dalam Pemborongan
14. Penipuan Penyerahan Barang Untuk Angkatan Darat
15. Tindak Pidana Terhadap Batas Pekarangan
16. Penyiaran Kabar Bohong Dalam Perdagangan
17. Tindak Pidana Terhadap Surat Berharga
18. Penipuan Penyusunan Neraca Palsu Perusahan
19. Penipuan/Pemalsuan Nama, Firma atau Merek
20. Penipuan Dalam Lingkungan Pengacara
21. Penipuan Dalam Keluarga
22. Pidana Tambahan (Pasal 395 KUHP) .

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

e. Power point presentation.


f. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
g. Laptop/PC Handout
h. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi

119
Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisikan mahasiswa untuk 20 menit
siap menerima perkuliahan, menemukan
perilaku awal mahasiswa, menjelaskan RPS,
RPP, Silabus, dan Kontrak Perkuliahan.
Memberikan ulasan umum isi Block Book
dan materi TINDAK PIDANA
PENIPUAN/BEDROG. Memfasilitasi
pembentukan kelompok diskusi (FGD) untuk
tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai Pengertian
TINDAK PIDANA PENIPUAN/BEDROG

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu, tangung


jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan serta
menambahkan informasi pelengkap dari
sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas dan


tanggun jawab menyajikan secara lisan
mengenai hasil analisis terkait dengan
TINDAK PIDANA PENIPUAN/BEDROG

Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit


bertanggung jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi, dan


tugas untuk mempelajari lebih mendalam
TINDAK PIDANA PENIPUAN/BEDROG
untuk memahami materi dalam tutorial pada
pertemuan berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus

14. Pedoman Penskoran

120
a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indikator
jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator
yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


Anwar. H.A.K. Moch, 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II),
Jilid I, Alumni – Bandung

Lamintang. P.A.F (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar – Bandung

Lamintang. P.A.F. dan Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik Khusus,


Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain Hak
Yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito – Bandung

Moeljatno (2), 2008 : KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ), Cetakan


27, Bumi Aksara – Jakarta

Prodjodikoro, Wirjono, 1986 : Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,


Edisi 2, Eresco – Bandung

Sianturi. SR. 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit


Alumni AHM-HMPT – Jakarta

Sugandhi. R, 1980 : KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional - Surabaya

121
Pengampu Mata Kuliah

RPP PERTEMUAN KE V dan VI

TINDAK PIDANA PENADAHAN ( Begunstiging )

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum

122
2. Mata Kuliah (MK) : Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (
Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda )
3. Kode MK : BII4231
4. Semester : IV
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, Hukum Pidana, dan Pidana
Lanjutan
7. Capaian Pembelajaran :

Mengetahui dan mengerti arti dan makna kejahatan dan pelanggaran tentang
tindak pidana penadahan dan Mengetahui dan mengerti adanya perbedaan
pendapat tentang pengertian atau penafsiran terhadap kalimat-kalimat / tata
bahasa dalam rumusan pasal-pasal tentang penadahan

8. Indikator Pencapaian
Mengerti dan dapat menjelaskan tentang tindak pidana penadahan, unsur-
unsur serta jenis-jenis tindak pidana penadahan, dasar-dasar adanya
perbedaan diantara para sarjana terhadap penafsiran dari kalimat / tata bahasa
sehubungan dengan tindak pidana penadahan

9. Materi Pokok

Tindak Pidana Penadahan :


1. Penadahan Dalam Bentuk Pokok
2. Kebiasaan Menadah
3. Penadahan Ringan
4. Kejahatan Dengan Alat Cetak
5. Ancaman Pidana Bagi Penerbit (Pasal 484 KUHP)
6. Ancaman Pidana Bagi Pengusaha Percetakan

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).

123
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.


b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa untuk 20 menit
siap menerima perkuliahan, menemukan
perilaku awal mahasiswa, menjelaskan RPS,
RPP, Silabus, dan Kontrak Perkuliahan.
Memberikan ulasan umum isi Block Book
dan materi TINDAK PIDANA
PENADAHAN (Begunstiging)
Memfasilitasi pembentukan kelompok
diskusi (FGD) untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai Dasar Hukum,
Bentuk/macam/jenis TINDAK PIDANA
PENADAHAN ( Begunstiging )

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu, tangung


jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan serta
menambahkan informasi pelengkap dari
sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas dan


tanggun jawab menyajikan secara lisan
mengenai hasil analisis terkait dengan
TINDAK PIDANA PENADAHAN (

124
Begunstiging )

Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit


bertanggung jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi, dan


tugas untuk mempelajari lebih mendalam
TINDAK PIDANA PENADAHAN (
Begunstiging )untuk memahami materi
dalam tutorial pada pertemuan berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus

14. Pedoman Penskoran


d. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
e. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indikator
jawaban dosen.
f. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator
yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar

125
Anwar. H.A.K. Moch, 1982 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP-Buku II),
Jilid I, Alumni – Bandung

Lamintang. P.A.F (2), 1989 : Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru –
Bandung
Lamintang. P.A.F dan C. Djisman Samosir (4), 1979 : Delik-Delik Khusus,
Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Milik dan Lain-Lain hak
yang Timbul Dari Hak Milik, Tarsito - Bandung

Moeljatno, 2008 : KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ), Cetakan 27,


Bumi Aksara – Jakarta

Sianturi. SR, 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit


Alumni AHM-PTHM - Jakarta

Pengampu Mata Kuliah

RPP PERTEMUAN
UJIAN AKHIR SEMESTER

126
LAMPIRAN III: KONTRAK KULIAH

KONTRAK KULIAH

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (
Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda )
3. Kode MK : BII4231
4. Semester : IV
5. SKS : 2 SKS

127
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, Hukum Pidana, dan Pidana
Lanjutan
7. Manfaat Mata Kuliah:
Melalui mata kuliah ini mahasiswa dapat memperoleh manfaat teoritis dan
praktis. Manfaat teoritis, mahasiswa dapat mengetahui dan mendalami materi-
materi dalam Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP ( Kejahatan dan
Pelanggaran Terhadap Harta Benda ), khususnya mengenai : 1.) Tindak
Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta Penggelapan, 2.)
Tindak Pidana Penipuan, 3.) Tindak Pidana Penadahan, 4.) Pidana Tambahan
terhadap harta benda Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP ( Kejahatan dan
Pelanggaran Terhadap Harta Benda ), merupakan mata kuliah yang penting
sebagai keberlanjutan dari mata kuliah hukum pidana, sehingga secara teoritis
melalui mata kuliah ini, mahasiswa memperoleh pemahaman yang utuh
mengenai hukum pidana. Secara praktis, dengan pemahaman mengenai
Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP ( Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap
Harta Benda),, mahasiswa akan mampu menganalisa dan memecahkan
permasalahan atau kasus-kasus pidana yang terjadi di dalam masyarakat.

8. Deskripsi Mata Kuliah:


Mata kuliah ini merupakan sub bagian dari mata kuliah Tindak Pidana
Tertentu Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) untuk
mengetahui tentang kejahatan-kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran
terhadap harta benda seperti “ Pencurian, Pemerasan, Penggelapan, Penadahan
“ dan sebagainya yang meresahkan dan menimbulkan kerugian material bagi
masyarakat, dimana materi ini terdapat dan diatur didalam KUHP. Dalam
diktat / Buku Ajar ini berisi pelajaran dan pengetahuan hukum yang bersifat
khusus, oleh karena hanya membicarakan dan membahas tentang kejahatan-
kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang mengatur atau menyangkut harta
benda. Materi perkuliahan yang menyangkut kejahatan dan pelanggaran
terhadap harta benda sangat perlu diberikan kepada mahasiswa / siswi
Fakultas Hukum Universitas Udayana, mengingat materi ini berhubungan erat

128
dengan peristiwa atau kejadian-kejadian dalam kehidupan manusia
bermasyarakat sehari-hari. Demikian juga pengaruh dan akibat negatif dalam
penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat
mempengaruhi fikiran dan tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, yang nantinya atau pada akhirnya akan dapat menimbulkan
kriminalitas-kriminalitas yang lain.

9. CapaianPembelajaran:
Dengan mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami
mengenai : . 1.) Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta
Penggelapan, 2.) Tindak Pidana Penipuan, 3.) Tindak Pidana Penadahan, 4.)
Pidana Tambahan terhadap harta benda
Dengan pemahaman mengenai 4 (empat) substansi pokok dalam mata
kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami secara utuh mengenai
Kejahatan dan Pelanggaran Terhadap Harta Benda sebagai sub materi dari
mata kuliah Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP, yang menjadi fokus
utama dari mata kuliah ini. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan mampu
menganalisa berbagai kasus-kasus pidana yang terjadi dalam prakteknya..

10. Organisasi Materi

Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan bahasan, yang dapat
digambarkan sebagai berikut :
1. Tindak Pidana Pencurian, Pemerasan dan Pengancaman serta
Penggelapan
2. Tindak Pidana Penipuan
3. Tindak Pidana Penadahan
4. Pidana Tambahan terhadap harta benda

11. Strategi Perkuliahan


Kegiatan pembelajaran menggunakan metode PBL. Pelaksanaan
perkuliahan dikombinasikan dengan tutorial. Perkuliahan dilakukan sebanyak 4

129
(empat) kali, untuk memberikan orientasi materi perkuliahan per-pokok bahasan.
Tutorial dilaksanakan sebanyak 4 (empat) kali. Hasil belajar mahasiswa diketahui
dari penilaian melalui ujian akhir semester (UAS). Penilaian meliputi aspek hard
skills dan soft skills.

12. Tugas-tugas
Tugas-tugas dalam perkuliahan dalam satu semester terdiri dari:
a. tugas-tugas latihan yang terdapat pada setiap sesi penutup kegiatan
pembelajaran seagai media evaluasi atas capaian pembelajaran atas satu
bahan kajian; dan
b. tugas-tugas yang terdapat pada setiap kegiatan tutorial yang divisualisasi
dengan kasus-kasus untuk mencapai capaian kemampuan akhir yang
direncanakan pada setiap pertemuan.

13. Kriteria Penilaian


Penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat Pedoman
Pendidkan Fakultas Hukum Unud tahun 2013.

14. Jadwal Perkliahan


Jadwal perkuliahan sudah ditentukan di atas.

15. Tata Tertib Perkuliahan


a. Tata tertib perkuliahan sesuai dengan Pedoman Etika Dosen, Pegawai
(Administrasi) dan Mahasiswa yang ditetapkan dalam Buku Pedoman
Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Bab VII,
poin 4 huruf c.

b.Batas toleransi keterlambatan yaitu 15 menit. Apabila dosen dan mahasiswa


terlambat daripada batas toleransi, maka akan dikenakan sanksi, kecuali
ada pemberitahuan atas keterlambatan tersebut.

130
Koordinator Kelas, Dosen Pengampu,

………………………………………. .....…………………………………

Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Pidana

Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H.,M.H.


NIP. 19620605 1988 03 1 020

131

Anda mungkin juga menyukai