Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
SULAWESI
SKRIPSI
STUDI GEOMORFOLOGI
Diajukan untuk menempuh Sidang Sarjana pada
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran
Oleh :
M. Dzaki Tirta
270110120184
NPM : 270110120184
Menyetujui :
Pembimbing Utama,
Mengetahui :
Dekan Fakultas Teknik Geologi,
Universitas Padjadjaran,
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Karunia-Nya, shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi panutan bagi seluruh umatnya, sehingga
penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “KARAKTERISTIK
KEMIRINGAN LERENG DAN KERAPATAN PENGALIRAN SEBAGAI
RESPON TERHADAP LITOLOGI DAERAH ALIRAN SUNGAI SALU URO,
SULAWESI”.
Disadari sepenuhnya bahwa kegiatan penelitian ini tidak akan terwujud
tanpa ada bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat
membantu selama tahap persiapan, penelitian hingga penyusunan laporan. Terima
kasih kepada Ibu Dr. Ir. Emi Sukiyah, M.T selaku dosen pembimbing, yang telah
memberikan banyak ilmu pengetahuan, serta kerelaannya untuk membimbing
peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini dan kedua orang tua tercinta yang selalu
menjadi sumber motivasi terbesar dan selalu memberikan doa, materi beserta kasih
sayang yang sangat melimpah dari lahir hingga saat ini.
Terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah membantu selama masa
penelitian dan penyusunan laporan ini, diantaranya :
1. Ibu Dr. Ir. Vijaya Isaniawardhani., M.T sebagai Dekan Fakultas Teknik
Geologi Universitas Padjadjaran, atas izin yang telah diberikan kepada
penulis untuk dapat melaksanakan kegiatan penelitian ini.
2. Bapak Dr. Eng. H. Boy Yoseph CSSSA, S.T., M.T. selaku Ketua
Program Studi S1 FTG Unpad.
3. Rifni Yudesrina, Aprilia Rahmayani, dan Irfan Hilmi yang telah
memberi dukungan dan memberi semangat dalam setiap proses
pengerjaan skripsi.
4. Seluruh keluarga besar Wanadri terkhusus angkatan Topan Rimba –
Puspa Rawa yang telah memberikan saya pengalaman dan pembelajaran
yang sangat membantu dalam pengerjaan skripsi.
5. Seluruh keluarga besar HMG terkhusus angkatan 2012 yang senantiasa
bersama saling mengingatkan, membantu dan memberi semangat dalam
setiap proses hingga akhir pengerjaan skripsi.
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang
tanpa batuan dan dukungannya maka laporan ini tidak akan dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari, tentulah penelitian ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu,
kritik serta saran sangat dibutuhkan untuk memperbaiki penelitian ini maupun
sebagai evaluasi pribadi penulis. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat
yang seluas-luasnya.
Jatinangor, 29 Juli 2019
M. Dzaki Tirta R.
iii
ABSTRAK
Kata Kunci : DAS Salu Uro, morfometri, kemiringan lereng, kerapatan pengaliran,
metode simple grid, Sistem Informasi Geografis.
iv
ABSTRACT
v
DAFTAR ISI
vi
3.3.2 Tahap Analisis Data ........................................................................ 44
3.3.3 Tahap Penyusunan Laporan ............................................................ 45
BAB IV ................................................................................................................. 48
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................................... 48
4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian ................................................................. 48
4.1.1 Morfografi ....................................................................................... 51
4.1.2 Morfometri ...................................................................................... 57
4.2 Analisis Morfometri Daerah Aliran Sungai ................................................ 61
4.2.1 Analisis Kerapatan Pengaliran / Drainage Density (Dd) ................ 61
4.2.2 Analisis Kemiringan Lereng ........................................................... 66
4.2.3 Analisis Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan
Lereng 72
BAB V................................................................................................................... 78
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 78
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 78
5.2 Saran ....................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 81
LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
Gambar 4.27 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Toml........................... 65
Gambar 4.28 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Kls .............................. 66
Gambar 4.29 Peta Grid Kemiringan Lereng ......................................................... 67
Gambar 4.30 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Qbt ................................ 68
Gambar 4.31 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmpi.............................. 69
Gambar 4.32 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmb ............................... 69
Gambar 4.33 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmtv .............................. 70
Gambar 4.34 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmps ............................. 71
Gambar 4.35 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Toml .............................. 71
Gambar 4.36 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Kls ................................. 72
Gambar 4.37 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Qbt .. 73
Gambar 4.38 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmpi 74
Gambar 4.39 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmb . 74
Gambar 4.40 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmtv 75
Gambar 4.41 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmps 76
Gambar 4.42 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Toml 76
Gambar 4.43 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Kls ... 77
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pola Pengaliran Dasar dan Karakteristiknya (Howard, 1967) ............. 30
Tabel 2.2 Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam,1985) .............................. 32
Tabel 2.3 Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (sumber : Van
Zuidam, 1985) ....................................................................................................... 34
Tabel 2.4 Hubungan kelas relief - kemiringan lereng dan ketinggian.
(sumber: Van Zuidam,1985) ................................................................................. 34
Tabel 2.5 Indeks Kerapatan Aliran Sungai (Soewarno, 1991) ............................. 39
Tabel 2.6 Klasifikasi tekstur bentang alam bedasarkan kerapatan sungai
(Sukiyah, 2009) ..................................................................................................... 40
Tabel 2.7 Warna yang direkomendasikan untuk dijadikan simbol satuan
geomorfologi berdasarkan aspek genetik (Van Zuidam, 1985) ............................ 41
Tabel 3.1 Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (Zuidam, 1985) ...... 45
Tabel 4.1 Keterangan Satuan Geomorfologi ........................................................ 51
Tabel 4.2 Tabel Jumlah Data Grid Kerapatan Pengaliran (Dd) ........................... 61
Tabel 4.3 Tabel Jumlah Data Grid Kemiringan Lereng ....................................... 66
x
BAB I
PENDAHULUAN
(vulkanisme dan tektonik) atau pun proses sedimentasi serta denudasi yang
permukaan.
Salah satu cabang ilmu geologi yaitu geomorfologi, adalah ilmu tentang
laut. Dan juga dengan adanya bencana alam seperti gunung berapi, gempa bumi,
tanah longsor, dan sebagainya yang berhubungan dengan lahan yang ada di bumi
lahan.
Bentuk lahan adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki bentuk
topografis khas, akibat pengaruh kuat dari proses alam dan struktur geologis pada
material batuan dalam ruang dan waktu kronologis tertentu. Bentuk lahan terdiri
Marine terbentuk oleh pengaruh batuan penyusunnya yang berada di bawah lapisan
permukaan bumi.
oleh topografi alami berupa punggungan bukit atau pegunungan, di mana presipitasi
yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang pada
akhirnya bermuara ke danau atau laut (Ramdan, 2006). DAS juga disebut sebagai
DTA (Daerah Tangkapan Air) untuk wilayah yang lebih sempit. Karakteristik
morfologi suatu DAS yang dinyatakan secara kuantitatif disebut dengan morfometri
morfometri yang meliputi dimensi DAS, areal morfometri dan linear morfometri
yang diambil berdasarkan karakteristik fisik, genesa sungai, dan anak sungai pada
Latar belakang dipilihnya DAS Salu Uro sebagai tempat penelitian antara
lain karena peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang semua infomasi yang bisa
3
pengalirannya, dan juga litologi Mengingat Salu Uro ini berada di lokasi yang
remote area dan hingga laporan ini ditulis peneliti belum menemukan penelitian
serupa di lokasi tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur ataupun
referensi untuk penelitian lebih lanjut yang akan dilaksanakan disana di kemudian
hari.
Disamping itu, peneliti juga memiliki ketertarikan pribadi kepada Salu Uro
First Descent di lokasi tersebut, dan peneliti berharap dapat menghasilkan sesuatu
yang bermanfaat dari data informasi yang dimiliki mengenai Salu Uro, baik berupa
dokumen maupun pengalaman, untuk selanjutnya dapat diakses oleh seluruh pihak
yang memiliki kepentingan dengan tujuan baik dan kemaslahatan umat. Dalam
lereng dengan jenis litologi penyusun wilayah DAS pada daerah penelitian?
penelitian.
Secara geografis, daerah penelitian terletak pada 119° 41' 07" BT sampai
119° 54' 30" BT dan -2° 19' 42" LS sampai -2° 46' 56" LS (Gambar 1.1). Luas
daerah penelitian kurang lebih 613,7 km² yang secara administratif terletak pada 2
Bittuang (2013 – 31), Rantepao (2013 – 32), Batuisi (2013 – 33), Limbong (2013 –
bulan Juli-Agustus 2019. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dikerjakan dalam tiga
tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengolahan dan analisis data, dan tahap
penyusunan laporan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
geomorfologi & fisiografi, stratigrafi dan struktur geologi yang bersumber dari
peneliti terdahulu. Tinjauan dari para peneliti terdahulu ini bertujuan untuk
Secara umum Hamilton (1979), Sukamto (1975a; 1975b), dan Smith (1983)
telah membagi wilayah Sulawesi ke dalam tiga bagian fisiografi (Gambar 2.1) yaitu
basement Paleozoikum Akhir dan Mesozoikum Awal pada bagian utara dan
(Sukamto, 2000), sedimen flysch berumur Kapur Akhir hingga Eosen yang
(Sukamto, 1975a;1975c) pada bagian utara dan selatan, volcanic arc (busur
karbonat Eosen Akhir sampai Miosen Awal dan volcanic arc (busur
2. Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi (Central Schist Belt), tersusun atas
fasies metamorfik sekis hijau dan sekis biru. Bagian barat merupakan
tinggi, genes, dan batuan granitik (Silver dkk, 1983). Fasies sekis biru
(Silver dkk, 1983), sedangkan pada lengan Timur Sulawesi (segmen utara)
diabas dan basalt, yang merupakan hasil dari tumbukan antara platform Sula
dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Hamilton,
1979; Smith, 1983), serta batuan sedimen pelagos dan klastik yang
pembagian di atas, maka daerah penelitian terletak pada Jalur Sekis dan
metamorfik sekis hijau dan sekis biru yang penyebarannya mulai dari
skala 1:250.000. Adapun kondisi geologi yang terdapat pada daerah penelitian
terbagi atas tiga bagian, yaitu Geomorfologi, Stratigrafi, dan Struktur Regional
daerah penelitian.
10
a. Daerah Pegunungan
morfologi ini menempati hampir dua pertiga luas daerah yang dipetakan yaitu
dibagian tengah, utara, timur laut dan selatan. Daerah ini umumnya berlereng terjal
dan curam, puncak bukitnya berkisar dari 800 sampai 3.000 m. Puncak tertinggi
adalah Bulu Ganda Dewata (kurang lebih 3.074 m) dan Bulu Potali (kurang
lebih 3.008 m). Hal lain tertentu tidak terdapat pada sebaran gunung tersebut,
terjun, yang menunjukkan ciri kemudaan daerah. Ciri lain berupa lembah yang
12
sempit dan curam. Disekitar Barupu dan Panggala, terdapat suatu morfologi yang
berpola aliran memancar. Lereng bukit umumnya terjal dan membentuk ngarai,
topografi karst dan dataran alluvium sempit, yaitu disekitar Rantepao. Gua alamiah
pemakaman.
Morfologi ini terdapat dibagian barat daya lembar Mamuju, yaitu daerah antara
Teluk Lebani dan Teluk Mamuju. Tinggi perbukitan berkisar dari 500 sampai 600
Mesozoikum sampai Kuarter. Satuan tertua di Lembar ini adalah batuan malihan
(TR w) yang terdiri dari sekis, genes, filit dan batusabak. Satuan ini mungkin dapat
lebih tua dari Kapur dan tertindih takselaras oleh Formasi Latimojong (Kls).
Formasi tersusun oleh filit, kuarsit, batulempung malih dan pualam, berumur
Kapur.
13
Satuan berikutnya adalah Formasi Toraja (Tet) terdiri dari batupasir kuarsa,
merah atau ungu. Formasi ini mempunyai anggota Rantepao (Tetr) yang terdiri dari
gunungapi Lamasi (Toml) yang terdiri dari batuan gunungapi, sedimen gunungapi
dan batugamping yang berumur Oligo-Miosen atau Oligosen Akhir – Miosen Awal.
oleh Formasi Riu (Tmr) yang terdiri dari batugamping dan napal. Formasi Riu
berumur Miosen awal – Miosen Tengah, tertindih takselaras oleh Formasi Sekala
(Tmps) dan batuan Gunungapi Talaya (Tmtv). Formasi Sekala terdiri dari grewake,
batupasir hijau, napal, dan batugamping bersisipan tuf dan lava bersusunan andesit-
gunungapi Talaya. Batuan gunungapi Talaya terdiri dari breksi, lava dan tuf yang
(Tmm) yang berumur Miosen Akhir. Formasi Mamuju terdiri atas napal, batupasir
gampingan, napal tufaan dan batugamping pasiran bersisipan tuf. Formasi ini
Dibagian tenggara lembar, tersingkap Tuf Barupu (Qbt) yang terdiri dari tuf,
tuf lapilli dan lava yang umumnya bersusunan dasit dan diduga berumur Plistosen,
sedangkan dibagian barat laut tersingkap Formasi Budong-budong (Qb) yang terdiri
termuda di Lembar Mamuju adalah endapan kipas alluvium (Qt) dan alluvium (Qa)
Struktur utama di Lembar Mamuju adalah sesar normal dan sesar naik yang
mempunyai arah umum utara timur laut-selatan barat daya. Beberapa sesar berarah
hampir barat daya-timur dan utara barat laut-selatan tenggara. Struktur lipatan di
(Sukamto, 1973), terutama terdiri dari batuan malihan, batuan sedimen, batuan
gunungapi dan batuan terobosan bersifat granit. Di daerah ini paling sedikit telah
terjadi empat kali gejala tektonik di Daerah Sulawesi barat daya (Leewuen, 1981).
terlipat dan termalih lagi serta Formasi Latimojong termalih regional derajat
rendah.
Pada kala Oligosen sampai Miosen Awal terjadi lagi kegiatan tektonik yang
disertai dengan kegiatan gunungapi dalam bentuk busur kepulauan gunungapi, dan
batugamping.
Pada Kala Miosen Tengah bagian tengah sampai awal Miosen Akhir terjadi
lagi kegiatan tektonik yang disertai dengan kegiatan gunungapi yang menghasilkan
batuan Gunungapi Talaya, Tuf Beropa, dan batuan sedimen Gunungapi Formasi
Sekala. Kegiatan tektonik terakhir mungkin terjadi pada Kala Pliosen dan pada Kala
a. Batuan Sedimen
Tersusun oleh batusabak, kuarsit, batupasir mali, batulanau malih, dan pualam,
Batusabak berwarna kelabu kehitaman sampai hitam, berlapis baik dengan tebal
putih kehijauan, berlapis baik dengan tebal 1 sampai 3 cm, mampat. Filit, berwarna
malih dan batulempung malih, umumnya berwarna putih kelabu sampai kecoklatan,
berlapis baik dengan tebal dan beberapa cm sampai 25 cm terutama tersusun dari
kuarsa dan lempung perdaunan searah dengan perlapisan. Pualam, berwarna putih
16
kelabu, berbutir halus dan mampat. Batuan ini hanya tersingkap di daerah hulu S.
tebal dan beberapa cm sampai 20 cm. Batuan ini mengandung fosil Globotruncana
Globotruncana sp. Kumpulan fosil ini menunjukkan umur Kapur Akhir dengan
Satuan ini diterobos oleh granit Mamasa dan granit Kambuno, tertindih takselaras
Sebarannya terdapat dibagian tengah, selatan dan timur laut lembar, serta
Utara dan ke lembar Malili di Timur. Tebalnya lebih dari 1.000 m. Singkapan
disertai cetakan bijih sulfida tembaga, besi, seng dan sedikit emas. Tebal unit kuaras
beraneka dari bebrapa cm sampai 50 cm. Nama Formasi Laatimojong pertama kali
17
tuf, serpih dan batupasir gampingan , dengan sisipan breksi, lava dan konglomerat.
hijau, tufaan, keras, berlapis dengan tebal dari 10 cm sampai 1m, berselingan
batulempung, berwarna cokelat kehitaman, keras dan tuf berwarna cokelat muda.
sampai lebih dari 1m, berbutir sedang sampai kasar, setempat konglomeratan dan
tebal dari beberapa cm sampai 20 cm. Batuan ini berelang-seling dengan grewake
Batupasir mikaan, berwana kelabu, keras, tufaan, berlapis dengan tebal 10 cm-
15 cm.
Napal, berwarna putih, agak keras, berlapis, dengan tebal mencapai 25 cm.
Batuan ini setempat berselingan dengan tuf halus dan lunak. Serpihnya, berwarna
berstruktur perarian sejajar, berlapisan tuf, breksi gunungapi, tuf pasiran dan
berumur Eosen.
(amigdoloid) dan terisi kalsit, beberapa termineralkan dengan pirit, Lava dan breksi
piroksin, feldspar, gelas dan bijih. Beberapa berupa trakit-basal, bertekstur pofirit,
tersusun oleh plagioklas, klinopiroksin, biotit, feldspar dan gelas. Feldspar piroksin
BLOW, Globoquadrina sp, Bulimina sp, dan Nodosaria sp. Kumpulan fosil ini
perlapisan bersusun dan slump mungkin sebagian dari Formasi ini diendapkan
Formasi ini tersebar di bagian tenggara Lembar, yaitu disebelah barat Rantepao
dan dibagian tengah Lembar. Menindih tak selaras Formasi Riu, berhubungan
Nama Formasi ini adalah nama baru yang diusulkan, diambil dari nama S. Sekala
yang merupakan tempat singkapan terbaik. Kearah timur lembar Malili. Formasi
b. Batuan Gunungapi
Tersusun oleh aneka tuf, lava dan breksi gunungapi bersusunan andesit dasit,
terubah dan terkersikkan, bersusunan andesit, dasit dan trakit serta sedikit basal.
Aneka tuf terdiri dari tuf hijau, tuf sela dan tuf lapilli, tuf hijau, berbutir sangat
halus, berhablur renik, terdiri dari klorit (60%), feldspar (10%), serisit (5%),
lempung (15%), kuarsa (5%) dan bijih (1%). Batuan ini agak keras sampai lunak,
berlapis buruk antara 0,5 – 2 cm sampai tak berlapis. Setempat berwarna putih
bersifat dasit atau trakit, terdiri dari mineral kuarsa dan feldspar.
Tuf sela, berwarna kuning kehijauan, berkepingan dasit dan andesit yang
tertanam dalam massa dasar mineral kuarsa dan feldspar, mengandung sedikit
Tuf lapilli, berupa tuf dengan pecahan dasit berukuran 1 – 3 cm, berbentuk
anhedral sampai euhedral, porfirit, berbutir kasar sampai halus, tersusun oleh
plagioklas (An20, 20%) , kuarsa (15 %), biotit (15 %), mikrolit feldspar dan gelas
(35 %), sedikit dan piroksin. Andesitnya berukuran halus sampai sedang, pejal,
porfirit, hipokristalin, tersusun oleh fenokris plagioklas (35 %), piroksin (25 %),
bijih (20 %), sedikit kuarsa dan gelas dengan massa dasar (35 %).
sampai menyudut dengan massa dasar tuf. Di beberapa tempat, batuan ini
dalam tuf breksi. Batuan ini biasanya mengandung sisipan tipis tuf lapilli
bersusunan andesit.
Satuan batuan ini diterobos oleh retas diorite, andesit dan granit kambuno, yang
bijih “massive”, “fragmental”, “Stockwark” dan “network” dan sisipan urat. Bijih
Sangkaropi, Pompangeo dan Rumanga (semuanya telah diselidiki oleh PT. Aneka
Tambang dan tim dari Direktorat Sumber Daya Mineral dan Energi. Batuan
21
Satuan ini tersebar di bagian tengah, utara dan timur Lembar, menindih
takselaras Formasi Toraja dan tertindih selaras oleh Formasi Sekala. Lokasi tipenya
Tersusun oleh breksi lava, breksi tuf, tuf lapilli, bersisipan tuff dan batupasir
Breksi, lava dan breksi tuf, umumnya bersusunan andesit sampai basal,
setempat mengandung leusit, Batuan ini sebagian besar telah terpropilitkan dan
bentuk menyudut tanggung sampai menyudut, tertanam dalam massa dasar tuf
bersusunan andesit, andesit piroksin, diabas dan basal, beberapa contoh bersusunan
trakit basal, dasit, andesit hornblende, andesit biotit dan basal leusit. Umumnya
terhablurkan penuh, porfirit, berbutir halus sampai sedang dengan bentuk andhedral
(10%-20%), sedikit lempung, kuarsa, hornblende, biotit, bijih dan gelas. Piroksin
dan Plagioklas, sebagian telah terubah menjadi kalsit, serisit, dan beberapa epidot.
Massa dasarnya terdiri dari mikrolit atau Kristal renik feldspar dan sedikit piroksen
atau hornblende, yang umunya telah terubah menjadi kalsit dan beberapa karbonat.
sekunder, Bijih berwarna hitam, berbutir halus (0,4 mm), kedap, andhedral, terdapat
klinopiroksin, olivin, gelas, mineral gelap dan bijih,. Batuan ini menunjukkan
tekstur porfirit, dengan fenokris terdiri dari feldspar dan pirokson, umumnya telah
halus (0,3 mm-1 mm), anhedral euhedral, tersusun dari plagioklas (40%), piroksin
(15%), kripto kristalin (20%), kuarsa (2%), ortoklas (1%), Karbonat (5%), Klorit
karbonatan.
23
konglomeratan. Batuan ini biasanya terdapat berselingan dengan lava atau breksi.
Rijang, merupakan sisipan tipis dalam satuan ini, berwarna putih kelabu
Napal, berwarna putih, berlapis tipis (1-5 cm), keras dan mampat. Napal ini
Formasi Sekala, maka dapat disimpulkan bahwa umur satuan ini berkisar antara
Miosen Tengah sampai Pliosen. Lingkungan pengendapan satuan ini adalah laut
Satuan ini tersebar luas di Lembar Mamuju dan hampir tersingkap disemua
Pasangkayu dan ke timur ke Lembar Malili dan sebelah barat Poso. Nama satuan
ini diambil dari nama gunung (Bulu) Talaya, di bagian barat Lembar, tempat
ditemukan singkapan yang baik. Tebal satuan ini kurang lebih 750 m.
plagioklas, mineral mafik, kuarsa dan oksida besi, berbutir sedang sampai kasar.
sampai menyudut. Tersusun oleh kepingan andesit sampai basal, porfirit, tersusun
dari plagioklas, hornblende, piroksin dan gelas yang tertanam dalam massa dasar
mikrolit feldspar.
Batupasir wacke sebagai sisipan berwaarna kelabu muda, berlapis cukup baik
Gambar 2.5 dan 2.6 Batupasir dan Tuf pada Satuan Tuf Beropa (Tmb)
Satuan ini diduga merupakan anggota di bagian bawah dan batuan gunungapi
Talaya sehingga umurnya diduga Miosen Tengah. Tebalnya kurang lebih 500 m.
Satuan ini tersingkap ditengah dan bagian timur Lembar, terutama disekitar desa
25
Formasi Latimojong.
Terdiri atas tuf, tuf lapilli, tuf hablur, bersusunan dasit dan sedikit breksi lava
Tuf, berwarna putih sampai kelabu, agak mampat, sebagian mudah hancur,
setempat berlapis (10-25 cm). Sedangkan tuf hablur, berwarna putih kelabu,
berbutir sedang sampai kasar, terdapat sebagai sisipan tipis dalam tuf. Batuan ini
umumnya bersusunan dasit, biotit, sanidin, dan banyak dijumpai oksida besi.
andesit.
Tuf Barupa diduga berumur plistosen dan tebalnya kurang lebih 300 m.
Tuf Barupu pertama kali diberikan oleh Abendanon (1951), kemudian digunakan
pula oleh Reyzer (1920). Namanya berasal dari Barupu, nama kampung disebelah
c. Batuan Terobosan
hornblende, biotit dan setempat klorit, apatit dan bijih. Kuarsa dan feldspar
Pada beberapa mineral terlihat retak-retak sebagai akibat pengaruh dari tekanan.
kuarsa dan biotit, sedikit piroksin, bijih, setempat terlihat klorit, apatit, sirkon,
Mineral penyusun utamanya terdiri dari piroksin, biotit dan plagioklas dengan
terbentuk batuan diorit kuarsa dan terdapat sebagai retas-retas dibeberapa tempat.
sangat kasar dengan mineral feldspar dan kuarsa mencapai ukuran 3 cm. Granit
tempat dibagian timur. Batuan ini ada yang menamakan Granit Mamasa atau Granit
Kambuno di Lembar Malili dan Lembar Poso, Umurnya diperkirakan pada Miosen
Akhir-Pliosen Awal.
pemineralan bijih sulfida dan membentuk cebakan tembaga, seperti yang terdapat
2.3. Geomorfologi
kenampakan sebagai bentang alam (landscape) sampai pada satuan terkecil sebagai
bentuk lahan (landform). Gaya-gaya yang bekerja pada proses geomorfologi yaitu
gaya eksogen dan gaya endogen. Proses eksogen adalah proses yang dipengaruhi
oleh faktor-faktor dari luar seperti faktor iklim, biologis dan artifisial. Secara garis
28
besar, proses eksogen diawali dengan pelapukan batuan, kemudian hasil pelapukan
batuan menjadi tanah dan tanah terkikis (degradasional), terhanyutkan dan pada
Proses endogen adalah proses yang dipengaruhi tenaga dari dalam kerak
pengangkatan dan kekar, dan juga berupa kegiatan magma dan vulkanik yang
jenis batuan suatu daerah, dan pola aliran yang mengalir di daerah tersebut.
2.3.1 Morfografi
arsitektur permukaan bumi. Morfografi suatu daerah dapat dilihat dari bentuk lahan
serta pola pengaliran sungai yang berkembang di daerah tersebut yang didukung
oleh bentuk lembah, lereng dan punggungan. Analisis dalam morfografi merupakan
analisis kualitatif.
Pola pengaliran adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah
yang dipengaruhi atau tidak di pengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap
mengalir. Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta topografi atau foto udara,
pola pengaliran berhubungan erat dengan jenis batuan, struktur geologi, kondisi
Howard 1967, (dalam van Zuidam, 1988) membagi pola pengaliran menjadi dua
yaitu, pola pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi. Pola dasar merupakan
pola yang terbaca dan dapat dipisahkan dengan pola lain. Pola pengaliran
Gambar 2.8 Pola pengaliran sungai menurut Howard (1967); (A) Pola pengaliran
Pola Pengaliran
Karakterstik
Dasar
Pola Pengaliran
Karakterstik
Dasar
2.3.2 Morfometri
kuantitatif ini dapat memberikan penajaman tata nama bentuk lahan dan akan
a. Kemiringan Lereng
morfogenetik.
32
dimulai dari pembagian satu area penelitian menjadi kotak-kotak grid yang luasnya
disesuaikan. Makin kecil luasan satu kotak grid berarti makin detail juga data yang
didapatkan. Kemudian setiap grid ditarik garis tegak lurus kontur. Besarnya
KELAS KLASIFIKASI
SIMBOL
LERENG KEMIRINGAN WARNA
S = (N-1)x IC
DxSp
Keterangan:
b. Perbedaan ketinggian
permukaan laut dianggap sebagai bidang yang memilki angka ke-tinggian (elevasi)
Zuidam, 1985)
Berombak 3 - 7 5 - 50
Berombak- 8 - 13 25 - 75
Bergelombang
Bergelombang - 14 - 20 75 - 200
Berbukit
curam
c. Morfometri DAS
punggung gunung, di mana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan ditampung
oleh cekungan diantara punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-
sungai kecil ke sungai utama (Asdak, 1995). Kajian DAS pada umumnya meliputi
bagian hulu, tengah dan hilir. Suatu DAS terbagi menjadi beberapa sub-DAS, dan
kita dapat mengetahui hubungan antara cekungan dan geometri jaringan sungai
dengan penyebaran air dan sedimentasi ke arah cekungan. Ukuran dari cekungan
aliran akan mempengaruhi jumlah air yang masuk. Bentuk, panjang dan relief
cekungan akan mempengaruhi sistem keluarnya air dan total sedimentasi. Panjang
morfometri, yaitu :
1. Linear Morfometri
2. Areal Morfomteri
3. Relief Morfometri
1. Linear Morfometri
Untuk dapat mengetahui seluruh nilai aspek di atas, terlebih dahulu kita
harus menentukan orde sungai dari setiap DAS. Orde sungai adalah tingkatan suatu
segmen sungai dalam suatu DAS atau Sub DAS. Banyak ahli telah menentukan cara
pemberian nilai orde suatu sungai seperti Horton (1945), Strahler (1952), dan
merupakan orde pertama. Namun tidak semua segmen diberi keterangan orde,
hanya salah satu di antara percabangan. Ketika dua segmen – satu bergabung, maka
akan menjadi orde – dua. Dua orde – dua bergabung akan menjadi orde – tiga, dan
seterusnya.
pertama. Ketika dua segmen orde-pertama bergabung, maka akan terbentuk orde
kedua. Dua segmen orde – dua akan memebentuk orde – tiga. Dua orde – tiga akan
membentuk orde – empat, dan seterusnya. Setiap segmen dapat ditempel oleh orde
dengan nilai yang lebih kecil namun tidak akan merubah atau meningkatkan nilai
ordenya. Dalam penentuan orde sungai pada penelitian ini menggunakan metode
Strahler.
penelitian geomorfologi untuk mencari hubungan antara hujan dan air permukaan.
Karena orde pertama sungai berfungsi sebagai pengumpul utama air hujan dalam
suatu cekungan. Dengan menggunakan metode Shreve, perkiraan akan aliran banjir
akan lebih mudah diketahui daripada penggunaan kedua metode yang lain.
38
2. Areal Morfometri
bentuk dua dimensi suatu DAS, sehingga areal morfometri sering sekali disebut
juga morfometri bentuk. Beberapa aspek penting yang mendasari perhitungan areal
morfometri adalah panjang dan luas dari DAS atau Sub DAS. Sedangkan
Pada penelitian ini, variabel yang digunakan untuk analisa adalah Kerapatan
Pengaliran (Dd).
39
Kerapatan pengaliran (Dd) menyatakan jarak antara sungai pada suatu DAS
atau Sub DAS dan dirumuskan sebagai perbandingan antara jumlah panjang
segmen sungai dengan luas DAS atau Sub DAS tersebut. Nilai kerapatan pengaliran
suatu DAS atau Sub DAS biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
mengalasinya, iklim, vegetasi, dan lain-lain (Javed, 2009). Secara umum, nilai
kerapatan pengaliran yang rendah mencirikan bahwa daerah tersebut dialasi oleh
batuan yang permeabel, ditutupi oleh vegetasi dan memiliki relief yang rendah, dan
∑𝐿
𝐷𝑑 = 𝐴
KETERANGAN:
L = Panjang sungai (km)
A = Luas DAS atau Sub DAS (km2)
Dd Kelas
No. Keterangan
(Km/Km2) Kerapatan
1 < 0,25 Rendah Alur sungai melewati batuan dengan
resistensi keras, sehingga sedimen yang
terangkut lebih kecil
2 0,25 – 10 Sedang Alur sungai melewati batuan dengan
resistensi lebih lunak sehingga sedimen
yang terangkut lebih besar
3 10 – 25 Tinggi Alur sungai melewati batuan dengan
resistensi lunak, sehingga sedimen yang
terangkut lebih besar
4 > 25 Sangat Tinggi Alur sungai melewati batuan yang kedap
air. Air hujan yang menjadi aliran akan
40
Dd Kelas
No. Keterangan
(Km/Km2) Kerapatan
lebih besar jika dibandingkan satu daerah
dengan Dd rendah melewati batuan
dengan permeabilitas besar
dan iklim suatu daerah. Indeks kerapatan sungai dapat diklasifikasikan ke dalam
enam kelas (Sukiyah, 2009). Kelas-kelas kerapatan sungai ini dapat menjadi
(Sukiyah, 2009)
Tekstur Dd (Km/Km²)
Sangat Kasar 0.000 – 1.379
Kasar 1.380 – 2.759
Sedang 2.760 – 4.139
Agak Halus 4.140 – 5.519
Halus 5.520 – 6.899
Sangat Halus 6.900 – 8.279
2.3.3 Morfogenetik
Kenampakan bentuk lahan pada muka bumi di sebabkan dua proses yakni
endogenik yaitu merupakan proses yang di pengaruhi oleh kekuatan dari dalam
kerak bumi, dan proses eksogenik yang merupakan proses yang dipengaruhi dari
luar seperti iklim, vegetasi, erosi, buatan manusia. Dilihat dari genesis control
BAB III
(morfogenetik).
meliputi pembagian orde sungai, dan areal morfometri yang didapat dari nilai
berbeda.
1. Peta dasar, berupa peta rupabumi skala skala 1: 50.000 yang diterbitkan oleh
Batuisi (2013 – 33), Limbong (2013 – 34), Tambing Tambing (2013 – 61), dan
Eno (2013 – 62).Peta rupabumi ini digunakan untuk mengetahui tata guna lahan
2. Peta Geologi Regional Lembar Mamuju (12 – 2013). Peta ini digunakan untuk
4. Perangkat komputer/Laptop
5. Software ArcGIS 10.3, Global Mapper 15, MS. Excel 2016, MS. Word 2016
penelitian.
Tahap persiapan meliputi studi regional tentang objek penelitian yang akan
diteliti, geologi daerah penelitian, serta aspek-aspek lainnya yang terkait seperti
kondisi geologi, geomorfologi, dan karakteristik DAS Salu Uro. Tahap ini
penelitian ini.
Hasil dari studi regional, diantaranya berupa hasil publikasi terdahulu yang
membahas tentang daerah geologi daerah penelitian ini. Geologi daerah penelitian
44
Pada tahap ini dilakukan analisis untuk mengetahui kondisi geologi serta
melalui penelitian ini meliputi bentuk bentang alam dan pola aliran sungai. Bentuk
bentang alam merupakan kajian dari unsur morfografi, bentuk bentang alam dalam
Zuidam (1985). Nilai baku dari bentuk bentang alam ini dijabarkan lebih lanjut pada
aspek morfometri, yaitu elevasi. Pola aliran sungai yang membentuk DAS memiliki
arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu berpengaruh terhadap
kecepatan terpusatnya air. Pola aliran juga dapat mencerminkan kondisi geologi
suatu daerah. Penentuan pola aliran sungai yang terdapat di DAS Salu Uro
sudut lereng. Adapun klasifikasi nilai kemiringan lereng ditunjukkan oleh (Tabel
1985)
data dan seluruh informasi hasil penelitian yang sudah diolah dan dianalisis ke
dalam sebuah laporan. Adapun tahap penyusunan laporan ini dibagi menjadi dua
laporan sebelum penelitian terutama pada bab I, bab II, dan bab III. Jika hasil
pengolahan dan analisis data sudah diperoleh maka pembuatan laporan dapat
data dan penyusunan laporan, yang disusun sedemikian rupa guna mencapai suatu
• Pembuatan Peta
Kemiringan
Lereng dan
Morfografi
Data Primer
• Kondisi Geomorfologi
• Jenis Litologi
Data Sekunder
• Peta Pola Pengaliran
• Peta Orde Sungai
• Peta Geomorfologi
• Perhitungan Kerapatan Pengaliran
• Pembuatan grid Kemiringan
Lereng dan Kerapatan Pengaliran
• Karakteristik Kemiringan
Lereng
• Karakteristik Kerapatan
Pengaliran
• Hubungan dan
Perbandingan dengan
Litologi penyusun
BAB IV
Secara umum, wilayah DAS Salu Uro terdiri atas 2 macam bentuk lahan yakni
perbukitan tinggi dan pergunungan. Bentuk lahan ini didukung oleh jenis kemiringan
lereng yang bervariasi, mulai dari datar hingga amat sangat curam. Sedangkan dari segi
morfogenetik, wilayah DAS Salu Uro Sub Das Karama tersusun atas empat jenis litologi
yaitu batuan batuan Vulkanik berumur Kuarter, batuan Sedimen berumur Tersier,
Tinggi Vulkanik Curam – Amat Curam, Perbukitan Tinggi Vulkanik Agak Curam
Gambar 4.2 dan 4.3 Satuan Geomorfologi Pegunungan Vulkanik Agak Curam –
Curam
Gambar 4.4 dan 4.5 Satuan Geomorfologi Perbukitan Struktural Agak Curam –
Curam
4.1.1 Morfografi
Aspek morfografi DAS Salu Uro yang dikaji meliputi bentuk lahan dan pola
c. Bentuk Lahan
Bentuk lahan di wilayah DAS Salu Uro dapat dibagi menjadi 2 jenis
tinggi dan pegunungan. Bentuk lahan ini dapat ditinjau berdasarkan nilai elevasi
Bentuk lahan perbukitan tinggi memiliki elevasi 596 - 1500 mdpl yang
meliputi wilayah utara DAS Salu Uro dengan persentase luas sekitar 17% dari total
52
luas daerah penelitian dengan luas wilayah sebesar 104,3 Km2. Bentuk lahan
Gambar 4.8 dan 4.9 Morfografi Perbukitan Tinggi Pada Daerah Penelitian
lahan ini berada di wilayah tengah sampai ke selatan DAS Salu Uro bagian hulu
dengan persentase luas sebesar 83% dari total luas daerah penelitian dengan luas
Pembagian pola pengaliran sungai di wilayah DAS Salu Uro didasarkan atas
pembagian sub-Daerah Aliran Sungai (DAS) dan orde pada masing-masing DAS.
selatan daerah penelitian dengan luas 248,72 km2 atau sekitar 40,54 % dari seluruh
daerah penelitian. Pola pengaliran ini dicirikan dengan bentuk yang menjari seperti
daun, dan biasanya terbentuk di area yang batuannya homogen atau memiliki
tingkat pelapukan yang relative sama, serta kurang dipengaruhi struktur. Pola
pengaliran berada pada batuan vulkanik seperti breksi, tuf dan lava.
hingga ke utara daerah penelitian, dengan luas sekitar 324,22 km2 atau sekitar 52,84
% dari seluruh daerah penelitian. Pola pengaliran merupakan modifikasi dari pola
pengaliran dendritic. Pada pola pengaliran ini, anak sungai membentuk sudut siku-
siku terhadap induk sungai utama (rectangular), sementara bagian hulu anak
sungainya secara umum menjari (dendritik) dan beberapa menyerupai parallel. Pola
pengaliran ini biasanya dipengaruhi oleh proses tektonik berupa sesar atau lipatan.
Pola pengaliran ini berada pada batuan vulkanik dan batuan sedimen yang ada di
daerah penelitian.
dengan luas sekitar 13,83 km2 atau sekitar 2,25 % dari seluruh area penelitian. Pola
55
pengaliran ini menyebar keluar dari satu pusat yang didominasi oleh batuan
Pola pengaliran parallel tersebar di dua area yaitu area tengah dan area hilir
di bagian selatan daerah penelitian, dengan total luas sekitar 26,81 km2 atau sekitar
4,37 % dari seluruh area penelitian. Pola pengaliran ini dicirikan dengan bentuk
sungai yang saling sejajar, dan terbentuk di daerah yang mengalami struktur atau
perbukitan memanjang. Pola pengaliran ini berada pada batuan sedimen dan
4.1.2 Morfometri
wilayah penelitian. Aspek morfometri yang dibahas pada bagian ini meliputi
klasifikasi kemiringan lereng Van Zuidam (1985), wilayah DAS Salu Uro
mempunyai variasi kemiringan lereng yang tinggi mulai dari datar hingga amat
kemiringan lereng 0%-2%. Kemiringan lereng ini menempati luas 0,81 km2 dan
mayoritas tersebar di wilayah tengah daerah penelitian (DAS Salu bagian tengah).
Total luas kemiringan lereng ini menempati 0,13 % dari total keseluruhan wilayah
penelitian.
persentase kemiringan lereng 2%-7%. Kemiringan lereng ini menempati luas 16,29
km2 dan tersebar merata di seluruh wilayah penelitian, dengan mayoritas berada di
bagian tengah. Total luas kemiringan lereng ini menempati 2,65 % dari total
Gambar 4.15 dan 4.16 Kemiringan Lereng Datar – Landai di Bagian Tengah
Wilayah Penelitian
kemiringan lereng 7%-15%. Kemiringan lereng ini menempati luas 77,50 km2 dan
tersebar merata di seluruh wilayah penelitian. Total luas kemiringan lereng ini
kemiringan lereng 15%-30%. Kemiringan lereng ini menempati luas 231,42 km2
dan tersebar di seluruh wilayah penelitian. Total luas kemiringan lereng agak curam
Gambar 4.16 dan 4.17 Kemiringan Lereng Miring – Agak Curam Tersebar
kemiringan lereng 30%-70%. Kemiringan lereng ini adalah yang paling dominan
dengan luas area 272,86 km2 dan tersebar di seluruh wilayah penelitian, dengan
penumpukan di daerah hulu DAS (baigan selatan wilayah penelitian) dan daerah
hilir DAS (bagian utara wilayah penelitian). Total luas kemiringan lereng curam
kemiringan lereng 70%-140%. Kemiringan lereng ini menempati luas 14,85 km2
dan berada di daerah hulu DAS (baigan selatan wilayah penelitian) dan daerah hilir
DAS (bagian utara wilayah penelitian), dan sedikit di bagian tengah wilayah
penelitian. Total luas kemiringan lereng amat curam menempati 2,42% dari total
Gambar 4.18 dan 4.19 Penyempitan Sungai pada Kemiringan Lereng Curam –
kepada kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran. Metode yang digunakan pada
penelitian ini berupa metode sampling grid, yaitu membagi daerah penelitian
kedalam grid berukuran 300 m x 300 m, didapat grid sebanyak 6818 grid. Setiap
litologi. Setelah itu, setiap data akan dipisahkan berdasarkan litologi lalu dianalisa
Dari 6818 grid yang dibuat, data kerapatan pengaliran berkisar antara rendah
Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 1726 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 498 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25
Km/Km2) atau sekitar 28,85% jumlah total, 1219 grid dengan nilai kerapatan
pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 70,63% jumlah total, dan 9 grid
dengan nilai kerapatn pengaliran tinggi (10-25 Km/Km2) atau sekitar 0,52% jumlah
total.
1500 100.00%
80.00%
1000 60.00%
500 40.00%
20.00%
0 0.00%
Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi Tinggi
Pada Batuan Terobosan, didapat total sejumlah 110 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 28 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2)
atau sekitar 25,45% jumlah total, dan 82 grid dengan nilai kerapatan pengaliran
100.00% 100
80.00% 80
60.00% 60
40.00% 40
20.00% 20
0.00% 0
Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi Tinggi
Beropa (Tmb)
Pada anggota Tuf Beropa, didapat total sejumlah 838 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 225 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25
Km/Km2) atau sekitar 26,85% jumlah total, dan 613 grid dengan nilai kerapatan
800 100.00%
600 80.00%
60.00%
400
40.00%
200 20.00%
0 0.00%
Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi Tinggi
Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 3648 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 1047 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25
Km/Km2) atau sekitar 28,70% jumlah total, 2588 grid dengan nilai kerapatan
pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 70,94% jumlah total, dan 13 grid
dengan nilai kerapatn pengaliran tinggi (10-25 Km/Km2) atau sekitar 0,36% jumlah
total.
3000 100.00%
80.00%
2000 60.00%
40.00%
1000
20.00%
0 0.00%
Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi Tinggi
Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 157 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 41 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2)
atau sekitar 26,11% jumlah total, 111 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang
(0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 70,70% jumlah total, dan 5 grid dengan nilai
kerapatn pengaliran tinggi (10-25 Km/Km2) atau sekitar 3,18% jumlah total.
150 100.00%
80.00%
100 60.00%
40.00%
50
20.00%
0 0.00%
Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi Tinggi
Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 13 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 3 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2)
atau sekitar 23,08% jumlah total, dan 10 grid dengan nilai kerapatan pengaliran
12 100.00%
10 80.00%
8 60.00%
6
40.00%
4
2 20.00%
0 0.00%
Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi Tinggi
Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 326 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 90 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2)
atau sekitar 27,61% jumlah total, 235 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang
(0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 72,09% jumlah total, dan 1 grid dengan nilai
kerapatn pengaliran tinggi (10-25 Km/Km2) atau sekitar 0,31% jumlah total.
250 100.00%
200 80.00%
150 60.00%
100 40.00%
50 20.00%
0 0.00%
Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi Tinggi
Dari 6818 grid yang dibuat, data kemiringan lereng berkisar antara datar
Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 1726 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 3 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar
0,17% jumlah total, 80 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-7%) atau
sekitar 4,63% jumlah total, 268 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%-
15%) atau sekitar 15,53% jumlah total, 727 grid dengan nilai kemiringan lereng
agak curam (15%-30%) atau sekitar 42,12% jumlah total, 634 grid dengan nilai
kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 36,73% jumlah total, dan 14 grid
dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 0,81% jumlah
total.
800 100.00%
600 80.00%
60.00%
400
40.00%
200 20.00%
0 0.00%
Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 110 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 1 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar
0,91% jumlah total, 2 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-7%) atau
sekitar 1,82% jumlah total, 16 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%-
15%) atau sekitar 14,55% jumlah total, 63 grid dengan nilai kemiringan lereng agak
curam (15%-30%) atau sekitar 57,27% jumlah total, 26 grid dengan nilai
kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 23,64% jumlah total, dan 2 grid
69
dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 1,82% jumlah
total.
80 100.00%
60 80.00%
60.00%
40
40.00%
20 20.00%
0 0.00%
Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat
Curam Curam Sangat Curam Curam Sangat
Curam Curam
Beropa (Tmb)
Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 838 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 1 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar
0,12% jumlah total, 19 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-7%) atau
sekitar 2,27% jumlah total, 78 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%-
15%) atau sekitar 14,55% jumlah total, 275 grid dengan nilai kemiringan lereng
agak curam (15%-30%) atau sekitar 32,82% jumlah total, 442 grid dengan nilai
kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 52,74% jumlah total, dan 23 grid
dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 2,74% jumlah
total.
100.00% 500
80.00% 400
60.00% 300
40.00% 200
20.00% 100
0.00% 0
Datar Miring Curam Amat Datar Miring Curam Amat
Sangat Sangat
Curam Curam
Pada Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv), didapat total sejumlah 3648 grid.
Grid tersebut terbagi menjadi 3 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%)
atau sekitar 0,08% jumlah total, 74 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-
7%) atau sekitar 2,03% jumlah total, 462 grid dengan nilai kemiringan lereng
miring (7%-15%) atau sekitar 12,66% jumlah total, 1368 grid dengan nilai
kemiringan lereng agak curam (15%-30%) atau sekitar 37,53% jumlah total, 1646
grid dengan nilai kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 45,12% jumlah
total, dan 94 grid dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau
2000 100.00%
1500 80.00%
60.00%
1000
40.00%
500 20.00%
0 0.00%
Pada Formasi Sekala, didapat total sejumlah 157 grid. Grid tersebut terbagi
menjadi 7 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%-15%) atau sekitar 4,46%
jumlah total, 26 grid dengan nilai kemiringan lereng agak curam (15%-30%) atau
sekitar 16,56% jumlah total, 100 grid dengan nilai kemiringan lereng curam (30%-
70%) atau sekitar 63,39% jumlah total, dan 24 grid dengan nilai kemiringan lereng
120
100 Grafik Lereng Tmps
80
100.00%
60 80.00%
40 60.00%
20 40.00%
20.00%
0 0.00%
Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat
Curam Curam Sangat Curam Curam Sangat
Curam Curam
Grid tersebut terbagi menjadi 1 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%-
15%) atau sekitar 7,69% jumlah total, 6 grid dengan nilai kemiringan lereng agak
curam (15%-30%) atau sekitar 46,15% jumlah total, 5 grid dengan nilai kemiringan
lereng curam (30%-70%) atau sekitar 38,46% jumlah total, dan 1 grid dengan nilai
kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 7,69% jumlah total.
7 100.00%
6 80.00%
5
4 60.00%
3 40.00%
2
1 20.00%
0 0.00%
Pada Formasi Latimojong, didapat total sejumlah 326 grid. Grid tersebut
terbagi menjadi 1 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar
0,31% jumlah total, 6 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-7%) atau
sekitar 1,84% jumlah total, 29 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%-
15%) atau sekitar 8,90% jumlah total, 105 grid dengan nilai kemiringan lereng agak
curam (15%-30%) atau sekitar 32,21% jumlah total, 178 grid dengan nilai
kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 54,60% jumlah total, dan 7 grid
dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 2,15%.
200 100.00%
150 80.00%
60.00%
100
40.00%
50 20.00%
0 0.00%
Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat
Curam Curam Sangat Curam Curam Sangat
Curam Curam
Setelah mendapatkan data kemiringan lereng dan Dd, maka kedua variabel
tersebut coba dibandingkan dalam satu grafik untuk melihat keterkaitan antara
jarak antar sungainya, semakin curam kemirjngan lerengnya, maka semakin keras
maka dapat disimpulkan semakin tinggi nilai kerapatan pengalirannya, maka nilai
120
100
80
60
40
20
0
-2 -20 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Gambar 4.37 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Qbt
kemiringan lerengnya.
74
100
80
60
40
20
0
-2 0 2 4 6 8 10
Gambar 4.38 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmpi
Pada Tuf Beropa, grafik menunjukan trendline yang menurun, maka dapat
120
100
80
60
40
20
0
-2 0 2 4 6 8 10 12
Gambar 4.39 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmb
75
150
100
50
0
-2 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Gambar 4.40 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmtv
dapat disimpulkan kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran memiliki pola yang
tak menentu. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kontrol struktur atau
kontak dengan batuan yang lebih keras, sehingga pada pertemuan-pertemuan anak
sungai terjadi pada kontur yang rapat atau kemiringan lereng yang curam.
76
150
100
50
0
-2 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Gambar 4.41 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmps
memiliki pola yang tak menentu. Hal ini kemungkinan disebabkan karena formasi
tersebut memiliki cakupan area yang sangat kecil pada wilayah penelitian, sehingga
sebenarnya,
100
80
60
40
20
0
-1 0 1 2 3 4 5 6 7
Gambar 4.42 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Toml
77
kemiringan lerengnya.
100
80
60
40
20
0
-2 0 2 4 6 8 10 12
Gambar 4.43 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Kls
78
BAB V
5.1 Kesimpulan
sempit pada wilayah penelitian, sehingga data yang dihasilkan dinilai kurang
perbedaan karakteristik kerapatan pengaliran dari tiap litologi. Tuf Barupu (Qbt),
Formasi Sekala (Tmps), dan Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv) memiliki nilai Dd
batuan tidak terlalu resisten. Sementara itu Tuf Beropa (Tmb), Batuan Terobosan
Km/Km2 atau termasuk sedang, menandakan bawa resistensi batuan lebih tinggi.
beberapa perbedaan karakteristik kemiringan lereng dari tiap litologi. Tuf Barupu
(Qbt), dan Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv) memiliki nilai kemiringan lereng
dominan di agak curam, menandakan bahwa resistensi batuan yang tidak terlalu
resisten. Sementara itu Tuf Beropa (Tmb), Batuan Terobosan (Tmpi) dan Formasi
persentase nilai kemiringan lereng amat curam di Formasi Sekala cukup tinggi
dibandingkan yang lain. Hal ini menunjukan bahwa resistensi batuan pada formasi
79
batuan penyusun formasi tersebut memiliki resistensi batuan yang tidak terlalu
tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kontrol struktur atau adanya
kontak dengan batuan yang lebih keras (dalam hal ini Formasi Latimojong).
5.2 Saran
metode simple grid lagi sebaiknya gunakan skala grid yang cukup besar (minimal
500 m x 500 m) supaya cakupan area dalam satu grid dapat mewakili variabel yang
dianalisa dengan lebih representatif. Selain itu, apabila membuat sungai dari basis
semakin tinggi tingkat ketelitian sungai yang dibuat akan menghasilkan aliran
litologinya. Hal ini mungkin dikarenakan grid yang dibuat terlalu kecil skalanya,
sehingga banyak area DTA (Daerah Tangkapan Air) yang tidak masuk kedalam
hitungan nilai kerapatan pengaliran karena tidak adanya aliran sungai di grid-grid
tersebut. Selain itu, basis data yang digunakan adalah citra DEM dengan resolusi
80
spasial 1:8 (1 pixel mewakili 8 m x 8 m), sehingga sungai yang dihasilkan lebih
detail dan ini mempengaruhi terhadap perhitungan Dd. Karena hamper seluruh
2. Hasil penelitian ini bisa menjadi rekomendasi bagi pemetaan geologi yang
lebih detail pada lokasi penelitian, mengingat peta geologi regional yang tersedia
DAFTAR PUSTAKA
Sukiyah, E. dan Mulyono. 2007. Morfometri Daerah Aliran Sungai Pada Bentang
Alam Vulkanik Kwarter Terdeformasi. Bulletin of Scientific Contribution
Vol.5, No.3. Bandung.
Keller, E. A., & Pinter, N. (1996). Active tectonics (Vol. 19). Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall.
Martodjojo, S., 1984, Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat, Disertasi Doktor, ITB,
Bandung. (tidak diterbitkan)
Ratman, N., & Atmawinata, S. (1993). Peta Geologi Lembar Mamuju, Sulaweai,
Skala 1:250.000. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.