Anda di halaman 1dari 37

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. FM.
Usia : 23 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Perkerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jatiroto 5/2 Buayan Kab. Kebumen
Tanggal masuk : Selasa, 19 November 2019 (Pkl. 07. 00 WIB.)

B. Triage
GCS : E4V5M6
Keluhan utama : Sesak nafas
Airway : Paten, stridor (-), goorgling (-), snoring (-)
Breathing : RR 26 x/m, SpO2 100 % (Dengan masker oksigen),
pergerakan dinding dada simetris, ketinggalan gerak
dinding dada (-).
Circulation : TD : 116/81 mmHg, N 132 x/m reguler, kuat angkat (+),
akral dingin.
GDS : 512 mg/dl.
Pain score : (-)
Kriteria : P1 (Emergency)

C. Anamnesis
1. Keluhan utama : Sesak nafas
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan sesak nafas sekitar 30 menit sebelum masuk rumah
sakit, keluhan dirasakan sudah sejak satu minggu yang lalu, tetapi
bertambah berat sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien

1
mengaku, keluhannya muncul tanpa dipicu aktivitas atau faktor apapun
itu. Pasien mengaku sesak nafas yang dirasakannya sangat mengganggu
aktivitas kesehariannya termaksud duduk, berjalan hingga berbicara
pasien sangat terganggu karena sesaknya. Pasien merasakan keluhannya
bertambah berat saat pasien tidur berbaring dan berjalan. Serta pasien
merasakan keluhannya ringan apabila pasien hanya beristirahat dengan
setengah berbaring. Pasien mengaku keluhannya tidak merasa lebih baik
jika harus berbaring kekiri ataupun kanan. Pasien tidak merasakan
demam, sakit kepala, nyeri dada maupun gangguan buang air besar serta
buang air kecil. Pasien tidak mengeluhkan adanya luka dibagian tubuh
pasien serta pasein merasakan mual tapi tidak muntah.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengaku sering mondok dirumah sakit dengan keluhan yang sama,
pasien mengaku mengidap penyakit gula darah yang tinggi sejak 3 tahun
yang lalu dengan keluhan banyak makan, banyak minum, sering buang air
kecil dimalam hari serta berat badan menurut dan jarang mengkontrol
penyakitnya. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi obat – obatan
serta penyakit infeksi kronik maupun demam yang lama.
4. Riwayat penyakit keluarga
Pasien mengaku dalam keluarganya tidak ada yang menderita penyakit
tekanan darah tinggi, penyakit gula, asma maupun alergi obat – obatan
serta kontak iritan. pasien juga mengaku dalam keluarganya tidak ada
yang menderita batuk lama, demam yang lama,penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker, serta tidak ada yang menderita penyakit infeksi
kronik lainnya.
5. Riwayat personal, sosial dan ekonomi
Saat ini pasien berkerja sebagai pegawai swasta di salah satu toko di kab.
Kebumen. Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya serta 3 orang
saudaranya, pasien mengaku jika rumah pasien memiliki ventilasi yang
cukup untuk pertukaran udara dan cahaya matahari. Pasien mengaku
memiliki riwayat mengkonsumsi makanan dan minuman yang manis –
manis. Pasien mengaku tidak merokok, tidak meminum minuman

2
beralkohol dan memiliki pola makan, minum serta tidur yang tidak
teratur. Pasien saat ini berobat dengan asuransi kesehatan.

D. Pemeriksaan Fisik (Selasa, 19 November 2019).


Kesan umum : Nampak sesak
GCS : E4V5M6
Vital sign
Tekanan darah : 116/81 mmHG
Heart rate : 132 x/m
Respirasi rate : 26 x/m
Suhu tubuh : 36,7º C
Saturasi oksigen : 100 % ( Dengan suplementasi oksigen masker)
Heat to toe
Tabel 1.1 Pemeriksaan fisik heat to toe (Selasa, 19 November 2019).
Kepala & Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), dilatasi vena
leher (5+1), Deviasi trakea (-)
Thorax (Pulmo) Anterior, Posterior, Dextra dan Sinistra
Inspeksi Bentuk dada simetris.
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak.
Perkusi Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+
(positif di lapang paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-

Thorax (Cor)
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di SIC V mid
clavicula sinistra
Perkusi Batas paru-jantung:

3
Kanan atas: SIC III Linea Para Sternalis
Dextra anterior
Kanan bawah: SIC V Linea Para Sternalis
Dextra anterioe
Kiri atas: SIC III Linea Para Sternalis
Sinistra anterior
Kiri bawah: SIC IX Linea Axillaris Sinistra
Anterior (Cardiomegali (-))
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi Ukuran abdomen dalam batas normal,
tidak ada striae, tidak ada spider nevi,
tidak ada jejas.
Auskultasi Peristaltik usus (+) 8 x/m
Palpasi Tidak terdapat nyeri tekan pada keempat
kuadran
Undulasi (-), nyeri tekan titik Mc.
Burney (-). Schafner sing +1
Perkusi Hepar suara pekak, daerah abdomen lain
timpani
Shifting dullness (-)
Ekstremitas superior dan inferior dextra sinistra
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting edema (-) CRT < 2 S
Genitalia (Tidak dilakukan)

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Tabel 1. 2 Tabel pemeriksaan laboratorium Selasa, 19 November 2019
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Darah lengkap
Leukosit 14.25 3.6 – 11 rb/Ul

4
Eritrosit 4.86 3.8 – 5.2 Juta/L
Hemoglobin 14.0 11.7 – 15.5 gr/dl
Hematokrit 40.4 35 – 47 %
MCV 83.1 80 – 100 fL
MCH 28.7 26 – 34 pg
MCHC 34.6 32 – 36 g/dl
Trombosit 479 150 – 440 rb/Ul
Hitung jenis
Basofil 0.3 0.0 – 1.0 %
Eosinofil 0.3 2.0 – 4.0 %
Neutrofil 56.8 50.00 – 70.00 %
Limfosit 35.3 25.0 – 40.0 %
Monosit 7.3 2.0 – 8.0 %
Kimia
GDS 524 70 – 105 mg/dl
Faal ginjal
Ureum 22 15 – 39 mg/dl
creatinin 0.83 0.6 – 1.1 mg/dl
Faal hati
SGOT 18.40 0 – 35 u/l
SGPT 8.50 0 – 35 u/l
Elektrolit
Natrium 138.2 135 – 147 mEq/L
Kalium 5.26 3.5 – 5.0 mEq/L

2. Pemeriksaan GDS Serial


Tabel 1. 3 Tabel pemeriksaan GDS serial Selasa, 19 November 2019.
Jam GDS
07.00 512 mg/dl
09.00 420 mg/dl
10.00 294 mg/dl
11.00 278 mg/dl

F. Assesment
Diagnosis klinis :
Krisis Hiperglikemia

Diagnosis banding
Ketoasidosis diabetikum (KAD)

5
Status hiperosmolar hiperglikemia (SHH)

G. Penatalaksanaan
IGD, Selasa 19 November 2019
1. O2 Non Rebreathing Mask 10 L/Menit
2. Infus NaCl 0.9 % Loading dose 500 ml >> D 10 % 10 Tetes/Menit
3. Ondansetron 4 mg IV
4. Insulin 50 Iu + 50 ml NaCl 0.9 % 5 (siringe pump) 5 cc / Jam
5. Konsultasi / Rujuk dokter spesialis penyakit dalam.

NB : Pemberian terapi sesuai simtom dan respon terapi pasien.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemi yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Manifestasi DM disebabkan karena defisiensi
relatif atau absolut atau resistensi jaringan terhadap insulin. Insulin
merupakan hormon anabolik yang merangsang sintesis glikogen, lemak dan
protein. Pada defisiensi insulin, hormon antagonis insulin yang lebih dominan
sehingga terjadi hiperglikemia. Akibat hiperglikemia terjadi berbagai proses
biokimia dalam sel yang berperan dalam terjadinya komplikasi pada diabetes
mellitus (French, Donihi, & Korytkowski, 2019).
Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat mikrovaskular
(retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati)
maupun makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular
disease). Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap
infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan
infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren
diabetic (French et al., 2019).
Sesuai dengan anjuran American Diabetes Association (ADA) 2007, DM
bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe II,
diabetes dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (Mansjoer, 2007). DM tipe 1
atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Melitus
(IDDM), terjadi karena kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun). Bila
kerusakan sel beta telah mencapai 90% maka gejala DM mulai muncul.
Selain itu ada yang karena autoimun dan idiopatik DM tipe II merupakan
90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent
Diabetes Melitus (NIDDM) dan mempunyai pola familial yang kuat. DM tipe
II seringkali terjadi resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai

7
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin (Ekoe, J.M., Goldenberg, R.,
Katz, 2018)

B. Epidemiologi Diabetes Melitus


WHO memperkirakan bahwa, secara global, 422 juta orang dewasa
berusia di atas 18 tahun hidup dengan diabetes pada tahun 2014. Jumlah
terbesar orang dengan diabetes diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dan
Pasifik Barat, terhitung sekitar setengah kasus diabetes di dunia. Di seluruh
dunia, jumlah penderita diabetes telah meningkat secara substansial antara
tahun 1980 dan 2014, meningkat dari 108 juta menjadi 422 juta atau sekitar
empat kali lipat. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995-2001
dan Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa penyakit tidak menular seperti
stroke, hipertensi, diabetes melitus, tumor, dan penyakit jantung merupakan
penyebab kematian utama di Indonesia. Pada tahun 2007, sebesar 59,5%
penyebab kematian di Indonesia merupakan penyakit tidak menular. Selain
itu, persentase kematian akibat penyakit tidak menular juga meningkat dari
tahun ke tahun, yaitu 41,7% pada tahun 1995, 49,9% pada tahun 2001, dan
59,5% pada tahun 2007 (Infodatin, 2018).

C. Patofisiologi
Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II sangat kompleks, pada awalnya,
terjadi kegagalan aksi insulin dalam upaya menurunkan gula darah,
mengakibatkan sel ß pankreas akan mensekresikan insulin lebih banyak untuk
mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini toleransi glukosa dapat
normal tetapi suatu saat akan terjadi gangguan dan menyebabkan gangguan
toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes. Apabila keadaan resistensi
insulin bertambah berat disertai beban glukosa yang terus menerus, sel ß
pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan
insulin untuk menurunkan kadar gula darah, disertai peningkatan glukosa
hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak yang
mempengaruhi kadar gula darah puasa dan pospandrial yang sangat
karakteristik pada Diabetes Melitus Tipe II. Akhirnya sekresi insulin oleh sel

8
ß pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia yang bertambah berat dan
terus menerus berlangsung (French et al., 2019).

D. Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan glukosa darah dan tidak
hanya berdasarkan adanya glukosuria. Pemeriksaan darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Diagnosis
DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh
pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM
(table I.1.). Ketiga dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun
TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding
dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan. Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
(Fayfman et al., 2017).
Tabel II.1. Kriteria Diagnostik DM menurut ADA

Normoglikemia IFG atau IGT Diabetes

Gula darah puasa <100 Gula darah puasa Gula darah puasa > 126 mg/dl
mg/dl >100 & <126 mg/dl

Gula darah 2 jam PP <140 Gula darah 2 jam PP Gula darah 2 jam PP >200 mg/dl
mg/dl >140 mg/dl & <200
Gejala diabetes dan konsentrasi
mg/dl
glukosa darah sesaat >200 mg/dl

Keterangan :

9
IFT = Impaired Fasting Tolerance, IGT = Impaired Glucose Tolerance.

E. Komplikasi Diabetes Melitus


Menurut laporan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS),
Komplikasi kronis paling utama adalah penyakit kardiovaskuler dan stroke,
diabetic foot, retinopati, serta nefropati diabetika, Dengan demikian
sebetulnya kematian pada diabetes terjadi tidak secara Iangsung akibat
hiperglikemia tetapi berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Apabila
dibandingkan dengan orang normal, maka penderita DM lima kali Iebih besar
untuk timbul gangren, tujuh belas kali Iebih besar untuk menderita kelainan
ginjal dan dua puluh lima kali Iebih besar untuk terjadinya kebutaan
(Rappaport et al., 2019).
Selain komplikasi-komplikasi yang disebutkan di atas, penderita DM juga
memiliki risiko penyakit seperti stroke, hipertensi dan serangan jantung yang
jauh Iebih tinggi daripada populasi normal. OIeh sebab itu penderita DM
perlu diobati agar dapat terhindar dan berbagai komplikasi yang
menyebabkan angka harapan hidup menurun (Ekoe, J.M., Goldenberg, R.,
Katz, 2018).
Komplikasi DM terdiri dari komplikasi akut dan komplikasi kronis.
Komplikasi akut dari diabetes mellitus adalah diabetic ketoacidosis (DKA),
hyperglicemic hyperosmolar state (HHS) dan hipoglikemi. Sedangkan
komplikasi kronik dapat dibagi menjadi 2 yaitu komplikasi vaskular dan non
vaskular. Pada komplikasi vaskular, dibagi lagi menjadi mikrovaskular
(retinopathy, neuropathy, nephropathy) dan makrovaskular (coronary artery
disease (CAD), peripheral artery disease (PAD), cerebrovascular disease).
Komplikasi non vascular yaitu berupa gastroparesis, infeksi, dan perubahan
kulit (Dhatariya & Vellanki, 2017).
1. Komplikasi kronis
a. Macroangiopathy
Komplikasi macroangiopathy adalah komplikasi diabetes yang
menyerang pembuluh darah besar. Komplikasi macroangiopathy dapat
menyerang pembuluh darah berikut yaitu pembuluh darah jantung,

10
pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak. Macroangiopathy
pada pembuluh darah jantung dapat mengakibatkan CVD. Pada
pembuluh darah tepi biasanya sering tanpa gejala, dan gejala yang
muncul pertama biasanya berupa ulkus di kaki (Pasquel et al., 2019).
b. Microangiopathy
Pada microangiopathy, pembuluh darah yang terkena adala pembuluh
darah mikro atau kecil. Bisa menyebabkan diabetic retinopathy dan
nefropathy. Diabetic retinopathy adalah kelainan pada retina pada
mata karena diabetes.. Pada nefropathy, terjadi kelainan dari sistem
filter yang terdapat di ginjal akibat kondisi hiperglikemi. Akibatnya
terjadi kebocoran filter sehingga protein bisa terdapat di urine.
Kondisi dimana terdapat protein-protein kecil dalam urine ini disebut
microalbuminuria (Pasquel et al., 2019).
c. Neuropathy
Neuropathy disebabkan karena kerusakan pada dinding pembuluh
darah kecil yang mensuplai makanan sel saraf. Pada peripheral
neuropathy terjadi sensasi kesemutan, mati rasa, nyeri, atau
kelemahan pada otot. Pada autonomic neuropathy ditemukan kelainan
pada sistem digestive, urinary tract, organ sex, jantung dan pembuluh
darah, kelenjar keringat, dan mata (Pasquel et al., 2019).
2. Komplikasi akut
Komplikasi akut dapat berupa diabetic ketoacidosis (DKA) dan
hyperglicemic hyperosmolar state (HSS). Ketoacidosis pada penderita
DM terjadi akibat penumpukan badan keton dalam sirkulasi tubuh. Badan
keton disintesis dari free fatty acid (FFA) di dalam liver. Normalnya, FFA
akan disintesis menjadi trigliserida atau very low density lipoprotein
(VLDL), namun karena penderita diabetes terjadi hiperglucagonemia
maka FFA lebih cenderung akan membentuk badan keton. Hal ini akan
menyebabkan ketoacidosis karena badan keton bersifat asam (French et
al., 2019).
HHS terjadi pada individu tua, biasanya timbul gejala2 klasik diabetes
seperti poliuria, polidipsi, polifagi, dan kehilangan berat badan yang tidak

11
dapat dijelaskan (perkeni, 2006). Pada HHS, kadar glukosa darah bisa
mencapai lebih dari atau sama dengan 600 mg/dl. Gejala-gejalanya adalah
bibir kering dan pecah-pecah, sangat kehausan, kulit hangat namun tidak
berkeringat, dan demam tinggi (ADA, 2007). Hal ini terjadi karena
penumpukan glukosa di dalam sirkulasi akan menyebabkan perbedaan
tekanan osmotik, sehingga cairan yang ada di dalam intrasel akan tertarik
menuju intravaskuler (French et al., 2019).
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah sampai di
bawah 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik
(berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-
glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Kondisi
ini hipoglikemi akibat dari jatuhnya kadar glukosa darah bisa karena
penggunaan sulfonylurea atau insulin yang tidak disertai intake makanan
(French et al., 2019).

F. Kiris Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan suatu komplikasi akut dari diabetes
melitus ditandai dengan tingginya kadar gula darah tubuh yang terdiri dari
Ketoasidosis diabetik (disingkat KAD) dan status hiperglikemia hiperosmolar
(disingkat SHH). Manifestasi utamanya adalah kekurangan insulin dan
hiperglikemia yang berat. SHH terjadi ketika defisiensi insulin yang relatif
(terhadap kebutuhan insulin) menimbulkan dehidrasi dan akhirnya
menyebabkan kondisi hiperosmolaritas. KAD terjadi bila kekurangan insulin
yang berat tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi yang berat
tapi juga mengakibatkan produksi keton meningkat serta asidosis. Diagnosis
KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (≥ 250 mg/dL), ketosis darah
atau urin, dan asidemia (pH < 7.3) (French et al., 2019; Rappaport et al.,
2019).
Kebanyakan pasien DKA adalah pasien DM tipe 1; sedangkan pasien
dengan DM tipe 2 juga memiliki resiko selama terjadi stres katabolik akibat
penyakit akut seperti trauma, pembedahan, atau infeksi. Angka kematian pada
KAD <5% pada rumah sakit yang berpengalaman, sedangkan angka kematian

12
pasien SHH masih tinggi yaitu pada angka 11%. Kematian pada kondisi ini
jarang disebabkan karena komplikasi metabolik akibat hipergikemia atau
ketoasidosis tetapi lebih berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya.
Prognosis pada kedua kondisi akan lebih buruk pada pasien usia tua yang
ekstrim dan pada pasien dengan koma dan hipotensi (Rappaport et al., 2019).
1. Patofisiologi hiperglikemia krisis
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi
insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang
meningkat. Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar
glukosa serum yang normal dan untuk mensupres ketogenesis.
Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi
insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk
lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi
insulin makin kurang (Varela, Held, & Linas, 2018).
Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam
darah, terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon,
katekholamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini
menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan
gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia
dan perubahan osmolaritas extracellular (French et al., 2019).
Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon
kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam
lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan
oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß- hydroxybutyrate [ß-
OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan
ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH mungkin
disebabkan oleh konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak cukup
untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap
insulin, tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk
mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti
untuk teori ini masih lemah ( 4). KAD dan SHH berkaitan dengan
glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium,

13
kalium, dan elektrolit lain keluar (French et al., 2019; Rappaport et al.,
2019).

Gambar II. 1 Bagan Patofisiologi KAD dan SHH (Hiperglikemia krisis)


(French et al., 2019; Rappaport et al., 2019).

2. Faktor risiko dan etiologi


Hiperglikemia krisis pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada
keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini
antara lain (Pasquel et al., 2019):
a. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan
oleh Infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, infeksi traktus
urinarius, abses, sepsis, dan lain-lain.
b. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, infark miokard
akut, emboli paru, thrombosis V. Mesenterika, trauma, luka bakar,
hematom subdural, heat stroke

14
c. Kelainan gastrointestinal : Pankreatitis akut, cholesistitis akut,
Obstruksi intestinal.
d. Obat-obatan : Diuretika, steroid dan lain-lain.

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang


bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya
tidak adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien
muda dengan DM tipe 1, permasalahan psikologis 5 yang diperumit
dengan gangguan makan berperan sebesar 20% dari seluruh faktor yang
mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong penghentian
suntikan insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat
badan pada keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh
dalam hypoglikemia, pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat
penyakit kronis (Fayfman et al., 2017).
3. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Proses dari SHH biasanya muncul setelah beberapa hari sampai
beberapa minggu, sedangkan waktu perubahan episode KAD akut
pada penderita baik DM tipe 1 atau 2 tampaknya lebih singkat.
Meskipun gejala pada diabetes yang tidak terkontrol dapat muncul
selama beberapa hari, perubahan metabolik khas KAD biasanya akan
nampak dalam waktu yang cukup singkat (<24 jam). Gambaran klinis
klasik pasien KAD yaitu riwayat poliuri, polidipsi, penurunan berat
badan, muntah, nyeri abdomen, dehidrasi, lemah, perubahan status
mental dan koma. Temuan fisik yaitu turgor kulit yang menurun,
pernafasan kussmaul, takikardi, hipotensi, perubahan status mental,
syok, dan bahkan koma. Hampir 25% dari pasien KAD mengalami
muntah-muntah, yang bewarna seperti kopi. Status mental dapat
bervariasi dari sadar penuh hingga lethargy atau koma, dimana lebih
sering terjadi pada pasien SHH. Meskipun infeksi adalah faktur
pencetus utama baik pada KAD maupun SHH, pasien dapat bersuhu
normal maupun hipotermia, disebabkan vasodilatasi perifer.

15
Hipotermia yang parah bila terjadi, merupakan tanda prognosis yang
buruk. Nyeri abdomen terkadang dapat menjadi mirip dengan akut
abdomen, muncul pada 50-75% kasus KAD. Nyeri abdomen biasanya
membaik seiring dengan koreksi dari hiperglikema dan metabolik
asidosis. Gejala klinis yang paling umum dari pasien SHH adalah
perubahan sensoris. Pemeriksaan fisik didapatkan tanda dehidrasi
dengan berkurangnya turgor kulit, lemah, takikardi, dan hipotensi.
Demam oleh karena infeksi yang mendasari sering didapatkan, dan
tanda asidosis (nafas kussmaul, bau nafas aseton) biasanya tidak
ditemukan. Pada beberapa pasien, tanda neurologis fokal
(hemiparesis, hemianopsia) dan kejang (kejang motorik parsial lebih
sering daripada kejang umum) dapat menjadi temuan klinis yang
dominan (Dhatariya & Vellanki, 2017; Fayfman et al., 2017).
b. Pemeriksaan penunjang
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau
SHH meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea
nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan anion gap),
osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa
gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis.
Elektrokardiogram, x-ray thorak, urin lengkap, sputum atau kultur
darah dapat diperiksakan jika terdapar indikasi. HbA1c dapat menjadi
bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini merupakan
akumulasi bertahap proses diabetes yang belum diketahui atau tidak
terkontrol sebelumnya atau merupakan episode akut nyata pada pasien
diabetes yang terkontrol dengan baik (Dhatariya & Vellanki, 2017;
Fayfman et al., 2017).

Tabel II.2 Kriteria diagnosis dan total defisit cairan dan elektrolit pada
KAD dan SHH

16
KAD terdiri dari trias biokimia yaitu hiperglikemia, ketonemia, dan
metabolik asidosis. Akumulasi dari asam keton mengakibatkan
peningkatan anion gap. Anion gap dihitung dengan mengurangi
jumlah dari klorida dan konsentrasi bikarbonat dari konsentrasi
natrium (NA+ - (Cl-+HCO30-)). Anion gap normal berkisar <12+2
mEq/l. Akan tetapi banyak laboratorium belakangan ini menghitung
konsentrasi sodium dan klorida menggunakan elektroda ion-spesifik,
yang menghitung konsentrasi klorida plasma 2-6 mEq/l lebih tinggi
dari metode penghitungan sebelumnya. Oleh karena itu, anion gap
normal dengan menggunakan metode tersebut berkisar antara 7 dan 9
mEq/l, dan anion gap >10-12 mEq/l mengindikasikan adanya
peningkatan anion gap asidosis. Derajat keparahan dari KAD
diklasifikasikan menjadi ringan, moderate, atau parah berdasarkan
keparahan dari metabolik asidosis (pH darah, bikarbonat, keton) dan
adanya perubahan status mental (Varela et al., 2018).
Kebanyakan pasien dengan krisis hiperglikemi datang dengan
leukositosis berbanding proporsional dengan konsentrasi badan keton
dalam darah. Akan tetapi leukositosis >25.000 menandakan adanya
infeksi dan membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Konsentrasi natrium
serum pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik yang
terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular dalam keadaan

17
hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh
karena pergeseran kalium extracellular yang disebabkan oleh
kekurangan hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien
dengan konsentrasi kalium serum rendah atau lownormal pada saat
masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang berat pada saat
perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu monitoring jantung
yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium
lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung (French et al.,
2019).
Penelitian terhadap osmolalitas serum dan perubahan kesadaran
menunjukkan bahwa terdapat hubungan postif linear antara kedua hal
tersebut. Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan
osmolalitas efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan
kemungkinan lain penyebab perubahan status mental. Pada mayoritas
pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini mungkin berkaitan
dengan sumber nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk 7
menentukan diagnosa banding dengan pankreatitis. Nyeri abdominal
dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering terjadi
pada DKA dibandingkan dengan SHH (Pasquel et al., 2019).
4. Diagnosis banding
Tidak semua pasien dengan ketoasidosis adalah KAD. Ketosis karena
kelaparan dan ketoasidosis alkoholik (KAA) dibedakan dengan anamnesis
dan konsentrasi glukosa plasma yang terentang dari sedikit meningkat
( jarang > 250 mg/dl) sampai hipoglikemia. Sebagai tambahan, walaupun
KAA dapat mengakibatkan asidosis, konsentrasi bikarbonat serum pada
keadaan ketosis kelaparan biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/l.
KAD harus pula dibedakan dari penyebab lain terjadinya asidosis
metabolik yang tinggi anion gap seperti acidosis laktat, minum obat-
obatan seperti salicylate, metanol, ethylene glycol, dan paraldehyde, dan
gagal ginjal kronis ( dimana lebih khas asidosis hiperkhloremia daripada
high-anion gap acidosis). Riwayat intoksikasi obat atau menggunakan
metformin harus dicari (Fayfman et al., 2017; Pasquel et al., 2019).

18
5. Penatalaksanaan
Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi
komorbid yang merupakan faktor presipitasi; dan yang sangat penting
adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi
diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan
dengan baik.
a. Terapi cairan
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume
intravascular dan extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal.
Terapi cairan juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa
bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra
insulin (dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin).
Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak
15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam pertama ( 1–
1.5 l untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan yang berikut untuk
mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit
darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan
sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium serum meningkat atau normal;
NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah.
Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30
mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat
diberikan secara oral. Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat
dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah),
pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian
cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama.
Perbaikan osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm• kg-1
H2O• h-1 ( 14–20,22). Pada pasien dengan gangguan ginjal atau
jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal,
dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan
untuk menghindari overload yang iatrogenik (Fayfman et al., 2017).

19
Cairan IV

Tentukan status hidrasi

Hipovolemi Hipovolemi Syok


Berat RIngan Kardiogenik

Berikan 0.9% NaCl Evaluasi serum Na+ Monitor


(1.0 L/jam) hemodinamik

Serum Na+ Serum Na-


normal rendah

0.45% NaCl (250- 0.9% NaCl (250-


500 ml/jam) 500ml/jam)
tergantung status tergantung status
hidrasi hidrasi

Serum glukosa mencapai 200


mg/dL (KAD) atau 300 mg/dL
(SHH) ganti menjadi 5%
dextrose dengan 0.45% NaCl
150-250 ml/jam

Gambar II. 2 Bagan terapi cairan pada hiperglikemia krisis (Fayfman


et al., 2017).

b. Terapi insulin
Pada keadaan KAD ringan, insulin reguler diberikan dengan infus
intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa,
jika tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin

20
intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian
insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1
unit• kg-1• h-1 ( 5–7 unit/jam pada orang dewasa). Pemberian insulin
secara bolus tidak dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian insulin
reguler dengan infus intravena secara kontinu dengan dosis 0.1 unit•
kg-1• h-1 dapat diberikan pada pasienpasien tersebut. Dosis insulin
rendah ini pada umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa
plasma sebanyak 50–75 mg• dl-1• h-1, sebanding dengan pemberian
insulin dosis tinggi (1-5) . Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak
50 mg/dl dari awal pada jam pertama, periksa dulu status hidrasi; jika
baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai
penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300
mg/dl untuk SHH, mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi
0.05–0.1 unit• kg-1• h-1 ( 3–6 units/jam), dan dextrose ( 5–10%)
ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau
konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata
kadar glukosa sampai asidosis pada KAD atau status mental dan
hyperosmolaritas pada SHH membaik (French et al., 2019).
Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan
hiperglikemia. Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung
adalah metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Metoda
Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.
Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat
pada KAD, tidaklah terukur dengan metoda nitroprusside. Selama
therapy, ß-OHB dikonversi ke asam asetoacetik, yang membuat para
klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh karena itu,
penilaian benda keton dari urin atau serum dengan metoda
nitroprusside tidak digunakan sebagai suatu indikator terapi (Pasquel
et al., 2019).
Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2–4
jam untuk memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine,

21
osmolaritas, dan pH vena ( untuk DKA). Biasanya, analisa gas darah
tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena (pada umumnya 0.03
unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk
memonitor resolusi asidosis. Sehingga BGA tidak diperlukan
pengecekan secara berulang pada monitor terapi KAD dengan
pertimbangan menghindari nyeri dan komplikasi akibat pengambilan
darah arteri (Dhatariya & Vellanki, 2017).
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin
kerja menengah atau lama untuk mengendalikan glukosa plasma.
Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 1–2 jam setelah
regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin
plasma cukup. Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan
penundaan insulin subcutan akan memperburuk keadaan; oleh karena
itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi subkutan secara
bersamaan. Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat
diberikan insulin dengan dosis seperti sebelum mereka terkena
serangan KAD atau SHH dan jika dibutuhkan dilakukan penyesuaian.
Pada pasien diabetes yang baru, total insulin awal mungkin berkisar
antara 0.5–1.0 unit• kg - 1• day-1, dibagi menjadi sedikitnya dua dosis
dalam bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai
mencapai suatu dosis optimal yang diinginkan. Akan tetapi, penilaian
klinins yang baik dan pengecekan gula darah yang rutin adalah hal
yang sangat vital dalam inisiasi regimen baru insulin pada pasien yang
belum pernah memakai insulin (French et al., 2019).

Insulin

Rute IV (KAD dan


SHH)

0.1 U/kgBB 0.15U/kgBB/ja


bolus IV 22 m/IV drip
insulin
0.1 U/kgBB/jam IV
drip insulin

Jika glukosa serum tidak turun


10% dalam 1 jam pertama,
berikan 0.14 U/kg bolua IV,
lanjutkan dengan Rx sebelumnya

KAD SHH

Jika serum glukosa Jika serum glukosa


mencapai 200 mg/dL, mencapai 300 mg/dL,
kurangi infus insulin kurangi infus insulin
menjadi 0.02-0.05 menjadi 0.02-0.05
U/kg/jam IV, atau U/kg/jam IV. Jaga serum
berikan rapid acting glukosa diantara 200-
insulin 0.1 U/kg SC tiap 300 mg/dL sampai
2 jam. Jaga serum pasien sadar
glukosa diantara 150-
200 mg/dL sampai
resolusi KAD

Periksa elektrolit, pH darah, kreatinin dan glukosa tiap 2-4 jam


sampai stabil. Setelah resolusi KAD atau SHH dan pasien dapat
makan, berikan multidosis SC insulin regimen.

Untuk transfer dari IV ke SC, lanjutkan infus insulin IV


selama 1-2 jam setelah insulin SC mencapai level insulin
plasma yang adekuat.

Gambar II. 3 Bagan terapi insulin pada hiperglikemia krisis (Fayfman


et al., 2017).

c. Kalium

23
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan
pada saat kadar dalam darah dibawah 5.3 mEq/l, dengan catatan
output urin cukup (50ml/jam). Biasanya, 20–30 mEq kalium ( 2/3 KCl
dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk
mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l.
Penderita dengan KAD jarang menunjukkan keadaan hipokalemia
yang berat. Pada kasus-kasus demikian, penggantian kalium harus
dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin harus
ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari
aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan. Di
samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai
sedang sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia.
Terapi insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan
menurunkan konsentrasi kalium serum (Rappaport et al., 2019).
d. Bikarbonat
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan
kontroversi ( 28). Pada pH >7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis
dan ketoacidosis dapat hilang tanpa penambahan bikarbonat.
Pemberian bikarbonat berhubungan dengan meningkatnya resiko
hipokalemia, mengurangi upktake oksigen oleh jaringan, dan edema
otak. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya
keuntungan atau perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas
dengan pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara
6.9 dan 7.1 (10). Tidak ada laporan randomized study mengenai
penggunaan bikarbonat pada KAD dengan pH < 6.9. Asidosis yang
berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi sangat
bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan
sodium bikarbonat 100 mmol dalam 400 cc cairan steril (cairan
isotonik) ditambah dengan 20 mEq KCl dengan kecepatan 200 ml/jam
selama 2 jam sampai ph vena >7.0. Tidak perlu tambahan bikarbonat
jika pH > 7.0. Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat,
menurunkan kalium serum; oleh karena itu supplemen Kalium harus

24
diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di atas dan harus
dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus
diukur tiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat
harus diulangi tiap 2 jam jika perlu (Fayfman et al., 2017).
e. Fosfat
Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi
fosfat berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian
prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan dengan
penggantian fosfat pada KAD ( 32), dan pemberian fosfat yang
berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa adanya
gejala tetani . Sehingga penggunaan fosfat secara rutin pada terapi
KAD atau SHH tidak menghasilkan keuntungan secara klinis pada
pasien. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung dan
kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia,
penggantian fosfat kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan
kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka
dengan konsentrasi fosfat serum < 1.0 mg/dl. Blia diperlukan, 20–30
mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan ke larutan (Fayfman et al.,
2017).

25
Tabel II. 3 Skema penatalaksanaan ketoasidosis diabetic dan sindroma
hyperosmolar hiperglikemik (PERKENI, 2018).

26
Gambar II. 4 Bagan Terapi KAD (Fayfman et al., 2017).

27
Gambar II. 5 Bagan Terapi KAD (Fayfman et al., 2017).

28
Hiperglikemia >250 mg/dL
disertai :
Riwayat DM
Perubahan status mental
hingga koma
Tanda Dehidrasi ( takikardi,
turgor menurun, hipotensi
hingga syok)
Demam

Rehidrasi dengan NS
0,45%-0,9% 1L/jam

Cek SE, BGA, DL, GDS Serial,


osmolaritas darah, UL, Ur/Cr

SHH
KAD
Perubahan sensoris
Gejala muncul lebih cepat (<24 jam)
Perubahan status mental lebih
Bolus Insulin 0,1 nyeri abdomen (50-75% kasus KAD)
sering pada SHH
IU/KGBB - Muntah bewarna seperti kopi
Tanda2 asidosis (-)
(25% kasus KAD)
Drip Insulin 0,1 Tanda2 asidosis
Hiperosmolar >320 mOsm/kg IU/KGBB/Jam (nafas kussmaul, bau keton, ketonuria)
Cek Gds/jam
Metabolik asidodis (ph <7.00)
Anion Gap >12
Keton Urin (+)
Terapi sesuai bagan SHH Bikarbonat <15
Keton darah (+)

Terapi sesuai bagan KAD

Gambar II. 6 Algoritma Hiperglikemi Krisis (Dhatariya & Vellanki, 2017).

29
6. Komplikasi
Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam
kaitan dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam
kaitan dengan pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat,
dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin intravena setelah
perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan.
Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi
disebabkan oleh penggunaan larutan saline berlebihan untuk penggantian
cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion gap yang
sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion
yang hilang dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis
osmotik. Kelainan biokimia ini adalah sementara dan secara klinik tidak
penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau oliguria yang ekstrim
(Varela et al., 2018).
Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan
komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan
DKA. Umumnya terjadi pada anak-anak dengan DM yang baru
didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak yang telah diketahui
DM dan pada orang-orang umur duapuluhan (1,2,6). Kasus yang fatal dari
edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada SHH. Secara klinis, edema
cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan
sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan
kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradycardia, dan gagal nafas.
Gejala ini makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan
ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak ditemukan Bila terjadi
gejala klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku , angka
kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 7–14% pasien yang sembuh tanpa
kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak
diketahui diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada
sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat
pada terapi KAD atau SHH. Kurangnya informasi yang berhubungan

30
dengan angka morbiditas edema cerebral pada pasien orang dewasa; oleh
karena itu, rekomendasi penilaian untuk pasien orang dewasa lebih secara
klinis, daripada bukti ilmiah. Pencegahan yang mungkin dapat
mengurangi resiko edema cerebral pada pasien dengan resiko tinggi
adalah dengan penggantian defisit air dan natrium berangsurangsur
dengan perlahan pada pasien yang hyperosmolar (maksimal pengurangan
osmolaritas 3 mOsm• kg-1 H2O• h-1) dan penambahan dextrose dalam
larutan hidrasi saat glukosa darah mencapai 250 mg/dl. Pada SHH, kadar
glukosa darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai keadaan
hiperosmoler dan status mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil
(Varela et al., 2018).
Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat
terapi KAD. Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam
tekanan osmotik koloid yang mengakibatkan penambahan cairan dalam
paru-paru dan penurunan compliance paru paru. Pasien dengan KAD
yang mempunyai suatu gradien oksigen alveoloarteriolar yang lebar pada
saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya ronkhi saat
pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru
(Rappaport et al., 2019).
Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada
KAD maupun SHH. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan,
peningkatan amilase dan lipase terjadi pada 16– 25% kasus KAD. Kadar
amilase dan lipase dapat meingkat sampai lebih dari 3 kali nilai normal
tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis. Walaupun demikian,
pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 – 15% kasus KAD (Rappaport
et al., 2019).
Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan
hipertonisitas merupaka komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal.
Pada keadaan ini risiko untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih
besar. Mungkin diperlukan dekompresi dengan naso-gastric tube dan
pemberian agen-agen penurun asam lambung sebagai tindakan profilaksis
(Varela et al., 2018).

31
7. Pencegahan
Banyak kasus KAD dan SHH dapat dicegah dengan perawatan medik
yang baik, edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga
kesehatan selama belum timbulnya penyakit. Sick-day management harus
mendapat perhatian. Hal ini meliputi informasi spesifik pada 1) kapan
menghubungi sarana pelayanan kesehatan 2) target glukosa darah dan
penggunaan short-acting insulin selama penyakit, 3) mengobati demam
dan infeksi, dan 4) inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang
mengandung karbohidrat dan garam. Yang paling penting, pasien harus
dinasehatkan untuk tidak pernah menghentikan insulin dan untuk mencari
dokter saat mulai sakit (Dhatariya & Vellanki, 2017).
Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien
dan anggota keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu
dengan teliti mengukur dan mencatat kadar glukosa darah, benda keton
pada urin atau darah ketika glukosa darah > 300 mg/dl, dosis insulin, suhu
badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi permenit, dan berat badan.
Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff atau keluarga
dapat mencegah terjadinya SHH dalam kaitan dengan keadaan dehidrasi
pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali atau menghindari
kondisi ini. Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien mengenai
tanda dan gejala newonset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-
obatan yang memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring
glukosa dapat mengurangi kejadian dan beratnya HHS (Dhatariya &
Vellanki, 2017).

32
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan
Seorang perempuan usia 23 tahun datang ke IGD RS PKU
Muhammadiyah Gombong dengan keluaha sesak nafas. Pada pasien langsung
dilakukan primery survey dan dismpulkan bahwan pasien compos mentis, air
way paten, pada brearthing didapatkan respiration rate 26 x/m. Pada
circulation didapatkan heart rate 132 x/m dan akral dingin. Pada pemeriksaan
tambahan didapatkan GDS 512 mg/dl. Berdasarkan hasil primery survey
pasien di golongkan kriteria P1 yaitu emergency.
Pada pasien dilakukan pemasangan oksigen NRM 10 liter permenit dan IV
line Nacl 0,9% dan monitoring tekanan darah, heart rate, respiration rate,
suhu, saturasi oksigen dan pemeriksaan GDS Serial. Selanjutnya dilakukan
anamnesi dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesi didapatkan Pasien
mengeluhkan sesak nafas sekitar 30 menit sebelum masuk rumah sakit,
keluhan dirasakan sudah sejak satu minggu yang lalu, tetapi bertambah berat
sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku, keluhannya
muncul tanpa dipicu aktivitas atau faktor apapun itu. Pasien mengaku sesak
nafas yang dirasakannya sangat mengganggu aktivitas kesehariannya
termaksud duduk, berjalan hingga berbicara pasien sangat terganggu karena
sesaknya. Pasien merasakan keluhannya bertambah berat saat pasien tidur
berbaring dan berjalan. Serta pasien merasakan keluhannya ringan apabila
pasien hanya beristirahat dengan setengah berbaring. Pasien mengaku
keluhannya tidak merasa lebih baik jika harus berbaring kekiri ataupun kanan.
Pasien tidak merasakan demam, sakit kepala, nyeri dada maupun gangguan
buang air besar serta buang air kecil. Pasien tidak mengeluhkan adanya luka
dibagian tubuh. Pasien. Serta pasien merasakan mual tapi tidak muntah.
Pasien mengaku sering mondok dirumah sakit dengan keluhan yang sama,
pasien mengaku mengidap penyakit gula darah yang tinggi sejak 3 tahun yang
lalu dengan keluhan banyak makan, banyak minum, sering buang air kecil

33
dimalam hari serta berat badan menurut dan jarang mengkontrol penyakitnya.
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi obat – obatan serta penyakit
infeksi kronik maupun demam yang lama. Pasien mengaku dalam
keluarganya tidak ada yang menderita penyakit tekanan darah tinggi, penyakit
gula, asma maupun alergi obat – obatan serta kontak iritan. pasien juga
mengaku dalam keluarganya tidak ada yang menderita batuk lama, demam
yang lama,penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, serta tidak ada yang
menderita penyakit infeksi kronik lainnya.
Saat ini pasien berkerja sebagai pegawai swasta di salah satu toko di kab.
Kebumen. Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya serta 3 orang
saudaranya, pasien mengaku jika rumah pasien memiliki ventilasi yang cukup
untuk pertukaran udara dan cahaya matahari. Pasien mengaku memiliki
riwayat mengkonsumsi makanan dan minuman yang manis – manis. Pasien
mengaku tidak merokok, tidak meminum minuman beralkohol dan memiliki
pola makan, minum serta tidur yang tidak teratur. Pasien saat ini berobat
dengan asuransi kesehatan.
Pada pemeriksaan vital sign dan pemeriksaan fisik didapatkan Kesan
umum nampak sesak, GCS : E4V5M6, tekanan darah : 116/81 mmHG, heart
rate : 132 x/m, respirasi rate : 26 x/m, Suhu tubuh : 36,7º C dan saturasi
oksigen 100 % ( Dengan suplementasi oksigen masker). Pada pemeriksaan
fisik heat to toe dalam batas normal,khanya didapatkan akral dingin. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, hiperglikemia dan kalium
meningkat. Selanjutnya pasien diagnosis krisis hiperglikemia dengan
diagnosis banding KAD dan HHS. Selanjutnya pasien diberikan terapi
oksigen, cairan dan insulin serta pemeriksaan GDS serial.
Pada pasien ini di diagnosis hiperglikemia tipe 2, yaitu hiperglikemia yang
disebabkan oleh faktor gaya hidup pasien yang tidak sehat, sering
mengkonsumsi makanan manis. Pasien ini jarang mengkontorl kadar gula
darahnya sehingga mengalami komplikasi akut dari hiperglikemia yitu
merupakan suatu komplikasi akut dari diabetes melitus ditandai dengan
tingginya kadar gula darah tubuh yang terdiri dari Ketoasidosis diabetik
(disingkat KAD) dan status hiperglikemia hiperosmolar (disingkat SHH).

34
Manifestasi utamanya adalah kekurangan insulin dan hiperglikemia yang
berat.
Pada pasien ini belum diketahui faktor resiko yang peyebabnya tetapi
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang
berarti sebagai parameter terjadinya infeksi. Gambaran klinis klasik pasien ini
yaitu riwayat poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, muntah, nyeri
abdomen, dehidrasi, lemah. Temuan fisik yaitu turgor kulit yang menurun,
pernafasan kussmaul, takikardi.
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan krisis
hiperglikemia meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea
nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan anion gap), osmolaritas,
analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan
sel darah lengkap dengan hitung jenis. Elektrokardiogram, x-ray thorak, urin
lengkap, sputum atau kultur darah dapat diperiksakan jika terdapar indikasi.
HbA1c dapat menjadi bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini
merupakan akumulasi bertahap proses diabetes yang belum diketahui atau
tidak terkontrol sebelumnya atau merupakan episode akut nyata pada pasien
diabetes yang terkontrol dengan baik. Pada pasien ini belum dilakukan
pemeriksaan keton, osmolaritas, analisa urine dan AGD. Pemerikssan
penunjang radiotrapi pun dan HbA1c belum dilakukan. Pada pasien ini
didiagnosis krisis hiperglikemia dengan diagnosis banding KAD dan HHS
yang dapat dibedakan berdasarkan anamnesi dan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini diberikan terapi suplementasi oksigen menggunakan NRM
10 liter permenit untuk menjaga kebutuhan oksigen jaringan terpenuhi.
Selanjutnya pasien d berikan terapi NaCl 0,9% sebagai rehidrasi. Dan terapi
insulin 5 IU dilarutkan dalam 50 cc NaCl 0,9%. Dengan hitungan nilai GDS
terakhir di bagi 150 sama dengan dosis insulin perjam. Dievaluasi setiap jam
untuk menilai GDS. Pemberian ondan setron dilakukan karena pasien
merasakan mual. Selanjutkan dilakukan konsultasi dengan dokter spesialis
penyakit dalam dan dilakukan penstabilan KU serat monitoring TTV.

35
B. Kesimpulan
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut
merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang
terkontrol baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis
diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang
mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang
ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan
kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni. Sangat
penting membedakan hiperglikemi krisis termasuk KAD atau SHH. Karena
manajemen KAD maupun SHH berbeda satu sama lain. Semakin cepat kita
mengetahui tipe hiperglikemi semakin cepat penanganan pasien sehingga
kondisi pasien akan jauh lebih baik. Untuk membedakan hiperglikemi krisis
termasuk jenis KAD atau HHS dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti DL, SE, dan BGA. Selain terapi spesifik KAD maupun SHH juga
sangat penting terapi cairan untuk mencegah dehidrasi maupun mengobati
dehidrasi karena pada pasien-pasien hiperglikemi krisis rentan mengalami
dehidrasi. Terapi yang diberikan kepada pasien sudh sesuai dengan guideline
yang berlaku. Ketetapan diagnosis dan terapi mencegah terjadinya
komplikasi.

36
REFERENSI

Dhatariya, K. K., & Vellanki, P. (2017). Treatment of Diabetic Ketoacidosis


(DKA)/Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS): Novel Advances in the
Management of Hyperglycemic Crises (UK Versus USA). Current Diabetes
Reports, 17(5). https://doi.org/10.1007/s11892-017-0857-4.

Ekoe, J.M., Goldenberg, R., Katz, P. (2018). Screening for Diabetes in Adults
Diabetes Canada Clinical Practice Guidelines Expert Committee. Canadian
Journal of Diabetes, 42, S109–S114.
https://doi.org/10.1016/j.jcjd.2017.10.013.

Fayfman, M., Pasquel, F. J., & Umpierrez, G. E. (2017). Management of


Hyperglycemic Crises: Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar State. Medical Clinics of North America, 101(3), 587–606.
https://doi.org/10.1016/j.mcna.2016.12.011.

French, E. K., Donihi, A. C., & Korytkowski, M. T. (2019). Diabetic ketoacidosis


and hyperosmolar hyperglycemic syndrome: Review of acute decompensated
diabetes in adult patients. The BMJ, 365. https://doi.org/10.1136/bmj.l1114.

Pasquel, F. J., Tsegka, K., Wang, H., Cardona, S., Galindo, R. J., Fayfman, M., …
Narayan, K. M. V. (2019). Clinical Outcomes in Patients With Isolated or
Combined Diabetic Ketoacidosis and Hyperosmolar Hyperglycemic State : A
Retrospective , Hospital-Based Cohort Study. 1–9.
https://doi.org/10.2337/dc19-1168.

Rappaport, S. H., Endicott, J. A., Gilbert, M. P., Farkas, J. D., Clouser, R. D., &
McMillian, W. D. (2019). A Retrospective Study of Early vs Delayed Home
Dose Basal Insulin in the Acute Management of Diabetic Ketoacidosis.
Journal of the Endocrine Society, 3(5), 1079–1086.
https://doi.org/10.1210/js.2018-00400.

Varela, D., Held, N., & Linas, S. (2018). Overview of cerebral edema during
correction of hyperglycemic crises. American Journal of Case Reports, 19,
562–566. https://doi.org/10.12659/AJCR.908465.

37

Anda mungkin juga menyukai