1 Latar Belakang
Energi merupakan faktor pendukung kegiatan ekonomi nasional dan berperan dalam mencapai
tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan secara berkelanjutan. Kebutuhan energi nasional terus
meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional dan jumlah
penduduk. Pada tahun 2018 total konsumsi energi utama (tanpa biomassa) Indonesia adalah 114
Million Tonnes of Oil Equivalent (MTOE) dengan bauran 40% untuk sektor transportasi, 36%
sektor industry, 16% sektor rumah tangga, 6% sektor komersil, dan 2% sektor lainnya. Hal ini
menunjukan bahwa sektor transportasi Indonesia masih sangat bergantung pada sumber energy
utama yaitu minyak bumi sebagai bahan bakar. Produksi minyak bumi cenderung menurun setiap
tahun, dimana pada tahun 2009 produksi minyak bumi sebesar 346 juta barel menjadi 248 juta
barel di tahun 2018 (Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, 2019). Hal ini karena kilang
utama produksi minyak bumi cenderung sudah tua. Oleh karena itu, kebutuhan Bahan Bakar
Minyak (BBM) dipenuhi melalui produksi kilang dalam negeri dan impor, akibatnya harga bahan
bakar melambung tinggi. Selain tidak dapat diperbaharui, minyak bumi yang dikonversi menjadi
bahan bakar minyak tidak ramah lingkungan karena adanya emisi gas CO2 dan polutan lainnya,
yang dapat mengakibatkan terjadinya pemanasan global (Lim, Kim, & Yoo, 2020). Dengan
demikian, diperlukan energi alternativ untuk menggantikan penggunaan minyak bumi sebagai
bahan bakar.
Peran energi baru dan terbarukan sangat dibutuhkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian
energi terutama dalam pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak. Salah satu cara adalah
pembuatan bioetanol sebagai bahan bakar nabati. Bioetanol merupakan golongan senyawa etil
alkohol (C2H5OH) yang diproduksi dengan mengubah kandungan selulosa dalam biomassa
menjadi etanol (Zabed et al., 2014). Bioetanol sebagai bahan bakar dapat digunakan murni maupun
dicampur dengan premium. Penggunaan bioetanol murni menimbulkan permasalahan yaitu
bersifat korosif dan tidak mudah menguap dibandingkan premium (Simio, Gambino, &
Iannaccone, 2012). Premium yang dicampurkan dengan bioetanol memiliki keunggulan yaitu
memilki bilangan oktan yang tinggi dibandingkan bensin sehingga meningkatkan kinerja mesin,
dan dapat mengurangi emisi polutan berupa CO2, CO, dan NOX (Sudiyani, Aiman, & Mansur,
2014). Berdasarkan bahan bakunya bioetanol dikelompokan menjadi tiga generasi. Bioetanol
generasi pertama menggunakan bahan baku yang mengandung sukrosa, generasi kedua
menggunakan bahan baku yang berasal dari biomassa berlignoselulosa, dan generasi ketiga
menggunakan bahan baku berupa mikroalga/makroalga (Rilek, Hidayat, & Sugiarto, 2017).
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan limbah industri minyak sawit yang memiliki
kandungan selulosa cukup tinggi yaitu 41,3%-46,5% (Sudiyani & Hermiati, 2010), berpotensi
digunakan sebagai bahan baku bioetanol generasi kedua.
Indonesia saat ini menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia (GAPKI, 2017). Pada produksi
minyak sawit dihasilkan produk samping berupa tandan kosong kelapa sawit sebesar 23% dari
berat tandan buah segar kelapa sawit yang digunakan (Dewanti, 2018). Penggunaan tandan kosong
kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan bioetanol berdasarkan pertimbangan bahwa memiliki
kandungan pati cukup tinggi, dapat diperoleh secara mudah pada pabrik penghasil minyak kelapa
sawit yang beroperasi secara kontinu (Sudiyani & Hermiati, 2010), dan menanggulangi
pencemaran lingkungan di area pabrik kelapa sawit (Fatriasari, Raniya, Oktaviani, & Hermiati,
2018). Proses pembuatan bioetanol dari bahan baku berlignoselulosa melalui tahap pretreatment,
hidrolisis dan fermentasi (Rilek et al., 2017).
1.2
1.3 Peluang Kapasitas Pabrik
1.3.1 Ketersediaan Bahan Baku
Bahan baku pembuatan bioethanol adalah tandan kosong kelapa sawit. Tandan kosong kelapa
sawit dapat diperoleh dari PT. Sutopo Lestari Jaya yang bergerak di bidang pengolahan buah
kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO). PT. Sutopo Lestari Jaya memiliki kapasitas
produksi 30 ton TBS/ jam. Ketersediaan bahan baku memungkinkan diperoleh dari dalam
negeri tanpa perlu impor.
1.3.2 Kebutuhan Bioetanol
1.3.2.1 Kebutuhan bioethanol dalam negeri
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2015 tentang perubahan ketiga Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 32 Tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga bahan bakar nabati
(biofuel) sebagai bahan bakar lain. Menyatakan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan
ekonomi makro, mengurangi impor bahan bakar minyak serta menghemat devisa negara, perlu
mempercepat peningkatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain (Kementrian
ESDM, 2015). Oleh karena itu, diatur pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan bioethanol
(E100) sebagai campuran bahan bakar minyak pada tabel 1.1
Tabel 1.1. pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan bioethanol (E100) sebagai campuran
bahan bakar minyak
Usaha Mikro,
Usaha perikanan,
Usaha Pertanian, 1% 2% 5% 20% Terhadap Kebutuhan Total
Transportasi, dan
Pelayanan Umum
(PSO)
2014 28.822.039 0
Dimana: ∑𝑖𝑛: Selisih produk tahun ke-n dengan produk tahun ke (n-1)
i: Presentase pertumbuhan rata-rata pertahun (%)
n: tahun ke-n
i: % rata-rata pertumbuhan
−16,93544762%
Konsumsi premium Indonesia pada tahun 2025 = 10.417.811 ∗ (1 + ( ))8
100%
2014 1.103.412,528 0
1400000
Konsumsi Premium (kL/tahun)
1200000
R² = 0.9173
1000000
800000
600000
400000
200000
0
2014 2015 2016 2017 2018
Tahun
Gambar 1.1 menunjukan bahwa konsumsi premium di Sumatera Selatan tahun 2014-2018
mengalami penurunan. Hal ini karena, sejak tahun 2015 masyarakat beralih menggunakan
bensin RON 92 dan RON 95, akibat adanya peningkatan harga premium di pasaran (LAPTAH
MIGAS,2015). Berdasarkan tabel 1.3 didapatkan pertumbuhan rata-rata konsumsi premium
di Indonesia sebesar -19,3469429%. Menurut persamaan (2) dan (3) berturut-turut diperoleh
prediksi kebutuhan premium di Sumatera Selatan pada tahun 2025 adalah 56.355,83883
kL/tahun dan kebutuhan bioetanol pada tahun 2025 sebesar 11.271,6777 kL/tahun.
Indonesia memiliki beberapa pabrik bioethanol dengan menggunakan bahan baku biomassa.
Berdasarkan tabel 1.4 produsen yang memproduksi bioethanol dengan mutu gasohol untuk
memenuhi kebutuhan bioetanol di Indonesia adalah PT. Medco Etanol Lampung, dan PT. Energi Agro
Nusantara. Namun, pada tahun 2013 PT. Medco Etanol Lampung tidak lagi memproduksi bioetanol karena
kesulitan dalam memperoleh bahan baku. Oleh karena itu, kebutuhan dalam negeri akan bioetanol
bermutu gasohol hanya dipenuhi oleh PT. Energi Agro Nusantara xx. PT. Energi Agro Nusantara
merupakan anak perusahaan PT. Perkebunan Negara X (PTPN X) yang memiliki kapasitas produksi sebesar
23.700 ton/tahun yang setara dengan 31.722,66 kL/tahun. Sehingga, jumlah kebutuhan bioetanol yang
belum terpenuhi pada tahun 2025 di dalam negeri maupun di Sumatera Selatan menurut persamaan (4)
sebesar
Menurut (sumber) 1 ton TKKS dapat menghasilkan bioethanol sebanyak 151 L. Jadi
TKKS
Bioetanol yang dihasilkan = 58.684,5 ton ∗ 151 𝐿
tahun
Bioetanol yang dihasilkan = 8.861.359,5 𝐿 = 8.861,3595 𝑘𝐿
Berdasarkan perhitungan didapatkan peluang kapasitas pabrik sebesar 8.861 kL/tahun. Sehingga
kapasitas pabrik bioethanol yang akan dibangun memenuhi kebutuhan bioethanol dalam negeri
dan Sumatera Selatan Sebesar.
8.861 kL/tahun
%Kebutuhan = ∗ 100%
11.271,16777
Perusahaan di Luar negeri yang memproduksi bioethanol bermutu gasohol adalah sebagai berikut:
Kapasitas
Perusahaan Lokasi Bahan Baku Proses Referensi
(m3/tahun)
Lignol Scott,
Org-
Energy Kanada Serutan Kayu 150.000
SSF/SHF 2013
Corporation
Scott,
Iogen STE-
Kanada Gandum 40.000
Corporation SHF 2013
Scott,
Inbicon Jerman Jerami Gandum AH-SSF 5.400
2013
Scott,
Abengoa STE-
USA Jerami 340.000
Bioenergy SHF 2013
Scott,
POET Skotlandia Limbah jagung DA-SHF 95.000
2013
ESE RFA,
Alcohol Leoti Jagung - 7.570,82
2017
Inc.
Land RFA,
O’Lakes Melrose Cheese Whey - 11.356,23
2017
Algenol Mikroalga Algenol
Florida - 378,541
Biofuels (Cyanobacteria)
(ASENDO)
Dahnum, D., Octavia, S., Triwahyuni, E., & Nurdin, M. (2015). Comparison of SHF and SSF
processes using enzyme and dry yeast for optimization of bioethanol production from empty
fruit bunch. Energy Procedia, 68, 107–116. https://doi.org/10.1016/j.egypro.2015.03.238
Dewanti, D. P. (2018). Potensi Selulosa dari Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit untuk Bahan
Baku Bioplastik Ramah Lingkungan Cellulose Potential of Empty Fruit Bunches Waste as
The Raw Material of Bioplastics Environmentally Friendly. Jurnal Teknologi Lingkungan,
19(1), 81–88.
Fatriasari, W., Raniya, R., Oktaviani, M., & Hermiati, E. (2018). The Improvement of Sugar and
Bioethanol Production of Oil Palm Empty Fruit Bunches ( Elaeis guineensis Jacq) through
Microwave-Assisted Maleic Acid Pretreatment. BioResources, 13, 4378–4403.
Lim, S., Kim, H., & Yoo, S. (2020). valuation study. Energy Policy, 101(October 2016), 20–27.
https://doi.org/10.1016/j.enpol.2016.11.010
Rilek, N. M., Hidayat, N., & Sugiarto, Y. (2017). Hidrolisis Lignoselulosa Hasil Pretreatment
Pelepah Sawit ( Elaeis guineensis Jacq ) menggunakan H 2 SO 4 pada Produksi Bioetanol
Lignocellulose Hydrolysis of Oil Palm Frond ( Elaeis guineensis Jacq ) Pretreatment. Jurnal
Teknologi Dan Manajemen Agroindustri, 6(2), 76–82.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional. (2019). INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2019.
Simio, L. De, Gambino, M., & Iannaccone, S. (2012). Effect of Ethanol Content on Thermal
Efficiency of a Spark-Ignition Light-Duty Engine. ISRN Renewable Energy, 2012.
https://doi.org/10.5402/2012/219703
Sudiyani, Y., Aiman, S., & Mansur, D. (2014). Perkembangan Bioetanol G2:Teknologi dan
Perspektif (1st ed.). Jakarta: LIPI Press.
Sudiyani, Y., & Hermiati, E. (2010). Review Utilization Of Oil Palm Empty Fruit Bunch ( Opefb
) For Bioethanol Production Through Alkali And Dilute Acid Pretreatment And
Simultaneous Saccharification And Fermentation. Indo. J. Chem, 10(2), 261–267.
Zabed, H., Faruq, G., Sahu, J. N., Azirun, M. S., Hashim, R., & Boyce, A. N. (2014). Bioethanol
Production from Fermentable Sugar Juice. 2014.