Pendahuluan
Lebih radikal dari pemikiran tersebut, Dr. Athif Iraqi, Guru Besar Filsafat di
Universitas Kairo menyatakan bahwa setelah wafatnya Ibnu Rushd, maka
berakhirlah masa filsafat Islam. Karena setelah itu pemikiran-pemikiran filsafat
tidak lagi lahir. Maka dari itu, menerawang pemikiran Islam klasik akan
menemukan percikan-percikan yang sangat bermakna dan menentukan bagi
tumbuh-kembangnya pemikiran Islam kontemporer.
1. Islam Fundamentalis
Istilah Islam fundamentalis dapat dimaknai Islam yang dalam pemahaman dan
prakteknya bertumpu pada ha-hal yang bersifat asasi atau mendasar. Pemahaman
secara kebahasaan yang demikian ini mengandung pengertian, bahwa yang
dimaksutkan Islam fundamentalis adalah gerakan atau paham yang bertumpu pada
ajaran mendasar dalam Islam, teutama terkait dengan rukun Islam dan Iman.
Apabila diltinjau dari segi kebahasaan ini, maka semua aliran atau paham yang
menjadikan rukun Iman dan Islam sebagai ajaran utama, maka mereka termasuk
pada kelompok ini. Bahkan tiga aliran besar di dunia, seperti Sunni, Syi’ah dan
Ahmadiyah juga menjadikan ajaran tersebut sebagai dasar pijakan dalam
beragama. Disamping itu dalam konteks Indonesia, dua paham keagamaan
terbesar, seperti NU dan Muhammadiyah pun juga termasuk dalam pengertian
kebahasaan ini. Namun, persoalannya tidak semudah itu untuk memasukkan
beberapa kelompok paham keagamaan dalam Islam fundamentalis, karena harus
dilihat ciri-ciri dan ajaran pokok dalam gerakannya.
Diantara ciri dari corak Islam fundamentalis ini adalah sikap dan pandangan
mereka yang radikal, militan, berpikiran sempit, bersemangat secara berlebihan
atau bahkan dalam mencapai tujuannya dengan memakai cara-cara kekerasan.
Menurut Kuntowijoyo, corak pemikiran Islam fundamentalis ini ingin
mengembalikan model kehidupan umat islam seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah, baik dalam semua aspek kehidupan, maupun dalam gaya hidup dan
pakaiannya. Sikap dari gerakan ini lebih nyata dalam fenomena kehidupan
masyarakat Indonesia pada saat ini, yaitu kelompok yang dalam perjuangannya
memilih cara-cara kekerasan, radikal dan mempunyai militansi yang tinggi. Sikap
yang demikian ini menimbulakan pandangan peyoratif dan terjadinya stigmatisasi
terhadap Islam sendiri, yaitu Islam itu identik dengan teroris. Tentu saja sebuah
pandangan yang cukup memprihatikan, karena hakekatnya Islam selalu
mengajarkan kehidupan yang damai, Islam yang bisa membawa rahmat bagi
kehidupan umat manusia.
2. Islam Neo–Tradisionalis
3. Islam Neo-Modernis
4. Islam liberal
Setelah gerakan Islam Neo-Modernis mengalami metamorfosis,
nampaknya pemikiran Islam semakin berkembang seiring dengan berkembangnya
model pemikiran, baik yang muncul di dunia Islam maupun di Barat. Hal ini juga
yang terjadi di Indonesia, bahwa setelah lebih dari 30 tahun gerakan pemikiran
model neo-modernisme mendapat tempat dalam konstelasi pemikiran Islam di
Indonesia, kemudian munculah gerakan “Islam liberal”. Istilah ini muncul ketika
Greg Barton menyebutnya dalam bukunya: Gagasan Islam Liberal di Indonesia.
Kira-kira tahun 2001, publikasi mazhab pemikiran ”Islam liberal” ini memang
tampak digarap sistematis, yang kemudian dikelola menjadi ”Jaringan Islam
Liberal” (JIL).
Muhammad Muslih menyebutkan, bahwa sebelum lahir JIL, wacana Islam
liberal beredar di meja-meja diskusi dan sederet kampus, akibat terbitnya
buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder, dan buku Liberal
Islam (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Istilah Islam liberal pertama
dipopulerkan Asaf Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India, pada 1950-an.
Kurzman sendiri mengaku meminjam istilah itu dari Fyzee. Geloranya banyak
diprakarsai anak-anak muda usia, 20-35 tahun. Untuk kasus Jakarta, mereka
umumnya para mahasiswa, peneliti, atau jurnalis yang berkiprah di beberapa
lembaga, semisal Paramadina, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), IAIN Syarif Hidayatullah, atau
Institut Studi Arus Informasi. Komunitas itu makin mengkristal, sehingga pada
Maret 2001 mereka mengorganisasikan diri dalam JIL. Sejak 25 Juni 2001, JIL
mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannya, dengan
artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal. Tiap Kamis sore, JIL
menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para kontributor
Islam liberal, lewat kantor berita radio 68 H dan 10 radio jaringannya.
Situs: islamlib.com diluncurkan, dua pekan kemudian. Beberapa nama pemikir
muda, seperti Luthfi Assyaukanie (Universitas Paramadina Mulya), Ulil Abshar-
Abdalla (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam), terlibat dalam
pengelolaan JIL. Luthfi Assyaukanie, editor situs islamlib.com, menyatakan
bahwa lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya ”ekstremisme” dan
”fundamentalisme” agama di Indonesia. Itu ditandai oleh munculnya kelompok
militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi ”Islam
militan”, serta penggunaan istilah ”jihad” sebagai dalil serangan.
Gerakan Islam Liberal ini tentu saja banyak mendapatkan kritikan dari
berbagai pihak, teruatama bagi mereka yang ingin tetap menjaga ajaran Islam dari
pengaruh paham-paham Barat yang cenderung liberal dalam memahami teks
agama. Pemikiran Islam Liberal telah dianggap menodai ajaran islam, karena
kitab suci dianggap sebagai produk budaya, sehingga sakralitasnya pun menjadi
nihil. Pemikiran Jacques Derida dengan teori dekontruksi, nihilisme,
strukturalisme ataupun Hermeneutika ala Gadamer dan lain-lain, disamping juga
pemikir Muslim Hassan Hanafi, Adonis, Mahmud Muhammad Thaha, Nash
Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur dan lainnya, nampaknya amat
mempengaruhi pemikiran kaum muda yang mempunyai kegelisahan terhadap
perkembangan dunia pemikiran Islam pada saat ini.
Bergulatnya dunia pemikiran dalam Islam ini tentu saja menjadikan warna
tersendiri bagi perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Bahkan
corak pemikiran yang disebutkan di atas kemungkinan masih ada yang
terasa kurang, karena belakangan juga muncul istilah post-tradisionalis dan post-
kolonialis. Semoga dengan bercengkerama dengan berbagai corak pemikiran,
menjadikan pola pemikiran kita tidak sempit, rigid dan cenderung eksklusif.
Semua pemikiran baik yang berupa teks agama hasil penafsiran manusia
merupakan produk pemikiran dan produk sejarah. Turas bukanlah kitab suci yang
seakan terjaga sakralitasnya.
D. Kesimpulan