Anda di halaman 1dari 33

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

ALANIA ROSARI (1920322005)

NIDIANTI NERISSA (1920322018)

FORY FORTUNA (1920322031)

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019

1  
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang

Di Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan sering terjadi

pencemarahan udara sebagai akibat kebakaran hutan dan lahan terutama hutan

dan lahan gambut. Penyebab kebakaran hutan ini berasal dari kesaling-terkaitan

beberapa faktor yaitu; faktor ideologi pemerintah dalam menjalankan pembangunan

(modernisasi, industrialisasi, dan kapitalisasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi),

persoalan pertanahan sebagai dampak ideologi pembangunan, korupsi, dan budaya

prestise masyarakat (konsumerisme, kekayaan, keberhasilan, dan kehormatan).1

Peristiwa kabut asap merupakan peristiwa yang rutin dialami masyarakat, khususnya

masyarakat Riau dan sekitarnya dalam 18 tahun terakhir ini, khususnya pada musim

kemarau. Pada tahun 2015, ada enam provinsi di Indoensia mengalami kebakaran

hutan dan lahan, yaitu Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimatan

Tengah, dan Kalimantan Selatan. Kabut asap ini berdampak di Provinsi Sumatera

Utara, Sumatera Barat, begitu juga dengan negara tetangga Malaysia, Singapura,
1
Thailand, dan Filipina.

Kasus kebakaran hutan di Indonesia merupakan masalah struktural

pengelolaan sumberdaya alam yang hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan

skema kebijakan, hukum, dan kelembagaan secara progresif. Anggaran mencapai

Rp. 385 milliar yang disiapkan pemerintah tahun ini hanya dapat dibenarkan sebatas

2  
untuk menyelamatkan dan meminimalisir dampak lingkungan yang akan terjadi.

Akan tetapi, tanpa ada intervensi di level kebijakan, hukum, dan kelembagaan,

masalah kebakaran di Indonesia tidak akan pernah selesai secara permanen. Oleh

karena itu perlu dilakukan penelaahan bagi akademisi mengenai kebakaran hutan.

Perlu adanya analisis mengenai faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan

serta membandingkan dampak kejadian kebakaran hutan dari beberapa contoh studi

kasus. Selanjutnya akademisi memberikan solusi inovatif dalam penanggulan

masalah kebakaran hutan dan lahan gambut dalam berbagai aspek.2

1.2 Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Kesehatan dan Pengelolaan Lingkungan. Serta mengetahui hukum dan kasus yang

pernah terjadi mengenai kebakaran hutan terutama di Indonesia beserta dampaknya

pada berbagai aspek kehidupan.

1.3   Manfaat

Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan tentang kebakaran hutan,

dampak, dan hukum yang mengaturnya.

3  
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1   Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang menjadi

perhatian lokal maupun global.3 Kebakaran hutan menurut Surat Keputusan Menteri

Kehutanan No.195/ Kpts- II/1996 didefinisikan sebagai keadaan di mana hutan

dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang

menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya. Berdasarkan sumber

penyebabnya, kebakaran hutan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu kebakaran

hutan yang terjadi secara alami dan kebakaran hutan yang terjadi akibat ulah manusia.4

Lahan (land) merupakan suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua

komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau berubah yang berada di atas dan di

bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, tumbuhan, dan hewan, serta hasil

dari akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap

penggunaan lahan oleh manusia.5

Menurut pemerintah, 2,6 juta hektar lahan dan hutan terbakar antara bulan

Juni dan Oktober 2015. Kebakaran yang diakibatkan ulah manusia tersebut

disebabkan karena mempersiapkan lahan pertanian dan untuk memperoleh tanah

secara murah. Karena adanya pola pembakaran yang tidak terkendali akibat

4  
kekeringan dan diperburuk dengan pengaruh El Niño serta dan tidak jelasnya hukum

yang berlaku, kebakaran menjadi makin tidak terkendali.6

Kerugian ekonomi dan lingkungan yang luas berulang setiap tahun. Kegiatan

pembakaran hutan ini menyebabkan puluhan juta rakyat Indonesia yang lain

menderita kerugian dengan adanya pengeluaran biaya kesehatan dan gangguan

ekonomi. Pada tahun 2015, kerugian Indonesia akibat kebakaran diperkirakan

mencapai Rp 221 triliun.6

Kebakaran ini memiliki banyak dampak buruk dampak lingkungan, sosial dan

ekonomi. Mereka mempengaruhi dinamika karbon global dan kabut asap dari

kebakaran gambut di kawasan ini memiliki dampak negatif serius pada ekosistem,

ekonomi, dan kesehatan manusia. Intensitas kebakaran lahan dan hutan cenderung

meningkat pada tahun-tahun El Niño. Pada 1997-98, kebakaran terkait dengan

kekeringan luar biasa yang disebabkan oleh El Nino / Southern Oscillation (ENSO)

meluluhlantakkan banyak daerah di Hutan hujan tropis Indonesia. 23

Pengeringan dan konversi lahan gambut berkontribusi terhadap peningkatan

intensitas kabut asap dari kebakaran. Sekitar 33 persen dari jumlah lahan yang

terbakar merupakan lahan gambut, yang menghasilkan kabut asap berbahaya yang

menyelimuti wilayah Indonesia dan kawasan sekitarnya serta mengganggu aktivitas

pada wilayah tersebut.6

Pembakaran telah lama secara tidak resmi berperan penting dalam pembukaan

lahan. Sehingga sementara banyak yang dirugikan akibat meluasnya kebakaran dan

5  
kabut asap, sejumlah pihak memperoleh keuntungan besar, salah satunya adalah

sektor pertanian kelapa sawit.6

2.2 Gambut

Menurut Eero Paavilainen dan Juhani Paivanen (1995) dalam Peatland

Forestry: Ecology dan Principles, lahan gambut adalah lahan yang tersusun oleh

tanah hasil dekomposisi tidak sempurna dari vegetasi pepohonan tergenang air

sehingga kondisinya anaerobik. Gambut terbentuk dari timbunan sisa tanaman yang

telah mati. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh

kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lain yang menyebabkan perkembangan

biota pengurai rendah.7

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau yang

secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Bagian

gambut yang mengisi danau dangkal dikenal sebagai gambut topogen, karena proses

yang disebabkan topografi daerah cekungan. Gambut topogen relatif subur (eutrofik)

karena pengaruh tanah mineral. Tanaman yang tumbuh dan mati di atas gambut

topogen akan membentuk lapisan gambut baru yang membentuk dome gambut

berbentuk cembung. Gambut ombrogen mempunyai kesuburan lebih rendah

dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan

mineral.8

6  
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian menyusun peta gambut

untuk mendukung Peta Indikasi Penundaan Ijin Baru (PIPIB) hutan alam primer dan

lahan gambut dengan hasil survei pemetaan tanah yang dilakukan oleh Kementerian

Pertanian sampai dengan tahun 2010. Hasilnya luas gambut di 3 pulau besar yaitu

Sumatera, Kalimantan, dan Papua sekitar 14,9 juta hektar. Hal tersebut karena di 3

pulau tersebut curah hujan lebih tinggi daripada Jawa dan Sulawesi. Selain itu

daerahnya datar. Kombinasi dari curah hujan tinggi dan lahan relatif datar akan

menghasilkan banyak lahan terendam air. Lahan terendam air yang berpotensi

membentuk ekosistem rawa gambut.9

     
 
 
 
 
 
 
 
Gambar  1.  Proses  Pembentukan  Lahan  Gambut8  

Gambar 2. Peta Lahan Gambut9

7  
2.2 Proses Kebakaran Hutan

Kebakaran dapat terjadi jika tersedia oksigen, sumber penyulut, bahan bakar

menghasilkan karbondioksida, panas, dan partikel koloid lain.. Reaksi kimia dari

proses pembakaran adalah sebagai berikut:

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang sering terjadi disebabkan karena

terdapat sumber penyulut dan bahan bakar di alam. Sumber penyulut kebakaran hutan

ini adalah adanya perubahan karakteristik yang dipicu oleh manusia sendiri yang akan

berujung kebakaran yang tidak bisa dikontrol. Kebakaran di permukaan lahan gambut

memiliki kecepatan yang sangat tinggi yaitu sebesar 502,5 kg/m2.10

Kebakaran lahan gambut bisa terjadi dengan mudah ketika lahan gambut

berada dalam kondisi kering. Lahan gambut kering secara alami ataupun karena

dikeringkan dengan cara pembuatan kanal-kanal yang mengalir dari rawa gambut ke

sungai. Kebakaran lahan gambut yang terjadi secara alami tidak berbahaya terjadi

pada musim kemarau dengan dampak kebakaran yang sangat kecil. Kebakaran hutan

yang terjadi secara alami bahkan dapat memberikan dampak yang positif karena

dapat mengurangi spesies keanekaragaman hayati yang terlalu dominan sehingga

terjadi keseimbangan ekosistem di hutan atau lahan gambut.10

8  
Berdasarkan tipe, kebakaran hutan dan lahan dikelompokkan menjadi 3 tipe.

Kebakaran bawah (ground fire) adalah kebakaran pada bagian bawah permukaan

tepatnya pada lapisan organik. Kebakaran permukaan (surface fire) yaitu kebakaran

yang terjadi di permukaan yang membakar semak belukar dan sejenisnya. Kebakaran

tajuk (crown fire) adalah kebakaran yang terjadi pada pucuk-pucuk pohon.10

Gambar 3. Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan11

Proses kebakaran lahan gambut diawali adanya penyulutan api yang

menyebabkan api bergerak ke segala arah. Kebakaran yang terjadi di bagian

permukaan sangat dipengaruhi oleh arah dan kecepatan angin. Jika kecepatan angin

tinggi maka kebakaran yang terjadi juga akan semakin besar dan dapat memicu

kebakaran yang lebih luas. Bagian dari pohon yang terbakar dapat diterbangkan

angin dan jatuh ke tempat baru sehingga memicu kebakaran baru di lokasi lain.

Semakin rendah kadar air pada gambut maka akan semakin cepat laju

pembakarannya. Tinggi curah hujan mempengaruhi tingginya permukaaan air lahan

gambut.12

9  
2.4 Efek Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan menyebabkan beberapa dampak bagi kehidupan manusia,

antara lain:

•   Efek biologis. Kebakaran hutan akan memberikan efek pada habitat flora dan

fauna yang hidup di sana, terutama pada spesies yang langka. 13

•   Efek pada kesehatan manusia. Kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1991

menyebabkan sekitar 20 juta jiwa mengalami gangguan pernapasan, dengan

19.800-48.100 kematian dini. Pada daerah yang sangat parah, > 90% jiwa

memiliki gejala gangguan pernapasan dan lansia mengalami penurunan status

kesehatan yang serius. Penelitian yang dilakukan oleh Tan-soo dan Pattanayak

(2019) menunjukkan bahwa paparan pencemaran udara pada masa prenatal

akibat kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997 memperlihatkan terjadinya

penurunan tinggi badan anak dari usia 3 tahun yang dampaknya menetap sampai

usia 17 tahun.14 Selain itu, asap yang tebal mengganggu jarak pandang dan

menyebabkan terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas.13

•   Efek ekonomi. Total kerugian yang dialami Indonesia akibat kebakaran hutan

bervariasi, namun biasanya dalam jumlah sangat besar. Varma (2003)

menganalisis kerugian Indonesia selama periode kebakaran hutan tahun 1997-

2015 sekitar US$ 20.1 milyar. Asap yang ditimbulkan menyebar sampai

Malaysia, Singapura, dan Thailand, yang mengganggu transportasi dan aktivitas

ekonomi jutaan orang di sana, menyebabkan kerugian ekonomi yang lebih

banyak. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kerugian ekonomi yang timbul akibat

10  
kebakaran hutan yang tidak terkontrol berkontribusi pada kemiskinan dan

gangguan pembangunan di wilayah tersebut.13

•   Efek pada iklim. Emisi karbon yang besar dari pembakaran gambut menjadi

kontributor utama peningkatan global CO2 di atmosfer. Asap menghalangi sinar

matahari, mengurangi intensitas cahaya dan meningkatkan temperatur. Aktivitas

fotosintesis tumbuhan akan menurun sampai 92% dalam kondisi asap tebal, dan

berakibat negatif pada proses fotosintesis tumbuhan dan kemungkinan besar akan

mengurangi ketahanan makanan di wilayah tersebut. Kebakaran hutan juga akan

meningkatkan frekuensi dan keparahan kejadian ENSO (El Niño-Southern

Oscillation) yang mana juga akan meningkatkan insiden dan keparahan kebakaran

hutan di masa yang akan datang.13

2.5 Solusi Pengendalian

Pada dasarnya, usaha pencegahan kebakaran hutan ada dua, yaitu 1) mencegah

dan mengurangi terjadinya api liar; 2) mengurangi atau jika mungkin, menghilangkan

akumulasi bahan bakar yang dapat menimbulkan kebakaran hutan. Pendekatan yang

dapat dilakukan dalam pencegahan kebakaran meliputi pendekatan klimatologi,

silvikutur, sosial ekonomi, teknik, dan tertib hukum.

2.5.1 Pendekatan Klimatologi

Tujuan pendekatan ini adalah sebagai acuan penetapan Early Warning System.

Berdasarkan pengaruh iklim, semua daerah atau unit pengelolaan hutan harus

11  
mencatat dan memantau data curah hujan, suhu, kelembaban udara, dan kecepatan

angin. Data ini didokumentasikan untuk membuat peramalan kejadian kebakaran

yang akan datang. Berdasarkan data tersebut, bulan-bulan kering akan diketahui di

setiap unit pengelolaan hutan, utamanya hutan tanaman. Dengan demikian, persiapan

menghadapi kerawanan kebakaran dapat dilakukan, terutama bagi kawasan yang

terjamah atau berdekatan dengan kegiatan manusia yang memanfaatkan api. Data

iklim inilah yang telah dijadikan dasar untuk menentukan tingkat kerawanan

kebakaran dengan teknologi tinggi, seperti hotspot, FDR Keetcht-Byram, indeks

Angstrom, Agricultural Rainfall Index (ARI), dan peta kerawanan kebakaran. 11

2.5.2 Pendekatan Silvikultur

Tindakan pencegahan kebakaran termasuk ke dalam tindakan aspek perlindungan

hutan (konservasi) jangka panjang untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan

lahan dapat diupayakan sebagai berikut:

1.   Teknik Persiapan Lahan

2.   Pemilihan Jenis dan Pola Tanam

-   Restorasi Gambut

Sisa dari kebakaran hutan dan lahan akan menyisakan ekosistem gambut yang

rusak. Menurut KLHK (2015), hal pertama yang harus dilakukan dalam restorasi

gambut adalah melakukan restorasi tata air. Hal ini dikarenakan faktor utama

terbentuknya ekosistem gambut adalah adanya genangan air. Selain itu, penyebab

12  
utama kebakaran di lahan ini adalah dikeringkannya air. Langkah restorasi tata air

dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: penutupan kanal, pembendungan

sungai, memompa air ke lahan gambut (KLHK, 2015). Apabila lahan gambut telah

dilakukan tata airnya, langkah selanjutnya adalah melakukan restorasi vegetasi.16

3. Pembuatan Sekat Bakar Jalur Hijau

Sekat bakar jalur hijau adalah jalur tanaman dengan lebar sekitar 20–30 meter

dan dibuat mengelilingi petak-petak tanaman hutan. Petak tanaman tersebut

luasnya bervariasi antara 20–40 ha, tergantung dari keadaan topografinya. Jenis-

jenis pohon hutan yang ditanam di dalam sekat bakar memiliki sifat tidak mudah

terbakar, pertumbuhannya cepat, dapat menekan pertumbuhan gulma, khususnya

rumput atau alang-alang dan mampu tumbuh kembali setelah terbakar. Adapun

jenis-jenis yang telah digunakan sebagai sekat bakar adalah Gmelina arborea,

Acacia auriculiformis, A. mangium, Caliandra callothyrsus, Laucaena

leucocephala, Macadamia hilderbrandii, Schima wallichii, Vitex pubescens, dan

Peltoporum dasirachis .

4. Pembuatan Sekat Bakar Jalur Kuning11

Sekat bakar jalur kuning merupakan sekat bakar tanpa ditanami dan selalu

terhindar dari tumbuhan bawah yang melimpah.Sekat tersebut dapat berbentuk

jalur isolasi pencegah terjadinya kebakaran bagi tanaman muda.

13  
5. Menegakkan dan Mempertegas Peraturan

Pemerintah pada dasarnya telah memberi perhatian dalam permasalahan

kebakaran hutan dan lahan khususnya di ekosistem gambut. Hal ini ditunjukkan

dengan adanya peraturan-peraturan yang telah mengatur pemanfaatan ekosistem

gambut, seperti:

a)   Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenai “Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup”.15

•   Pada Pasal 21 ayat 3 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kerusakan

lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan” adalah

pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau

pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau

lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan lebih lanjut

mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada

ayat 3 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

•   Pada Pasal 91 dijelaskan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan

perwakilan kelompok untuk kepentingan diri sendiri dan/atau untuk kepentingan

masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup. Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau

peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok anggota

kelompoknya.

14  
•   Pada Pasal 108 dijelaskan tentang ancaman pidana penjara paling singkat 3

tahun dan paling lama 10 tahun, denda paling sedikit Rp. 3 miliar dan paling

banyak Rp. 10 miliar.

b)   Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 mengenai “Perlindungan dan

Pengelolaan Ekosistem Gambut.

c)   Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2009 mengenai “Pedoman

Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit”.

Ketiga peraturan tersebut sudah cukup jelas mengatur mengenai pentingnya

menjaga kelestarian ekosistem gambut, namun pada kenyataannya terdapat dua

hal yang menjadi kelemahan, yaitu peraturan yang kurang jelas dan pelanggaran

yang kurang mendapat sanksi tegas. Adanya pasal karet ditunjukkan dalam UU 32

Tahun 2009 yang berisi seperti berikut ini.

Isi peraturan tersebut memungkinkan seseorang/kelompok usaha untuk

melakukan pembakaran hutan dalam pembukaan lahan. Kurang tegasnya sanksi

terhadap pelanggaran yang dilakukan ditunjukkan dengan masih minimnya

penindakan terhadap pelaku pembakar hutan hingga ke akar. Seringkali pelaku

pembakar yang ditangkap hanyalah orang dilapangan tanpa bisa menunjukkan

15  
pelaku utama dari kejahatan ini. Menurut Herry Purnomo, peneliti dari Center for

International Forestry Research (CIFOR), hal ini diakibakan oleh pelaku

pembakaran hutan yang terorganisir kuat dan memiliki koneksi pejabat dari mulai

daerah hingga ke pusat.2

2.5.3 Pendekatan Teknis

Pendekatan teknis adalah pendekatan yang tidak langsung berhubungan

dengan masalah kebakaran hutan.

1.   Pembangunan check-dam

Pembangunan check-dam atau sumber air yang dapat membantu kebutuhan

air terutama pada musim kemarau. Dengan selalu tersedianya air, kekeringan

dapat dihindari dan kebakaran dapat juga dicegah.

2.   Membuat peta kerawanan kebakaran di dalam areal unit pengelolaan dan

membangun menara pengawas asap.

Peta kerawanan kebakaran adalah untuk mengetahui seluruh areal yang rawan

terbakar. Tanda-tanda kerawanan kebakaran terutama ditujukan pada areal-areal

yang berdekatan dengan ladang penduduk, pemukiman, tempat pemancingan,

dan jalan-jalan yang menjadi akses masyarakat ketika masuk ke dalam hutan.

Hal ini mengingat bahwa manusia sering menjadi penyulut api, baik yang

disengaja maupun yang tidak sengaja menghasilkan api liar (wild fire).11

16  
2.5.4. Pendekatan Sosial Ekonomi Masyarakat

Pendekatan sosial ekonomi masyarakat dalam pengelolaan kebakaran adalah

melibatkan masyarakat pada aktivitas pencegahan, persiapan pemadaman,

respons pemadaman, dan kegiatan pascakebakaran. Beberapa langkah pokok

yang perlu ditempuh dalam pendekatan sosial ekonomi adalah 1) upaya

peningkatan kesadaran masyarakat terhadap fungsi hutan dan kerugian akibat

kebakaran, 2) usaha mencegah dan mengurangi terjadinya sumber api liar (wild

fire) yang dibuat manusia di dalam hutan, dan 3) memasyarakatkan teknik-

teknik pengelolaan penggunaan api di sekitar dan di dalam hutan.11

1. Pendekatan Pencegahan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat (PKBM)

Pendekatan berbasis masyarakat merupakan hal yang penting

mengingat selama ini masyarakat lokal banyak dimanfaatkan oleh oknum

untuk melakukan pembakaran hutan dan lahan. Menurut The Canadian

International Development Agency (CIDA) (2016), peran serta masyarakat

dalam pencegahan kebakaran ini dipengaruih beberapa faktor, seperti dorongan

dan rangsangan, insentif, serta bimbingan. Dorongan dan rangsangan

masyarakat dapat tercipta melalui penyuluhan maupun diskusi yang dilakukan

secara rutin. Insentif lokal dapat dilakukan dengan mengembangkan produk-

produk alternatif yang memiliki nilai ekonomi, seperti hasil kerajinan rotan,

budidaya ikan dalam gambut, dan pembuatan kompos. Organisasi masyarakat

peduli kebakaran hutan dan lahan dibentuk dengan penanggung jawab kepala

17  
desa yang selanjutnya dibimbing oleh LSM dan dinas

terkait.17

Tabel 3. Pedoman Restorasi Vegetasi

Ada beberapa contoh bentuk keterlibatan masyarakat yang terdiri atas kelompok-

kelompok sukarelawan dan berasal dari warga setempat dalam pengelolaan api,

antara lain:11

18  
a. Regu api volunter masyarakat lokal di Finlandia terdiri atas anggota masyarakat

yang memiliki aset investasi dalam kegiatan bertani di hutan (forest farming) atau

sebagai pemilikpemilik hutan pribadi. Sehingga mereka benar-benar melindungi

hutan mereka.

b. Regu api volunter di seluruh Honduras Australia yang berfungsi untuk

melindungi aset masyarakat. Sebagian besar dari mereka tidak tertarik pada pertanian

subsisten (tradisional) di lahan hutan.

c. Regu api volunter di sering menanggulangi tuntutan ancaman hama dan

penyakit sehingga pembakaran terkendali merupakan suatu keharusan.

d. Pelaksanaan PKBM di Gambia diberi kewenangan kepada masyarakat lokal

untuk mengelola lahan sekeliling hutan milik

2. Penerapan Pencegahan Kebakaran Berbasis Masyarakat (PKBM)

1   Pembentukan Lembaga Pengendali Kebakaran Desa

Tahap  awal  dalam  pelaksanaanmya  adalah  dengan  melembagakan  tanggung  

jawab   dan   tugas   anggota   masyarakat   yang   secara   sukarela   berpartisipasi   dalam  

pengendalian  api.  Kunci  pengendalian  api  adalah  mendeteksi  dini,  pencegahan,  dan  

pemadaman   api   yang   tidak   diinginkan.   Selain   itu,   lembaga   ini   bertanggung   jawab  

juga   pada   kegiatan   kampanye   untuk   menyiagakan   masyarakat   dalam melakukan  

praktik  pembakaran  yang  aman.11

2   Pelatihan untuk Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan Kebakaran

Pelatihan   yang   disesuaikan   dengan   tahapan   apa   dan   tentang apa   sejalan  

19  
dengan   konsep   ”5W+1H”.   Masyarakat   dilatih   untuk   mampu   menilai   dan   mengerti  

peranan  komponen  dasar  dari  api  (bahan  bakar,  panas,  dan  oksigen),  serta  prinsip  

perilaku  api.11  

3   Peningkatan Kesadaran dan Pengetahuan Masyarakat melalui Penyuluhan

Model  pelaksanaan  penyuluhan  yang  dapat  diterapkan adalah  melalui  Latihan  

dan  Kunjungan  (Laku).  Saat  ini  terdapat    metode baru  dalam  penyampaian  

informasi  yang  saat  ini  tengah  dicoba, yaitu Participatory  Rural  Appraisal  

(PRA).  PRA  adalah  penilaian  pemahaman  masyarakat  pedesaan secara  

partisipatif.  Tujuan  PRA  yaitu  mengembangkan kemampuan  masyarakat  

dalam  menganalisis  keadaan mereka  sendiri,  melakukan  perencanaan  dan  

mengimplementasikan  kegiatan  aksi.  Prinsip-­‐‑prinsip  PRA  sejalan  dengan

metode  pendidikan  orang  dewasa  (androgogy)  yang mana  masyarakat  sendiri  

yang  diminta  pendapatnya  dalam menangani  api  lahan.11

3. Menuju Pembukaan Lahan Tanpa Bakar

Perlunya sosialisasi berkesinambungan mengenai petunjuk teknis

pembukaan lahan tanpa pembakaran sesuai Keputusan Dirjen Perkebunan No.

38/KB.110/SK/DJ.BUN/ 05/1995 tentang “Petunjuk Teknis Pembukaan

Lahan Tanpa Pembakaran”.11 Langkah tersebut antara lain:11

a. Penyiapan |Lahan Skala Perusahaan Tanpa Bakar

b. Penyiapan Lahan untuk Perladangan.

4. Pemanfaatan Limbah Organik Mengurangi Minat Membakar

Salah satu alternatif pencegahan kebakaran dilakukan melalui

pemanfaatan limbah bahan organik. Cara tersebut merupakan bagian dari

20  
upaya pengolahan lahan tanpa bakar (PLTB) yang perlu disebarluaskan agar

dapat dikembangkan dan dilaksanakan oleh masyarakat luas sehingga

pembakaran tidak dilakukan lagi: 11

a. Pembuatan pupuk organik

b. Pembuatan Arang dan Briket Arang

2.5. 5. Pendekatan Tertib Hukum

Hal ini dapat berupa dukungan peraturan untuk pencegahan kebakaran

berbasis masyarakat. Peraturan tersebut antara lain; UU Nomor 5 Tahun 1990,

UU Nomor 5 Tahun 1994, UU Nomor 6 Tahun 1994, UU Nomor 41 Tahun

1999, UU Nomor 24 Tahun 2007, dan UU Nomor 32 Tahun 2009. Peraturan

pelaksana lainnya adalah Peraturan Menteri, Perda (Provinsi dan

Kabupaten/Kota). Peraturan yang mendukung upaya pencegahan kebakaran

berisi tentang hal-hal mengenai pelestarian dan pendayagunaan berkelanjutan

keanekaragaman hayati, peningkatan kepedulian masyarakat, pengembangan

teknologi, dan pendanaan. Selain itu, peraturan yang ada juga memuat hal-hal

terkait hak dan kewajiban para pihak, termasuk masyarakat dalam mengelola

hutan, lahan, dan lingkungan hidup.11

21  
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1   Kebakaran hutan terparah sepanjang sejarah yang terjadi di Riau

Indonesia di tahun 1997/1998.

Sebesar 40% luas daratan Provinsi Riau 9,4 juta ha merupakan lahan gambut

(3,9 juta ha) dan sebagian merupakan lahan yang dipengaruhi oleh pasang surut air.

Kejadian kebakaan terbesar di Provinsi Riau terjadi pada tahun 1997-1998. Setiap

musim kemarau terjadi kebakaran di Provinsi Riau, namun tidak separah di tahun

1997- 1998. Terbatasnya lahan kering di Provinsi Riau akibat alih fungsi lahan dan

kegiatan transmigrasi menyebabkan para investor perkebunan mulai mengarah ke

lahan basah (bergambut). Kebakaran yang terjadi pada tahun 1997-1998 akibat

pengeringan (Land Clearing) mencapai 26.000 ha. Kebakaran pada tahun 1997-1998

juga dipicu dengan adanya fenomena El-Nino terparah sepanjang tahun.18

Terjadi kebakaran serta dampaknya pada bulan September 1997 hingga bulan

Mei 1998. Luasan area terbakar mencapai 51.255 ha.. Akibat adanya kebakaran pada

tahun 1997 Indonesia menghasilkan emisi CO2 sebesar 0.81--2.5 Giga Ton. Nilai

tersebut mendekati 13--40% total emisi CO2 per tahun di dunia. Selain hal tersebut

Indonesia terpajan oleh asap.18

Negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan sebagian Australia

mendapatkan dampak kabut asap kebakaran di Indonesia. Adanya kabut asap

22  
menyebabkan jarak pandang hanya mencapai 10-30 meter. Kabut asap menimbulkan

gangguan kesehatan bagi masyarakat, terganggunya aktivitas transportasi darat dan

udara, terganggunya kestabilan politik dengan negara tetangga, dan terhentinya

aktivitas ekonomi. Kerugian akibat adanya kebakaran dilansir mencapai 4,4 Milyar

US$ (WWF) dan sebanyak 20 juta orang terpajan gangguan pernapasan (WHO). 18

Gambar 4. Peta Persebaran Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan Tahun

1997-1998.19

Tabel 1. Dampak Kesehatan Akibat Kabut yang Terkait dengan Kebakaran Hutan

di 8 Provinsi di Indonesia, September-November 1997.20

23  
3.2   Kebakaran hutan Riau yang terjadi di Indonesia di tahun 2015

Kebakaran hutan yang terjadi pada bulan September sampai November 2015,

sama halnya di tahun 1997, kebakaran kali ini disebabkan oleh adanya anomali

iklim yaitu fenomena El-Nino di Samudera Pasifik yang menyebabkan terjadinya

kekeringan di Indonesia. Kebakaran hutan yang terjadi di Riau tahun 2015 dipicu

pula oleh pembukaan lahan yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan dengan cara

pembakaran lahan. Berdasarkan hasil kajian Eyes on The Forest terdapat 37

perusahaan termasuk kebun kelapa sawit, HPH dana HTI yang diduga membakar

hutan. Berdasarkan pada temuan lapangan, EoF menduga terjadi pembakaran hutan

dan lahan secara sengaja yang masih diselidiki lebih lanjut oleh aparat penegak

hukum. Pengecekan lapangan menunjukkan estimasi wilayah yang terbakar di 38

konsesi seluas 7.578 hektar.2

Gambar 5. Peta Rekapitulasi Titik Api yang Terekam dari Juli-Oktober 2015 di

Riau21

24  
Akibat terjadinya kebakaran hutan di Riau tahun 2015 menyebabkan lahan

terbakar seluas 2.643 ha. Besar kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp 20

Triliun. Dampak lainnya yang ditimbulkan yaitu adanya kabut asap.16

Tabel 2. Jumlah Kabupaten/Kota Terdampak Kabut Asap Per 23 November 2015


(Sumber: Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Kementrian Kesehatan, 2015.)

Asap yang ditimbulkan akibat kebakaran tersebut mengakibatkan jarak

pandang hanya sekitar 200-500 meter. Kabut asap juga menyebabkan terganggunya

transportasi darat, udara, dan laut serta kestabilan politik dengan negara tetangga.

Gangguan kesehatan ISPA terjadi akibat masyarakat yang terpajan oleh kabut

asap.22

Besar emisi karbon yang dihasilkan mencapai 1 milyar ton, di mana setiap

harinya menghasilkan emisi sebesar 15-20 juta ton. Emisi ini lebih besar

dibandingkan dengan emisi karbon yang dikeluarkan oleh Jerman dan Amerika Serikat

dalam setahun yaitu 14 juta ton per hari.2

25  
Gambar 6. Jumlah Kasus ISPA Periode Juli-September 2015 (Dinas Kesehatan
Provinsi, melalui PPKK Kemenkes RI)2

Gambar 7. ISPA Tertinggi di 6 Provinsi Terdampak Kebakaran Hutan dan Lahan 2015
(Pantauan PPKK Kemenkes terhadap Pusat Data Karhutla, Pusdatin Kemenkes)2

26  
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil antara lain:

1.   Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997-

2015 disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah faktor ideologi

pemerintah dalam menjalankan pembangunan (modernisasi, industrialisasi,

dan kapitalisasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi), persoalan pertanahan

sebagai dampak ideologi pembangunan, korupsi, dan budaya prestise

masyarakat (konsumerisme, kekayaan, keberhasilan, dan kehormatan), namun

terbanyak adalah akibat pembakaran lahan gambut.

2.   Kebakaran hutan dan lahan berdampak negatif pada setiap aspek, antara lain

kerugian ekonomi, gangguan kesehatan terutama gangguan pernapasan,

pencemaran udara, gangguan transportasi, hingga gangguan stabilitas

hubungan politis antar Negara.

3.   Terdapat lima pendekatan dalam solusi pengendalian kebakaran hutan, yaitu:

klimatologi, silvikutur, sosial ekonomi, teknik, dan tertib hokum.

27  
4.1   Saran

Saran yang dapat kami berikan antara lain:

1.   Pemerintah dapat secara tegas untuk menjalankan peraturan-peraturan

yang telah dibuat mengenai upaya perlindungan hutan dan pencegahan

pencemaran udara akibatkebakaran hutan.

2.   Sosialisasi berkesinambungan mengenai petunjuk teknis pembukaan lahan

tanpa pembakaran sesuai Keputusan Dirjen Perkebunan No.

38/KB.110/SK/DJ.BUN/ 05/1995 tentang “Petunjuk Teknis Pembukaan Lahan

Tanpa Pembakaran”.

3.   Pemerintah aktif dalam membina keikutsertaan masyarakat untuk

mencegah kebakaran hutan melalui pendekatan Pencegahan Kebakaran

Hutan Berbasis Masyarakat (PKBM).

4.   Melalui Pendekatan Klimatologi, pemerintah seyogyanya aktif

memberikan informasi dan memperbaharui aplikasi elektronik

(IQAirAirVisualTM) yang telah ada dan secara resmi dikeluarkan oleh

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutan Republik Indonesia kepada

masyarakat untuk mengetahui kualitas udara yang ada di suatu daerah

yang selanjutnya melalui aplikasi ini pemerintah diharapkan dapat

membentuk Early Warning System untuk prakiraan arah angin, cuaca dan

iklim yang dapat memperparah dampak kebakaran hutan bagi masyarakat.

28  
5.   Pemerintah melalui pemerintah daerah dan dinas kesehatan terkait dapat

segera memberikan himbauan mengungsi ke daerah yang lebih aman

kepada masyarakat pada saat terjadi kebakaran hutan, terutama yang

berisiko tinggi seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia agar terhindar dari

dampak gangguan kesehatan. Mewajibkan pemakaian masker yang sesuai

standar (masker N95) dan mempersiapkan fasilitas kesehatan yang

memadai agar dapat segera melayani masyarakat di saat kebakaran hutan

semakin meluas.

29  
DAFTAR PUSTAKA

1.   Pinem, T. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut: Kajian Teologi Ekofeminisme.

Researchgate. 2016. Diunduh dari :

https://www.researchgate.net/publication/310391987_Kebakaran_Hutan_dan_La

han_Gambut_Kajian_Teologi_Ekofeminisme DOI: 10.21460/gema.2016.12.219

2.   Nurkholis, A., Rahma, Ad., Widyanigsih, Y., dkk. Analisis Temporal Kebakaran

Hutan dan Lahan di Indonesia Tahun 1997 dan 2015 (Studi Kasus Provinsi

Riau). Researchgate. 2018. Diunduh dari:

https://www.researchgate.net/publication/326140475_Analisis_Temporal_Kebakaran_Hutan_da

n_Lahan_di_Indonesia_Tahun_1997_dan_2015_Studi_Kasus_Provinsi_Riau.

DOI: 10.3122710.31227/osf.io/cmzuf

3.   Cahyono, S. Andy, Sofyan P. Warsito, Andayani W, dan Dwidjono H.

Darwanto. 2015. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di

Indonesia dan Implikasi Kebijakannya. Jurnal Sylva Lestari, Vol. 3, No. 1. Hal:

103-112.

4.   Rasyid, Fachmi. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal

Lingkar Widyaiswara, Edisi 1, No. 4. Hal: 47-59.

5.   Brinkman, A.R. dan A. J. Smith, 1973. Land Evaluation for Rural Purposes.

ILRI Publ. No. 17 Wageningen.

30  
6.   Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia: 1. Kerugian dari

Kebakaran Hutan Analisa Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran tahun 2015.

World Bank Group. Februari 2016.

7.   Hardjowigeno, S., and Abdullah. 1987. Suitability of peat soils of Sumatera for

agricultural development. International Peat Society.Symposium on Tropical

Peat and Peatland for Development.Yogyakarta, 9-14 Februari 1987.

8.   Noor, M., 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit

Kanisius.

9.   Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan

Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan

Lahan Gambut.

10.   Akbar, A dkk. Tanpa tahun. Kebakaran Hutan dan Lahan Rawa Gambut:

Penyebab Faktor Pendukung dan Alternatif Pengelolaannya. Banjarbaru: Balai

Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

11.   Akbar A. Kebakaran Hutan di Indonesia. Forda Press. 2016

12.   Saharjo, B.H dan Syaufina, Lailan. 2004. Ekosistem Lahan Gambut Tropis.

Jakarta: Cifor.

13.   Harrison, ME., Page, SE., Limin, SH. The Global Impact of Indonesian Forest

Fires. Biologist, Volume 56 Number 3, August 2009.

14.   Tan-soo, J and Subhrendu KP. 2019. Seeking Natural Capital Projects: Forest

Fire, Haze, and Earlu-life Exposure in Indonesia. PNAS, Vol. 116, No.12, 5239-

5245. March 19, 2019.

31  
15.   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

16.   Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 2016. Pedoman

Pemulihan Ekosistem Gambut.

17.   CIDA. 2016. Strategi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Brosur

Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut.

18.   Darjono. 2003. Pengalaman Penegakan Hukum yang Berkaitan dengan

Kebakaran di Areal Perkebunan dan HTI Rawa Gambut. Jakarta: Cifor.

19.   Tacconi, Luca. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan

Implikasi Kebijakan.

20.   Rumajomi HB. 2006. Kebakaran hutan di Indonesia dan dampaknya terhadap

kesehatan. Makalah pengantar Filsafah Sains, Program Pasca Sarjana. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

21.   Eyes on The Forest (EoF).2015. Laporan Investigatif Eyes on the Forest

Desember 2015. Riau.

22.   Herawati, H., Santoso, H. Tropical forest susceptibility to and risk of fire under

changing climate: A review of fire nature, policy and institutions in Indonesia.

For. Policy Econ Elsevier. 2011.

23.   Ardiansyah, M. Boer, R. Situmorang, A P. 2017. Typology of land and forest

fire in South Sumatra, Indonesia Based on Assessment of MODIS Data. IOP

Conference Series: Earth and Environmental Science. Vol. 54.

32  
33  

Anda mungkin juga menyukai