Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

I.1. ANATOMI TELINGA TENGAH

Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara
dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah berbatasan
dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding
lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang
secara langsung berbatasan langsung dengan membran timpani dan resessus
epitimpanika pada bagian superior.
Telinga tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan
nasofaring melalui suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic tube)
pada bagian anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari membran
timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini dapat tercapai
oleh adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung sehingga
menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulang-tulang ini
disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan membran
timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial), dan stapes
(terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada bagian lateral
telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut berfungsi untuk
mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari membran timpani ke telinga
dalam (Tortora dkk, 2009; Drake dkk, 2010).

1
Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah
(sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K.,2010. Ear Infection – Acute Images:
Ear anatomy. Adam, Inc. Diunduh dari: http://www.healthline.com/images/adam/big/
1092.jpg [Diakses 25 Maret 2011])

I.1.1 ANTRUM MASTOID DAN TUBA EUSTACHIUS

Ada beberapa daerah yang berdekatan dan secara langsung terhubung dengan
telinga tengah. Kedua daerah ini adalah antrum mastoid dan tuba Eustachius. Berbeda
dengan yang lain, kedua area ini tidak memiliki membran pembatas sehingga langsung
terhubung dengan telinga tengah. Area mastoid yang berada di dekat telinga tengah
adalah antrum mastoid yang merupakan kavitas yang terisi dengan sel-sel mastoid yang
berisi udara di sepanjang pars mastoideus dari tulang temporal, termasuk bagian
prossessus mastoideus. Sesuai dengan yang disebutkan diatas, antrum mastoid
berhubungan dengan resessus epitimpanika pada bagian posterior melalui aditus.
Antrum mastoid juga berbatasan dengan fossa kranial media hanya oleh tegmen
timpani. Membran mukosa yang melapisi sel udara mastoid bersambungan dengan
membran mukosa yang melapisi telinga tengah. Oleh karena itu, otitis media dapat
dengan mudah menyebar ke area mastoid. Seperti yang sudah disebutkan, tuba
Eustachius (pharyngotympanic tube) menghubungkan nasofaring dan telinga tengah
serta menyetarakan tekanan pada kedua sisi membran timpani.

2
Muara tuba Eustachius yang terletak di telinga tengah berada pada dinding
anterior dan dari sini akan memanjang ke arah depan, medial, dan ke bawah hingga
memasuki nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu :
1.bagian yang memiliki struktur tulang, terletak pada bagian sepertiga mendekati
telinga tengah
2.bagian yang memiliki struktur kartilaginosa, terletak pada bagian dua pertiga
yang mendekati nasofaring
Secara umum, tuba Eustachius cenderung selalu menutup. Dengan adanya
kontraksi dari m. tensor veli palatini, tuba Eustachius dapat terbuka pada saat menelan,
menguap, atau membuka rahang sehingga terjadi keseimbangan tekanan atmosfer
antara kedua ruang diantara membran timpani (Levine dkk, 1997).

I.2 OTITIS MEDIA AKUT (OMA)

I.2.1 Definisi & Etiologi OMA

Otitis media akut (OMA) atau Otitis Media Supuratif Akut (OMSA) adalah
peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum
mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu. (Aboet, 2006; Djaafar,2007;
Donaldson, 2010). Salah satu penyebab OMA yang cukup sering adalah infeksi oleh
berbagai mikroorganisme. Aboet (2006) dan Ramakrishnan,dkk (2007) menyatakan
bahwa S. pneumoniae, H. influenzae, dan M. catarrhalis merupakan penyebab utama
OMA. Hal yang sama juga didapati oleh Donaldson (2010), yang mendapati bahwa
ketiga organisme tersebut merupakan patogen yang paling sering menyebabkan OMA,
ditambah dengan Streptococcus pyogenes. Donaldson mendapati bahwa patogen
tersebut merupakan mikroorganisme yang sering menyebabkan OMA pada anak-anak,
terutama pada pasien usia kurang dari 6 minggu. S. pneumoniae dan H. influenzae
merupakan patogen yang paling sering menyebabkan OMA dan invasif pada anak-anak
dan paling sering menyebabkan rekurensi OMA. S. pneumoniae sendiri sebenarnya
merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab OMA untuk berbagai usia.
Sementara itu, H. influenzae terutama terjadi pada anak-anak usia pra-sekolah. M.

3
catarrhalis juga dilaporkan menyebabkan OMA, meskipun tidak sering dan pada
dasarnya merupakan flora normal dari traktus respiratorius atas.

Streptococcus pyogenes merupakan patogen yang juga dilaporkan memicu


OMA, meskipun tingkat kekerapannya tidak setinggi tiga patogen sebelumnya.
Meskipun demikian, patogen ini dapat memicu nekrosis yang cukup cepat dan
signifikan dibandingkan patogen lainnya pada telinga tengah, yaitu perforasi yang
moderat atau besar. Patogen lain yang pernah ditemukan memicu OMA adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, M. tuberculosis, Chlamydia
pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa.

Gambar 2.4. Otitis Media Akut (OMA)

(sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images:
Middle ear infection (otitis media). Adam, Inc. Diunduh dari :
http://www.healthline.com/ images/adam/big/19324.jpg

I.2.2 Faktor Resiko OMA

Faktor genetik, infeksi, aspek imunologi, dan faktor lingkungan merupakan


beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu terjadinya OMA. Pada beberapa
situasi tertentu, alergi atau infeksi saluran nafas atas dapat menyebabkan kongesti dan
pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba Eustachius. Hal ini dapat

4
memicu obstruksi tuba Eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah
terakumulasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat
menghasilkan supurasi dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan dkk, 2007). Emonts,dkk
(2007) menemukan adanya keterkaitan yang cukup kuat antara faktor genetik sehingga
dapat mengakibatkan OMA, bahkan sering terjadi secara rekuren. Studi yang
dilakukannya menunjukkan adanya keterkaitan gen imunoresponsi TNFA, IL6, IL10,
dan TLR4 dalam kecenderungan terjadinya OMA dan hal ini juga membuat OMA
terjadi secara episodik.

Tabel 2.2. Faktor Resiko Yang Berkaitan Dengan Kejadian OMA

Faktor Resiko Komentar


Usia Insidensi maksimal berkisar antara enam sampai 24
bulan, karena tuba Eustachius lebih pendek dan lebih landai.
Fungsi fisiologis dan imunologi yang masih rendah membuat
anak rentan terkena infeksi
Breastfeeding Menyusui minimal tiga bulan dapat memberikan
proteksi pada anak, disamping kandungan yang ada pada ASI
Penitipan anak Kontak dengan beberapa anak dapat meningkatkan
penyebaran virus
Etnis Anak-anak Amerika, Alaska, dan Inuit Kanada
memiliki insidensi yang lebih tinggi
Paparan asap rokok Insidensi meningkat dengan adanya asap rokok dan
polusi udara
Jenis Kelamin Laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi
Riwayat penghuni Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat
rumah >1
Pemakaian dot Insidensi meningkat
Riwayat antibiotik Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat
Riwayat OMA Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat

5
Musim Insidensi meningkat di musim gugur dan musim dingin
Patologi lain yang Insidensi meningkat pada anak-anak dengan rinitis
mendasari alergi, cleft palate, dan Down syndrome
(sumber: Adaptasi dari Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007.
Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1651.)

I.2.2.1 Usia Sebagai Salah Satu Faktor Resiko OMA

Pada kondisi normal, telinga tengah biasanya dijaga agar tetap steril, sekalipun
terdapat mikroorganisme di nasofaring dan faring yang dapat bermigrasi ke telinga
tengah. Hal ini disebabkan silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi secara
fisiologis memiliki mekanisme untuk mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah. Hal ini juga berlaku pada saat seseorang mengalami infeksi saluran nafas atas.
Selain itu, enzim penghasil mukus, seperti muramidase, dan antibodi juga merupakan
tambahan dalam mekanisme proteksi telinga tengah yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan bila telinga terpapar dengan patogen pada saat menelan. Di sisi lain, telinga
tengah juga memiliki anyaman kapiler subepitel pada bagian permukaannya yang
penting karena menyediakan faktor humoral, leukosit polimorfonuklear, dan sel fagosit
lainnya. Keseluruhan sistem proteksi ini akan dapat melindungi telinga tengah dari
berbagai infeksi jika dapat berfungsi secara optimal (Levine dkk, 1997; Donaldson,
2010). Kegagalan salah satu atau kombinasi fungsi fisiologis tersebut mengakibatkan
terjadinya kecenderungan terjadinya OMA menjadi meningkat.

Pada awal perkembangan anatomi dan fisiologi tubuh manusia, mekanisme


tersebut belum sepenuhnya matang pada masa neonatus, bayi, dan anak-anak. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan struktur anatomi dari tuba Eustachius pada masa
anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak, tuba Eustachius lebih pendek, lebar, dan
terletak cenderung lebih horizontal jika dibandingkan tuba Eustachius pada orang
dewasa (Djaafar dkk, 2007). Kondisi ini membuat inflamasi pada tuba Eustachius
menjadi sangat sering terjadi pada anakanak. Inflamasi tersebut akan memicu
gangguan fisiologis tuba Eustachius dalam memproteksi telinga tengah sehingga
kecenderungan terjadinya infeksi pada telinga tengah meningkat. Seiring dengan

6
perkembangan anak-anak, tuba Eustachius akan bertambah panjang dan sempit serta
lebih mengarah ke medial sehingga fisiologi tuba Eustachius akan lebih adekuat. Oleh
karena itu, secara umum insidensi OMA akan menurun seiring dengan peningkatan
usia manusia (Levine dkk, 1997). Selain itu, kejadian OMA juga didukung oleh
gangguan sistem imun pada tubuh pasien (Djaafar, 2007). Kombinasi keseluruhan dari
seluruh fungsi fisiologis tersebut dapat memicu kejadian OMA.

Faktor imunologis pada tuba Eustachius juga berperan dalam terjadinya OMA.
Maturitas perkembangan sistem imun pada anak masih sangat minimal dan sedang
berkembang, termasuk dalam proses pembentukan Immunoglobulin (Ig) di dalam
tubuh. Rendahnya IgA, IgG2, dan IgG4 pada anak, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, meningkatkan kecenderungan terjadinya OMA pada anak dibandingkan
kalangan usia yang lebih tua. Hal ini juga ditemukan pada anakanak yang mengalami
kelainan immunodefisiensi kongenital, seperti pada kasus Down Syndrome. Kondisi
immunodefisiensi ini menyebabkan OMA karena infeksi lebih rentan terjadi pada usia
yang lebih muda. Hal yang berbeda terjadi pada orang dewasa, dimana perkembangan
sistem immunologis telah berkembang lebih adekuat sehingga invasi mikroorganisme
dapat diantisipasi lebih baik (Donaldson, 2010).

Secara umum, angka kejadian OMA bervariasi pada berbagai tingkat


usiamanusia. Donaldson di dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak-anak berusia
6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan berkurang seiring
dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Pada usia yang lebih
tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan persentase kejadian yang
cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat tahun dan awal usia lima tahun.
Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan signifikan, walaupun
beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap
sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadang-
kadang, individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga
sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang
disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami OMA (Donaldson, 2010).

7
Kaneshiro, Lanphear, dan Donaldson melakukan suatu studi yang juga
mempertimbangkan faktor usia dengan terjadinya OMA. Kaneshiro menyatakan
bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi, balita, dan anakanak,
sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun
dengan frekuensi yang tidak setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010).

Di Amerika Serikat, Lanphear, dkk menyatakan bahwa otitis media merupakan


diagnosis yang paling sering ditegakkan pada anak-anak pra-sekolah, bahkan
kejadiannya meningkat selama dekade terakhir (Lanphear dkk, 1997). Donaldson
(2010) bahkan menunjukkan bahwa 70% dari anak-anak mengalami ≥ 1 kali serangan
OMA sebelum usia 2 tahun. Di Kanada, Dube, dkk (2011) melakukan studi di Quebec
dan mendapatkan bahwa pada usia 3 tahun, 60-70% anak telah mengalami minimal 1
kali episode OMA.

Gambar 2.5. Perbandingan Tuba Eustachius Pada Anak dan Dewasa


(sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images:
Eustachian tube. Adam, Inc. Diunduh dari:
http://www.healthline.com/images/adam/big/19596.jpg [Diakses 25 Maret 2011)

8
I.2.3 Patofisiologi OMA

Secara umum, OMA didasari inflamasi pada tuba Eustachius. Hal yang paling
sering memicu kondisi tersebut sehingga terjadi OMA adalah infeksi saluran
pernafasan atas yang melibatkan nasofaring, walaupun beberapa kondisi lainnya
seperti infeksi (terutama infeksi virus), alergi, dan kondisi inflamasi lainnya yang
berkaitan dengan tuba Eustachius juga akan memicu manifestasi yang sama.
Manifestasi inflamasi dalam hal ini akan menjalar dari nasofaring hingga mencapai
ujung medial tuba Eustachius atau secara langsung terjadi di tuba Eustachius, sehingga
memicu stasis sehingga mengubah tekanan di dalam telinga tengah. Di sisi lain, stasis
juga akan memicu infeksi bakteri patogenik yang berasal dari nasofaring dan masuk ke
dalam telinga tengah dengan cara refluks, aspirasi, atau insuflasi aktif. Beberapa variasi
juga terdapat pada anakanak yang cenderung mengalami otitis (otitis-prone children).
Pada pasien ini, adanya gangguan neuromuskular atau atau abnormalitas pada tuba
Eustachius (tuba Eustachius cenderung terbuka) membuat konten nasofaring dapat
dengan mudah mengalami refluks ke telinga tengah, termasuk bakteri patogenik yang
berada di nasofaring.

Pada akhirnya, semua kondisi ini akan memicu reaksi inflamasi akut yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi, invasi leukosit, fagositosis, dan respon imun
lokal yang terjadi di telinga tengah, yang akan bermanifestasi pada gejala-gejala klinis
OMA. Infeksi virus pada telinga tengah cukup sering terjadi pada pasien OMA dan
umumnya diikuti dengan infeksi bakteri. Kondisi demikian disebabkan virus
memfasilitasi bakteri supaya melekat di mukosa dan memicu inflamasi. Dalam hal ini,
virus akan terlebih dahulu merusak lapisan mukosa sehingga mukosa menjadi terpapar
dan kondisi ini akan memicu bakteri menjadi patogenik dengan cara melakukan adhesi
di permukaan mukosa nasofaring, tuba Eustachius, dan telinga tengah yang sudah
mengalami kerusakan. Data lain juga menunjukkan bahwa kerusakan mukosa juga
dapat diakibatkan endotoksin oleh invasi bakteri sehingga pada akhirnya patogen dapat
melekat di permukaan mukosa (Donaldson, 2010).

9
I.2.4 Diagnosis OMA

Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau akut,
efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti eritema
membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari.
OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu adanya penonjolan
membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan pergerakan membran timpani,
atau adanya air-fluid level di belakang membrane timpani. Pemeriksaan membran
timpani untuk mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui dengan menggunakan
kombinasi otoskopi, otoskopi pneumatik, dan timpanometri. Gejala non-spesifik
seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, anoreksia, emesis, dan diare
umum terjadi pada bayi dan anak-anak.

Otalgia jarang terjadi pada anak-anak berusia kurang dari dua tahun dan lebih
sering terjadi pada remaja dan dewasa (Ramakrishnan, 2007). Secara lebih akurat,
Timpanocentesis merupakan “gold standard” untuk mengetahui mengidentifikasi
patogen spesifik yang menyebabkan OMA (Linsk dkk, 2002). Hal ini diperlukan untuk
mengetahui antibiotik serta terapi lain yang diperlukan untuk pasien OMA

I.2.5 Klasifikasi

Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah, yaitu:

1. Stadium Oklusi

Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membrane timpani akibat tekanan
negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna suram.

10
2. Stadium Hiperemis

Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian atau seluruh
membran timpani, membrane timpani tampak hiperemis disertai edem.

3. Stadium Supurasi

Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai hancurnya sel epitel
superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani sehingga membran
timpani tampak menonjol (bulging)ke arah liang telinga luar.

4. Stadium Perforasi

Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar dari
telinga tengah ke liang telinga.

11
5. Stadium Resolusi

Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi membran timpani
kembali menutup dan secret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan tubuh baik atau
virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.

I.2.6. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada
otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang
mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari
perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari,
2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes
hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun
atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun
pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik
(Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika
terjadi rseistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin.

12
Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di
dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran
sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila
pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin
50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin
masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang
dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3
sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret
akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari
(Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak
ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di
liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan
sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis
(Djaafar, 2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua
sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang
segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya.
Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap
antibiotic meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam
Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus
segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat
efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala
ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C dalam 24 jam terakhir.

13
Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan
observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai
dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan
pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti
asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-
line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama
lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi
ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line
terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan
Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007).
Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan
prevalensi otitis media (American Academic of Pediatric, 2004).

I.2.6.1 Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,
seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi
(Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya
terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus
dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani
dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior.
Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan,
kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada
anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus
fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan
terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi
antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan

14
terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur
(Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan
pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret
untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang
sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran
secara signifikan disbanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi
dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan
adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren
(Kerschner, 2007).

I.2.7 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari
abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis
komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut
Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi
intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis,
labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses
otak, tromboflebitis).

15
I.2.8 Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA
pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan
pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan
merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).

16
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1. Identitas
Nama : Tuan Joko Santoso
Usia : 43 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Boto 02 / 07 Bancak
Pekerjaan : Kuli Bangunan
No. RM : 020521

II.2. Anamnesis
II.2.1. Keluhan Utama
Pasien merasa nyeri pada telinga kanan sejak 1 minggu yang lalu dan nyeri
di telinga kiri sejak 2 hari yang lalu.
II.2.2. Keluhan Tambahan
Terdapat carian berupa darah yang keluar dari telinga sebelah kanan,
terdapat penurunan pendengaran di 2 telinga.
II.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang pada 1 Desember 2014 dengan keluhan nyeri pada telinga
kanan 1 minggu yang lalu dan telinga kiri sejak 2 hari yang lalu. Pasien sering
menggunakan cotton bud untuk membersihkan telinganya. Pasien merasa telinga
kanannya keluar cairan berwarna merah dan berbau sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien merasa pada telinga kirinya tersumbat dan terjadi penurunan pendengaran.
Pasien menyanggkal adanya batuk pilek.

17
II.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki alergi, riwayat hipertensi, dan diabetes
melitus.
II.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang
sama dengan pasien.
II.2.6. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku penyakitnya belum pernah diobati.

II.3. Pemeriksaan Fisik

II.3.1. Status Generalis


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg (pre-hipertensi)
Nadi : 78 kali/menit
Pernapasan : 16 kali/menit
Suhu : Afebris
Kepala
Bentuk kepala : Normocephale
Mata : Konjungtiva anemis (-), 18clera ikterik (-),nistagmus(-)
Gigi-Mulut : Lengkap, mulut basah
Leher : KGB tidak membesar
Thoraks
Jantung : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : Bunyi napas vesikuler pasa seluruh lapang paru, ronkhi (-)/(-),
wheezing (-)/(-)

18
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Edema (-)/(-), sianosis (-), capillary refill time <2 detik
II.3.2. Status Lokalis
Telinga
Kanan Kiri
Daun telinga Nyeri Tarik (+) Normal
Tragus Nyeri tekan (+) Normal
Liang telinga luar Lapang Udem
Mastoid Nyeri Tekan (+) Normal
Discharge + -
Darah
Membran timpani Perforasi Sentral Hiperemis
Tumor - -
Otoskopi Serumen (+) Serumen (+)
MT Perforasi Sentral MT Hiperemis

Hidung
Kanan Kiri
Hidung luar Normal Normal
Cavum nasi Lapang Lapang
Septum nasi Tidak ada deviasi septum nasi
Discharge - -
Mukosa Merah muda Merah muda
Tumor - -
Konka Normal Normal
Sinus Tidak ditemukan nyeri tekan pada sinus

19
Tenggorokan
Warna : merah muda
Mukosa : normal
Dinding belakang faring : normal
Suara : normal

Tonsil
Kanan Kiri
Pembesaran - -
Hiperemis - -
Permukaan mukosa Tidak rata Tidak rata
(merah muda) (merah muda)
Kripta Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada

Pemeriksaan Tambahan :
X-Foto Mastoid : Mastoid air cell kanan berkurang dan tampak sklerotik
Gambaran mastoiditis kanan
Tak tampak detruksi tulang
II.4. Diagnosis

II.4.1. Diagnosis Banding


 OMSK dengan peforasi
 OMA efusi
II.4.2. Diagnosis Kerja
Otitis Media Akut dengan Perforasi Sentral
Suspect Mastoiditis AD

20
II.1. Tatalaksana
II.5.1. Farmakologis
 Ciprofloxacin tab 2 kali sehari selama 5 hari
 Metilprednisolon tab 4 mg 3 kali 1 hari selam 5 hari
II.5.2. Non-Farmakologis
 Ear toilet ADS
 Suction ADS
 Edukasi : kuping kanan jangan sampai kemasukan air, gunakan
penutup telinga saat bekerja, jangan menggunakan cotton bud
dahulu.

II.2. Prognosis
Dubia ad bonam

21
BAB III

ANALISA KASUS

III.1. Subjective
Pasien datang pada hari Rabu tanggal 1 Desember 2014. Pasien mengaku
telinga kanannya nyeri sejak 1 minggu yang lalu dan nyeri pada telinga kiri pada
2 hari yang lalu. Nyeri pada telinga kanan terasa di belakang telinga, tragus dan
ketika telinga di tarik. Pasien merasa bahwa telinga kanannya keluar cairan darah
dan berbau. Pasien merasa kedua telinganya mengalami penurunan pendengaran.
Pasien mengakui bahwa suka menggunakan cotton bud jika ingin membersihkan
telinganya. Pasien mengaku bekerja sebagai tukang bangunan yang lingkungan
kerjanya bising.
III.2. Objective
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Status generalis dalam batas normal. Pada inspeksi ditemukan telinga luar dalam
batas normal. Pada pemeriksaan otoskop didapatkan liang telinga kanan tampak
sedikit serumen dan bekas darah mengering, setelah dilakukan ear toilet terlihat
membran timpani mengalami perforasi dibagian sentral, dan pada telinga kirinya
didapatkan sedikit serumen dan MT stadium hiperemis.

III.3. Assesment
Berdasarkan gejala dan tanda yang ditemukan pada anamnesa maupun
pemeriksaan, maka dapat disimpulkan pasien mengalami otitis media akut
stadium perforasi dengan mastoiditis AD, dan OMA stadium hiperemis AS.
III.4. Plan
Pasien diberikan tatalaksana farmakologis berupa antibiotik
ciprofloxacin tab 2 kali sehari selama 5 hari dan anti-radang (kortikosteroid)
yaitu metilprednisolon tab 3 kali sehari selama 5 hari. Pasien diminta kontrol.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut. Majalah Kedokteran
Nusantara, 39 (3): 356.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2002.
Perokok Pasif Beban Yang Terlupakan. Jakarta.
Balzanelli, C., Gamba, P., Redaelli de Zinis, L. O., 2003. Acute Otitis Media and
Bylander, A., Gisselsson-Solen, M., Wilhelmsson, C., Hermansson, A. Melhus, A.,
2007. Journals of Clinical Microbiology, 45 (9): 3003 – 3005.
Dahlan, M. Sopiyudin., 2010. Konsistensi V Menentukan Besar Sampel. Dalam:
Hariyanto, B., Riefmanto, ed. Langkah-langkah Membuat Proposal
Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan Seri Evidence Based Medicine : Seri 3
cetakan 2. Jakarta: Segung Seto, 83.
Departemen Kesehatan RI, 2004. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang
Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2004. Beban Kesehatan Akibat Penggunaan Tembakau).
Jakarta.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,
E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 64 – 66
Torpy, J. M., 2010. Acute Otitis Media. The Journal of the American Medical
Association (JAMA), 304 (19): 2194.
Tortora, G. J., Derrickson, B. H., 2009. The Special Senses. Dalam: Roesch, B., dkk,
ed. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International
Student Version Volume 1. Hoboken: John Wiley and Sons, Inc, 620 – 621.
Williamson, I., dkk, 2006. Consultations for middle ear disease, antibiotic prescribing
and risk factor for reattendance: a case-linked cohort study.
World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training
Resource: Advanced Level. WHO Press: 14 – 15.

23

Anda mungkin juga menyukai