Pendahuluan
Kemungkinan pertimbangan yang paling relevan dan diabaikan dalam
upaya untuk menghentikan bunuh diri di seluruh dunia adalah risiko kepribadian
maladaptif atau adanya sifat kepribadian disfungsional. Gangguan kepribadian
sebelumnya telah diklasifikasikan dibawah aksis II dalam sistem diagnostik
multiaksial sebagaimana yang ditetapkan oleh Diagnostic and Statistical Manual-
IV Text Revision (DSM-IV-TR) sebagai kelainan yang ditandai dengan “pola
menetap akan adanya pengalaman di dalam diri dan perilaku yang sangat
menyimpang dari yang diharapkan dari kebudayaan individu, bersifat perfasif dan
tidak fleksibel, stabil dari waktu ke waktu, dan menyebabkan penderitaan atau
gangguan” (American Psychiatric Association, 2000). Dalam Diagnotic and
Statistical Manual 5 (DSM5), kriteria untuk gangguan kepribadian masih belum
berubah, meskipun tidak lagi terdapat sistem multiaksial yang digunakan untuk
mengelola diagnosis (American Psyciatric Association, 20013). Terhentinya
penggunaan aksis II dianggap suatu langkah yang positif dalam arah
penatalaksanaan gangguan kepribadian, karena aksis II dimaksudkan untuk
menggambarkan kondisi yang secara klasik dianggap tidak dapat diobati.
Konsekuensi dari mengklasifikasikan gangguan pada aksis II mencakup
melakukan stigmatisasi pasien dengan gangguan ini dan akses terhadap kesulitan
penatalaksanaan yang berkaitan dengan penukaran pembayaran dan kompensasi
perawatan.
Gangguan kepribadian telah lama diteliti untuk menentukan perannya dalam
perilaku bunuh diri. Sebuah penelitian epidemiologi berskala besar meneliti lebih
dari 40000 partisipan masyarakat yang menyatakan mereka yang menerima
diagnosis gangguan kepribadian dengan menggunakan kriteria yang ketat adalah
9.66 kali lipat lebih berkemungkinan untuk melaporkan riwayat upaya bunuh diri
(Trull dkk, 2010). Selain itu, “autopsi psikologis” telah diteliti untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin berkontribusi terhadap bunuh diri
individu postmortem. Metode ini terdiri atas wawancara retrospektif dan tinjauan
rekam medis (Arsenault – Lapierre dkk, 2004). Sebuah metaanalisis terhadap
penelitian mengenai hal ini mencakup 27 penelitian untuk sejumlah total 3275
bunuh diri. Penelitian-penelitian yang dimasukkan dalam metaanalisis ini
dilakukan di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Asia. Hanya 14 penelitian yang
mencakup informasi diagnostik baik buntuk gangguan kepribadian dan gangguan
psikiatri lainnya. Dari penelitian-penelitian yang berisikan informasi mengenai
gangguan kepribadian, 16.2% dari individu yang berhasil bunuh diri telah
mendapatkan diagnosis gangguan kepribadian berdasarkan autopsi psikologis.
Tidak terdapat perbedaan dalam angka kejadian diagnosis gangguan kepribadian
menurut wilayah geografis. Berdasarkan hasil ini, tampak bahwa peran gangguan
kepribadian pada risiko bunuh diri bernilai konsisten diseluruh dunia.
Bidang penelitian gangguan kepribadian telah dihadapkan dengan
kontroversi selama dekade terakhir. Dalam perkembangan DSM5, kelompok kerja
Gangguan Kepribadian mempertanyakan validitas dan manfaat konseptualisasi
dan pengelompokan gangguan kepribadian DSM-IV-TR dan mengusulkan sebuah
analisis dimensi baru terhadap sifat dan bidang kepribadian yang spesifik.
Deskripsi usulan ini dimasukkan dalam bagian III dari DSM5, bagian yang
disiapkan untuk langkah-langkah dan model yang muncul (American Psychiatric
Association, 2013). Tidak ada metode yang telah dijelaskan untuk menerjemahkan
kriteria terbaru terhadap model baru yang diusulkan. Tantangan lainnya dalam
interpretasi kepustakaan mengenai gangguan kepribadian berada pada tingginya
angka komorbiditas gangguan kepribadian dan diagnosis psikiatri lainnya, yang
cenderung menyamarkan data yang ada dan sulit untuk dikendalikan dalam
penelitian berskala besar. Selain itu, bukti yang muncul menantang gagasan
bahwa sifat kepribadian disfungsional atau kriteria bersifat stabil dari waktu ke
waktu atau tidak dapat diobati sebagaimana yang pernah diasumsikan. Meskipun
demikian, bab ini akan memberikan suatu tinjauan kepustakaan yang meneliti
hubungan antara gangguan kepribadian dan bunuh diri sebagaimana yang saat ini
dijelaskan dalam DSM5 dengan diskusi tambahan yang menjelaskan peran sifat
kepribadian spesisik sebagaimana yang disinggung mengenai perubahan yang
diusulkan pada pengelompokan kepribadian dalam edisi selanjutnya.
Penyokong Biologis
Selain penelitian-penelitian yang meneliti karakteristik dan menghubungkan
perilaku bunuh diri pada BPD, beberapa penelitian telah dilakukan untuk
menentukan penyokong biologis kelainan ini. New dan rekannya (New dkk, 2012)
melakukan sebuah tinjauan terhadap pencitraan neurologi struktural dan
fungsional saat ini, penanda neurokimia, dan penelitian-penelitian genetika yang
relevan dengan gejala-gejala BPD. Meskipun demikian, seperti banyak gangguan
psikiatri lainnya, tidak terdapat pola patofisiologi yang jelas, beberapa temuan
yang konsisten dapat memberikan suatu dasar dini untuk memahami kelainan ini
dengan lebih baik. BPD diusulkan muncul dari kurangnya kontrol prefrontal
medial terhadap struktur limbik yang mengalami aktivitas secara berlebihan. Hal
ini menimbulkan respon rasa takut yang tidak dimodulasi, terutama sebagai
respon terhadap upaya interpersonal. Temuan spesifik relatif terhadap bunuh diri
dalam sebuah penelitian pada remaja yang menemukan hubungan yang negatif
dengan volume singulata anterior (ACG) dengan jumlah upaya percobaan bunuh
diri dan tingkat keparahan BPD. Hubungan ini tidak terlihat pada gejala-gejala
depresi. Penelitian ini mengesankan bahwa penurunan volume ACG ditemukan
secara dini dan spesifik untuk BPD. Soloff dkk (2012) meneliti orang dewasa
dengan BPD berbanding kontrol yang sehat dan menemukan kealinan struktural di
otak yang membedakan partisipan dengan BPD dan riwayat upaya bunuh diri dari
mereka tanpa upaya bunuh diri sebelumnya. Kelainan ini juga ditemukan yang
memisahkan pencoba kematian yang tinggi dari yang rendah. New dkk (2012)
juga meninjau penelitian-penelitian yang meneliti kelainan metabolit cairan
serebrospinal dalam kadar serotoin dan menyatakan bahwa temuan ini lebih
konsisten umumnya pada individu dengan riwayat upaya percobaan bunuh diri
atau perilaku yang agresif impulsif. Penelitian-penelitian lain telah meneliti peran
opioid endogen dan menyatakan bahwa psaien dengan BPD memiliki defisit
opioid intrinsik yang menjelaskan gejala NSSI yang mungkin mendorong
pelepasan opioid endogen selama perilaku yang mencederai diri sendiri.
Penatalaksanaan
Biasanya, pasien-pasien dengan BPD telah menghadapi stigma yang sangat
besar karena persepsi bahwa gangguan ini bersifat non-responsif terhadap
penatalaksanaan dan individu dengan BPD tampak bersifat lebih bermasalah
menurut sifatnya. Penelitian yang lebih baru dalam mengembangkan terapi yang
efektif dan berbasis bukti untuk BPD telah mulai menggeser persepsi dan
meningkatkan diagnosis. Penatalaksanaan psikoterapeutik yang paling banyak
diteliti untuk BPD adalah terapi perilaku dialektikal (DBT). DBT dikembangkan
oleh Marsha Linehan, PhD, yang pada awalnya sebagai terapi perilaku kognitif
bagi pasien-pasien dengan perilaku “parasuicidal”. DBT telah terbukti secara
signifikan mengurangi angka kejadian bunuh diri dan NSSI baik untuk pasien
remaja maupun dewasa dengan BPD. Terapi lainnya yang memperlihatkan
outcome yang positif untuk penatalaksanaan BPD mencakup terapi berbasis
mentalisasi, sistem yang melatih prediktabilitas emosional dan pemecahan
masalah, dan terapi yang berfokus pada skema. Bukti dini untuk strategi
farmakoterapi untuk penatalaksanaan yang menargetkan domain gejala juga telah
dijelaskan (Nelson & Schulz, 2012).
Temuan longitudinal
The collaborative Longitudinal Personality Disorders Study (CLPS; Skodol
dkk, 2005) mengumpulkan informasi yang banyak yang berkaitan dengan
komorbiditas, pendahulu, rangkaian perjalanan, dan dampak gangguan
kepribadian. Partisipan penelitian mencakup individu-individu yang didiagnosis
dengan StPD, BPD, APD, dan OCPD. Gangguan-gangguan ini dipilih
berdasarkan psikobiologi, angka prevalensi, dan kerangka kerja teoritis. Individu
yang didiagnosis dengan MDD dipilih sebagai kelompok perbandingan
berdasarkan rangkaian perjalanannya yang episodik, prevalensi, dan data yang
tersedia mengenai fenomenologi dan perjalanannya. Total jumlah sampel yang ada
terdiri atas berikut: StPD = 13%, BPD = 26%, APD = 24%, OCPD = 23%, MDD
= 14%. Sembilan persen partisipan melaporkan setidaknya satu kali upaya
percobaan bunuh diri dalam 2 tahun pertama follow up dan 44% dari mereka
melaporkan perilaku bunuh diri multipel. Setelah mengendalikan diagnosis BPD
awal, upaya bunuh diri secara signifikan diprediksi oleh perburukan MDD dan
gangguan penyalahgunaan zat (SUD). Setelah menyingkirkan gangguan yang
mencederai diri sendiri, kriteria BPD untuk instabilitas afektif, gangguan identitas,
dan impulsivitas merupakan prediktor perilaku bunuh diri yang signifikan. Upaya
bunuh diri (perilaku dengan keinginan untuk bunuh diri) secara signifikan
berkaitan dengan instabilitas afektif dan penyalahgunaan seksual masa kanak.
Pada follow up 3 tahun, 12% dari partisipan dengan gangguan kepribadian
mencoba bunuh diri. Kejadian di kehidupan yang bersifat negatif, terutama yang
berkaitan dengan masalah cinta/pernikahan dan hukum, merupakan prediktor
upaya yang signifikan setelah mengendalikan penyalahgunaan seksual masa
kanak dan diagnosis awal BPD, MDD, dan SUD.