Anda di halaman 1dari 25

Presentasi Kasus

TONSILOFARINGITIS AKUT

Penyaji
Mery Oktika Sari
Pembimbing
dr.Wasis Rohima, SpA. M.kes

BAGIAN/SMF KESAHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. YUNUS BENGKULU
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting morbiditas


dan mortalitas pada anak. Yang dimaksud infeksi pernapasan adalah mulai dari infeksi
saluran napas atas dan adneksanya hingga parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi
yang berlangsung hingga 14 hari. Infeksi saluran napas atas adalah infeksi primer saluran
napas di atas laring yaitu hidung, faring, dan laring. Sedangkan infeksi laring ke bawah
disebut infeksi saluran napas bawah.

Penyebab infeksi saluran pernapasan akut lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan
jamur. Di negara maju di dominasi oleh virus, sedangkan di negara berkembang oleh bakteri
seperti S. Pneumonia dan H. Influenza. Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-
anak usia dibawah dua tahun yang kekebalan tubuhnya lemah atau belum sempurna.
Peralihan musim kemarau ke musim hujan juga menimbulkan risiko serangan ISPA.
Beberapa faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak
adalah rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang dan buruknya sanitasi lingkungan.

Salah satu infeksi saluran napas adalah tonsilofaringitis, yaitu peradangan yang terjadi
pada faring dan tonsil. Penyakit pada tonsil palatina (tonsil) merupakan permasalahan yang
umum ditemukan pada anak. Penderita tonsilitis merupakan pasien yang sering datang pada
praktek dokter ahli bagian telinga hidung tenggorok, dokter anak, maupun tempat pelayanan
kesehatan lainnya. Tonsilitis juga merupakan salah satu penyebab ketidakhadiran anak di
sekolah. Sedangkan faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan
struktur lain disekitarnya. Karena letaknya sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang
terjadi hanya infeksi lokal faring dan tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara luas
mancakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis.

Pada kesempatan ini akan dibahas sebuah laoporan kasus yang berjudul
tonsilofaringitis, diharapkan dari laporan kasus dapat menambah pengetahuan dalam
mendiagnosis tonsilofaringitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Tonsilitis
1. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar linfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band dinding
faring/gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan
dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama anak.
2. Klasifikasi

a. Tonsilitis akut
- Tonsilitis viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai nyeri
tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus epstein barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus
coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil
pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Terapi cukup dengan
istirahat, minum cukup, analgetik dan antivirus diberikan jika gejala berat.
- Tonsilitis bakteri
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman group A streptokokus ß hemolitikus
yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, streptokokus viridan,
streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus menjadi satu, membentuk alur-
alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar
sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembran) yang menutupi
tonsil. Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah
nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri
di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri
ditelinga ini karena nyeri alih malalui saraf n. Glosofaringeus (n. IX). Pada
pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
terbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar
submandibula membengkak dan nyeri tekan. Terapi diberikan antibiotika
penisilin, eritromisin, antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses
peritonsil, abses parafaring, bronkitis, glumerulonefritis akut, miokarditis, atrritis
septikemia akibat infeksi v. Jugularis interna (sindrom lemierre).
b. Tonsilitis membranosa
- Tonsilitis difteri
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman coryne bacterium diphteriae, kuman yang
termasuk gram positif dan hidup disaluran napas bagian atas yaitu hidung, faring
dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia < 10 tahun dan prekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
- Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah. nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan.
- Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang semakin lama semakin meluas dan bersatu membentuk membran
semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole, ovula, nasofaring, laring,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini
melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
- Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensation cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman corynebacterium diphteriae. Terapi anti
difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis
20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Antibiotik
penisilin atau eritromicin 25-50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg/kgbb/hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit
ini menular, pasien harus di isolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur
selama 2-3 minggu. Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu
menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien
maka makin cepat timbul komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah
jantung atau dekompensasio cordis. Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata
untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan
menelan. Suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria sebagai
akibat komplikasi ke ginjal.
- Tonsilitis septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di indonesia susu
sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini
jarang ditemukan.
- Angina plaut vincent (Stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan
pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
Gejala berupa demam, demam sampai 39⁰ C, nyeri kepala, badan lemas dan
kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi,
gigi dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan mukosa mulut dan faring
hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas tonsil, ovula, dinding faring,
gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar sub mandibula
membesar. Terapi di berikan antibiotik spektrum luas selama 1 minggu.
Memperbaiki higiene mulut. Vitamin C dan vitamin B kompleks.
- Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang-
kadang terdapat pendarahan di selaput lendir mulut dan faring serta pembesaran
kelenjar submandibula. Pada leukemia akut, gejala pertama sering berupa
epitaksis, perdarahab di mukosa mulut, gusi dan dibawah kulit sehingga kulit
tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak
hiperemis dan rasa nyeri yang hebat di tenggorok. Pada angina agranulositosis
penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan
arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar
ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan
saluran cerna. Pada infeksi mononukleosis pada penyakit ini terjadi tonsilo
faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran semu yang menutupi ulkus
mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfe
leher, ketiak dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit
menonukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum
pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (reaksi paul bennel).
c. Tonsilitis kronis
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman
penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah
menjadi kuman golongan gram negatif.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara
klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi detritus. Rasa ada yang
mengganjal di tenggorok dan napas berbau. Terapi lokal ditujukan pada higiene
mulut dengan berkumur atau obat hisap. Pada radang kronik tonsil dapat
menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rinitis kronik, sinusitis atau
otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositis, nefritis,
uveitis,iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkolosis. Tonsilektomi
dilakukan bila terjadi infeksi berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan
neoplasma.
3. Anatomi Fisiologi
Tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang banyak mengandung limfosit dan
merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil terletak pada kerongkongan di belakang
kedua ujung lipatan belakang mulut. Ia juga bagian dari struktur yang disebut Ring of
Waldeyer ( cincin waldeyer ). Kedua tonsil terdiri juga atas jaringan limfe, letaknya di
antara lengkung langit-langit dan mendapat persediaan limfosit yang melimpah di
dalam cairan yang ada pada permukaan dalam sel-sel tonsil. Tonsil terdiri atas:
a. Tonsil fariengalis, agak menonjol keluar dari atas faring dan terletak di belakang
koana.
b. Tonsil palatina, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
c. Tonsil linguais, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh dengan cara
menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan kerongkongan, oleh
karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan. Peradangan pada tonsil disebut
dengan tonsilitis. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid
terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi tonsil yang
kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan
tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak
sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang
normal.
4. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan sebagai
filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu tubuh
untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-
kadang Tonsil sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi.
Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini
secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut
detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu
tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus
berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan
gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa
sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan
kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam
daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit
kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien
mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang
tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam. Bila bercak melebar,
lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada
tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti
jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar
(kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul
dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak
proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.
5. Derajat pembesaran tonsil
Derajat Interpretasi
T0 Tonsil sudah diangkat
T1 Tonsil masih dalam fossa tonsilaris
T2 Tonsil melewati arkus posterior hingga mencapai linea paramediana
T3 Tonsil melewati linea paramediana hingga mencapai linea mediana
T4 Tonsil melewati linea mediana (uvula)
6. Tonsilektomi
The amerikan academy of otolaryngology head and neck surgery clinical indicotors
compendium menetapkan indikasi tonsilektomi yang meliputi:
a. Indikasi tonsilektomi absolut
- Timbulnya kor pulmonal akibat sumbatan jalan napas.
- Hipertrofi tonsil/adenoid dengan sindrom apnea waktu tidur.
- Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan.
- Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan.
- Abses peritonsilar berulang/abses yang meluas pada jaringan sekitarnya.
b. Indikasi tonsilektomi relatif
- Serangan tonsilitis berulang (4-5 kali/tahun) walaupun telah mendapatkan terapi
adekuat.
- Tonsil carier misalnya tonsilitis difteri.
- Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya penelanan).
- Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan
tonsilitis yang berulang.
- Hipertrofi tonsil/adenoid
- Tonsilitis kronis menetap, respon penatalaksanaan medis tidak berhasil.
- Tonsilitis kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.
II. Faringitis
1. Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-
60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal.
Infeksi bakteri group A streptokokus ß hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang hebat, kerena bakteri ini melepaskan toksin ekstraseluler yang dapat
menimbulkan demam reumatik kerusakan katup jantung glomerulus nefritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri
ini banyak menyerang anak usia sekolah. Orang dewasa dan jarang pada anak umur
kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui sekret hidung dan ludah.
2. Klasifikasi
A. Faringitis akut
a. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dan beberapa hari kemudian menimbulkan
faringitis. Tanda dan gejala berupa demam disertai rinorea, mual, nyeri
tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
Virus influenza coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.
Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash. Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga
menimbulkan gejala konjungtivitis tetutama pada anak. Epstein barr virus (EBV)
menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan
nyeri tenggorok nyeri menelan, mual, demam. Pada pemeriksaan tampak faring
hiperemis terdapat eksudat, linfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.
untuk terapi di anjurkan untuk istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan
air hangat, analgetik jika perlu dan tablet hisap. Antivirus metisoprinol
(isoprenosine) diberikan pada infeksi herves simplek dengan dosis 60-100
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
< 5 tahun diberikan 50 mg/kgbb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
b. Faringitis bakteri
Infeksi group A streptokokus ß hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut
pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Tanda dan gejala ditandai
dengan nyeri kepala hebat muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu
yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar,
faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksdudat di permukaannya. Beberapa
hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa
leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan. Terapi pada faringitis
bakteri adalah:
- Antibiotik, diberikan bila diduga penyebab faringitis akut ini group A
streptokokus ß hemolitikus. Penicillin G banzatin 50.000 U/kgbb, IM dosis
tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgbb dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari
dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari atau eritomicin 4x500 mg/hari.
- Kortikosteroid, deksametoson 8-16 mg, IM 1 kali. Pada anak 0,08-0,3
mg/kgbb, IM 1 kali.
- Analgetik
- Kumur dengan air hangat atau antiseptik.
c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda
berupa keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur
ini dilakukan dalam agar sabouroud dextrosa. Terapi dapat diberikan nystasin
100.000 – 400.000 2 kali/hari dan dapat diberikan analgesik.
d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital. Sebagian infeksi
tengorokan tidak menghasilkan gejala (asimtomatik). Pada wanita gejala meliputi
keputihan, disuria, perdarahan intermenstrual, dispareunia, nyeri perut bagian
bawah. Sedangkan pada laki-laki meliputi uretritis, epididimitis akut, striktur
uretra, dan nyeri dubur.
B. Faringitis kronis
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.
Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini adalah rinitis kronik, sinusitis,
iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa
faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang
biasa bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringiris kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring. Tampak kelenjar linfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi.
Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular.
Pasien pada mulanya mengeluh tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk.
Terapi lokal dengan melakukan kausatik faring dengan memakai zat kimia larut
nitrat argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simtomatis
diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspektoran.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya sehingga
menimbulkan ransangan serta infeksi pada faring. Gajala dan tanda pasien
biasanya mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada
pemeriksaan tampak mukosa faring di tutupi oleh lendir yang kental dan bila di
angkat tmpak mukosa kering. Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan
untuk faringitis kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga
kebersihan mulut.
3. Manifestasi klinis
Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokus group A dapat diperkirakan dengan
menggunakann centor creteria, yaitu:
Kreteria Skor
Temperatur > 38 ⁰C 1
Tidak ada batuk 1
Pembesaran kelenjar leher anterior 1
Pembengkakan/eksudat tonsil 1
Usia
3-14 tahun 1
15-44 tahun 1
≥ 45 tahun -1
Penilaian skornya:
0 : kemungkinan faringitis karena streptococcus 1%-2,5%. Tidak perlu pemeriksaan
lebih lanjut dan antibiotik.
1 : kemungkinan faringitis karena streptococcus 5%-10%. Tidak perlu pemeriksaan
lebih lanjut dan antibiotik.
2 : kemungkinan faringitis karena streptococcus 11%-17%. Kultur bakteri faring dan
antibiotik hanya bila hasil kultur positif.
3 : kemungkinan faringitis karena streptococcus 28%-35%. Kultur bakteri faring dan
antibiotik hanya bila hasil kultur positif.
4.5 : kemungkinan faringitis karena streptococcus 51%-53%. Terapi empiris dengan
antibiotik dan atau kultur bakteri faring.

BAB III
LAPORAN KASUS

B. IDENTITAS
B.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. AN
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 7 tahun 1 bulan
BB : 36 kg
Alamat : Betungan, RT 01 No 36
Masuk RS : 11 – 12 - 2014 jam 21.30 WIB
No CM : 67 99 43

B.2 ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ibu penderita tanggal 12/12/2014 pukul 14.00 WIB)
Keluhan utama : Demam tinggi 5 jam SMRS

1. Riwayat penyakit sekarang :


Sejak 5 jam SMRS pasien mengalami demam, demam dirasakan tinggi, tidak
menggigil, tidak berkeringat dingin dan kejang tidak ada. Mual tidak ada, muntah tidak
ada, batuk ada, batuk dirasakan berdahak tetapi dahak tidak keluar, pilek tidak ada,
mimisan (-), terdapat nyeri tenggorok. BAB ada, kosistensi lunak dgn warna kuning.
BAK ada, warna kuning jernih, banyak ± 1 gelas air mineral.
1 hari SMRS pasien mengeluh demam, demam dirasakan tinggi, kejang tidak ada,
menggigil tidak ada, berkeringat dingin tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada,
batuk ada, batuk berdahak tetapi tidak keluar, pilek, nafsu makan menurun, nyeri
tenggorokan. BAB ada, kosistensi lunak dgn warna kuning, BAK normal dengan warna
kuning jernih. Pasien berobat di RS dan dirawat jalan, pasien diberikan obat penurun
panas dan rawat jalan tetapi keluhan dirasakan tidak membaik.
4 hari SMRS pasien mengeluh demam, demam dirasakan naik turun dengan waktu
yang tidak menentu, kejang tidak ada, menggigil tidak ada, berkeringat dingin tidak ada,
mual tidak ada, muntah tidak ada, batuk tetapi dahak tidak bisa keluar, pilek ada, nafsu
mkan menurun, tenggorokan terasa nyeri dan sulit menelan. BAB normal dengan
kosistensi lunak bewarna kuning, BAK normal dengan warna kuning jernih.
2. Riwayat penyakit dahulu :
Pasien memiliki riwayat kejang demam pada usia 1 tahun 6 bulan tahun hingga usia 5
tahun, kejang terjadi 6 kali, dalam setahun kejang terjadi 1 hinga 2 kali dan selalu
didahului dengan demam. Pasien pernah dirawat pada usia 3 tahun kejang dan demam
typoid. Pasien rutin kontrol ke dokter spesialis anak dan diberikan obat antikejang sirup
dengan merek depaken yang diberikan dengan dosis 3x1 sendok sehari. Obar tersebut
diminum ± 1 tahun 2 bulan setelah bebas kejang. Riwayat nyeri tenggorokan sebelumnya
tidak ada.

3. Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat kejang dalam keluarga tidak ada.

4. Riwayat sosial ekonomi :


Ayah bekerja sebagai pegawai negeri sipil, ibu pasien juga bekerja sebagai pengawai
negeri sipil. Penghasilan keluarga rata-rata per bulan Rp.6.500.000,- menanggung 2 orang
anak, biaya pengobatan ditanggung BPJS.
Kesan sosial ekonomi : menengah keatas.

5. Riwayat pemeliharaan antenatal :


Periksa kehamilan rutin setiap bulan di dokter spesialis kandungan, penyakit selama
kehamilan disangkal, selama kehamilan ibu hanya minum obat penambah darah, kalsium
dan asam folat yang diberikan dokter spesialis kandungan.

6. Riwayat persalinan.
♂ BBL 3400 gram, cukup bulan, anak pertama, ditolong bidan, lahir spontan, lahir
langsung menangis.

7. Riwayat pemeliharaan post natal :


Mengikuti imunisasi rutin di dokter praktek.

8. Riwayat makan dan minum :


ASI diberikan selama 6 bulan dan setelah 6 bulan diberikan susu formula hingga usia 2
tahun. Makanan tambahan mulai diberikan sejak usia 4 bulan, makanan yang diberikan
berupa bubur yang dibuat sendiri seperti bubur beras, bubur kacang hijau yang dihaluskan.
Sekarang pasien sudah makan makanan keluarga. Saat ini pasien sering makan snack dan
minum es.

9. Riwayat imunisasi :
a. Hepatitis B : 3 kali
b. Polio : 4 kali
c. BCG : 1 kali
d. DPT : 3 kali
e. Campak : 1 kali
f.Typoid : 1 kali
g. Influenzae : 1kali
Kesan : Menurut ibu imunisasi pasien lengkap

B.4 PEMERIKSAAN FISIS


Pemeriksaan fisis pada tanggal 11 desember 2014, pukul 14.00 WIB di ruang Edelweis.
Seorang anak laki-laki, umur 7 tahun, berat badan 36 kg.
Keadan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos mentis
Antopometri :
BB : 36 kg
TB : 129 cm
Status Gizi : Obesitas
Tanda vital :
Nadi : 110 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 39 C (aksila)
Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterik, edema
palpebra - / -. Mata cekung -/-
Hidung : Deformitas tidak ada, napas cuping hidung tidak ada, deviasi tidak
ada, tidak ada sekret.
Telinga : Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -
Mulut : Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut tidak kering, lidah tidak
kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-), faring hiperemis, eritema (-),
eksudat (-), tonsil hiperemis T3- T3, kripta melebar, detritus (-).
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, tiroid tidak teraba membesar, kaku
kuduk (-)
Toraks
Paru : I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan.
Retraksi dinding dada (-)
Pa : Stem fremitus kanan = kiri
Pe : Sonor seluruh lapangan paru
A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki (-)
Jantung : I : Iktus kordis tidak terlihat
Pa : Iktus kordis tidak teraba
Pe : Batas kanan jantung: SIC IV liniea parasternalis dextra
: Batas kiri jantung : SIC V linea midclavicularis sinistra
A : Bunyi Jantung I-II (+) reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : I : Datar, lemas, simetris
A : Bising usus (+) normal
Pa : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan
lien tidak teraba
Pe : Timpani.
Ekstremitas : Pitting edema (-/-), CRT ˂ 2 detik, akral hangat, atrofi otot (-).

B.5 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


HB : 14.3 g/dl
Haematokrit : 43 %
Leukosit : 9.800 mm3
Trombosit : 320.000 sel/mm3
Malaria : Negatif
Widal : S. Typhi O 1/160

B.6 DAFTAR MASALAH


- Demam sejak 4 hari SMRS, demam dirasakan tinggi.
- Batuk berdahak tetapi dahak tidak keluar
- Nyeri tenggorok hingga sulit menelan
- Nafsu makan menurun
- Terdapat riwayat kejang demam sebelumnya
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan faring hiperemis, tonsil hiperemis T3- T3, kripta
melebar.
- Pemeriksaan laboratorium didapatkan pemeriksaan Widal dengan S. Typhi O 1/160

B.7 DIAGNOSIS BANDING


- Demam dengue
- Malaria
B.8 DIAGNOSIS KERJA
- Tonsilofaringitis akut
- Obesitas

B.9 RENCANA PENATALAKSANAAN


Terapi Farmakologi
- IVFD KAEN 3B X gtt/menit
- Ampicilin 3x500mg
- Gentamicin 2x80 mg
- Parasetamol tablet 3x 2/3 tablet
- Ambroxol 3x1 sendok
Terapi Non Farmakologi
- Tirah baring
- Minun cukup
- makan makanan lunak
Diagnostik :
- Usap tenggorok dan Kultur
- Pemeriksaan serologi DHF
- Pemeriksaan widal ulang

B.10 PERKEMBANGAN PENYAKIT SELAMA PERAWATAN

Tanggal/Jam: 12-10-2014/ 06.00 WIB

S: Demam tidak ada, Batuk ada, nyeri tenggorok tidak ada, nyeri menelan tidak ada.

O: Tanda vital : Nadi : 96 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup


Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37,3 C (aksila)
Kepala Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata Konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterik, edema palpebra -
/ -. Mata cekung -/-

Hidung Deformitas tidak ada, tidak ada sekret.

Telinga Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -

Mulut Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut tidak kering, lidah tidak
kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-), faring hiperemis, eritema (-),
eksudat (-), tonsil hiperemis T3- T3, kripta melebar, detritus (-).

Leher Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, kaku
kuduk (-)

Paru I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan, retraksi
dinding dada (-).
Pa : Stem fremitus kanan = kiri
Pe : Sonor seluruh lapangan paru
A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki (-)

Jantung I : Iktus kordis tidak terlihat


Pa :Iktus kordis tidak teraba
Pe : Batas kanan jantung: SIC IV liniea parasternalis dextra
: Batas kiri jantung : SIC V linea midclavicularis sinistra
A : Bunyi Jantung I-II (+) reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen I : Datar, lemas, simetris


A : Bising usus (+) normal
Pa : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien
tidak teraba
Pe : Timpani.
Ekstrimitas Pitting edema (-/-), CRT ˂ 2 detik, akral hangat, atrofi otot (-).

A: Tonsilofaringitis akut

Obesitas

P: Farmakologi
- IVFD KAEN 3B X gtt/menit
- Ampicilin 3x500mg
- Gentamicin 2x80 mg
- Parasetamol tablet 3x2/3 tablet
- Ambroxol 3x1 sendok
Non Farmakologi
- Tirah baring
- Minun cukup
- Makan makanan lunak

Tanggal/Jam: 13-10-2014/ 06.00 WIB

S: Demam tidak ada, Batuk ada tetapi sudah berkurang, nyeri tenggorok tidak ada, nyeri
menelan tidak ada.

O: Tanda vital : Nadi : 94 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup


Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8 C (aksila)
Kepala Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut

Mata Konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterik, edema palpebra -
/ -. Mata cekung -/-

Hidung Deformitas tidak ada, tidak ada sekret.

Telinga Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -
Mulut Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut tidak kering, lidah tidak
kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-), faring hiperemis, eritema (-),
eksudat (-), tonsil hiperemis T3- T3, kripta melebar, detritus (-).

Leher Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, kaku
kuduk (-)

Paru I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan, retraksi
dinding dada (-).
Pa : Stem fremitus kanan = kiri
Pe : Sonor seluruh lapangan paru
A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki (-)

Jantung I : Iktus kordis tidak terlihat


Pa :Iktus kordis tidak teraba
Pe : Batas kanan jantung: SIC IV liniea parasternalis dextra
: Batas kiri jantung : SIC V linea midclavicularis sinistra
A : Bunyi Jantung I-II (+) reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen I : Datar, lemas, simetris


A : Bising usus (+) normal
Pa : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien
tidak teraba
Pe : Timpani.

Ekstrimitas Pitting edema (-/-), CRT ˂ 2 detik, akral hangat, atrofi otot (-).

A: Tonsilofaringitis akut

Obesitas

P: pasien boleh pulang


Farmakologi
- Amoxan 3x1tablet
- Bromheksin 3x1 tablet
- Triamsinolon 3x1 tablet
Non Farmakologi
- istirahat
- Minun cukup
- Makan makanan lunak

Perhitungan Status Gizi Pasien


Berat badan ideal = 29 kg

Status gizi : ( Berat badan sekarang/ berat badan ideal) x 100%

: ( 36/29) x 100% = 124,1% (Obesitas)

BAB IV
PEMBAHASAN MASALAH

Pada pasien didapatkan keluhan demam, demam dirasakan tinggi sejak 4 hari. Selain
demam pasien mengeluhakan batuk yang berdahak tetapi dahak tidak keluar tenggorokan
terasa nyeri sehingga sulit menelan. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan terlihat faring
hiperemis dan tonsil hiperemis dengan T3- T3 serta adanya pelebaran dari kripta. Keluhan
pada pasien ini mengarah pada penyakit tonsilofaringitis akut dikarenakan keluhan nyeri
tenggorok baru pertama kali dikeluhkan. Untuk mengetahui penyebab dari tonsilofaringitis
ini seharusnya dilakukan pemeriksaan kultus apusan tengorok tetapi pada pasien ini tidak
dilakukan karna keterbatasan dari alat pemeriksaan. Kemudian keluhan demam yang terjadi
pada pasien ini selain disebabkan oleh tonsilofaringitis dapat disebabkan oleh adanya malaria,
atau demam dengue. Hal ini dikarenakan demam dirasakan pasien selama 4 hari dan tinggi
tetapi dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung oleh pemeriksaan penunjang untuk
diagnosis dari malaria telah tersingkirkan. Untuk demam dengue dilakukan pemeriksaan
serologi, tetapi pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksan tersebut. Pada pemeriksaan darah
rutin tidak didapakan adanya peningkatan dari hematokrit, trombositopenia dan leukopenia.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan widal, hasil pemeriksaan didapatkan hasil
untuk Salmonella thyphi 1/160. Hasil ini tidak signifikan dikarenakan tujuan pemeriksaan
widal adalah untuk menentukan adanya aglutinasi dalam serum penderita yang diduga
menderita demam typid. Semakin tinggi aglutin, maka semakin besar kemungkinan diagnosis
sebagai penderita demam typoid. Pada infeksi yang aktif titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer
aglutinasi 4 x lipat selama 2-3 minggu memastikan diagnosa demam typoid. Gold standar
untuk pemeriksaan demam typoid adalah kultur darah, hasil biakan salmonella yang positif
memastikan demam typoid. Pemeriksaan widal merupakan serologi baku dan rutin yang
digunakan. Kemudian pada pasien yang telah vaksinasi typoid titer aglutin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan
teter aglutinin H menurun secara perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Pada pasien ini telah
dilakukan vaksin typoid 1x. Selain itu infeksi klinis atau subklinis oleh salmonella
sebelumnya dapat menyebabkan pemeriksaan widal positif, pasien ini pernah menderita
demam typoid pada usia 3 tahun. Daerah endemik juga dapat menyebabkan terjadinya aglutin
pada pemeriksaan widal pada orang-orang sehat.
Pada pasien ini didiagnosis dengan obesitas, setelah obesitas anak ditegakkan sangat
sulit melaksanankan rencana efektif untuk pengurangan berat dan pemeliharaan tanpa peran
serta dan motivasi aktif anak maupun keluarga. Teknik yang digunakan untuk pengurangan
lemak pada orang dewasa, termasuk pembedahan, farmakologi terapi merupakan
kontraindikasi untuk anak. Diet kalori untuk amat rendah adalah tidak tepat kerena diet ini
dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Namun cara lain adalah
dengan memelihara berat badan selama pertumbuhan menyebabkan penurunan berat badan
yang efektif untuk umur tersebut ketika pertumbuhan terjadi. Peningkatan aktivitas fisik
mempunyai pengaruh terhadap laju metabolisme, latihan fisik yang diberikan sesuai dengan
tingkat perkembangan motorik, kemampuan fisik dan umurnya. Aktivitas fisik untuk anak
usia 6-12 tahun lebih tepat yang menggunakan keterampilan otot seperti bersepeda, berenang,
menari dan senam. Dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik selama 20-30 menit/hari.
Pada pasien ini diberikan antibiotik Ampicilin 3x500mg dan Gentamicin 2x80 mg. Hal
tersebut tidak sesuai dengan sumber yang menyatakan bahwa untuk pemberian antibiotik
didukung dengan kultur positif dari usap tenggorok. untuk terapi pada tonsilofaringis dapat
diberikan antibiotik spektrum luas. Tidak diberikan lebih dari 1 antibiotik spektrum luas.
pemberian antibiotik spektrum luas yang dapat diberikan seperti penisilin/eritromicin dengan
dosis 25-30 mg/kgBB/hari dapat dibagi menjadi 3 dosis selama 14 hari. Pemberian antipiretik
diberikan Parasetamol tablet 3x2/3 tablet, dosis parasetamol 10-15mg/kgbb/kali pemberian.
hal ini sesuai dengan terapi untuk tonsilofaringitis, selain untuk penurunan panas juga
diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada tenggorokan. Pasien ini mendapatkan obat batuk
ambroxol sirup 3x15mg, pemberian obat ini untuk mengeluarkan lendir yang kental dan
lengket pada saluran napas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepasdi, AE, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKU;2010. Hal. 217-225
2. Richard, EB, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC; 2000.
hal. 1256-62.
3. Pudjiadi, AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Jilid I. Jakarta: IDAI; 2010. hal. 89-91.

Anda mungkin juga menyukai