Anda di halaman 1dari 7

POKOK-POKOK PEMIKIRAN PAUL RICOEUR

Oleh:
Komarudin, Ninik Mutiah, Mutia Retno
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo)

Paul Ricoeur adalah filsuf dari Prancis pada abad ke-20. Selain sebagai filsuf, dia juga
menyumbangkan pemikiran dalam bidang politik, sosial, kultural, edukatif, dan teologis. Dia
termasuk cendekiawan Protestan yang sangat terkenal di Prancis.
A. Riwayat Hidup
Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Perancis Selatan pada tahun 1913 dan Dia menjadi yatim
piatu pada saat usia 2 tahun. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap
sebagai salah satu seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ricoeur di
besarkan di Rennes. Di Lycee ia berkenalan dengan filsafat untuk pertama kalinya melalui R.
Dalbiez, seorang filusuf beraliran thomistis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen
pertama yang mengadakan suatu studi besar tentang Psikoanalisa Freud. Ricoeur
mendapatkan licence de philosophie pada tahun 1933, lalu mendaftar pada Universitas Sorbonne
di Paris guna mempersiapkan diri untuk agrégation de philosophie yang diperoleh pada tahun
1935. Di Paris inilah Ia berkenalan dengan Gabriel Marcel yang nantinya akan banyak
mempengaruhi pemikirannya secara mendalam. Pada tahun 1937-1939 Ia memenuhi panggilan
untuk bergabung dalam wajib militer. Pada waktu mobilisasi Ia masuk lagi ketentaraan Prancis
dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang pada tahun 1945. dalam tahanan Jerman inilah
Ia banyak mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers. Bersama teman semasa
tahanannya, Mikel Dufrenne, ia menulis buku Karl Jaspers et la philosophie de
l’existence (1947). Pada tahun yang sama diterbitkan lagi satu buku yang berjudul Gabriel
Marcel et Karl Jaspers, studi perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme yang menarik
banyak perhatian pada waktu itu.
Ricoeur diangkat sebagai professor filsafat di Universitas Sorbonne pada tahun 1956. pada
tahun 1960 Ia menerbitkan jilid kedua dari Philosophie de la volonté dengan anak judul Finitude
et culpabilité (Keberhinggan dan Kebersalahan). Ia sempat menduduki Dekan Fakultas Sastra di
Universitas Sorbonne, karena pada saat itu banyak kejadian dimana para mahasiswa
memberontak di karenakan sistem pendidikan yang tidak memuaskan dan Dekan mengundurkan
diri maka Ricoeur di angkat sebagai Dekan untuk 1 tahun. Namun karena terjadi kembali
pemberontakan mahasiswa dan Ricoeur merasa tidak nyaman maka Ia mengundurkan diri. Ia
kemudian banyak mengajar di Universitas Leuven, lalu kemudian kembali lagi ke Paris dan
setiap beberapa bulan ia mengajar di Universitas Chicago. Sebuah buku pada tahun 1975 Ia
terbitkan yang berjudul La métaphore vive (Metafora yang hidup).

1
B. Pokok-Pokok Pemikiran
1. Hermeneutika
Hermeneutika bagi Ricoeur adalah usaha menafsirkan yang dilakukan manusia dengan
kemampuannya untuk menerobos jarak budaya di mana seseorang akan sampai pada
konteks historis sesuatu yang ditafsirnya. Proses menerobos itu memakai pendekatan bahasa
dengan metode fenomenologi. Hermeneutika Ricoeur menyangkut teori-teori
tentang manusia dan Tuhan dalam pendekatan strukturalisme, Psikoanalis, fenomenologi,
Simbol, agama dan iman.
Hermeneutika menurut Ricoeur berfungsi untuk mengadakan pemahaman tentang "yang
lain" - dan dari tanda-tanda yang diperoleh dari berbagai budaya - bertepatan dengan pengertian
dari dirinya dan keberadaannya. Di sini hermeneutika harus menyadari keterbatasan manusia
dalam menafsirkan sesuatu sehingga dia akan menghormati hasil tafsirnya. Hasil tafsir itu
disebut "tanda-tanda" dan diikutinya untuk memperoleh arah kehidupannya. Salah satu hasil
tanda itu adalah simbol yang di dalamnya terdapat karya seni, sastra yang merupakan hasil usaha
manusia untuk mencari kemungkinan-kemungkinannya, memanifestasikan "universalitas abstrak
gagasan kemanusiaan melalui universalitas konkretnya".
Hermeneutika selalu mengimplikasikan suatu momen reflektif atau momen eksistensial,
yaitu pemahaman diri secara implisit dan eksplisit. Hermenetutika adalah tafsir tentang "aku",
"aku" yang dibentuk oleh hubungan dengan Ada (bisa dikatakan Tuhan bagi orang beragama).

2. Simbolisme dan Mitos

Dalam memahami suatu fenomena Ricoeur mengatakan bahwa semua yang ada ini harus
dilihat atau di wakili oleh simbol-simbol. Dalam bukunya mengenai Filsafat Kehendak, Ia
menerangkan tentang simbol-simbol kejahatan yang di tulis dalam bagian kedua yang berjudul
Keberhinggaan dan Kebersalahan dalam suatu bagian yang berjudul Simbol-simbol tentang
kejahatan. Dalam buku ini Ia menerangkan bahwa bagimana manusia mengalami kejahatan atau
lebih tepat lagi bagaimana manusia ”mengakui” kejahatan. (Bertens,2001,263). Ada 3 macam
simbol dalam mengungkapkan pengalamannya tentang kejahatan, diantaranya:

a) Noda, adalah bahwa disitu kejahatan dihayati sebagai sesuatu ”pada dirinya” (in itself).
Kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang merugikan yang datang dari luar dan dengan cara
magis menimpa serta mencemarkan manusia. Kejahatan disini masih merupakan suatu
kejadian obyektif. Jadi berbuat jahat berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang
tetap harus dipertahankan perlu dipulihkan kembali (Bertens,2001, 263-264).

2
b) Dosa, manusia melakukan kejahatan ”dihadapan Tuhan”. Berbuat jahat tidak lagi berarti
melanggar suatu tata susunan yang magis dan anonim, melainkan ketidaktaatan terhadap
Tuhan yang telah mengadakan suatu perjanjian dengan manusia. Dosa merupakan
ketidaksetiaan manusia terhadap Tuhan yang setia. (Bertens,2001,264).

c) Kebersalahan (guilt), cara penghayatan tentang kejahatan ini berkembang di Israel


sesudah pengasingan di Babilonia selesai. Pada waktu itu kejahatan ditemukan sebagai
kebersalahan pribadi. Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan
kebersalahan ini adalah terutama ”beban” dan :kesusahan” yang menkan dan
memberatkan hati nurani manusia. Dalam konteks kebersalahan, kejahatan dihayati
sebagai suatu penghianatan terhadap hakekat manusia yang sebenarnya, bukan seperti
dosa sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan. Kesempurnaan manusia tercapai
dengan memenuhi peraturan-peraturan dan perintah-perintah Tuhan secara seksama,
tetapi dengan menlanggar peraturan-peraturan dan perintah-perintah itu manusia tidak
bersalah terhadap Tuhan, melainkan terhadap diri manusia sendiri. (Bertens,2001,265-
266).
Setelah mengungkapkan simbol-simbol yang melambangkan kejahatan manusia, maka
Ricoeur mengungkapkan mitos-mitos tentang kejahatan yang digunakannya untuk menerangkan
dari mana asalnya kejahatan. Mitos tentang kejahatan menurut Ricoeur mempunyai 3 fungsi,
diantaranya: (Bertens,2001,266).
1) Mitos menyediakan suatu universalitas konkret bagi pengalaman manusia tentang
kejahatan.
2) Dengan cerita tentang awal mula dan kesudahan kejahatan itu mitos membawa suatu
orientasi dan ketegangan dramatis dalam hidup manusia.
3) Dalam bentuk cerita mitos menjelaskan peralihan dari keadaan manusia tak berdosa,
yang asli ke keadaannya sekarang yang penuh noda, dosa dan kebersalahan.

Mitos mempunyai suatu aspek ontologis: memandang hubungan antara keadaan manusia
yang asli dengan keadaan historisnya sekarang yang ditandai alienasi. (Bertens,2001,266-267)
Dalam hubungannya dengan simbol dan mitos ini Ricoeur membedakan 4 macam mitos,
diantaranya:
a) Mitos Kosmis, yaitu dilambangkan dengan mitos-mitos Babilonia yang bernama Enuma
Elish. Dalam mitos ini kejahatan disamakan dengan ”khaos” yang terdapat pada awal
mula. Dan sebaliknya, keselamatan atau pembebaan dari kejahatan disamakan dengan
penciptaan dunia. (Bertens,2001,267).
b) Mitos Tragis, menurutnya banyak dijumpai dalam tragedi-tragedi Yunani, khususnya
tragedi yang ditulis oleh Aiskhylos. Menurut pandangan tragis tentang manusia, dewa
merupakan asal-usul kejahatan; dewa yang tidak berwujud persona, yang
disebut Moira (suratan nasib, takdir), Theos(tanpa kata sandang: ketuhanan) kakos
daimôn (roh jahat). Dewa mengakibatkan pahlawan (artinya manusia) menjadi bersalah
dan terkutuk karena bersalah. Kejahatan adalah takdir yang menimpa seseorang karena

3
ketidaktahuan atau kebutaan. Orang yang melakukan kejahatan lebih mirip dengan
korban daripada dengan penjahat.(Bertens,2001,268).
c) Mitos tentang Adam, yang diceritakan dalam kitab suci, yang pertama milik Yahudi,
manusia sendirilah ditunjukkan sebagai asal-usul kejahatan. Semua hal yang tidak beres
masuk dunia karena manusia (Adam berarti ”manusia”). Di sini kita menjumpai suatu
mitos antropologis tentang kejahatan. Kejahatan berasal dari lubuk hati manusia;
kejahatan disebabkan karena manusia tidak setia, karena Ia ”jatuh”. Penciptaan Tuhan itu
sendiri baik dan sempurna, hanya manusia bertanggung jawab atas segala ketidakberesan
dalam dunia.(Bertens,2001,268-269).
d) Mitos Orfis, mitos ini menerangkan tentang mitos jiwa yang diasingkan. Karena berasal
dari tradisi keagamaan Yunani yang dikenal sebagai Orfisme. Suatu aliran keagamaan
yang menjalankan pengaruh mendalam atas perkembangan filsafat Yunani,
khususnyaPlatonisme dan Neoplatonisme. Mitos ini memecahkan manusia ke dalam jiwa
dan tubuh. Jiwa datang dari tempat lain dan mempunyai status ilahi tetapi sekarang
terkurung dalam tubuh. Jadi, manusia telah ”jatuh” karena jiwanya dikaitkan dengan
tubuh dan dalam keadaan itu kejahatannya semakin bertambah dan semakin bertambah
pula kerinduan akan pembebasan. Pembebasan itu diperoleh melalui jalan pengetahuan,
khususnya pengetahuan bahwa tubuh itu hanya hawa nafsu dan bahwa jika harus
menentangnnya untuk sekali lagi dapat mencapai ”taraf ilahi”.

Hermeneutik

Menurut Ricoeur fakta atau produk itu dibaca sebagai suatu naskah. Pemahaman seperti itu
terjadi, jikalau misalnya ada pemahaman mengenai :

 Bahasa bukan sekedar sebagai bunyi-bunyian, tetapi sebagai komunikasi.


 Tarian tidak hanya sebagai gerak yang bersifat biotik, tetapi sebagai bagian dalam upacara
ritual.
 Kurban tidak hanya sebagai pembakaran benda, atau penyembelihan binatang, tetapi sebagai
tanda penyerahan. (Bakker,1998,42)

Bagi Ricoeur hidup ini merupakan interpretasi, terutama jika terdapat pluralitas makna, disaat
itulah interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika symbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi
penting, sebab disini terdapat makna yang mempunyai multi-lapisan.

4
Menurutnya interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih
terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang
terkandung dalam makna kesusastraan.(Sumaryono, 1999,105)

Kata-kata adalah symbol yang menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak langsung, tidak
begitu penting serta figurative (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui symbol-
simbol tersebut”.( Sumaryono, 1999,105)

Kedudukan penafsir menurut Ricoeur harus mengambil jarak dengan obyek yang kita teliti
supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Ricoeur sadar bahwa setiap manusia pasti
dalam benaknya sudah membawa anggapan-anggapan atau gagasan-gagasan, oleh karenanya
kita sama sekali tidak dapat menghindari diri dari prasangka. Dibalik itu pula Ricoeur sadar
bahwa anggapan-anggapan dan gagasan-gagasan yang terdapat pada para penafsir itu turut
mempengaruhi dalam mereka dalam memberi kritik. (Sumaryono, 1999,106-107) dan tugas dari
seorang penafsir adalah menguraikan keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat
laten di dalam bahasa atau teks (Sumaryono, 1999,108)

Menurut Ricoeur tugas dari Hermeneutik adalah disatu pihak mencari dinamika internal yang
mengatur struktural kerja didalam teks, dilain pihak mencari daya yang dimikili kerja teks itu
untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan “hal”-nya teks itu muncul ke
permukaan.( Sumaryono, 1999,107)

Peran bahasa dalam interpretasi sangatlah penting, karena pengungkapan gagasan, emosi,
kesusastraan dan filsafat semua melalui bahasa, bahkan Ricoeur berpendapat bahwa manusia
adalah bahasa dan bahasa merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.
(Sumaryono, 1999,107-108)

Ricoeur berpendapat bahwa setiap teks yang hadir dihadapan kita selalu berhubungan dengan
masyarakat, tradisi maupun aliran yang hidup dari macam-macam gagasan.( Sumaryono,
1999,108)

Dalam melakukan interpretasi, menurut Ricoeur, terdapat dua kegiatan yaitu kegiatan
Dekontekstualisasi (proses ‘pembebasan’ diri dari konteks) dan kegiatan Rekontekstualisasi
(proses masuk kembali ke dalam konteks). Dari penjelasan ini maka telihat bahwa tugas dari
penafsir sangat berat, karena ia harus dapat membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau
menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari
kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia
harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta
harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif dan obyektif. Penafsir
pada suatu saat harus dapat membuka diri terhadap teks yang hadir dihadapannya. Membuka diri
disini maksudnya adalah mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri kita dengan

5
cara yang obyektif. Maksudnya adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan
cara menghayatinya. (Sumaryono, 1999,109-110)

Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi, yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi cultural
dan kondisi social pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan.( Sumaryono,
1999,109)

K. Bertens., 2001. Filsafat Kontemporer – Prancis. Jakarta: Gramedia.


Nafisul Atho dan Arif Fahrudin. 2003. Hermeneutika Transendental. Yogyakarta: IRCISoD.
Don Ihde.. 1998. Paul Ricœur - The Confilct of Interpretations. London: The Athlone Press.
P. Louis Leahy. 2008. Dunia Manusia dan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
John Bowden. 2005. Encyclopedia of Christianity. New York: University.

Paul Ricoeur: Hermeneutik Simbol dan Mitos

Simbol dan Mitos

Kesimpulan

Bagi Paul Ricoeur kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol yang harus di
tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus
diterjemahkan agar manusia menemukan makna sesungguhnya. Ricoeur menjelaskan tentang
simbol-simbol dengan menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari
kejahatan itu dengan menggunakan mitos-mitos. Dari sini Ia menerangkan tentang betapa
pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang hidup dalam masyarakat.

Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa penafsir dihadapkan pada tugas yang berat,
karena ia harus menghadapi dua situasi yang sangat berbeda dalam satu waktu, dimana disatu
sisi ia harus dapat menjaga jarak dengan teks yang hadir dihadapannya, sekaligus ia juga harus
dapat membuka diri agar dapat menghayati teks tersebut secara menyeluruh dengan tidak lupa
memperhatikan latar belakang kehadiran teks tersebut. Disadari pula oleh Ricoeur bahwa setiap
penafsir sudah mempunyai angapan atau gagasan yang melekat pada diri mereka, dan itu semua
turut mewarnai hasil interpretasi yang dihadirkan oleh setiap penafsir.

Daftar Pustaka

Bakker, Anton, Achmad Charris Zubair. 1998. ”Metode Penelitian Filsafat”. Cet. 6.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Bertens ,Kees. 2001. ”Filsafat Barat Kontemporer Prancis”. Jakarta: PT.Gramedia

6
Sumaryono, E.1999. ”Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafa”. ed.1. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius

<[1]< Bagian Riwayat Hidup disadur dan dirangkum dari buku: Kees Bertens. 2001. ”Filsafat
Barat Kontemporer Prancis”. Jakarta: PT.Gramedia.hal. 254-259.

Anda mungkin juga menyukai