Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Gunarto (2003) kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman pangan
bernilai ekonomi tinggi yang dapat mendatangkan keuntungan (cash crop) bagi pengusaha
industri makanan olahan, pedagang dan petani yang membudidayakannya.
Sedangka menurut Edi Syafri dkk (2003) kentang merupakan komoditas hortikultura yang
paling berpeluang untuk pengembangan agribisnis dan agroindustri dibandingkan dengan
komoditas hortikultura lainnya. Besarnya peluang ini disebabkan harga kentang relatif stabil,
potensi bisnisnya tinggi, segmen usaha dapat dipilih sesuai dengan modal, pasar terjamin
dan pasti.
Konsumsi kentang untuk pasar tradisional mencakup 90 % dari total pasar kentang di
Indonesia, belum lagi peluang pasar lainnya seperti Pasar swalayan, restoran fast foot dan
untuk bahan baku industri (Sahat dan Asandhi, 1995 dalam Sembiring 2000).
Kentang adalah makanan yang bernilai gizi tinggi dan lengkap serta dapat digunakan
sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras. Kentang juga merupakan salah satu
makanan siap hidang (instant food). di Indonesia saat ini. Permintaan kentang terus
meningkat sementara pasokannya masih kurang sehingga perluasan budidaya kentang
masih dapat terserap pasar. Kentang tumbuh dapat di dataran tinggi sekitar 1000 meter di
atas permukaan laut sehingga dapat dikembangkan pada lahan kering di pegunungan dan
tidak bersaing dengan tanaman pangan urtama lainnya.
Sejarah tentang budidaya kentang di Papua khususnya di Kabupaten Jayawijaya relatif
cukup unik, sejalan dengan keunikan budaya masyarakat Papua itu sendiri yang beraneka
ragam. Tanaman kentang menurut masyarakat Dani yang berada di lembah baliem mulai
diperkenalkan oleh misionaris sekitar tahun 1960an. Setelah itu kentang mulai berkembang
diantara masyarakat Dani dan sekitarnya sampai saat ini, tidak diketahui dengan pasti jenis
kentang yang dibawah misionaris ke Jayawijaya, namun jenis tersebut telah menjadi
kentang lokal yang oleh masyarakat disebut kentang asli Wamena.
Produksi kentang di Papua dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami trend
menurun. Berdasarkan laporan Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Jayawijaya,
produksi kentang Jayawijaya pada tahun 1999 sebesar 12.96 t/ha, kemudian pada tahun
2001 menurun menjadi 12.91 t/ha dan selanjutnya menurun drastis pada tahun 2002 yakni
hanya 6 t/ha (BPS Jayawijaya, 2003). Menurunnya produktivitas kentang terutama
disebabkan pemakaian benih yang rendah kualitasnya, terbatasnya permodalan, penerapan
teknologi yang tidak tepat, terutama pemupukan dan pengendalian hama penyakit yang
kurang optimal, lemahnya penggorganisasian petani serta dukungan infrastruktur yang
belum memadai (Jamil, 2004).
Dengan potensi produksi dari tanaman kentang itu sendiri maka komoditas ini memiliki
peluang untuk dikembangkan melalui sistem agribisnis sehingga diharapkan dapat
menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan nilai tambah serta meningkatkan
pendapatan petani
seoptimal mungkin.
Pada umumnya harga produk pertanian khususnya hortikultura seperti sayuran kentang
memiliki karakteristik pola musiman dan tidak
bisa disimpan lama, dimana apabila terjadi over produksi maka harga akan cenderung
merosot. Karena itu peningkatan produksi yang diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan petani tidak secara otomatis terjadi, namun masih sangat tergantung dari
penanganan pasca panen, penyimpanan dan pemasarannya.
Bertolak dari gambaran tersebut maka pendekatan sistem agribisnis adalah sesuatu yang
realistis dan menjadi sangat relevan sebagai salah satu pilihan dalam meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani. Konteks inilah yang yang menarik perhatian penulis
untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan “prospek pengembangan agribisnis
kentang dalam meningkatkan pendapatan petani diKabupaten Gowa di Malino tepatnya di
PB Nurindah Kel.Pattapang, Kec.Tinggimoncong”.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan pengembangan agribisnis kentang di di PB Nurindah Kel.Pattapang,
Kec.Tinggimoncong, Kab. Gowa adalah produksi yang fluktuatif, karena petani masih
menggunakan teknologi budidaya secara tradisional. Selain itu kentang sebagai komoditas
pertanian, sifat produksinya musiman, tidak tahan lama serta kendala transportasi
membuat biaya yang dikeluarkan relatif tinggi, menyebabkan pemasaran tidak lancar
sehingga harga jual yang ditawarkan petani rendah, pada akhirnya berpengaruh terhadap
pendapatan mereka.
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah:

1. Bagaimana trend produksi kentang (granola l.) di PB Nurindah Kel.Pattapang,


Kec.Tinggimoncong, Kab. Gowa
2. Seberapa besar tingkat pendapatan dan efisiensi pemasaran yang diterima masing-
masing lembaga pemasaran kentang (Granola L.) di PB Nurindah Kel.Pattapang,
Kec.Tinggimoncong, Kab. Gowa

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:


1. Mengetahui trend produksi kentang (granola l.)
2. Mengetahui tingkat pendapatan dan efisiensi pemasaran yang diterima dari masing -
masing lembaga pemasaran kentang (Granola L.)
3. Mengetahui tingkat kelayakan usahatani kentang (Granola L.)
BAB II
`TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Perkembangan Kentang
Kentang yang kita kenal ternyata telah melampaui perjalanan sejarah yang panjang, bahkan
ratusan tahun yang lalu kentang telah dikenal orang. Menurut Setiadi dan Surya Fitri (1993)
awalnya kentang belum menyebar luas, tempat tumbuhya masih terbatas, yakni di daerah
dingin saja, kemudian merambah ke daerah sedang atau sub tropis. Perpindahan dari satu
daerah ke daerah lain yang iklimnya berbeda tidak dengan proses yang cepat tetapi melalui
banyak tahapan dan waktu dan salah satu tahapannya masuk ke Asia dan Indonesia.
Kentang masuk ke Asia diperkirakan sekitar tahun 1600 melalui pedagang portugis ke India.
Pada tahun 1700 penemuannya meluas ke wilayah barat sungai Gangga, kemudian dari
India berkembang ke Tibet, Bhutan, Nepal dan Kashmir. Pusat penyebaran kentang di Asia
adalah India, Cina dan Jepang, kemudian meluas ke beberapa negara termasuk Indonesia.
Kentang pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1794 di daerah Cisarua, Cimahi,
Lembang, Pengalengan, Wonosobo, Tawangmangu, Batu, Aceh, Tanah Karo, Padang,
Bengkulu, Minahasa, Bali dan Flores (Setiadi dan Surya Fitri, 1993).
Dalam perkembangannya, luas areal tanaman kentang di Indonesia cenderung bertambah.
Pada tahun 1969 areal kentang nasional seluas 14.770 ha, tahun 1981 menjadi 30.278 ha
dan tahun 1991 mencapai 39.620 ha. Badan Pusat Statistik (1991) melaporkan bahwa areal
pertanaman kentang tersebar di 22 pro vinsi termasuk Papua.
Meskipun luas areal dan produksi kentang nasional terus meningkat, tetapi rata-rata hasil
per hektar masih rendah. Di Provinsi Papua termasuk Kabupaten Jayawijaya juga
memperlihatkan data dan keragaman yang cenderung sama, yaitu terjadi peningkatan areal
tanam/panen dan produksi, namun rata-rata hasil per hektarnya masih rendah dari potensi
yang dapat dicapai yakni antara 20 – 30 t/ha

B. Aspek Pendekatan Sistem Agribisnis


Menurut Soekartawi (1999) Konsep agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh
mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan
dengan pertanian. Sedangkan Arsyad, dkk (1998) dalam Soekartawi (1999) menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan agribisnis adalah suatu kegiatan yang meliputi salah satu atau
keseluruhan matarantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya
dengan pertanian dalam arti luas. Saragih (1998) mengatakan bahwa sistem agribisnis
meliputi subsistem faktor input pertanian, subsistem produksi pertanian, subsistem
pengolahan hasil pertanian, subsistem pemasaran baik faktor produksi maupun hasil
olahannya, dan subsistem kelembagaan penunjang (Saragih, 1988).
Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan agribisnis
meliputi:
a. Sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi b. Sub sistem produksi usahatani
dan pengolahan hasil
c. Sub sistem pemasaran hasil dan distribusi
d. Sub sistem lembaga penunjang.

Selanjutnya Saleh (2 003) menyempurnakan definisi tersebut dengan mengembangkan


sehingga menjadi enam sub sistem secara umum meliputi; 1) sistem organisasi produsen
meliputi petani/kelompok tani, BUMN, BUMD dan Firma, 2) Sistem produksi dan teknologi
mencakup lahan, sarana produksi, bibit/ benih dan sarana penyuluhan (produksi) sarana
dan prasarana, produktivitas dan sumber teknologi, 3) sistem pembiayaan mencakup
sumber biaya dan pendapatan, 4) sistem pemasaran mencakup ramalan terhadap jumlah
permintaan (lokal, antar pulau, nasional dan eksport) serta fungsi-fungsi pemasaran
(pembelian, penjualan, alat transportasi, standarisasi, resiko usaha dan gudang pendingin),
5) sistem pasca panen/agroindustri yang meliputi: pemanenan, pengolahan, penyimpanan
dan mutu hasil, 6) sumberdaya manusia (petani).
Dari beberapa pandangan tentang agribisnis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
konsep agribisnis meliputi beberapa sub sistem sebagai berikut 1) sub sistem kelembagaan,
2) sub sistem produksi, 3) sub sistem pembiayaan, 4) sub sistem pengolahan hasil/pasca
panen, 5) sub sistem pemasaran dan 6) sub sistem sumberdaya manusia.
Sedangkan fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana
produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri), dan pemasaran.
Fungsi-fungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem, dimana fungsi-fungsi di atas
menjadi subsistem dari sistem agribisnis (Gumbira-Sa’id dan Intan, 2001).
1. Sub sistem Kelembagaan
Menurut Mub yarto (1989) bahwa lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah baik
formal maupun informal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu
baik dalam kegiatan sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai suatu tujuan.
Selanjutnya Hafsah (1999), menyatakan bahwa lembaga yang terkait dalam pembangunan
agribisnis secara garis besar adalah : 1) lembaga (instansi) pemerintah yang bertindak
sebagai pembina dan bertanggungjawab terhadap pembagian sistem, 2) lembaga dunia
usaha seperti swasta, BUMN, koperasi, lembaga keuangan, perbankan, 3) lembaga
pedesaan yang terkait erat dengan pengembangan agribisnis yaitu pemerintah desa,
kelompok tani, DPP, LMD/LKMD dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Secara operasional, lembaga yang bekerja dalam sistem agribisnis yaitu lembaga di bidang;
1) penya luran sarana produksi, 2) pasca panen, 3) industri hasil pertanian, 4) niaga dan 5)
jasa.
2. Sub Sistem Produksi Usahatani
Produksi adalah hasil yang diperoleh sebagai akibat bekerjanya berbagai faktor produksi
sekaligus dalam hal ini tanah, tenaga kerja, modal disamping manajemen yang berfungsi
sebagai koordinasi ketiga
faktor tersebut (Mubyarto, 1989).
Soekartawi (1989) mengatakan bahwa faktor manajemen produksi menjadi sangat penting
dalam arti efisien, artinya walaupun faktor produksi mendukung tetapi jika tidak dikelola
dengan baik maka produksi yang dicapai tidak maksimal. Selanjutnya dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan faktor produksi yaitu semua pengeluaran yang diberikan pada tanaman a
gar mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik.
Faktor produksi juga dikenal dengan istilah input, production factor dan pengeluaran
produksi (output). Faktor produksi sangat menentukan besar kecilnya produksi yang
diperoleh. Pengalaman menunjukan bahwa faktor produksi khususnya lahan, modal untuk
membeli bibit, pupuk, obat-obatan (saprodi), bayar upah tenaga kerja, besar pengaruhnya
terhadap proses usahatani dalam kaitannya dengan produksi. Tetapi apabila tidak didukung
oleh manajemen yang baik maka hasil yang diperoleh tidak akan memuaskan.
Mengoptimalkan penggunaan faktor produksi pada dasarnya adalah bagaimana
menggunakannya secara efisien mungkin sehingga menghasilkan produksi yang maksimal.
Penggunaan faktor produksi khususnya sarana produksi secara berlebihan atau melebihi
rekomendasi teknis, akan memberikan pengaruh buruk terhadap produksi yang diperoleh.
3. Sub Sistem Pembiayaan
Pembiayaan agribisnis merupakan tanggungjawab manajemen yang tidak kalah penting
dengan aspek lainnya. Biaya harus tersedia untuk membiayai belanja modal dan operasional
agribisnis setiap harinya. Menurut Downey dan Erikson (1989) bahwa ada tiga sumber
modal atau pinjaman, dana yang dihasilkan dari operasi bisnis dan tambahan penanaman
modal dari pemilik.
Kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran dapat berjalan, bila cukup tersedia
biaya. Biaya yang dibutuhkan sangat tergantung pada skala usaha agribisnis yang dilakukan.
Semakin besar skala usaha, semakin besar biaya yang diperlukan, sebaliknya semakin
kecil skala usaha maka biaya yang dibutuhkan juga kecil.
4. Sub Sistem Pemasaran
Pemasaran adalah proses sosial dan manajerial dengan seseorang atau kelompok untuk
memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran
produk dan nilai (Kotler, 1997). Menurut Soekartawi (1993) aliran barang dari produsen ke
konsumen pada prinsipnya disebut pemasaran atau marketing. Aliran barang dapat terjadi
karena adanya peran lembaga pemasaran dan juga sangat ditentukan dari sistem pasar yang
berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan.
Menurut Swasta (1986) dalam Azis (2004), ada lima macam saluran dalam pemasaran untuk
barang-barang konsumen yaitu:
1. Produsen – konsumen akhir
2. Produsen – pengecer – konsumen akhir
3. Produsen – pedagang besar – pengecer – konsumen akhir
4. Produsen – agen – pengecer – konsumen akhir
5.Produsen – agen – pedagang besar – pengecer – konsumen akhir.
Dengan demikian jelas bahwa dalam penyaluran barang-barang dari pihak produsen ke
pihak konsumen akan terlibat satu atau beberapa golongan pedagang perantara, pedagang
perantara ini dikenal sebagai saluran pemasaran.
Dari keseluruhan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa pemasaran adalah
penyampaian produk dan jasa dari produsen ke konsumen. Sedangkan tujuan pemasaran
untuk memperlancar barang dan jasa dari tangan produsen ke tangan konsumen. Untuk
memperlancar penyampaian atau pemindahan barang dari produsen ke konsumen maka
diperlukan peranan lembaga pemasaran agar proses ini dapat berjalan dengan baik dan
efisien.

Menurut Downey dan Erikson (1992), margin pemasaran adalah perbedaan hasil penjualan
produk pada dua tahapan yang berurutan dalam saluran distribusi pemasaran produk yang
bersangkutan. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap margin pemasaran
adalah
? Biaya Pemasaran
Biaya pemasaran adalah biaya yang ditentukan oleh lembaga pemasaran untuk
melaksanakan berbagai fungsi pemasaran. Biaya pemasaran akan berpengaruh terhadap
margin yang akan diterima oleh lembaga pemasaran yang terlibat.
? Keuntungan Lembaga Pemasaran
Margin pemasaran dapat dihitung dengan memakai dua metode yaitu dengan metode
tenggang waktu dan metode perbarangan. Metode tenggang waktu dilakukan dengan cara
mengikuti aliran barang sepanjang rantai pemasaran dengan memperhatikan biaya
pemasaran dibarengi tingkat lembaga yang dilewati. Metode berbarengan dilakukan dengan
cara membandingkan harga pada tingkat saluran titik waktu yang sama (Soekartawi, 1989
dalam Azis, 2004).
Margin pemasaran ditentukan oleh faktor sebagai berikut: (1) harga
modal dari barang, (2) jumlah barang yang dijual dan (3) laba yang diperhitungkan sebagai
cadangan penanggung resiko.

Demikian juga dari sisi konsumen, bentuk pasar terdiri dari empat macam yakni: Pasar
konsumen, pasar industri, pasar penjual kembali dan pasar pemerintah. Semua bentuk
pasar tersebut merupakan peluang kira-kira pasar yang mana yang dapat dibidik sesuai
dengan target perusahaan untuk mengejar laba.
Supaya pemasarkan produk kentang dapat berhasil maka hal yang perlu diperhatikan
adalah:
? Kegiatan penelitian pada pasar mana produk kentang dapat dijual.
? Menyesuaikan pemasarannya pada masing-masing pasar.
? Penelitian pada pasar mana sebagian penjualan dan labanya
tergantung dan
? Penyebaran resiko pemasaran dengan menghindari
ketergantungan penjualan dan labanya pada suatu langganan atau pasar tertentu.
5. Sub Sistem Penunjang/Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi terwujutnya suatu
tujuan, tetapi memimpin sumberdaya manusia sungguh sangat sulit dan rumit. Tenaga kerja
manusia mempunyai kemampuan, kecakapan, ketrampilan dan mempunyai kemauan
sehingga mereka dapat bekerja secara efektif dan efisien. Akan tetapi kemampuan dan
kecakapan akan kurang berarti jika tidak dibarengi

dengan e tos kerja, kedisiplinan dalam mewujutkan tujuan (Hasibuan, 1999).


Menurut Siagian (1999) sumberdaya manusia memiliki peranan penting dalam memajukan
berbagai aspek agribisnis, artinya bahwa kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dapat
menurunkan kualitas manajemen agribisnis. Sebaliknya jika sumberdaya manusia
berkualitas tentu manajemen agribisnis akan berkualitas pula. Kualitas sumberdaya manusia
harus terus ditingkatkan melalui pendidikan baik, formal maupun non formal, penguasaan
teknologi serta upaya meningkatkan semangat kerja melalui perbaikan kesejahteraan
pelaku agribisnis itu sendiri.
E. Pola Hubungan Antara Subsistem Agribisnis
Menurut Gumbira-Sa’id dan Intan (2001) definisi agribisnis yang dikemukakan oleh Davis &
Golberg (1957) memberikan suatu konsep dan wawasan yang sangat dalam tentang
pertanian modern menghadapi milenium ketiga. Agribisnis yang merupakan suatu sistem,
bila akan dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada
didalamnya. Pengembangan agribisnis tidak akan efektif dan efisien bila hanya
mengembangkan salah satu subsistem yang ada didalamnya.
Menurut Soehardjo (1997) dalam Gumbira-Sa’id (2001) persyaratan-persyaratan untuk
memiliki wawasan agribisnis adalah seperti dipaparkan di bawah ini :

1. Memandang agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai subsistem. Sistem
tersebut akan berfungsi dengan baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem.
Pengembangan agribisnis harus mengembangkan semua subsistem di dalamnya karena
tidak ada satu subsistem yang lebih penting dari subsistem lainnya.
2. Setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan kebelakang dan
kedepan. Tanda panah kebelakang (ke kiri) pada subsistem pengolahan (SS III) menunjukkan
bahwa SSIII akan berfungsi dengan baik apabila ditunjang dengan ketersediaan bahan baku
yang dihasilkan oleh SS I dan tanda panah kedepan (kanan) pada SS II akan berhasil dengan
baik jika menemukan pasar untuk produknya.
Sistem Agribisnis
SS I
(Pengadaan dan Penyaluran)
SS II
(Produksi Primer)
SS III (Pengolahan)
SS IV (Pemasaran)
Lembaga Penunjang Agribisnis
Gambar 1. Diagram sistem agribisnis dan lembaga penunjang

3. Agribisnis memerlukan lembaga penunjang, seperti lembaga pertanahan,


pembiayaan/keuangan, pendidikan, penelitian dan perhubungan.

F. Mengukur dan Meramalkan Permintaan dan Penawaran


Permintaan dapat diartikan sebagai jumlah barang yang dibutuhkan konsumen yang
mempunyai kemampuan untuk membeli pada berbagai tingkat harga. Permintaan yang
didukung oleh kekuatan tenaga beli disebut permintaan efektif, sedangkan permintaan yang
didasarkan pada kebutuhan saja disebut permintaan potensial.
Hukum permintaan mengatakan bahwa, bila harga suatu barang meningkat maka kuantitas
barang yang diminta akan berkurang. Begitu pula sebaliknya, bila harga barang yang diminta
menurun maka kuantitas yang diminta naik.
Disisi lain, penawaran diartikan sebagai berbagai kuantitas barang yang ditawarkan di pasar
pada berbagai tingkat harga. Dalam fungsi ini, bila harga suatu barang meningkat maka
produsen akan berusaha meningkatkan jumlah barang yang dijualnya. Sampai dimana
penjual ingin menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga ditentukan oleh berbagai
faktor diantaranya adalah: harga barang itu sendiri, harga barang lain, ongkos produksi,
tingkat teknologi dan tujuan-tujuan perusahaan.
Faktor penting adalah manajemen perusahaan harus menemukan suatu pasar yang
menarik, untuk itu manajemen perlu mengestimasi besarnya pasar pada masa sekarang dan
masa yang akan datang dengan cermat. Perusahaan akan kehilangan sejumlah laba karena
terlalu besar atau terlalu kecil mengestimasi besarnya pasar.
Ada 3 metode praktis untuk mengestimasi permintaan yakni total permintaan, wilayah
permintaan, penjualan aktual dan pangsa pasar.
Produksi kentang nasional, hingga tahun 1991 telah mencapai 538.058 t/ha, produksi ini
diperkirakan naik sebesar kurang lebih 1,5 % per tahun. Berarti pada tahun 1993, total
produksi kentang nasional mendekati 600.000 ton.
Sementara konsumsi nasional akan umbi kentang pada tahun 1990 adalah 2,46 kg per kapita
per tahun, kenaikan konsumsi kentang dalam kurun waktu satu dasawarsa mencapai hampir
dua kali lipat. Bila jumlah penduduk Indonesia 1990 sekitar 185 juta, maka kebutuhan
kentang Indonesia paling tidak 455.000 ton per tahun.
Sebagai catatan bahwa kebutuhan kentang tersebut merupakan kebutuhan untuk kentang
sayuran. Sedangkan dewasa ini ada kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi
kentang yang lain, seperti kentang goreng (french frish) dan kentang untuk makanan kecil
(hasil industri makanan). Bila ada perubahan konsumsi masyarakat tersebut maka
kebutuhan akan kentang dapat semakin tinggi.

Dalam rangka memenuhi permintaan tersebut, untuk jenis-jenis tertentu masih perlu
didatangkan dari luar negeri. Artinya bahwa masih dilakukan Import kentang dalam bentuk
kentang konsumsi atau bibit untuk dikembangkan di Indonesia, ini menandakan masih
terbuka peluang pasar di dalam negeri.
Menurut riset Central International Potato (CIP) pada tahun 2000 kebutuhan kentang dunia
akan naik, hal ini akibat pertambahan jumlah penduduk, juga akibat perubahan pola
konsumsi di beberapa negara berkembang. Ini bisa diartikan bahwa peluang usaha yang
ditawarkan oleh tanaman kentang, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk
kebutuhan luar negeri atau ekspor.
G. Analisis Pendapatan
Pendapatan dalam arti luas adalah terdiri dari keuntungan-keuntungan ekonomis yang
dialami seseorang dalam satu periode (Soekartawi, 1993). Untuk meningkatkan pendapatan
petani dan memperluas kesempatan kerja di pedesaan, pengembangan komoditas
pertanian memegang peranan penting. Pegembangan komodias pertanian tersebut dapat
dilakukan dengan usaha difersifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rasionalisasi.
Peningkatan pendapatan tidak hanya diukur dari total pendapatan yang diperoleh dari satu
kegiatan usahatani

tetapi juga diukur dari besarnya distribusi unsur pendapatan setiap perilaku usahatani
termasuk pasca panen.
Soekartawi (1993) mengatakan bahwa dalam beberapa ukuran pendapatan usahatani
antara lain:
? Pendapatan Kotor Usahatani (Gross farm income)
Pendapatan kotor usahatani terdiri dari nilai produk total usahatani
dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak terjual, jangka waktu
pembukuan umumnya satu tahun dan mencakup semua produk yang dijual.
? Pendapatan Bersih Usahatani (Net Farm Income)
Merupakan selisih pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran
total usahatani. Sedangkan pengeluaran usahatani merupakan nilai semua masukan habis
terpakai dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani, bunga
modal sendiri dan bunga modal pinjaman.
? Penghasilan Bersih Usahatani (Net Farm Earning)
Penghasilan bersih usahatani diperoleh dengan cara mengurangi
pendapatan bersih dengan bunga modal pinjaman.
Sedangkan biaya usaha tani biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : (a) biaya tetap
(fixed cost), biasanya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus
dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, jadi besarnya biaya
tetap tidak
tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh; dan (b) biaya tidak tetap (variable
cost) biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi
yang diperoleh (Soekartawi, 2002).
Dalam analisis usaha tani sering dilakukan dengan dua cara, yaitu : (a) analisis finansial, dan
(b) analisis ekonomi. Dalam analisis finansial data biaya yang dipakai adalah data rill yang
sebenarnya dikeluarkan, misalnya nilai upah tenaga kerja yang dihitung hanya upah tenaga
kerja yang disewa sedangkan upah tenaga kerja dalam keluarga (tidak disewa) tidak
dihitung. Dalam analisis ekonomi, data upah yang dipakai adalah upah menurut ukuran
harga bayangan (shadow price).
Adiwilaga (1982) mengatakan bahwa keuntungan petani adalah selisih kenaikan nilai antara
kekayaan awal pada bagian usaha tani dengan nilai akhir yang bersangkutan. Dengan
kata lain, pendapatan petani adalah selisih antara penjualan hasil panen dengan biaya
budidaya. Penghasilan tergantung pada dua faktor utama, yaitu harga jual dan biaya,
sedangkan harga jual terikat pada posisi permintaan dan penawaran.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan usaha antara lain :
a) luas usaha yang meliputi areal budidaya.
b) tingkat produksi yang diukur dari produktifitas per hektar.
c) pilihan dan kombinasi cabang usaha
d) intensitas Pengusahaan
e) efisiensi tenaga kerja

BAB IV
PEMBAHASAN
A. trend produksi kentang (granola l.)

a). Mengukur dan Meramalkan Permintaan dan Penawaran

Permintaan dapat diartikan sebagai jumlah barang yang dibutuhkan


konsumen yang mempunyai kemampuan untuk membeli pada berbagai
tingkat harga. Permintaan yang didukung oleh kekuatan tenaga beli
disebut permintaan efektif, sedangkan permintaan yang didasark an pada
kebutuhan saja disebut permintaan potensial.
Hukum permintaan mengatakan bahwa, bila harga suatu barang
meningkat maka kuantitas barang yang diminta akan berkurang. Begitu
pula sebaliknya, bila harga barang yang diminta menurun maka kuantitas
yang diminta naik.
Disisi lain, penawaran diartikan sebagai berbagai kuantitas barang
yang ditawarkan di pasar pada berbagai tingkat harga. Dalam fungsi ini,
bila harga suatu barang meningkat maka produsen akan berusaha
meningkatkan jumlah barang yang dijualny a. Sampai dimana penjual ingin
menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga ditentukan oleh
berbagai faktor diantaranya adalah: harga barang itu sendiri, harga barang
lain, ongkos produksi, tingkat teknologi dan tujuan -tujuan perusahaan.
Faktor penting adalah manajemen perusahaan harus menemukan
suatu pasar yang menarik, untuk itu manajemen perlu mengestimasi
besarnya pasar pada masa sekarang dan masa yang akan datang dengan
cermat. Perusahaan akan kehilangan sejumlah laba karena terlalu besar
atau terl alu kecil mengestimasi besarnya pasar.
Ada 3 metode praktis untuk mengestimasi permintaan yakni total
permintaan, wilayah permintaan, penjualan aktual dan pangsa pasar.
Produksi kentang nasional, hingga tahun 1991 telah mencapai
538.058 t/ha, produksi in i diperki rakan naik sebesar kurang lebih 1,5 %
per tahun. Berarti pada tahun 1993, total produksi kentang nasional
mendekati 600.000 ton.
Sementara konsumsi nasional akan umbi kentang pada tahun
1990 adalah 2,46 kg per kapita per tahun, kenaikan konsumsi kentang
dalam kurun waktu satu dasawarsa mencapai hampir dua kali lipat. Bila
jumlah penduduk Indonesia 1990 sekitar 185 juta, maka kebutuhan
kentang Indonesia paling tidak 455.000 ton per tahun.
Sebagai catatan bahwa kebutuhan kentang tersebut merupakan
kebutuhan untuk kentang sayuran. Sedangkan dewasa ini ada
kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi kentang yang lain,
seperti kentang goreng ( french frish ) dan kentang untuk makanan kecil
(hasil industri makanan). Bila ada perubahan konsumsi masyarakat
tersebut maka kebutuhan akan kentang dapat semakin tinggi.
Dalam rangka memenuhi permintaan tersebut, untuk jenis- jenis
tertentu masih perlu didatangkan dari luar negeri. Artinya bahwa masih
dilakukan Import kentang dalam bentuk kentang konsumsi atau bibit
untuk dikembangkan di Indonesia, ini menandakan masih terbuka peluang
pasar di dalam negeri.
Menurut riset Central International Potato (CIP) pada tahun 2000
kebutuhan kentang dunia akan naik, hal ini akibat pertambahan jumlah
penduduk, juga akibat peru bahan pola konsumsi di beberapa negara
berkembang. Ini bisa diartikan bahwa peluang usaha yang ditawarkan
oleh tanaman kentang, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk
kebutuhan luar negeri atau ekspor.

B.EFISIENSI PEMASARAN

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel) telah menjadi pemasok sayur mayur
ke berbagai daerah di Pulau Kalimantan, setiap hari mobil truk mengangkut hasil
pertanian melalui Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar dan Pelabuhan Transit
Parepare menuju Samarinda dan Bontang, Kalimantan Timur.

Para petani di daerah tersebut tekun membudidayakan kentang, kubis, wortel,


daun bawang, buncis dan tomat, produksinya selain memasuki pasar lokal di kota
Makassar, lebih banyak diantarpulaukan ke daerah Kalimatan atau memenuhi
permintaan dari Maluku dan Papua.

“Sekali mengirim bisa mencapai sekitar 14 ton dengan biaya pengiriman Rp 4,5
juta sampai ke Samarinda,” kata Ismail, petani dari Desa Buluballea, Minggu
(26/4).

Pemanfaatan teknologi pertanian telah membuat masyarakat semakin maju,


mereka memadukan cara tradisional dan teknik budidaya sehingga mampu
memberikan hasil maksimal.
Dulunya, keuntungan dari hasil jeri payahnya lebih dinikmati oleh para pengijon
dan pengumpul yang juga sering memainkan harga, sekarang sudah banyak
petani yang mapan, memiliki truk dan menjual langsung.

Produksi sayur-mayur Gowa mulai meningkat sejak 2009 ketika petani mulai
melakukan perluasan areal tanam serta memanfaatkan teknologi, penduduk Gowa
sebagian besar bekerja di sektor pertanian yang memberi kontribusi terbesar
terhadap PDRB (produk domestik regional bruto).

Kamaluddin, petani di Pattapang mengatakan, sejak kepemimpinan Bupati Gowa


Ichsan Yasin Limpo, jalan desa terbuka sampai ke lokasi pertanian sehingga
memudahkan kendaraan untuk mengangkut hasil panen.

Hal itu juga dibenarkan, Syukri, Sekretaris Desa (Sekdes) Kanreapia, sejak jalan
terbuka, Desa Kanreapia yang berpenduduk lebih 1.008 kepala keluarga di tujuh
dusun telah menikmati infrastruktur jalan pengerasan dan setiap tahun pemerintah
memprogramkan pembuatan jalan desa dan didukung oleh warga.

Sebelum akses jalan desa terbuka, petani sering diperhadapkan pada risiko
kerugian, hasil panen biasanya tertumpuk membusuk lantaran berhari-hari
menunggu angkutan.

“Dulu kami sering merugi karena hasil panen terlalu lama ditumpuk sehingga
banyak yang rusak, selain itu biaya untuk mengangkut juga menjadi mahal.
Sekarang sudah enak, pembeli yang datang bahkan petani di sini juga sudah
banyak yang merangkap sebagai pengumpul dan pedagang antarpulau.

Sekarang petani semakin giat mengejar panen dua kali setahun karena hasilnya
lumayan, Syukri juga menambahkan bahwa di sini tidak ada lagi pengijon, mereka
tergusur dengan sendirinya setelah ditumbuhkan tradisi usaha tani yang disebut
“Tesang” atau bagi dua hasil. Pemilik lahan dan penggarap sama-sama memodali
usaha penanaman dan hasil panen dibagi dua.

“Tidak ada peluang bagi ijon sejak Tesang dikembangkan, tradisi ini sangat adil
sebab tidak ada dominasi pemilik lahan, semua menyetor modal, penggarap pun
demikian dan hasilnya dibagi dua,” katanya.

Anda mungkin juga menyukai