Anda di halaman 1dari 7

Dimensi Eksoteris Ibadah

Ibadah memiliki prinsip adanya perintah dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk mengamalkan shalat, sedangkan tata caranya
mengikuti petunjuk Rasul-Nya.
Pelaksanaan shalat sesuai dengan petunjuk Rasul, seperti bagaimana cara berdiri, ruku, sujud dan
duduk serta bacaannya dengan baik dan benar adalah makna eksoteris ibadah.
Demikian pula dalam melaksanakan ibadah puasa, ketentuannya telah ditetapkan oleh
syari’at yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, yang dimulai sejak terbitnya fajar sampai
terbenam matahari. Berzakat yaitu mengeluarkan sebagian harta yang kita miliki setelah mencapai
batas nisbah, yang wajib dikeluarkan sesuai dengan kadarnya dan hanya sekali dalam setahun. Haji
adalah mengunjungi baitullah dengan melakukan beberapa perbuatan, baik berupa ihram, wuquf,
thawaf, sa;I, melontar jumroh dan lain-lainnya. Semua ibadah itu dilakukan sesuai dengan perintah
dan ketentuan syari’at, tidak boleh menyimpang dari padanya.
Perintah dapat berupa suruhan maupun larangan, sedangkan ketentuan adalah ketetapan
berupa hukum, waktu dan tata caranya, semuanya tidak boleh bertentangan dengan perintah dan
ketentuan tersebut. Apabila terjadi penyimpangan terhadap perintah dan ketentuan, maka akan
menjadikan ibadsh itu tergelincir kepada sikap primitif dalam mengekpresikan ketundukannya
kepada sang Khaliq.
Oleh karena itu, dimensi eksoterik (khususnya dalam ibadah mahdhah) pelaksanaannya
haruslah berdasarkan perintah dan ketentuan dari syari’at, berdasarkan petunjuk dari Allah yang
tercantum dalam al-Quran, serta mengikuti praktek perbuatan Rasul yang menjadi suri tauladan
umat manusia. Secara lebih tegas dinyatakan, bahwa dalam melaksnakan ibadah tidak boleh
disusupi unsure bid’ah yakni mengadakan sesuatu yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah
SAW.
Ada pula yang mengatakan, bahwasannya makna eksoterik ibadah semata hanya
menggunakan pendekatan fiqhiyyah, yaitu pendekatan dari segi makna lahiriah semata, hanya
melihat dari aspek-aspek hokum zhahir. Berbeda halnya dengan faham ulama sufi, pelaksanaan
ibadah harus sampai menhunjam ke relung hati.
Dari uraian di atas, dimensi eksoteris dalam beribadah adalah mengamalkan praktek
ibadah, yang bersifat lahiriah sesuai dengan tuntuna syari’at.
Dimensi Esoteris Ibadah
Pengalaman ibadah seharusnya tidak sekedar berdimensi eksoteris, yang hanya bersifat
simbolik dan lahiriah, namun hendanya sampai kepada pemahaman dan penghayatannya. Yang
dimaksud pemahaman dalam ibadah adalah memahami makna-makna dan nilai-nilai serta esensi
ibadah. Sedangkan yang dimaksud dengan penghayatan ibadah adalah melakukan apresiasi dan
ekspresi ibadah itu dengan diiringi perbuatan-perbuatan yang bersifat aplikatif yang sejaaan
dengan hakikat dan hikmah ibadah. Pengamalan ibadah dengan pemahaman dan penghayatan
itulah dimensi esoteris dalam ibadah.
Pelaksanaan ibadah berdimensi esoterik banyak isyarat dalam Al-qur’an dan Al-sunnah,
bahkan dimensi esoteris ini dianggap lebih utama dan penting karena ia merupakan inti dah ruhnya
ibadah. Harun nasution mengemukakan, bahwa tujuan dari ibadah itu bukanlah hanya sekedar
menyembah, tetapi taqarub kepada allah, agar dengan demikian roh manusia senantiasa diingatkan
kepada hal-hal yang bersih dan suci, akhirnya rasa kesucian seseorang menjadi kuat dan tajam.
Roh yang suci itu akan membawa kepada budi pekerti yang baik dan luhur. Oleh karena itu, ibadah
disamping merupakan latihan spiritual juga merupakan latihan moral.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ibadah yang dilakukan manusia harus
bermakna dalam kehidupan kesehariannya. Bila pengalaman ibadah tidak memilki makna, maka
amalan ibadah secara eksoterik tidak akan membawa manfaat, baik bagi dirinya maupun
sesamanya. Ibadah shalat misalnya, memilki tujuan menjauhkan manusia dari perbuatan-
perbuatan jahat dan dan mendorongnya untuk senantiasa berbuat hal-hal yang baik dan
bermanfaat. Begitu juga halnya dengan ibadah shaum (puasa), berdasarkan firman Allah,
dinyatakan bahwa dengan melaksanakan ibadah shaum pelakunya diharapkan menjadi manusia
yang bertaqwa, yakni manusia-manusia yang senantiasa melakukan perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan buruk atau jahat.
Berpuasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami
isteri, akan tetapi jauh lebih dalam daripada itu, sebagaimana banyak dikemukakan dalam hadits
Rasulullah SAW, bahwa: “sesungguhnya puasa itu bukanlah menahan diri dari perkataan yang
tidak sopan”. Bahkan bila ada yang mencaci dan tidak menghargai seseorang, maka hendaknya ia
mengatakan bahwa “aku sedang puasa” dan dalam hadist lain Rasulullah bersabda : “O rang yang
tidak meninggalkan kata-kata bohong dan senantiasa berdusta, tidak ada faedahnya menahan diri
dari makan dan minum”. Demikian halnya dengan zakat, merupakan suatu tindakan memberikan
sebagian harta yang dimilki untuk kepentingan masyarakat, yakni bahwa zakat yang diambil dari
harta itu berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan pemiliknya.
Dalam sebuah hadist, tergambarkan bahwa zakat/shadaqah itu memilki arti yang luas
sekali, sejak memberi senyum kepada sesama manusia,mengambil duri dijalan agar tidak terinjak
orang, member air yang ada payung kepada orang yang berjahat dan menuntun orang yang lemah
penglihatannya. Demikan pula ibadah haji yang merupakn ibadah yang paripurna. Seitap orang
yang akan melaksanakan ibadah haji harus meninggalkan seluruh aklah yang buruk, sepeti
mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh, berbuat hal yang tidak baik dan bertengkar. Larangan
ini dimaksudkan agar mereka meninggalkan akhlak semacam itu dan senantiasa berprilaku
dengan baik. Ketika melaksanakan ibadah haji, setiap orang berdo’a agar ibadah haji yang
ditunaikannya itu mabrur atau diterima Allah SWT. Diantara indikasi kemabruran haji seseorang
adalah terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku seseorang sekembalinya dari menunaikan
ibadah haji kearah peningkatan akhlaq yang baik.

 Ibadah dalam Islam tidak sebatas ucapan-ucapan kosong atau gerakan-gerakan tanpa arti, tapi
ia adalah perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan yang menyucikan jiwa dan menjadikan
kehidupan baik. Kewajiban-kewajiban dalam Islam bertujuan agar seorang muslim dapat hidup
dengan akhlak terpuji dan komitmen dengan akhlak itu, dalam kondisi apapun. Dan Al Qur’an
dan Sunnah yang suci menyingkap dengan jelas hakikat ini. Shalat fardhu, ketika Allah
memerintahkannya, Ia menjelaskan bahwa ia akan menghalangi pelakunya dari akhlak buruk
berupa perbuatan keji dan kemungkaran. Ia berfirman: {Bacalah apa yang telah diwahyukan
kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan} [QS. Al Ankabut:45]

 Zakat dalam syariat Islam bukan berupa pajak yang dipungut dari orang-orang kaya
untuk diberikan kepada orang-orang miskin, namun ia berfungsi menanamkan rasa kasih
sayang dan sikap lembut, dan mengeratkan hubungan dan keakraban antar seluruh level
masyarakat, disamping sebagai penyucian jiwa dari akhlak buruk dan membawa
masyarakat kepada tingkat yang lebih tinggi dan perilaku baik, inilah hikmah utama di
balik syariat zakat sebagaimana firman Allah Ta’ala: {Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui} [QS. At
Taubah:103]
 Oleh karena itu, sedekah tidak sekedar mengeluarkan harta, namun mencakup sejumlah
akhlak tinggi yang mendukung kebahagian masyarakat dan pribadi. Dan Nabi -
shallallahu alahi wa sallam- meluaskan definisi kata “sedekah” yang patut dikeluarkan
oleh seorang muslim, beliau bersabda: “Engkau menuangkan dari wadahmu kepada
wadah saudaramu adalah sedekah, engkau melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah
sedekah” dalam dalam sebuah riwayat: «“Engkau senyum kepada saudaramu adalah
sedekah, engkau menunjuk jalan kepada seseorang ketika tersesat adalah
sedekah”» (HR. Baihaqi).
 Demikian juga puasa, Islam tidak memandangnya hanya sekedar menahan makan dan
minum saja, tapi ia memandangnya sebagai satu langkah untuk peka terhadap kesulitan
orang-orang miskin, dan pada saat yang sama sebagai bimbingan bagi jiwa dan
pengontrol keinginan-keinginan syahwat. Allah Ta’ala berfirman: {Hai orang- orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa} [QS. Al Baqarah:183]
 Dan Rasulullah -shallallahu alahi wa sallam- bersabda: «Siapa yang tidak
meninggalkan ucapan dusta dengan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh ia
meninggalkan makan dan minumnya» (HR. Ahmad). Dan sabdanya: «Puasa bukan
sekedar menahan makan dan minum, namun puasa adalah menahan perbuatan sia-
sia dan buruk, jika seorang mencacimu atau berbuat jelek kepadamu maka
katakanlah: Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa» (HR. Ibnu Khuzaimah).
 Adapun haji, mungkin ada yang menganggapnya sebagai perjalanan kosong dari nilai-
nilai akhlak disebabkan sebagian agama memilki ritual-ritual gaib, dan ini keliru, dimana
Allah Ta’ala berfirman tentang ibadah ini:
 {(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah
kepada-Ku hai orang-orang yang berakal}[QS. Al Baqarah:197]
 Apa yang disebutkan sebelumnya menjelaskan hubungan erat yang mengikat agama dan
akhlak mulia, rukun Islam yang terpenting seperti shalat, puasa, zakat dan haji serta
amalan-amalan lainnya dalam Islam, adalah jalan yang mengantar kepada manusia
sempurna yang diharapkan dan mengangkatnya kepada kehidupan lebih baik yang
merasakan kebahagiaan dan ketenangan di bawah naungan akhlak terpuji dan prinsip
luhur. Ia adalah ibadah-ibadah yang berbeda dari sisi pengamalan dan lahiriahnya namun
bertemu pada satu tujuan yang telah digariskan oleh Rasulullah dalam sabdanya: «Aku
diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia» (HR. Baihaqi). Oleh karena itu,
maka jalan kebahagiaan adalah jalan yang bertumpu pada akhlak mulia dan berputar
sekitarnya, tidak dapat terpisah antara akhlak dan ibadah.

 Secara psikis, ibadah sangat cocok sebagai mediator dalam merileksasikan dan
menentramkan kejiwaan. Definisi ibadah menurut pengamatan saya yang dilihat dari segi
riilnya, ibadah yaitu sebagai kegiatan-kegiatan kerohanian yang dilakukan oleh umat
islam maupun umat beragama lainnya untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta
yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tapi pada kenyataannya walaupun ibadah terkesan hanya
untuk mendapatkan pahala atau untuk sekedar menjalankan kewajiban sebagai umat
beragama. Tetapi disisi lain saya melihat umat beragama yang beribadah hanya sebagai
sarana rileksasi, dikarenakan dalam ibadah bisa mengembalikan pikiran dan stamina yang
sudah terpakai karena kegiatan rutinitas sehari-hari, sehingga pikiran menjadi normal
kembali dan hati menjadi tenang, serta membuat manusia lebih bersemangat menjalankan
kegiataan rutinitas sehari-hari.

Karena ini pelajaran tentang masail fiqh, jadi saya mengambil dua sample ibadah sebagai sarana
kesehatan dari ajaran agama Islam, yaitu shalat dan puasa. walaupun masih banyak Ibadah-
ibadah yang lain yang bisa dijadikan sebagai pembahasan.

SHALAT

Salat memang merupakan bagian dari perintah Allah kepada orang-orang yang beriman. Dengan
mengingat Allah, kita pun membuka jalan untuk keluar dari segenap persoalan atau masalah
yang kita hadapi. Allah adalah Sang Maha Penolong. Segala sesuatu adalah mudah bagi-Nya.
Kita sendiri adalah dalam kekuasaan-Nya dan akan berpulang kepada-Nya. Dengan mengingat
Allah dalam salat, kita menyadarkan diri kembali akan ’fakta-fakta’ ini; kita menyadarkan diri
kembali akan kebesaran Allah, sehingga kita melihat segenap masalah yang kita hadapi adalah
kecil dan mudah di hadapan Allah. (Ingat, dalam salat, kita mengulang-ulang ucapan Allâhu
akbar, yang berarti: Allah Mahabesar; segala sesuatu yang ada di dunia ini kecil, dan Allahlah
Yang Besar). Oleh karena itu, menjalankan salat sebenarnya juga berarti membuka jalan bagi
datangnya pertolongan.

ِ‫صالَة‬ َّ ‫َوا ْست َ ِعينُوا بِال‬


َّ ‫صب ِْر َوال‬

Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan kesabaran dan salat. (al-Baqarah [2]: 45; lihat
pula ayat 153).

Salat dengan demikian menjadikan muslim lebih siap menghadapi hidup dan problematikanya
dibanding sebelumnya. Kesiapan ini terwujud salah satunya karena aktivitas mengingat Allah itu
membuat hati kita tenteram.

ُ‫أَالَبِ ِذ ْك ِر هللاِ ت َْط َمئِ ُّن ْالقُلُوب‬

Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram. (al-Ra‘d [13]: 28).

Pada sisi lain, ketenteraman hati ini sangatlah bermanfaat bagi kesehatan psikis kita. Berbagai
penyakit mental orang zaman sekarang acap kali adalah dampak dari hilangnya perasaan
tenteram di hati mereka. Melalui salat, ketenteraman ini bisa kita peroleh. Wajar bila para pakar
ilmu jiwa berhasil menunjukkan berbagai pengaruh positif aktivitas menjalankan salat terhadap
kesehatan mental pelakunya.

Kesehatan psikis telah terbukti mempunyai pengaruh terhadap kesehatan fisik. Ini berarti
aktivitas salat juga akan berdampak secara tidak langsung pada kesehatan tubuh kita. Akan
tetapi, para pakar kesehatan pun telah menunjukkan bahwa salat (terutama gerakan-gerakan
salat) memiliki pengaruh-langsung yang nyata pada kesehatan jasmani. Dengan demikian, salat
itu menyehatkan—tidak saja bagi kondisi kejiwaan, namun pula bagi kondisi badan. Kesehatan
raga dan jiwa yang seimbang tentu akan memudahkan orang untuk menghindari perbuatan-
melanggar-batas dan kemungkaran (sehingga salat memang benar mencegah orang dari fakhsyâ’
dan munkar [sesuai surah al-‘Ankabût ayat 45]).

PUASA

Menjalankan ibadah puasa adalah sebuah kewajiban bagi umat muslim, namun jika dilihat dari
sisi kesehatan dibalik nilai ibadah yang dijalankan sebulan penuh tiap tahun ini, juga tersimpan
banyak manfaat. Kesehatan merupakan nikmat yang tidak dapat dinilai dengan harta benda.
Untuk menjaga kesehatan, tubuh perlu diberikan kesempatan untuk istirahat. Puasa, yang
mensyaratkan pelakunya untuk tidak makan, minum, dan melakukan perbuatan-perbuatan lain
yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari sangat bermanfaat
untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani pelakunya.

Puasa dapat mencegah penyakit yang timbul karena pola makan yang berlebihan. Makanan yang
berlebihan gizi, belum tentu baik untuk kesehatan seseorang. Kelebihan gizi atau overnutrition
mengakibatkan kegemukan yang dapat menimbulkan penyakit degeneratif seperti kolesterol dan
trigliserida tinggi, jantung koroner, kencing manis (diabetes mellitus), dan lain-lain.

Pengaruh puasa terhadap kesehatan jasmani meliputi berbagai aspek kesehatan, diantaranya
yaitu:

1. Memberikan kesempatan istirahat kepada alat pencernaan. Pada hari-hari ketika tidak sedang
berpuasa, alat pencernaan di dalam tubuh bekerja keras, oleh karena itu sudah sepantasnya alat
pencernaan diberi kesempatan untuk istirahat.
2. Membersihkan tubuh dari racun dan kotoran (detoksifikasi). Dengan puasa, berarti membatasi
kalori yang masuk dalam tubuh kita sehingga menghasilkan enzim antioksidan yang dapat
membersihkan zat-zat yang bersifat racun dan karsinogen dan mengeluarkannya dari dalam
tubuh.
3. Menambah jumlah sel darah putih. Sel darah putih berfungsi untuk menangkal serangan
penyakit sehingga dengan penambahan sel darah putih secara otomatis dapat meningkatkan
sistem kekebalan tubuh.
4. Menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh.
5. Memperbaiki fungsi hormon, meremajakan sel-sel tubuh.
6. Meningkatkan fungsi organ tubuh.
Kesimpulan :

1. Dalam melakukan Ibadah banyak hikmah yang kita ambil manfaatnya bagi kesehatan
kita.

2. Ibadah bukan hanya semata-semata untuk Allah atau sekedar mendapatkan pahala,
tetapi Ibadah bisa sebagai mediator dalam kesehatan.
3. Percayalah yang kita lakukan adalah ikhlas dengan setulus hati dan tanpa ada paksaan
didalam hati ketika beribadah, dikarenakan apabila kita menjalankan suatu Ibadah dengan
adanya paksaan, kita tidak akan merasakan hasil atau dampak dari Ibadah iru sendiri.

Anda mungkin juga menyukai