di Indonesia
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perubahan Iklim dan Dampaknya
bagi Kesehatan di
Indonesia", https://nasional.kompas.com/read/2018/09/25/07130041/perubahan-iklim-
dan-dampaknya-bagi-kesehatan-di-indonesia?page=all.
Oleh
Soerjadi Wh.
Dalam penerbangan perihal keselamatan adalah prioritas utama. Keselamatan penerbangan
berkaitan dengan banyak faktor, antara lain faktor manusia, faktor kondisi dan jenis pesawat
terbang, fasilitas dan sarana Bandar udara, fasilitas dan sarana telekomunikasi, dan faktor cuaca.
Dari kemungkinan penyebab kecelakaan pesawat terbang, 30% antara lain karena faktor cuaca,
teknis pesawat, fasilitas penunjang operasi penerbangan, dan pelayanan lalu-lintas udara;
sedangkan 70% dari faktor manusia yang termasuk baik awak pesawat maupun yang memberi
pelayanan kepada pesawat terbang.
Bagaimana peran cuaca dalam penerbangan?
Karena masalah penerbangan menyangkut banyak hal baik dalam lingkup nasional maupun
internasional maka Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menetapkan berbagai aturan
yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan tersebut. Khususnya dalam menetapkan aturan
yang berkaitan dengan cuaca, ICAO bekerjasama dengan Organisasi Meteorologi Dunia ( World
Meteorological Organization = WMO).
Meskipun teknologi penerbangan makin maju namun karena frekuensi penerbangan juga makin
meningkat kecelakaan pesawat terbang masih tetap mempunyai kemungkinan yang tinggi. Laju
keseringan penerbangan di Amerika Serikat sejak tahun 1988 sekitar 10% setiap tahun (buletin
WMO no.1 vol.38 Jan.1988); di Indonesia (data IATS Analysis) antara 1988 – 2003 sekitar 3,9% dan
diperkirakan naik menjadi sekitar 6,4% sampai akhir 2013. Dengan demikian makin banyak kegiatan
penerbangan, beban tanggung jawab keselamatan penerbangan juga makin meningkat.
Apa dampak cuaca dalam penerbangan?
Peran cuaca dalam penerbangan sangat besar. Cuaca mempunyai dua peran. Disatu sisi informasi
cuaca mempunyai andil dalam peningkatan efisiensi dan efektivitas kegiatan dan keselamatan
penerbangan, di sisi lain mempunyai potensi yang membahayakan sampai dapat menimbulkan
kematian. Namun demikian tidak mudah untuk mengatakan cuaca yang mana yang
membahayakan, karena dampak cuaca bergantung pula kepada faktor lain.
Khusunya dalam penerbangan, selain kadar atau intensitas unsur cuaca, jenis pesawat, kondisi
pesawat, dan posisi penerbangan juga merupakan faktor yang menentukan sensitifitasnya terhadap
cuaca. Misalnya angin silang (cross wind) di landasan terbang yang bekecepatan 20 knot, mungkin
dapat menimbulkan bahaya bagi pesawat kecil yang melakukan pendaratan, tetapi tidak ada
pengaruhnya bagi pesawat terbang besar dan modern. Dari posisi terbang, angin 20 knot pada
paras penerbangan 30.000 kaki tidak terasakan bagi pesawat besar yang terbang pada paras
tersebut, tetapi bila terjadi pada paras rendah sangat berarti bagi pesawat terbang kecil yang
terbang pada paras tersebut. Dengan demikian kriteria membahayakan bergantung juga kepada
macam penerbangan. Namun demikian karena setiap pesawat terbang mempunyai tiga kegiatan
yang sama, yakni tinggal landas, terbang, dan mendarat maka penggunaan arti bahaya dalam
penerbangan umumnya diterapkan untuk masing-masing kegiatan tersebut.
Apa peran cuaca dalam pendaratan dan tinggal landas pesawat terbang ?
Pendaratan dan tinggal landas tergolong masa kritis bagi penerbangan. Untuk pendaratan, faktor
cuaca yang mempunyai potensi membahayakan antara lain :
Angin silang, yang dapat melencongkan arah pendaratan atau tinggal landas. Angin haluan, yang
dapat mengakibatkan penggunaan landasan terlalu panjang. Geser angin vertikal, geser angin
horizontal, dan golak-galik, yang dapat melencongkan arah pendaratan atau tinggal landas dan
dapat menimbulkan pesawat terjungkal. Langkisau, yang dapat menghambat, melencongkan arah
pendaratan atau tinggal landas, atau pesawat terdorong. Banglas yang rendah, mengganggu
penglihatan sehingga pendaratan atau tinggal landas yang dilakukan secara visual tidak dapat
dilakukan dengan tepat. Tekanan dan suhu udara di permukaan landasan atau Bandar udara,
digunakan untuk penyetelan altimeter dan perhitungan altitud kepadatan. Kesalahan pengamatan
tekanan atau kesalahan pengesetan altimeter dapat menjatuhkan pesawat karena pesawat terbang
mendarat tidak tepat sesuai dengan elevasi landasan. Longsoran udara dari awan Kumulonimbus,
yang mengganggu pendaratan atau tinggal landas pesawat karena energi yang besar, pusaran yang
kuat, dan arah angin yang menyebar ke segala arah.
Bagi pesawat terbang yang sedang dalam penerbangan, faktor cuaca dapat dimanfaatkan tetapi
juga ada yang mempunyai potensi membahayakan. Yang dapat dimanfaatkan antara lain : angin,
tekanan udara yang dapat dimanfaatkan untuk menetapkan jalur terpendek atau waktu terbang yang
sependek mungkin. Yang mempunyai potensi membahayakan antara lain: gelombang udara yang
berkaitan dengan angin kencang, gelombang gunung, golak-galik (turbulence) di dalam awan,
golak-galik di luar awan atau golak-galik udara cerah (clear air turbulence = CAT), peng-es-an
(icing), kilat.
Bagaimana mengenali gelombang udara?
Secara mudah gelombang udara dapat dikenali dari goncangan pesawat terbang yang sedang
dalam penerbangan. Selain itu dapat pula dikenali dari susunan dan bentuk awan, misalnya dengan
adanya jajaran garis–garis awan Sirus, adanya awan tudung, awan dengan varietas lentikularis atau
bentuk lensa, awan rotor.
Dalam udara cerah dapat timbul golak-galik yang lazim dinamakan “golak-galik udara cerah (clear
air turbulence = CAT)” yang terjadinya tidak ditandai dengan fenomena yang tampak. Biasanya
terjadi dalam troposfer. Golak-galik udara cerah tersebut sulit dipelajari karena skalanya kecil
dibandingkan dengan skala atmosfer. Disamping itu waktu terjadinya umumnya pada bagian akhir
dari waktu peluruhan proses termodinamik dari energi kinetik karena pemanasan dalam atmosfer.
Tempat terjadinya umumnya di dekat lereng gunung pada ketinggian atmosfer kurang dari 2 km, di
daerah perenggan, dalam udara di atas Kumulonimbus yang sangat tinggi sampai stratosfer bawah,
dan di daerah sekitar arus jet (jet stream) yaitu daerah dengan angin berkecepatan tinggi di lapisan
udara atas. Laju pertumbuhan golak-galik udara cerah dinyatakan dengan rumus (Chandrasekar
1961, dikutip Beer Tom - 1964) sebagai berikut:
Im(ω) = ½ k[(δU)2 – 2(g/k) δr/r ] ½ (7.2)
dengan Im(ω) menyatakan bilangan imaginer dari ω; ω = frekuensi sudut (angular frequency) ; k =
bilangan gelombang = 2π/λ, λ = panjang gelombang; δU = beda kecepatan angin antar lapisan
udara; g = percepatan gravitas bumi; δr = beda rapat massa udara antar lapisan udara. Dari rumus
tersebut mudah difahami bahwa apabila nilai [(δU)2 – 2(g/k) δr/r] >= 0 tidak ada nila Im(ω) berarti
tidak terjadi golak-galik udara cerah.
Penerbangan tengah adalah penerbangan pada paras tengah antara 3 km dan 8 km. Penerbangan
pada paras tersebut masih mengalami banyak perubahan arah dan kecepatan angin, masuk-keluar
di bagian tengah dan bagian atas awan, serta dalam udara bersuhu sekitar 0 oC dan atau di atas
paras beku (paras dengan suhu 0 oC), serta dalam udara bertekanan rendah. Penerbangan tengah
sering melewati dan terbang di dalam serta di puncak awan. Pengaruh awan Kumulus tinggi dan
Kumulonimbus masih cukup besar. Peng-es-an mudah terjadi dalam paras penerbangan tengah;
selain suhu udaranya rendah kadar air dalam udara msih cukup tinggi. Oleh karena itu informasi
tentang kedua jenis awan tersebut sepanjang jalur dan wilayah penerbangan sangat diperlukan.
Dalam upaya efisiensi dan keselamatan penerbangan selain harus memperhatikan kondisi sarana
dan prasarana penerbangan serta kondisi pesawat terbang, cuaca selalu harus diperhatikan dalam
pengambilan keputusan. Pada dasarnya cuaca mempunyai andil besar dalam menentukan rencana
dan keputusan untuk tinggal landas, keputusan mendarat, dan keputusan-keputusan selama dalam
penerbangan.
Informasi cuaca penerbangan yang diterima penerbang digunakan untuk operasional penerbangan,
baik informasi cuaca untuk persiapan lepas landas, selama dalam penerbangan, maupun informasi
cuaca untuk persiapan mendarat.
Informasi cuaca bandar udara keberangkatan yang diterima sebelum lepas landas atau akan
mendarat antara lain digunakan untuk menentukan dari arah mana pesawat terbang akan lepas
landas atau mendarat. Hal ini berkaitan dengan arah angin di bandar udara saat itu, dimana
pesawat terbang akan lepas landas atau mendarat dengan arah berlawanan dengan arah angin.
Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang selalu diperhatikan, yakni pengesetan altimeter, penentuan
ketinggian terbang, dan penentuan terbang minimal.
Altimeter adalah alat yang digunakan untuk menaksir ketinggian di dalam atmosfer. Ada tiga istilah
yang sering digunakan untuk mengatakan tinggi dalam penerbangan, yakni ketinggian (height),
altitude (altitude), dan elevasi (elevation).
Ketinggian, adalah ukuran jarak vertikal letak suatu titik, atau benda, atau paras, yang diukur dari
datum atau tinggi rujukan tertentu.
Altitud adalah jarak vertikal letak suatu titik, benda, atau paras yang diukur dari permukaan laut atau
permukaan laut rata-rata.
Elevasi adalah jarak vertikal dari suatu titik, atau benda, pada permukaan bumi diukur dari
permukaan laut.
Untuk mengetahui ketinggian terbang, pesawat terbang umumnya dilengkapi dengan altimeter
tekanan, ialah altimeter yang bekerjanya berdasarkan pengukuran tekanan udara. Tetapi pesawat
terbang modern, selain dilengkapai dengan altimeter tekanan juga dilengkapi dengan altimeter radio
atau radar. Dengan prinsip pemantulan gelombang radio, altimeter radio dapat menunjukkan
ketinggian pesawat terbang di atas permukaan bumi. Oleh karena itu altimeter radio dikenal sebagai
altimeter mutlak, sedangkan altimeter tekanan menunjukkan ketinggian nisbi, yaitu altitud atau
ketinggian dari permukaan laut. Apabila pesawat terbang di atas laut altimeter tekanan dan altimeter
radio menunjukkan ketinggian yang sama. Tetapi bila terbang di atas daratan, altimeter tekanan
menunjukkan ketinggian lebih tinggi dibandingkan dengan altimeter radio.
Bagi pesawat terbang yang hanya dilengkapi dengan altimeter tekanan, pengesetan altimeter
sangat penting dan harus dilakukan dengan cermat agar pesawat terbang dapat didaratkan dengan
tepat diatas landasan pacu. Pengesetan dilakukan dengan menyesuaikan skala altimeter pada
besarnya tekanan di Bandar udara yang dikoreksi dengan tekanan permukaan laut (QNH).
Dalam altimeter, hubungan antara ketinggian dan tekanan mengikut rumus empirik :
H = 221,15 Tm log (Po/P),
dengan H = ketinggian dari permukaan laut (altitud) dinyatakan dalam kaki; Tm = suhu udara rata-
rata dari permukaan laut sampai tinggi H dinyatakan dalam oK; Po = tekanan atmosfer pada
permukaan laut; dan P = tekanan atmosfer pada ketinggian H.
Namun demikian dalam praktek untuk menetapkan koreksi ke permukaan laut yang digunakan
untuk pengesetan altimeter diperlukan patokan tekanan di atas permukaan laut tertentu. Tekanan
permukaan laut tersebut diambil dari atmosfer baku ICAO. Dengan demikian perhitungan dengan
menggunakan rumus tersebut hasilnya dapat berbeda dengan bila menggunakan model atmosfer
baku ICAO.
Dalam Glossary of Meteorology, atmosfer baku ICAO ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut :
§ Ketinggian permukaan atau paras muka laut rata-rata (mean sea level) = 0 meter;
§ Tekanan udara permukaan 1013,25 mb (hPa)
§ Suhu udara permukaan 15 oC;
§ Laju susut suhu vertikal sampai tinggi 11 km (ketinggian tropopause) sebesar 6,5 oC/km atau
1,98 oC/ 1000 kaki.
Selanjutnya sejak tahun 1956 dikembangkan lagi dengan:
§ Laju susut suhu dari 11 km sampai 25 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 25 km sampai 47 km sebesar +3 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 47
km sebesar + 9,5oC ;
§ Laju susut suhu dari 47 km sampai 53 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 53 km sampai 75 km sebesar – 3,9 oC/km, sehingga suhu pada 75 km
sebesar – 76,3 oC;
§ Laju susut suhu dari 75 km sampai 90 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 90 km sampai 126 km sebesar + 3,5 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian
126 km sebesar + 49,7 oC (suhu skala molekul);
§ Laju susut suhu dari 126 km sampai 175 km sebesar +10 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian
175 km sebesar + 539,7 oC;
§ Laju susut suhu dari 175 km sampai 500 km sebesar + 5,8 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian
500 km sebesar + 2424,7 oC.
Altitud yang bersangkutan dengan tekanan dalam standar atmosfer ICAO disebut “altitud tekanan
(pressure altitude)atau ketinggian tekanan (pressure height)”.
Untuk pengesetan altimeter diperlukan nilai ketinggian tekanan dan QNH. Dalam satuan tekanan,
ketinggian tekanan (PH) dinyatakan dengan rumus :
PH = Pml – QFE
dengan Pml = tekanan pada pemukaan laut atmosfer baku ICAO; QFE tekanan barometer pada
Bandar udara yang tidak dikoreksi ke permukaan laut. Cara menghitung ketinggian tekanan dan
QNH seperti pada contoh berikut.
Misalkan di suatu Bandar udara elevasinya 3000 kaki dan tekanan barometer 930 hPa (tekanan
sebenarnya yang tidak dikoreksi dengan permukaan laut = QFE). Maka dengan menggunakan
kriteria atmosfer baku ICAO diperoleh :
(1) Ketinggian tekanan (PH) = 1013,25 – 930 = 83,25 hPa.
(2) Ketinggian tekanan 83,25 hPa setara dengan ketinggian H = 2331 kaki. Nilai tersebut dihitung
dengan cara seperti berikut :
Dalam atmosfer baku ICAO untuk ketinggian dibawah 5000 kaki 1 hPa setara dengan 28 kaki. Maka
ketinggian tekanan 83,25 hPa tersebut setara dengan 83,25 x 28 = 2331 kaki.
(3) QNH dihitung dengan rumus:
QNH = Pml + (HICAO – E)/28
(untuk E <= 5000 kaki)
atau,
QNH = Pml + (HICAO – E)/30
(untuk E > 5000 kaki)
dengan HICAO = tinggi setara tekanan dalam atmosfer baku ICAO; E = elevasi Bandar udara.
Dengan rumus tersebut diperoleh :
QNH = 1013,25 + (2331 – 3000)/28
= 1037,142 hPa.
Dari perhitungan tersebut maka pengesetan altimeter dilakukan dengan menempatkan skala
altimeter nol pada 1037,142 hPa. Pengsetan tersebut diperlukan agar pendaratan pesawat terbang
dapat dilakukan dengan tepat.
Sebagai contoh, misalnya terjadi kesalahan pengesetan altimeter sebesar 1 hPa lebih kecil dari
tekanan udara yang semestinya. Karena selisih tekanan udara sebesar 1 hPa setara dengan
ketinggian 28 kaki, maka dengan kesalahan tersebut penerbang memperhitungkan bahwa pesawat
sudah pada titik sentuh landasan (touch down) yang seharusnya, padahal yang sebenarnya
pesawat terbang masih pada ketinggian 28 kaki dari landasan. Dengan demikian pesawat terbang
mendarat melewati titik sentuh landasan yang seharusnya (gambar 9).
Keadaan atmosfer tidak tetap, sedangkan atmosfer baku ditetapkan berdasarkan model dan nilai
rata-rata. Oleh karena itu sering terdapat perbedaan antara keadaan sebenarnya dan hasil
perhitungan dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO. Beda ketinggian menurut atmosfer
baku ICAO dan ketinggian sebenarnya disebut NIlai–D (D-value).
D = Z – h (7.6)
dengan Z = ketinggian yang dihitung menurut kriteria atmosfer baku ICAO, sama dengan ketinggian
tekanan atau altitud tekanan; dan h = ketinggian sebenarnya dari permukaan bumi.
Bila pesawat terbang dilengkapi dengan altimeter tekanan dan altimeter radio, nilai Z dapat
diperoleh dari pengukuran dengan altimeter tekanan, dan h dari pengukuran dengan altimeter radio
Misalkan di suatu Bandar udara elevasinya 3000 kaki dan tekanan barometer 930 hPa (tekanan
sebenarnya yang tidak dikoreksi dengan permukaan laut = QFE) seperti pada contoh dalam butir
7.2.1.1, maka menurut pengukuran pada elevasi atau ketinggian 3000 kaki tekanannya 930 hPa.
Tetapi kalau dihitung dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO, tekanan 930 hPa terdapat
pada ketinggian 2331 kaki. Dengan demikian :
Nilai-D = 2331 – 3000 = – 669 kaki.