Disusun oleh :
Robiq Firly (112015337)
Theresa Shanty Anjela Dominggo ()
Pembimbing:
dr. Henny Komalia, Sp.A
0
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................1
ADHD .............................................................................2
1. Latar Belakang.......................................................2
2. Definisi ..........................................................3
3. Epidemiologi ........................................................4
4. Etiologi ................................................................4
5. Patofisiologi...........................................................6
6. Klasifikasi...............................................................8
7. Manifestasi klinis ................................................10
8. Diagnosis .............................................................12
9. Diagnosis Banding...............................................15
10. Tatalaksana ..........................................................1
6
11. Prognosis .............................................................2
9
12. Kesimpulan...........................................................
31
13. Daftar Pustaka ....
……….....................................33
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Adanya kesenjangan antara perkembangan fisik,
sosial dan psikologik yang berbeda pada masa anak dan
remaja dapat menyebabkan masalah mental. Dalam
proses perkembangannya dapat menimbulkan stress dan
mereka harus bisa mengatasinya. 1
Gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas, atau sering dikenal dengan Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan
gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada
anak-anak dan remaja dengan prevalensi ADHD pada
anak usia sekolah adalah 8 - 10 persen. 2,3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
merupakan sekelompok masalah yang berkenaan dengan
perhatian, konsentrasi, impulsivitas, dan overaktivitas
yang timbul selama awal masa kanak-kanak dan muncul
pada berbagai keadaan menandai suatu sindrom tingkah
laku.5 ADHD ditandai oleh rentan perhatian yang buruk
yang tidak sesuai dengan perkembangan atau ciri
hiperaktivitas dan impulsivitas atau keduanya yang tidak
sesuai dengan usia.6
Menurut American Academy Pediatrics (AAP),
gangguan yang diketahui dalam kelompok gangguan
ADHD adalah suatu kondisi neurologis kronis yang
diakibatkan dari adanya gangguan fungsi pada sistem
saraf dan tidak berkaitan dengan jenis kelamin, tingkat
kecerdasan, atau lingkungan kultural.5
3
2.2 Epidemiologi
Laporan tentang insidensi ADHD di Amerika
Serikat adalah bervariasi dari 2-20% pada kelompok usia
anak sekolah dasar. Anak laki-laki memiliki insidensi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan,
dengan rasio 3:1 sampai 5:1.6 Gangguan paling sering
ditemukan pada anak laki-laki pertama, dan pada
setengah kasus, usia pada saat gangguan pertama kali
terjadi di bawah 3 tahun.7
Gangguan sistem saraf sentral dan neurologis
berperan sebagai faktor yang memberi kecendrungan
pada sindrom ini.7 Orangtua dari anak-anak dengan
ADHD menunjukkan peningkatan insidensi hiperkinesis,
antisosial, gangguan penyalahgunaan alkohol, gangguan
konversi serta tingkah laku.6
2.3 Etiologi
Penyebab ADHD biasanya diklasifikasikan
berdasarkan waktu terjadinya, yaitu 9 :
1. Penyebab prenatal, termasuk abnormalitas
perkembangan otak, anemia maternal, toksemia
dalam kehamilan, pengguanaan alkohol dan kokain,
4
dan merokok. Faktor lingkungan lain yang dicurigai
berpengaruh, antara lain paparan timbal, pestisida,
kurangnya iodin dan hipotiroid. Infeksi virus,
terutama influenza dan eksantema pada trimester
pertama kehamilan atau pada saat kelahiran, biasanya
berhubungan dengan diagnosis ADHD.
2. Penyebab perinatal, termasuk kelahiran prematur,
letak sungsang, anoxic-ischaemic-encephalopathy,
perdarahan otak, meningitis, dan encephalitis.
3. Penyebab postnatal, termasuk cedera kepala,
meningitis, encephalitis, serangan otitis media yang
sering, atau rendahnya kadar gula dalam darah. Obat-
obatan asma dan epilepsi, sering menyebabkan atau
memicu munculnya perilaku hiperaktif. Pengaruh
makanan terhadap ADHD masih merupakan
kontroversi. Konsumsi bahan pengawet dan pemanis
buatan, kurangnya asam lemah omega-3, kurangnya
zat besi dan anemia merupakan penyebab yang
potensial. Lebih jarang lagi, disfungsi hormon tiroid
dihubungkan dengan kejadian ADHD.
2.4 Patofisiologi
5
Salah satu faktor penyebab ADHD adalah adanya
pengaruh genetik. Pada ADHD terjadi disregulasi
neurotransmitter tertentu di dalam otak yang membuat
seseorang lebih sulit untuk memiliki atau mengatur
stimulus-stimulus internal dan eksternal. Beberapa
neurotransmiter, termasuk dopamine dan norepinephrine,
mempengaruhi produksi, pemakaian, pengaturan
neurotransmiter lain juga beberapa struktur otak. Adanya
peningkatan ambilan kembali dopamine ke dalam sel
neuron daerah limbic dan lobus prefrontal dikatakan
mengendalikan fungsi eksekutif perilaku.
Fungsi eksekutif bertanggung jawab pada ingatan,
pengorganisasian, menghambat perilaku,
mempertahankan perhatian, pengendalian diri dan
membuat perencanaan masa depan. Hal ini menyebabkan
kemudahan mengalami gangguan dan ketiadaan
perhatian dari sudut pandang fungsi otak adalah
kegagalan untuk “menghentikan” atau menghilangkan
pikiran-pikiran internal yang tidak diinginkan atau
stimulus-stimulus kuat. (Elvira SD, Hadisukanto G,
2010)
6
Selain faktor genetic yang berperan, ada juga
pengaruh dari factor lingkungan. Misalnya, paparan
alkohol prenatal diketahui menginduksi anomaly
structural otak, terutama di cerebellum. Anak-anak yang
terpapar alcohol sebelum lahir dapat menjadi hiperaktif,
impulsif, dan berada pada peningkatan risiko berbagai
gangguan kejiwaan.
Kemudian ada juga pengaruh dari ibu yang
merokok. Ibu merokok menghasilkan 2,7 kali lipat
peningkatan risiko ADHD, dan hubungan dosis-respons
antara ibu yang merokok selama kehamilan dan kejadian
anak hiperaktif telah ditemukan. Hal ini mungkin karena
efek pada reseptor nicotinic, yang memodulasi aktivitas
dopaminergik. Gangguan dopaminergik seperti yang
dijelaskan pada paragraf sebelumnya berpengaruh pada
kejadian ADHD (Curatolo et al, 2010).
2.5 Klasifikasi
7
Menurut American Psychiatric Association,
sesuai dengan DSM-IV, ADHD dibedakan menjadi 3
subtipe, yaitu 8:
1. ADHD tipe inatentif, sekurang-kurangnya terdapat
enam dari sembilan gejala yang menetap selama 6
bulan atau lebih, dan sering muncul pada saat
aktivitas sekolah atau bermain. Gejala tersebut,
antara lain:
a. Sering melakukan kesalahan dan tidak berhati-
hati dalam tugas sekolah, pekerjaan, atau
aktivitas lain.
b. Mengalami kesulitan dalam memusatkan
perhatian atau atensi terhadap tugas atau aktivitas
c. Tidak tampak mendengarkan jika berbicara
langsung
d. Gagal dalam menyelesaikan tugas atau kewajiban
e. Mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan
aktivitas
f. Menghindari tugas yang memerlukan usaha
mental yang lama (misalnya tugas sekolah)
g. Sering kehilangan sesuatu (misalnya alat tulis)
h. Mudah dialihkan perhatiannya oleh stimuli luar
8
i. Sering lupa
2. ADHD tipe hiperaktif-impulsif, terdapat enam atau
lebih gejala yang menetap selama enam bulan.
Gejala hiperaktif, yaitu:
a. Sering terlihat gelisah dengan tangan dan kaki
atau menggeliat di tempat duduk.
b. Meninggalkan tempat duduk di kelas
c. Sering berlari-lari atau memanjat secara
berlebihan dalam situasi yang tidak tepat
d. Tidak dapat bermain atau beraktivitas dengan
tenang
e. Sering “siap-siap pergi” atau bertindak seakan-
akan “didorong” oleh sebuah motor
f. Bicara berlebihan
9
3. ADHD tipe kombinasi, adanya gejala yang termasuk
dalam tipe inatensi dan hiperaktif-impulsif yang
menetap selama 6 bulan.
10
secara benar; atau berpindah dari tugas satu ke tugas
yang lain.
v. Labilitas emosional.
Adanya tingkah laku yang tidak diinginkan secara
sosial, seperti ledakan emosi, berkelahi, dan
kegembiraan yang berlebihan.
2.7 Diagnosis
Menurut AAP, diagnosis ADHD ditegakkan
berdasarkan guideline diagnosis, yaitu 9 :
11
1. Evaluasi ADHD dimulai pada usia 6-12 tahun
dengan inatensi, hiperaktif, impulsivitas, prestasi
akademik yang buruk atau gangguan kepribadian.
2. Anak harus memenuhi kriteria seperti yang
tercantum pada DSM-IV untuk ADHD.
3. Bukti ADHD harus diperoleh secara langsung dari
orangtua atau pengasuh, sesuai dengan gejala pada
berbagai situasi, durasi munculnya gejala dan derajat
gangguan fungsi.
4. Bukti ADHD harus diperoleh secara langsung dari
guru.
5. Kondisi yang berhubungan harus diperiksa.
6. Pemeriksaan diagnosis lainnya dapat diindikasikan
pada gangguan belajar atau mental.
Anamnesis
Informasi terperinci mengenai tingkah laku anak
di tingkah laku anak di sekolah dan di rumah sebaiknya
diperhatikan, terutama berkenaan dengan frekuensi,
beratnya dan konteks masalah dengan perhatian,
impulsivitas, dan hiperaktivitas. Adanya tingkah laku
terkait, misalnya labilitas emosional dan keterampilan
12
organisasi yang buruk sebaiknya juga dipastikan. Aspek
lain yang penting pada fungsi di sekolah adalah
pencapaian akademik anak tersebut.5
Riwayat perinatal sebaiknya diulas untuk melihat
adanya masalah yang berkaitan dengan defisit perhatian,
misalanya konsumsi alkohol atau obat-obatan maternal
selama kehamilan. Masalah kesehatan pada awal masa
kanak-kanak yang memiliki relevansi khusus adalah
otitis media rekuren atau persisten, keracunan timbal,
anemia defisiensi besi dan cedera yang sering akibat
aktivitas yang berlebihan. Riwayat keluarga dan riwayat
sosial dapat mengidentifikasi faktor genetik atau
lingkungan yang memberikan kontribusi.5
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memiliki peran terbatas, tetapi
penting pada evaluasi anak yang mengalami ADHD.
Observasi umum dapat menunjukkan adanya gangguan
mood, kesedihan atau ansietas. Observasi langsung pada
rentang perhatian dan tingkat aktivitas harus
diinterpretasikan secara hati-hati karena tingkah laku
13
anak di tempat periksa dapat sangat berbeda dari tingkah
lakunya di kelas atau rumah.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya
peningkatan jumlah gambaran atipikal, seperti rambut
“elektrik”, lipatan epikantus, letak telinga yang rendah,
arkus palatum yang tinggi, klinodaktili, dan peningkatan
jarak antara jari kaki pertama dan kedua pada anak
dengan ADHD. Namun, sebagian besar anak dengan
ADHD tidak memilki ciri fisik tersebut. Pemeriksaan
fisik harus meliputi penglihatan dan skrining
pendengaran, karena defisit sensoris dapat
mengakibatkan kurangnya perhatian dan hiperaktivitas.5
14
dilakukan pada anak yang beresiko karena riwayat
nutrisi atau status sosioekonomi.
Prevalensi kelainan tiroid dilaporkan lebih tinggi
pada anak yang mengalami ADHD daripada populasi
normal, sehingga sebaiknya dilakukan tes fungsi tiroid.
Pemeriksaan neurologik rutin (CT-scan kepala, MRI)
atau pemeriksaan neuropsikologik (EEG, neurometrik,
atau pemetaan aktivitas listrik otak) tidak berperan pada
anak yang mengalami ADHD.5
2.9 Tatalaksana
2.9.1 Terapi non farmakologis
Pengobatan anak dengan ADHD harus sesuai
pada setiap individu, ditujukan baik untuk karakteristik
intrinsik lingkungan yang relevan.5 Sebagai tambahan
15
penggunaan obat-obatan, regimen terapi yang penting
termasuk 9:
1. Intervensi psikologis dan psikososial
2. Konseling orang tua dan keluarga
3. Modifikasi tingkah laku dan/atau konseling anak.
American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan guideline terapi ADHD, yaitu 9:
1. Dokter harus mengenali ADHD sebagai suau kondisi
kronis.
2. Hasil yang ingin dicapai harus dispesifikan untuk
memandu penatalaksanaan.
3. Obat-obatan stimulan dan/atau terapi perilaku
direkomendasikan untuk meningkatkan hasil yang
ingin dicapai.
4. Ketika metode penatalaksanaan yang terpilih tidak
memberikan hasil yang diinginkan, dokter harus
mengevaluasi diagnosis awal, menggunaka terapi
yang sesuai dan memikirkan kondisi yang ada
sebelumnya.
5. Efek terapi dipantau melalu kunjungan rutin setiap 3-
6 bulan.
16
6. Jika salah satu jenis stimulan tidak bekerja pada
pemberian dosis tertinggi yang memungkinkan,
pemberian stimulan jenis lainnya harus
dipikirkan.lainnya.
Pendidikan khusus
Pelayanan pendidikan khusus dan tutor sebaiknya
ditujukan untuk penundaan akademik serta tidak
kemampuan belajar spesifik. Program pendidikan
sebaiknya dirancang untuk menciptakan kesempatan
bagi anak untuk mengalami keberhasilan dan
meningkatkan harga diri.
17
Intervensi diet
Ada sedikit bukti mengenai keuntungan
pemberian suplemen mineral (besi, magnesium, seng)
pada ADHD/gangguan hiperkinetik. Beberapa bukti
menyebutkan kadar seng yang rendah pada rambut dan
urin berkaitan dengan respon yang buruk terhadap
methylphenidate, meskipun belum terdapat studi yang
menyebutkan bahwa suplementasi seng dapat
memperbaiki respon terhadap obat. Suplementasi asam
lemak esensial mungkin bermanfaat, khususnya pada
individu yang kadar asam lemak tak jenuhnya rendah.
Namun belum ada bukti yang cukup untuk mendukung
pemakaian rutin suplementasi mineral untuk manajemen
ADHD (Konofal et al., 2008).
18
lebih. Medikasi tidak direkomendasikan untuk usia pre
sekolah.
Inisiasi terapi farmakologis anak ADHD harus di
bawah kendali dokter spesialis, baik psikiatrik anak dan
remaja maupun pediatrik, yang telah menjalani pelatihan
penggunaan dan monitoring medikasi psikotropik.
Harus dilakukan penilaian fisik dasar terlebih
dahulu sebelum terapi farmakologis dimulai, minimal
meliputi : nadi, tekanan darah, berat dan tinggi badan
dengan grafik centile yang sesuai dalam ukuran
parameter. EKG sebaiknya dipertimbangkan pada kasus-
kasus tertentu. Klinisi harus menginformasikan
keuntungan potensial dan efek samping medikasi.
Keuntungan lanjutan dan kebutuhan untuk medikasi
dinilai minimal 1 tahun sekali.
1) Psikostimulan
Psikostimulan yang biasa digunakan di USA
adalah methylphenidate (MPH) dan dexamphetamine
(DEX). Methylphenidate tersedia dalam bentuk
immediate atau modified release untuk memfasilitasi
medikasi sepanjang hari. DEH digunakan untuk anak
usia 2 tahun atau lebih, sedangkan MPH untuk usia 6
19
tahun atau lebih. DEX efektif untuk mengatasi gejala inti
ADHD/ gangguan hiperkinetik. Psikostimulan
merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi gejala
inti ADHD atau gangguan hiperkinetik.
Efek samping yang paling sering muncul:
insomnia, nafsu makan berkurang, nyeri perut, sakit
kepala dan pening. Sebagian besar efek samping
psikostimulan jangka pendek sering berkaitan dengan
dosis dan bersifat subyektif. Efek samping akan
berkurang dalam waktu 1-2 minggu dari awal terapi dan
akan hilang jika terapi dihentikan atau dosisnya
diturunkan dan biasanya nampak pada anak usia pre-
sekolah.
Saat pertama kali memberikan dan menitrasi
psikostimulan, kontak reguler antara keluarga dan klinisi
sangatlah penting karena berkaitan dengan pertanyaan
dan penilaian yang diperlukan.
Jika telah diberikan dosis efektif, maka perlu
dilakukan review secara teratur untuk mengecek tingkat
perilaku dan efek sampingnya, tinggi/berat badan dan
tekanan darah. Keadaan berat badan ideal serta
pengukuran tinggi badan dan penghitungan centil
velocity memungkinkan untuk deteksi dini masalah
20
pertumbuhan yang signifikan, meskipun ini jarang
terjadi. Tes darah sebaiknya dilakukan berdasarkan
kebijakan klinisis dan hanya jika diindikasikan secara
klinis.
Pemberian resep psikostimulan dimulai dengan
dosis sekecil mungkin dan titrasi dengan jadwal 2-3 kali
sehari, tingkatkan dosis dengan interval per minggu
sampai didapatkan respon yang memuaskan atau efek
samping yang mengganggu. Perlu diingat bahwa efek
samping psikostimulan berkaitan dengan dosis, maka
tentukan dosis efektif terendah yang menghasilkan efek
terapeutik maksimum dan efek samping minimum.
Rekomendasi dosis terutama dosis harian maksimum
yang disarankan, belum ditentukan oleh penelitian.
Secara tradisional pendekatan pada jadwal obat yang
teliti telah dianjurkan dengan regimen yang ditentukan
secara empiris.
Tabel 1: Dose Ranges in Literature for Psychostimulant
Treatment
21
Findling and 0.3 - 0.8 -
Dogin, 1998 124 mg/kg/dose
22
Jika terdapat gangguan hiperkinetik/ADHD
persisten sampai pada usia dewasa atau pada kasus-kasus
dimana gejala inti cepat timbul kembali bila
psikostimulan dihentikan, maka diperlukan terapi jangka
panjang. Jika tidak ada perbedaan berarti pada perilaku
anak saat ia menjalani/ tidak menjalani pengobatan,
maka terapi bisa dihentikan untk periode yang lama. Jika
tak ada perbedaan yang besar pada anak yang menjalani
terapi dan kesukaran perilaku tetap berlanjut, maka perlu
untuk mengevaluasi kembali dosisnya, mengganti
dengan medikasi lain, atau mengevaluasi ulang strategi
psikologis dan behavioralnya. Psikostimulan tak perlu
dihentikan pada onset pubertas karena keefektifannya
baik pada remaja dan dewasa.
2) Atomoxetine
Peresepan atomoxetine untuk individu dibawah
70 kg didasarkan pada berat badannya. Atomoxetine
dimulai dengan dosis awal rendah 0,5 mg/kg/hari
minimal 7 hari sebelum ditingkatkan ke dosis
maintanance 1,2 mg/kg/hari.
Pengaruh atomoxetine bisa tidak nampak selama
4 minggu atau lebih. Saat terapi dimulai, keefektifannya
23
akan timbul selama periode 24 jam atau lebih dengan
kemungkinan efek yang lebih besar pada 12 jam atau
lebih dari waktu setelah minum obat. Kombinasi awal
jangka pendek medikasi psikostimulan mungkin perlu
selama fase transisi.
Atomoxetine direkomendasikan untuk terapi
gejala inti ADHD/ gangguan hiperkinetik pada anak
yang tidak cocok, intoleransi atau inefektif dengan
medikasi psikostimulan. Pada pemberian atomoxetin,
klinisi harus mereview minimal selama 6 bulan, meliputi
penilaian keefektifan, efek samping dan pengaruhnya
terhadap pertumbuhan, nadi, tekanan darah
menggunakan grafik persentil. Monitoring tambahan
diperlukan pada penderita yang memiliki resiko
kardiovaskuler, hepatobilier, kejang dan resiko bunuh
diri besar.
24
TCAs dipetimbangkan untuk terapi gejala
behavioral ADHD/ gangguan hiperkinetik. Kelompok
obat ini lebih berpengaruh pada gejala behavioralnya
daripada terhadapa gejala kognitifnya. TCAs memiliki
batas keamana yang lebih sempit daripada
psikostimulan, disertai dengan rentang efek samping
potensial yang lebih lebar.
Antidepresan trisiklik tidak boleh digunakan
rutin untuk terapi ADHD/ gangguan hiperkinetik pada
anak dan hanya digunakan pada anak yang tidak respon
terhadap medikasi yang dianjurkan.
Efek samping yang biasanya muncul meliputi
anoreksia, mulut kering ( dengan rasa logam dan asam),
pening, ngantuk, letargi dan insomnia, disertai dengan
gejala antikolinergik lainnya. Iritabilitas, mania, mudah
lupa, dan bingung merupakan tanda-tanda toksisitas
sistem saraf pusat. TCAs khususnya desipramine,
memiliki potensi kardiotoksik. Dosis harian total rata-
rata berdasarkan trial klinis 2,2 mg.kg/hari, dengan
rentang 0,7-6,3 mg/kg.hari untuk imipramine,
desipramine, amitriptilin dan klormipramin, sedang 0,4-
4,5 mg/kg/ hari untuk nortriptilin.
25
Rencana terapi didasarkan pada kondisi masing-
masing individu, namun sebaiknya tetap dilakukan
pengukuran berikut :
Vital sign, pemeriksaan kardiovaskuler, dan EKG
(nb. EKG belum berarti bebas dari efek
kardiotoksik). Monitoring EKG sebaiknya dilakukan
sebelum dan sesudah terapi. Dan hati-hati pada
pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung
personal dan keluarga.
Titrasi dosis sedikit demi sedikit dengan interval
beberapa hari sambil dimonitor efek sampingnya
sampai target kira-kira 1-2 mg/kg/hari untuk
imipramin dan amitriptilin serta 0,5-1 mg/kg/ hari
untuk nortriptilin.
Jika tingkat dosis telah ditentukan, nilai ulang dan
tanyakan mengenai efek samping dan perilakunya
secara klinis.
Disarankan mengecek EKG dan serum level jika
menggunakan dosis di luar batas.
Reaksi withdrawal TCAs yang cepat perlu
dihindari meliputi malaise, menggigil, gejala coryzal,
sakit kepala, muntah dan nyeri otot. Social withdrawal,
hiperaktivitas, depresi, agitasi, dan insomnia juga dapat
26
terjadi. Pasien dengan compliance yang rendah dapat
mengalami periodic self-induced acute withdrawal yang
dapat disalahartikan sebagai efek samping obat, dosis
yang tidah adekuat, gangguan psikiatrik yang
memburuk. Dan hal ini membuat manajemen menjadi
sukar.
4) Obat lainnya
Pemakaian sejumlah obat alternatif lain dalam
manajemen ADHD/ gangguan hiperkinetik harus di
bawah pengawasan dokter spesialis. Obat alternatif
tersebut meliputi : klonidin, guanfacine, buproprion,
venlafaxine, SSRIs dan neuroleptik. Pemakaian obat
alternatif dipertimbangkan jika terdapat gangguan
komorbid (misal anxietas, depresi, tics, respon kurang
atau efek samping psikostimulan atau TCA).
27
warfarin dan beberapa antiepileptik. Fluoxetin (SSRI)
dilaporkan efektif tanpa efek samping berlebih, jika
dikombinasikan dengan psikostimulan untuk sejumlah
kesil anak dengan ADH/ gangguan hiperknetik dan
depresi komorbid, ODD, CD atau gangguan obsesif
kompulsif.
3. Prognosis
28
BAB III
Kesimpulan
29
diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadi, yaitu
prenatal, perinatal, dan postnatal.
Anak dengan ADHD biasanya menunjukkan
gejala inatensi dan perhatian mudah dialihkan,
impulsivitas, kelelahan motorik dan hiperaktivitas,
kesulitan merencanakan dan mengatur tugas, serta
labilitas emosi.
Diagnosis ADHD ditegakkan lebih berdasarkan
anamnesis dibandingkan dengan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan tambahan kurang dibutuhkan dan hanya
dikerjakan pada kondisi-kondisi tertentu. Pengobatan
anak dengan ADHD harus sesuai pada setiap individu,
ditujukan baik untuk karakteristik intrinsik lingkungan
yang relevan. Pengobatan termasuk penanganan tingkah
laku, pendidikan khusus, pengobatan dengan
medikamentosa, dan terapi tambahan. Obat-obatan
stimulan, seperti methylphenidate dan
dextroamphetamine menjadi obat pilihan lini pertama
dalam terapi farmakologis ADHD.
Sebanyak 30-60% anak dengan ADHD akan
terus memiliki gejala pada saat mereka dewasa, seperti
inatensi, disorganisasi, impulsifitas, labilitas emosi,
30
gangguan proses belajar dan gangguan pada fungsi
eksekutif.
Daftar Pustaka
31
4. Reiff MI, GA Banez, and TP Culbert. 1993. Children
who have attentional disorders: Diagnosis and
evaluation. Pediatrics in Review 14. 1993;12:455-65.
5. Sadock, Benjamin, et al. Kaplan and Sadock;s
Comprehensive Textbook of Psychiatry 9th edition.
London: Lippincott Williams and Wilkins, 2009.
6. Rudolph, Abraham, et al. Rudoph’s Pediatrics, 21st
edition. Philadephia : Mc Graw Hills, 2010.
7. Behrman, R.E, et al. Nelson Textbook of Pediatrics
19th edition. Philadelphia : WB Sauders, 2007.
8. Maslim, Rusli, ed. Buku Saku PPDGJ III. Jakarta,
1995.
9. Mullichap, J.G. Attention Deficit Hyperactivity
Disorder Handbook 2nd edition. New York : Springer
Science Media, 2010.
10. Samuels, Martin A. Manual of Neurologic
Therapeutics, 7th Edition. Boston : Lippincott
Williams & Wilkins, 2004.
11. Hill P., Taylor E. An auditable protocol for treating
attention deficit/hyperactivity disorder. London : Arch
Dis Child, 2001.
32
33