“COMBUSTIO”
Luka bakar atau yang dikenal combustio adalah kerusakan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas,
bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas
kulit dan juga menimbukan efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar
biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar.
Beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya luka
bakar, umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi prognosis.1
Pada kasus luka bakar, harus diperhatikan berbagai aspek, karena pada
kasus luka bakar memerlukan biaya yang sangat besar, perlu perawatan yang
lama, perlu operasi berulang kali, bahkan meskipun sembuh bisa menimbulkan
kecacatan yang menetap.2
Pada mulanya luka bakar merupakan topik yang dikelola oleh bedah
plastik, Namun seiring dengan perkembangan ilmu, khususnya bidang
traumatologi dan penanganan terpadu, luka bakar disadari merupakan suatu
bentuk kasus trauma yang memerlukan penanganan multidisipliner dan atau
interdisipliner.1 Oleh karena itu, penanganan luka bakar sebaiknya dikelola oleh
tim trauma yang terdiri dari tim spesialis bedah ( bedah plastik, bedah toraks,
bedah umum), spesialis penyakit dalam (khususnya hematologi, gastroenterologi,
ginjal dan hipertensi), ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikolog.1,2
Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang
relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan
untuk penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang
mengalami luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210
penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti
mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri,
angka luka bakar tersebut makin meningkat.
Luka bakar adalah masalah kesehatan public yang menyebabkan kematian
hingga 195.000 jiwa. Sebagian besar korban luka bakar terbanyak di Negara
dengan sosioekonomi menengah kebawah terutama bagian Asia.Di Negara
berkembang, kematian akibat luka bakar telah mengalami penurunan dan
kematian anak akibat luka bakar mengalami penurunan sebanyak 7 kali daripada
Negara yang sedang berkembang.
Wanita mengalami luka bakar lebih banyak daripada pria. Wanita di Asia
Tenggara mengalami luka bakar lebih sering 27% daripada Negara lainnya dan
70% lebih banyak daripada wilayah sekitarnya. Frekuensi tersebut kebanyakan
disebabkan oleh ledakan kompor gas. Selain wanita, anak – anak sering
mengalami luka bakar. Anak – anak usia 1 – 9 tahun memiliki resiko tinggi
terkena luka bakar.
Faktor resiko lainnya adalah tingginya pajanan terhadap api, wilayah padat
penduduk, merokok, pemakaian cairan kimia, pemakaian kompor gas dan alat –
alat listrik yang tidak benar.
Oleh karena itu dibutuhkan pencegahan serta penanganan yang benar
terhadap luka bakar untuk mencegah komplikasinya. Penanganan pada luka bakar
tergantung pada usia, keadaan, letak dan luasnya luka bakar. Diperlukan
penanganan intensif yang mengacu pada fisiologi cairan dan elektrolit,
pencegahan infeksi, pemeliharaan nutrisi, perawatan terhadap luka bakar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. DERMIS
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering
dianggap sebagai “True Skin”. Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang
mengandung banyak serat elstin (untuk peregangan) dan serat kolagen
(untuk kekuatan), serta sejumlah besar pembuluh darah dan ujung-ujung
saraf khusus. Jaringan penyambung padat berbentuk irregular yg
mensupport epdermis dan berikatan dng jar.subcutan ( hypodermis).
Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebal : 0,6 mm – 3
mm,pada wanita lebih tipis dibanding pria.2
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga
mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya
derivat epidermis di dalam dermis. Pembuluh darah dermis tidak hanya
memasok darah kedermis dan epidermis tetapi, juga berperan penting
dalam mengatur suhu. Kaliber pembuluh-pembuluh darah ini,dan dengan
demikian volume darah yang mengalir didalamnya dapat di kontrol untuk
mengubah-ubah tingkat pertukaran panas antara pembuluh permukaan
kulit ini dengan lingkungan eksternal. Reseptor-reseptor di ujung perifer
serat saraf aferen di dermis mendeteksi tekanan,suhu,nyeri,dan masukkan
somatosensorik lainnya. Ujung-ujung saraf eferen didermis mengontrol
kaliber pembuluh darah, ereksi rambut,dan sekresi oleh kelenjar eksokrin.
Dermis dibagi mennjadi :2
Superficial yang tipis yang dikenal dengan papilary layer, terdapat
fibroblast, serat elastin dan kolagen tipe 3 serta banyak terdapat kapiler.
Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
Dan bagian yang paling tebal yang dikenal dengan reticular layer,
Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
terdapat serat kolagen tipe 2, terisi matriks ekstrasel yang mengandung
dermatan sulfat dan glikosaminoglikan,sel fibroblas,makrofag,lymfosit
dan mast cells. Membentuk garis paralel dengan permukaan tubuh diuat
lines of Langer → surgical important minimize scar tissue.
Fungsi dermis sendiri yaitu :
Melindungi dari trauma dengan elastisitas, daya tahan dan
komponennya.
Menjaga keseimbangan cairan melalui regulasi aliran darah kulit
Termoregulasi melalui control aliran darah.
Faktor pertumbuhan dan arah kontak pada replikasi epidermis dan
perbaikan dermis.
struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan
shearing forces dan respon inflamasi.
3. Hypodermis ( subcutaneous tissue)
Hypodermis merupakan bagian dalam dari lapisan reticular layer.
Jaringan penyambung jarang terbungkus oleh serabut kolagen, serta
banyak mengandung jaringan lemak terutama bagian perut dan pinggul yg
dapat mencapai ketebalan 3 cm → lapisan ini disebut panniculus
adiposus.2 Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya
berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu.
Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi
panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock
absorber.
,
Kelenjar eksokrin kulit terdiri dari kelenjar dari kelenjar sebasea,yang
menghasilkan sebum, suatu bahan berminyak yang melunakkan dan
membuat kulit kedap air, dan kelenjar keringat, yang mengahsilkan
keringat pendingin. Folike rambut mengahsilkan rambut, yang didistribusi
dan fungsinya minimal pada manusia. Selain itu kulit juga mensintetis
vitamin D dengan adanya sinar matahari. 2
Fisiologi Kulit4
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi
dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan
sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui
merupakan salah satu fungsi kulit dalam merespon rangsang raba karena
banyaknya akhiran saraf seperti pada daerah bibir, puting dan ujung jari.
Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.
Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami
proses keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru
dan mukosa bukal. Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi
pembuluh darah kulit. Bila temperatur meningkat terjadi vasodilatasi
pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan
melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat
meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun,
pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan
mempertahankan panas.
Luka bakar Epiderm Cairan atau Gelembung Nyeri 7-20 hari Umumnya
sebagian al dan uap panas berisi cairan, bila tidak terjadi
dangkal bagian (tumpahan berkeringat, terpapar jaringan parut;
(superficial atas atau merah; memucat udara potensial
partial- lapisan percikan), dengan dan untuk
thickness dermal paparan nyala penekanan panas perubahan
burn) api pigmen
Luka bakar Epiderm Cairan atau Gelembung Terasa >21 hari Hipertrofi,
sebagian al dan uap panas berisi cairan dengan berisiko untuk
dalam dermal (tumpahan), (rapuh); basah penekana kontraktur
(deep api, minyak atau kering n saja (kekakuan
partial- panas berminyak, akibat jaringan
thickness berwarna dari parut yang
burn) putih sampai berlebih)
merah; tidak
memucat dengan
penekanan
Luka bakar Epiderm Cairan atau Putih berminyak Terasa Tidak dapat Risiko sangat
seluruh al, uap panas, sampai abu-abu hanya sembuh tinggi untuk
lapisan (full dermal, api, minyak, dan kehitaman; dengan terjadi
thickness dan bahan kimia, kering dan tidak penekana kontraktur
burn) jaringan listrik elastis; tidak n yang
subkutan tegangan memucat dengan kuat
tinggi penekanan
2.1. Komplikasi
Luka bakar dapat memberikan komplikasi pada setiap fasenya. Antara lain :
Bila luas luka bakar < 20% biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasi tetapi bila > 20 % terjadi Syok hipovolemik dengan gejala yang khas seperti
gelisah, pucat, dingin , berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan
produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan lahan dan maksimal pada
delapan jam.
Resusitasi cairan yang inadekuat pada fase ini menyebabkan berjalannya proses
sebagaimana diuraikan diatas. Sebaliknya bila terjadi kelebihan pemberian cairan
(overload) sementara sirkulasi dan perifer tidak atau belum berjalan normal, atau pada
kondisi syok; cairan akan ditahan dalam jaringan paru yang manifestasi klinisnya tampak
sebagai edema paru yang menyebabkan kegagalan fungsi paru sebagai alat pernafasan,
khususnya pertukaran oksigen dengan karbondioksida, kadar oksigen dalam darah
sangat rendah, dan jaringan hipoksik mengalami degenerasi yang bersifat irreversible.
Sel – sel otak adalah organ yang paling sensitive; bila dalam waktu 4 menit terjadi
kondisi hipoksik, maka sel – sel otak mengalami kerusakan dan kematian; yang
menyebabkan kegagalan fungsi pengaturan di tingkat sentral.
Sementara edema paru juga merupakan beban bagi jantung sebagai suatu
pompa. Pada mulanya jantung menjalankan mekanisme kompensasi, namun akhirnya
terjadi dekompensasi.
6. Kontraktur 1,9,12
Pada tahap penyembuhan luka, kontraksi akan terjadi pada hari ke-4 dimana
proses ini bersamaan dengan epitelisasi dan proses biokimia dan seluler dari
penyembuhan luka. Kontraktur fleksi dapat terjadi hanya karena kehilangan lapisan
superfisial dari kulit. Biasanya dengan dilakukan eksisi dari jaringan parut yang tidak
elastik ini akan menyebabkan sendi dapat ekstensi penuh kembali. Pada luka bakar yang
lebih dalam, jaringan yang banyak mengandung kolagen akan meliputi neurovascular
bundles dan ensheathed flexor tendons, juga permukaan volar dari sendi akan mengalami
kontraksi atau perlekatan sehingga akan membatasi range of motion. Kontraktur yang
disebabkan oleh hilangnya kulit atau luka bakar derajat III pada daerah persendian harus
segera dilakukan skin grafting.
Komplikasi
Gagal ginjal akut
Gagal respirasi akut
Syok
Sepsis
SIRS
MODS
Pendahuluan
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai
stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi
autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada
pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan
MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan
pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang
digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the
Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi
berikut selama beberapa hari, yaitu:
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan
MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi
organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses
yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan
kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal
dari SIRS.
Patofisiologi
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam
beberapa tahap.
Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar
atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator
pro-inflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan
pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin
adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi
Tumor Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL1, IL6), interferon, Colony Stimulating
Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit,
makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder
seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal
bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin
mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi
kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling
off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui
penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis
reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor
terlarut TNF (Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator
tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down
regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah
dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi
reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi
dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin
merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif
regional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas
mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang
mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi
tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar
dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan
timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan
penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu
menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi
mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi
bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat
komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam
lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain
kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit,
mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau
enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi
mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Tatalaksana
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam
pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus,
pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada
fase akut / syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow.
Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan karena akan merubah pola /
habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera
termis harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini
mungkin (eksisi dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-
kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan
segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan
kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan
metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang
mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal
ini mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme.
Komplikasi
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada
SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia
nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia,
Trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated
intravascular coagulation (DIC)
BAB III
KESIMPULAN
Luka bakar merupakan luka yang terjadi akibat kontak langsung dengan
suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi Luka bakar
adalah trauma yang disebabkan oleh termis, elektris, khemis dan radiasi yang
mengenai kulit, mukosa, dan jaringan yang lebih dalam. Luka bakar
diklasifikasikan berdasarkan kedalaman, luas permukaan, lokasi, dan penyebab.
Luka bakar grade 1 terbatas pada epidermis, Luka bakar grade 2 melibatkan
semua epidermis dan lapisan dermis, Luka bakar grade 3 berwarna coklat gelap
dan memiliki kulit tekstur yang tidak sensitif terhadap sentuhan karena kerusakan
saraf. Luas dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Lund - Browder
untuk anak-anak dan "Rules of Nine " untuk pasien usia 10 tahun atau lebih.
Luka bakar dangkal dan ringan (superfisial) dapat sembuh dengan cepat dan tidak
menimbulkan jaringan parut. Namun apabila luka bakarnya dalam dan luas, maka
penanganan memerlukan perawatan di fasilitas yang lengkap dan komplikasi
semakin besar serta kecacatan dapat terjadi.
Untuk mengatasi pasien dengan luka bakar yaitu dengan menghindari
kontak dengan penyebab, menilai keadaan umum, perawatan luka, resusitasi
cairan dan nutrisi yang adekuat sehingga dapat mencegah komplikasi lanjut dari
luka bakar. Penanganan luka bakar perlu diketahui luas luka bakar, derajat luka
bakar, fase luka bakar. Penanganan luka bakar mencakup, pertolongan pertama,
resusitasi cairan, pencegahan infeksi, perawatan luka bakar dan pencegahan
terhadap komplikasi.
Pasien diawasi dari gejala anemia, gagal ginjal akut, perdarahan lambung,
infeksi hingga sepsis. Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung
pada dalam dan luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal
hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan
keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, de Jong. Luka bakar. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed 3. Jakarta:
penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. h. 103-110.
2. Sherwood, Lauralee. Pertahanan Tubuh. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke
Sistem. Edisi 2. 2001. Jakarta: EGC.
3. Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. H.
404-409
4. Georgiade GS, Pederson WC, Luka bakar. Dalam: Sabiston DC, Jonatan
O, editors. Buku ajar bedah. Jakarta. EGC, 1995. Hal 151-63.
5. Robert. H, Demling. MD. Current Surgical Diagnosis & Treatment.
Doherty, Gerard M, Way, Lawrence W (editor). 2006. Hlm: 248
6. Steven J. Schwults, J Perren Cobb. Wasington Manual Of Surgery, Ed 5.
2008. Hlm: 418-425.
7. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK,
Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s
principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007